55
minyak biji karet juga mengandung gugus alkil yang ditunjukkan pada panjang gelombang 2856,45 cm
-1
dan 2925,65 cm
-1
yang diperkuat dengan adanya gugus metil pada panjang gelombang 1457,93 cm
-1
dan 1373,28 cm
-1
serta adanya serapan gugus C-H alifatik pada panjang gelombang 3007,68 cm
-1
. Pada spektrum biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4,
B
5
, dan B
6
menghasilkan gugus fungsi yaitu gugus C=O karbonil ester pada panjang gelombang 1750-1730 cm
-1
yang diperkuat dengan adanya gugus C-O ester pada panjang gelombang 1300- 1000 cm
-1
. Selain itu terdapat gugus alkil yang ditunjukkan dengan panjang gelombang 3000-2850 cm
-1
yang diperkuat dengan adanya gugus metil. Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat bahwa hasil spektrum minyak
biji karet tidak jauh berbeda dengan spektrum biodiesel. Pada spektrum minyak biji karet terdapat gugus metil ester hal ini karena minyak mengandung
trigliserida. Trigliserida merupakan ester dari alkohol gliserol dengan asam lemak. Pada spektrum biodiesel terlihat puncak-puncak yang lebih tajam daripada
spektrum pada minyak biji karet. Hal ini membuktikan bahwa pada biodiesel tersebut telah terjadi reaksi transesterifikasi, ditunjukkan dengan adanya senyawa
ester yang merupakan senyawa dari biodiesel tersebut.
7. Analisis Parameter Biodiesel
Biodiesel yang telah terbentuk harus memiliki standar mutu agar dapat diaplikasikan ke dalam mesin diesel. Hasil yang diperoleh dari pengujian
parameter-parameter tersebut dibandingkan dengan data parameter biodiesel yang
56
tertera pada SNI 7182:2012. Uji parameter biodiesel meliputi : massa jenis, viskositas, titik tuang pour point, titik nyala flash point dan kalor pembakaran
a. Massa Jenis Massa jenis berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh
mesin diesel pada setiap satuan volume bahan bakar Tohari, 2015:51. Uji massa jenis biodiesel dilakukan menggunakan piknometer. Konsep dari perhitungan
massa jenis ini adalah membandingkan massa zat dengan volume zat tersebut. Pengujian massa jenis dilakukan pada suhu kamar 30
o
C, namun dalam SNI 7182:2012 diharapkan pada suhu 40
o
C sehingga perlu dikonversi ke suhu 40
o
C. Hasil pengujian massa jenis untuk Biodiesel B
1
, B
2,
B
3,
B
4
, B
5
, dan B
6
secara berturut-turut adalah 887,37 ; 880,1 ; 898,67; 902,7 ; 897,9 ; dan 886,9333 kgm
3
. Hubungan massa jenis dengan suhu dan rasio molar transesterifikasi dapat
ditunjukkan pada Gambar 16.
57
887,37 880,1
898,67 902,7
897,9
887
875 880
885 890
895 900
905
20 40
60 80
100
m assa jen
is gm
3
suhu
o
C
Hubungan Massa Jenis dan Suhu
rasio metanolminyak=41
rasio metanolminyak=81
Gambar 16. Hubungan Massa Jenis Biodiesel dengan Suhu Reaksi Transesterifikasi
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut menghasilkan nilai massa jenis yang berbeda dengan adanya perbedaan suhu transesterifikasi dan rasio molar
metanolminyak. Berdasarkan SNI 7182:2012 tentang biodiesel ditunjukkan nilai massa jenis biodiesel pada suhu 40
o
C adalah antara 850-890 kgm
3
. Hasil pengujian biodiesel B
1
B
2
dan B
6
sudah memenuhi spesifikasi SNI 7182:2012.. Sedangkan biodiesel B
3
, B
4
dan B
5
belum memenuhi spesifikasi SNI 7182:2012. Tingginya nilai massa jenis dapat disebabkan oleh adanya zat pengotor seperti
sabun kalium, dan gliserol hasil reaksi penyabunan, air, kalium hidroksida sisa, kalium metoksida sisa ataupun ataupun sisa metanol Pramitha, 2016: 162 . Hal
ini dapat diatasi dengan dilakukan pencampuran dengan bahan bakar solar untuk mendapatkan massa jenis yang lebih rendah.
58
b. Viskositas Viskositas merupakan penentuan tahanan cairan untuk mengalir pada
suhu tertentu yang ditetapkan. Kekentalan ini perlu diketahui, karena berpengaruh terhadap kemudahan mengalir dan sistem injeksi Suwarso, 2008. Bahan bakar
diesel yang terlalu rendah viskositasnya akan memberikan pelumasan yang buruk dan cenderung mengakibatkan kebocoran pada pompa. Sebaliknya, viskositas
yang terlalu tinggi akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar lambat mengalir dan lebih sulit teratomisasi Kusumaningsih dkk, 2006. Viskositas
tinggi pada bahan bakar juga dapat menyebabkan proses pembakaran tidak sempurna Aunillah Pranowo, 2012. Pada penelitian ini, hasil pengujian
viskositas biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
secara berturut-turut didapatkan rata-rata sebesar 21,1135; 19,8651; 16,3189; 16,7291; 19,7945; dan 20,7268 cSt
yang dapat dilihat pada Gambar 17.
59
21,1135 19,8651
16,3189 16,7291
19,7945 20,7268
5 10
15 20
25
20 40
60 80
100
v isko
si tas
c S
t
Suhu
o
C
Hubungan Viskositas dan Suhu
rasio metanolminyak=41
rasio metanolminyak=81
Gambar 17. Hubungan Viskositas Biodiesel dengan Suhu Reaksi Transesterifikasi
Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai viskositas dipengaruhi oleh suhu dan rasio metanolminyak. Didalam SNI 7182:2012
tentang biodiesel ditunjukkan nilai viskositas biodiesel pada suhu 40
o
C adalah 2,3-6 cSt. Sehingga dapat dikatakan bahwa produksi keenam biodiesel tersebut
belum memenuhi standar SNI 7182:2012 yaitu masih lebih tinggi dari standar. Arita 2009: 58 menyatakan bahwa waktu reaksi esterifikasi berpengaruh
terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi esterifikasi akan menghasilkan viskositas yang semakin kecil. Menurut
Kusumaningtyas dan Bachtiar 2012:10 viskositas yang tinggi disebabkan adanya percabangan pada rantai karbonnya yang cenderung panjang.
Apabila biodiesel ini digunakan akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar lambat mengalir dan lebih sulit teratomisasi. Selain itu dapat
60
9
-3 3
6
-4 -2
2 4
6 8
10
50 100
Ti tik
Tu an
g
o
C
Suhu
o
C
Hubungan Titik Tuang dan Suhu
rasio metanolminyak=41
rasio metanolminyak=81
mengakibatkan pembakaran yang tidak sempurna sehingga perlu dicampur dengan bahan bakar solar untuk mendapatkan viskositas yang lebih rendah.
c. Titik Tuang Bahan bakar diesel harus dapat mengalir dengan bebas pada suhu atmosfer
terendah dimana bahan bakar itu digunakan. Suhu terendah dimana bahan bakar diesel masih dapat mengalir disebut dengan titik tuang pour point Aziz,-.
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan diperoleh nilai titik tuang biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
secara berturut-turut sebesar 9, -3, 3, 0, 6, dan 0. Berikut ini adalah grafik hubungan titik tuang dengan suhu dan rasio molar transesterifikasi
yang ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Hubungan Titik Tuang Biodiesel dengan Suhu Reaksi Transesterifikasi
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
sudah memenuhi standar SNI 7182:2012 yang berada pada kisaran -15-13
61
210 204
196 208
198
184 180
185 190
195 200
205 210
215
50 100
Ti tik
N y
al a
o
C
Suhu
o
C
Hubungan Titik Nyala dengan Suhu
rasio metanolminyak=41
rasio metanolminyak=81
o
C Crimson Renewable Energy sehingga apabila digunakan untuk bahan bakar masih dapat melakukan pembakaran karena biodiesel tersebut dapat mengalir
menuju ruang bakar. d. Titik Nyala
Titik nyala Flash point merupakan suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat,
apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api Risnoyatiningsih, 2010.
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan diperoleh nilai titik nyala flash point biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
secara berturut-turut sebesar 210, 204, 196, 208, 198, dan 184
o
C. Berikut ini adalah grafik hubungan titik nyala dengan suhu dan rasio molar transesterifikasi yang ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Hubungan Titik Nyala Biodiesel dengan Suhu Reaksi Transesterifikasi
62
Berdasarkan hasil pengujian titik nyala biodiesel yang dilakukan terjadi penurunan titik nyala pada rasio metanol minyak 41 maupun pada rasio
metanolminyak 81. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
sudah memenuhi standar SNI 7182:2012 yaitu minimal sebesar 100
o
C. Hal tersebut tentunya baik karena menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai flash pointnya maka bahan bakar tersebut lebih aman karena tidak mudah
terbakar. e. Kalor Pembakaran
Nilai kalori adalah angka yang menyatakan jumlah panas kalor yang dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar dengan udara oksigen.
Nilai kalori diperlukan untuk dasar perhitungan jumlah konsumsi bahan bakar minyak yang dibutuhkan mesin dalam suatu periode tertentu. Nilai kalori bahan
bakar minyak berkisar antara 10.160- 11.000 Kkalkg Suyanto dan Arifin, 2003: 16. Hasil pengujian kalor pembakaran biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
secara berturut-turut didapatkan rata-rata adalah 9420,3125; 8838,2115; 9458,48;
9821,6535; 9068,65; dan 9215,28 kalg. Hubungan kalor pembakaran dengan suhu dan rasio molar transesterifikasi dapat ditunjukkan pada Gambar 20.
63
9420,3125
8838,2115 9458,4800
9821,6535
9068,6500 9216,2800
8600 8800
9000 9200
9400 9600
9800 10000
50 100
K al
o r Pe
m b
akar an
kal g
ram
Suhu
o
C
Hubungan Kalor Pembakaran dan Suhu
rasio metanolminyak=41
rasio metanolminyak=81
Gambar 20. Hubungan Kalor Pembakaran Biodiesel dengan Suhu Reaksi Transesterifiksi
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan dengan menggunakan alat bom kalorimeter menunjukkan bahwa nilai kalor yang dihasilkan berbeda-beda.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai kalor pembakaran biodiesel dipengaruhi oleh suhu transesterifikasi dan rasio metanolminyak. Namun dari hasil uji nilai kalaor
pembakaran biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
dan B
6
belum memenuhi standar biodiesel yang telah ditetapkan. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu sintesis
biodiesel dari biji ketapang Yuniastuti, 2014: 57 dan sintesis biodiesel dari minyak biji kapuk randu Kinasih, 2016: 66 menunjukkan bahwa nilai kalor
pembakaran dari biodiesel hasil transesterifikasi dibawah standar SNI 7182:2012. Menurut Komariah 2013: 54 nilai kalor yang rendah dapat
disebabkan oleh adanya air dalam bahan bakar cair, yang merupakan air
64
eksternal dan berperan sebagai pengganggu. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar air dalam biodiesel. Apabila biodiesel ini digunakan perlu
pencampuran dengan solar agar diperoleh kalor pembakaran yang lebih tinggi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hasil penelitian, Biodiesel yang mempunyai kondisi paling baik untuk digunakan yaitu B
1
dengan suhu 45
o
C dan rasio metanolminyak 41. Biodiesel dapat diaplikasikan pada tingkat konsentraasi tertentu BXX
seperti 10 biodiesel dicampur dengan 90 solar yang dikenal dengan B10 Hambali, et al, 2007: 9.
65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Karakteristik minyak biji karet meliputi: massa jenis yaitu sebesar 907,9 kgm
3
, nilai viskositas sebesar 33,5740 cSt dan Gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet yaitu merupakan C=O ester, C-O ester, C-H alkana,
C-H alifatik dan –CH
3.
2. Karakter biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
yang meliputi: massa jenis berturut-turut adalah sebesar 887,37; 880,1; 898,67; 902,7; 897,9; dan
886,9333 kgm
3
, viskositas secara berturut-turut sebesar 21,1135; 19,8651; 16,3189; 16,7291; 19,7945; dan 20,7268 cSt, kalor pembakaran secara
berturut-turut sebesar 9420,3125; 8838,2115; 9458,48; 9821,6535; 9068,65; dan 9216,28 kalg, titik tuang pour point berturut-turut adalah sebesar 9; -3;
3; 0; 6; dan 0
o
C, titik nyala flash point berturut-turut adalah sebesar 210; 204; 196; 208; 198; dan 184
o
C, serta gugus fungsi yang terdapat pada biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
, dan B
6
yaitu C=O ester, C-O ester, C-H Alkana, gugus C-H alifatik dan gugus
–CH
3.
3. Biodiesel B
1
, B
2
, dan B
6
memiliki nilai masas jenis yang sesuai dengan SNI 7182:2012. Biodiesel B
1
, B
2
, B
3
, B
4
, B
5
dan B
6
memiliki nilai viskositas dan