Analisis Serum Darah dan Organ Tikus Konsumsi Ransum, Berat Badan dan Rasio Konsumsi Ransum

setiap dua hari selama perlakuan. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan antar kelompok perlakuan. Tahap Analisis Sampel Serum dan Organ Tikus 1. Persiapan sampel analisis Sebelum dilakukan pengambilan sampel darah pada hari ke-37, tikus dipuasakan selama 12 jam agar data yang diperoleh tidak terpengaruh oleh konsumsi terakhir. Pembedahan dilakukan dengan terlebih dahulu membuat tikus berada dalam kondisi pingsan, yaitu dengan cara menarik tulang belakang. Setelah tikus pingsan, dilakukan pembedahan dari perut sampai ke leher. Darah diambil dari jantung dengan menggunakan syringe lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan diletakkan dalam posisi miring selama 1 jam hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas berwarna bening dan lapisan bawah berwarna merah. Darah kemudian disentrifus pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit, selanjutnya lapisan bening diambil dengan menggunakan pipet. Serum darah siap dianalisis. Selain pengambilan darah, dilakukan pula pengambilan organ, yaitu hati, ginjal, dan limpa. Masing-masing organ ditimbang dengan neraca analitik kemudian dibungkus alumunium foil dan disimpan di dalam freezer untuk selanjutnya dianalisis.

2. Analisis Serum Darah dan Organ Tikus

Serum dari hasil persiapan sampel dianalisis total kolesterol metode CHOD-PAP, kadar HDL metode CHOD-PAP, dan trigliserida metode GPO- PAP. Sedangkan organ hati dan limpa tikus dianalisis kadar malonaldehida. Kadar LDL dihitung secara matematis dengan menggunakan rumus Friedwald et al., 1972 : dan indeks atherogenik IA dapat dihitung dengan menggunakan rumus Balsinska, 1998 : Kadar LDL = Total kolesterol – HDL+ TG5 IA = Total kolesterol –HDL HDL 24 C. METODE ANALISIS

3. Analisis Kimia Tepung Kecambah Kacang Komak

f. Analisis Kadar Air Metode Oven Biasa AOAC, 1995

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 o C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik a gram. Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 4-5 gram b gram. Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 -105 o C selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang c gram. Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan berat dianggap konstan jika selisi h berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram. Kadar air basis kering = b – c-a x 100 c-a Keterangan : a = bobot cawan kosong g b = bobot sampel g c = bobot sampel+cawan sesudah dikeringkan g

g. Kadar Abu Apriyantono et al., 1989

Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin dipanaskan dahulu dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang 2.0 - 3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram. kadar abu = berat abu x 100 berat sampel

h. Kadar Protein Apriyantono et al., 1989

25 Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 2.0 gram K 2 SO 4 , 40 mg HgO dan 2.5 ml H 2 SO 4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna jernih dan dibiarkan sampai dingin. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5 –6 kali dengan 1-2 ml air. Kemudian ditambahkan 8-10 ml NaOH-Na 2 S 2 O 3 pekat sampai warna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H 3 BO 3 dan 2 tetes indikator campuran 2 bagian merah metil 0.2 dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2 dalam alkohol, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi hingga berubah warna dari hijau menjadi abu-abu. N = ml sampel - ml blanko x N HCl x 14.007x 100 berat sampel basis kering mg Kadar Protein = N x faktor konversi

i. Kadar Lemak AOAC, 1984

Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang. Ditimbang 2 g sampel di dalam gelas piala, ditambahkan 30 ml HCl 25 dan 20 ml air serta beberapa batu didih. Ditutup gelas piala yang dengan gelas arloji dan dididihkan selama 15 menit larutan sampel. Disaring larutan sampel dengan kertas saring dalam keadaan panas dan didicuci dengan air panas hingga tidak bereaksi asam lagi. Kertas saring yang digunakan untuk menyaring larutan sampel dikeringkan berikut isinya pada suhu 100-105 o C kertas saring sampel. Dimasukan kertas saring sampel ke dalam kertas pembungkus sampel yang telah dilengkapi kapas dibagian ujungnya kemudian dibentuk menjadi bentuk tabung timbel. Timbel tersebut diekstrak dengan heksana selama 2-3 jam pada suhu kurang lebih 80 o C. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100- 105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. lemak = berat lemak+labu – bobot labu x 100 berat sampel j. Kadar Karbohidrat by difference 26 Kadar karbohidrat = 100 - kadar protein + lemak + air + abu

2. Analisis Serum Darah dan Organ Tikus a. Analisis Kolesterol Total Metode CHOD-PAP

Prinsip pengukuran kolesterol total adalah hidrolisis enzimatis dan oksidasi. Serum yang mengandung lipoprotein direaksikan reagen kolesterol Tabel 10. Kolesterol ester pada lipoprotein dipecah oleh enzim kolesterol esterase menjadi kolesterol dan asam lemak. Kolesterol kemudian mengalami oksidasi dengan enzim kolesterol oksidase sebagai katalis menghasilkan senyawa peroksida yang direaksikan bersama fenol dan 4-aminoantripyrine menghasilkan senyawa quinone imine yang berwarna merah Gambar 8 dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm Gambar 9. Kolesterol ester + H 2 O Kolesterol + asam lemak Kolesterol + O 2 4-kolesten-3-one + H 2 2 2 H 2 O 2 + fenol + 4-aminoantripyrine quinoneimine + 4H 2 Perhitungan : 10 µl serum atau standar + 1.00 ml reagen kolesterol Di vorteks Diinkubasi pada suhu 37 C, 5 menit Dibaca absorbansi pada λ 500 nm Gambar 9. Prosedur Analisis Sampel atau Standar Kolesterol Total Kolesterol oksidase peroksidase Gambar 8. Reaksi-reaksi yang Terlibat dalam Analisis Kolesterol Total Kolesterol esterase 27 Kadar kolesterol mgdl = A sampel A standar x 200 mgdl Keterangan : A = absorbansi 200 = Standar kolesterol murni 200 mgdl 5.2 mmoll Tabel 10. Komposisi Reagen Kolesterol Komponen penyusun Jumlah Good’s buffer pH 6.7 50 mmoll Phenol 5 mmoll 4-aminoantipyrine 0.3 mmoll Cholesterol esterase CHE ≥ 200 UI Cholesterol oxidase CHO ≥ 50 UI Peroxidase POD ≥ 3 kUI

b. Analisis High Density Lipoprotein Metode CHOD-PAP

Prinsip penentuan kadar HDL adalah mengendapkan kilomikron, VLDL, dan LDL dengan menambahkan asam fosfotungstat dan ion magnesium. Proses sentrifugasi akan meninggalkan hanya HDL dalam supernatan. Kadar HDL kemudian ditentukan secara enzimatis menggunakan reagen kolesterol Tabel 11. Persiapan sampel serum sebelum analisis dapat dilihat pada Gambar 10 dan analisis kadar HDL sampel dapat dilihat pada Gambar 11. 200 µl serum + 500 µl reagen presipitasi Di vorteks Diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit Sentrifuse 4000 rpm, 10 menit Supernatan siap dianalisis 28 Perhitungan : Kadar HDL mgdl = A sampel A standar x 200 mgdl Keterangan : A = absorbansi 200 = Standar kolesterol murni 200 mgdl 5.2 mmoll Tabel 11 . Komposisi Reagen Presipitasi Komponen penyusun Jumlah Asam fosfotungstat 1.4 mmoll Magnesium klorida 8.6 mmoll

c. Analisis Trigliserida Metode GPO-PAP

Prinsip pengukuran kadar trigliserida adalah hidrolisis enzimatis dan oksidasi. Sampel serum direaksikan dengan reagen trigliserida Tabel 12. Trigliserida akan dihidrolisis oleh enzim lipase menghasilkan gliserol dan asam lemak. Gliserol kemudian diubah menjadi gliserol-3-fosfat oleh enzim gliserolkinase. Gliserol-3-fosfat yang dihasilkan dioksidasi menghasilkan dihidroksi aseton fosfat dan peroksida. Peroksida yang dihasilkan akan bereaksi lebih lanjut dengan 4-aminofenazon dan 4- klorofenol menghasilkan senyawa quinone imine Gambar 12 yang Gambar 10. Prosedur Persiapan Sampel Analisis Kadar HDL 100 µl standar + 1 ml reagen kolesterol Di vorteks Diinkubasi pada suhu 37 C, 5 menit Dibaca absorbansi pada λ 500 nm Gambar 11. Prosedur Analisis Kadar HDL Sampel atau Standar 29 berwarna merah dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm Gambar 13. Trigliserida + H 2 O gliserol + asam lemak Gliserol + ATP gliserol-3-fosfat + ADP Gliserol-3-fosfat + O 2 dihidroksi aseton fosfat + H 2 O 2 2H 2 O 2 + 4-aminofenazon + 4-klorofenol quinone imine + HCl + 4 H 2 O Perhitungan : Kadar Trigliserida mgdl = A sampel A standar x 200 mgdl Keterangan : A = absorbansi 200 = Standar trigliserida murni 200 mgdl 2.3 mmoll peroksidase lipase gliserolkinase Gliserol 3-fosfatoksidase 10 µl serum atau standar + 1.00 ml reagen trigliserida Di vorteks Diinkubasi pada suhu 37 C, 5 menit Dibaca absorbansi pada λ 500 nm Gambar 13. Prosedur Analisis Kadar Trigliserida Sampel atau Standar Gambar 12. Reaksi-reaksi yang Terlibat dalam Analisis Trigliserida 30 Tabel 12 . Komposisi Reagen Trigliserida Komponen penyusun Jumlah Good’s buffer pH 7.2 50 mmoll 4-Clorophenol 4 mmoll ATP 2 mmoll Mg 2+ 15 mmoll Glycerokinase GK ≥ 0.4 kUI Peroxidase POD ≥ 2 kUI Lipoprotein lipase LPL ≥ 2 kUI 4-aminoantipyrine 0.5 mmoll Glycerol-3-phosphate-oxidase GPO ≥ 0.5 kUI

d. Analisis Low Density Lipoprotein Friedwald et al., 1972

Kadar LDL dihitung secara matematis dengan menggunakan rumus : Keterangan : Asumsi TG5 adalah kadar VLDL .

e. Indeks Atherogenik Balsinska, 1998

Indeks atherogenik IA dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

f. Analisis Malonaldehida Conti et al., 1991

Analisis malonaldehida dilakukan pada sampel organ hati dan limpa tikus. Prinsip analisis malonaldehida ini adalah pemanasan akan menghidrolisis peroksida lipid sehingga malonaldehida yang terikat akan bebas dan bereaksi dengan TBA dalam suasana asam memberntuk kompleks MDA-TBA yang berwarna merah yang dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm. Prosedur analisis malonaldehida organ hati dan limpa pada Gambar 14. Kadar LDL = Total kolesterol – HDL+ TG5 IA = Total kolesterol –HDL HDL 31 Sebagai standar MDA digunakan 1,1,3,3 tetraetoksipropana TEP. Pada suasana asam, TEP terhidrolisis dan menghasilkan hemiasetal dan etanol. Hemiasetal yang terbentuk kemudian terdekomposisi menjadi etanol dan malonaldehid. Penentuan kurva standar dilakukan sama dengan penentuan sampel. Perhitungan kadar MDA sampel berdasarkan hasil ploting nilai absorbansi pada kurva standar Lampiran 4. Konsentrasi TEP yang digunakan yaitu 0,0; 1,2; 2,4; 3,6; 4,8; 6,0; 7,2; 15,0; dan 24,0 x10 -3 pmolml. Ditambah 2 ml larutan TCA 15 dan TBA 0.37 dalam HCl 0.25 N Di vorteks dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 C selama 15 menit Didinginkan sampai suhu ruang Gambar 14. Prosedur Analisis Kadar MDA Organ Hati dan Limpa Disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit Diukur absorbansi pada λ 532 nm Ditimbang organ hati sebanyak 1 gram atau limpa Ditambah larutan PBS dingin sebanyak 9 ml Dihancurkan dengan cara di gerus Disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit Diambil supernatan 4 ml 32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN TEPUNG KECAMBAH DAN RANSUM TIKUS Pembuatan kecambah kacang komak dilakukan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Anita 2009. Kacang komak Gambar 15 yang digunakan disortasi terlebih dahulu untuk membuang kacang yang rusak sehingga meningkatkan persentase kacang komak yang tumbuh sewaktu digerminasi. Gambar 15. Biji Kacang Komak. Tahap awal perkecambahan dilakukan dengan merendam kacang komak yang telah disortasi dengan air hangat 50 C selama 12 jam. Penggunaan air bersuhu 50 C dimaksudkan untuk mempercepat penyerapan air. Setiap kenaikan suhu 10 C kecepatan penyerapan air akan meningkat sekitar dua kali Pranoto et al., 1990, namun akan terjadi kehilangan nutrisi sebesar tiga atau empat lipatnya jika suhu air perendam mencapai 60 C Salunkhe et al., 1985. Imbibisi air secara cepat yang terjadi selama perendaman merupakan proses hidrasi yang mengakibatkan bertambahnya volume biji, terjadinya respirasi yang menghasilkan ATP untuk suplai energi serta mengaktivasi hormon giberelin yang mendorong pembentukan enzim-enzim hidrolisis yaitu - amilase, protease, ribonuklease, -glukonase dan fosfatase Pranoto et al., 1990 sehingga perombakan cadangan makanan dapat berlangsung. Tahap selanjutnya setelah perendaman adalah proses perkecambahan biji pada ruang gelap 30 C selama 30 jam. Anita 2009 mengungkapkan bahwa kondisi germinasi yang menghasilkan persentase kecambah tertinggi dengan kualitas terbaik adalah selama 30 jam dalam media daun pisang 33 dengan kondisi gelap. Sejalan dengan itu, Cabrejas 2008 mengungkapkan persentase kecambah kacang komak yang tumbuh lebih besar pada kondisi gelap dibandingkan kondisi terang. Cahaya diketahui merupakan faktor pembatas perkecambahan Pranoto, 1990. Kecambah kacang komak yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Kecambah Kacang Komak. Kecambah kacang komak yang telah dipisahkan dari biji yang tidak tumbuh kemudian dikeringkan untuk dijadikan tepung. Pembuatan tepung kecambah kacang komak dilakukan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Anita 2009 dengan sedikit modifikasi, yaitu dalam hal suhu dan waktu pengeringan kecambah. Pengeringan dilakukan pada suhu 75 C selama 6 jam, sedangkan Anita 2009 mengeringkan kecambah pada suhu 50 C selama 24 jam. Perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan kapasitas dan ketersediaan alat saat penelitian. Tepung kecambah kacang komak yang dihasilkan pada penelitian ini sebanyak 8.11 kg dari 35 kg biji kacang komak. Ini berarti tepung kecambah yang dihasilkan memiliki rendemen sebesar 23.17. Rendemen tepung kecambah yang rendah ini disebabkan kacang komak yang digunakan sebagai bahan pembuatan kecambah telah mengalami penyimpanan lebih dari 1 bulan. Waktu penyimpanan yang lama menyebabkan telur-telur serangga yang telah terinfestasi dalam biji tumbuh menjadi dewasa dan memakan biji. Kerusakan biji karena serangga ini mengakibatkan persentase biji kacang komak yang tumbuh menjadi kecambah rendah 30 sehingga rendemen total tepung kecambah sangat rendah. Hasil analisis proksimat Tabel 13 menunjukkan komposisi tepung kecambah komak pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan tepung 34 kecambah komak yang dihasilkan Anita 2009. Perbedaan yang cukup jelas hanya terlihat pada kandungan air tepung kecambah. Kadar air tepung kecambah, 4.83, jauh lebih kecil dibandingkan kadar air tepung kecambah Anita 2009, yaitu 14.32. Hal ini terjadi karena suhu pengeringan yang digunakan lebih tinggi, sehingga penguapan air lebih mudah. Tabel 13 . Komposisi Tepung Kecambah dan Tepung Kacang Komak Komponen Tepung Kecambah Kacang Komak Tepung Kacang Komak Jumlah basis kering Air 4.83±0.16 12.88 ± 0.69 a 14.32 ± 0.37 a Abu 4.33±0.15 4.19 ± 0.09 a 4.32 ± 0.06 a Protein 25.70±0.25 25.16 ± 0.18 a 21.82 ± 0.36 a Lemak 1.13±0.07 1.07 ± 0.21 a 0.68 ± 0.03 a Karbohidrat 64.02±0.13 56.70 ± 0.52 a 58.85 ± 0.00 a a Anita 2009 Data hasil analisis proksimat tepung kecambah kacang komak Tabel 13 digunakan untuk menyusun komposisi ransum grup perlakuan kecambah kacang komak. Formulasi ransum mengacu pada rekomendasi American Institute of Nutrition Reeves et al., 1993 dengan mengganti sumber protein kasein dengan tepung kecambah kacang komak. American Institute of Nutrition mengeluarkan rekomendasi dua jenis formula ransum, yaitu AIN-93G untuk menunjang pertumbuhan, masa kehamilan serta menyusui dan AIN-93M untuk pemeliharaan tubuh. Kedua jenis formula ini telah diuji secara in vivo dan digunakan secara internasional sebagai acuan ransum tikus percobaan. Perbedaan utama kedua formulasi ini adalah jumlah protein kasein yang digunakan. Formula AIN-93G mengandung kasein 20 sedangkan formula AIN-93M mengandung protein kasein 14. Pada penelitian ini digunakan AIN-93M Lampiran 1 sebagai acuan formulasi karena penelitian ini menggunakan tikus dewasa dan fokus 35 utama penelitian tidak bertujuan melihat pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan. Komposisi ransum perlakuan kecambah kacang komak setelah perhitungan Lampiran 5 komposisi berdasarkan AIN-93M terdiri atas 57.1 tepung kecambah kacang komak, 23.9 pati jagung, 10 gula halus, 3.4 minyak kedelai, 3.5 mineral mixture, 1 vitamin mixture Fitkom, 1 kolesterol dan 0.1 Propiltiourasil PTU. B. PENGAMATAN TERHADAP TIKUS PERCOBAAN

1. Konsumsi Ransum, Berat Badan dan Rasio Konsumsi Ransum

Pemberian ransum dilaksanakan selama total 43 hari yang terbagi dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu masa adaptasi tikus selama 7 hari. Pada tahap ini, tikus diberi ransum standar dan air secara ad libitum. Tikus percobaan Gambar 17 perlu mengalami masa adaptasi agar terbiasa dengan lingkungan yang baru. Tahap selanjutnya adalah masa perlakuan selama 36 hari. Pada masa perlakuan ini, tikus dikelompokkan ke dalam 3 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Masing-masing tikus diberi ransum yang berbeda sesuai dengan kelompok perlakuannya. Ransum diberikan setiap pagi dan sisa ransum ditimbang untuk mengetahui jumlah konsumsi ransum per hari. Setiap 2 hari sekali dilakukan penimbangan berat badan, pembersihan kandang Gambar 17 dan penggantian botol minum. Gambar 17 . Tikus Percobaan kiri dan Kandang Tikus kanan. Berdasarkan Tabel 14, tikus grup perlakuan kecambah kacang komak memiliki berat badan awal yang paling tinggi 114.6 g dibandingkan kontrol 36 positif 111.4 g dan negatif 103.2 g, namun ternyata memiliki berat akhir yang paling rendah setelah masa perlakuan 36 hari. Terjadi penurunan berat badan tikus grup kecambah kacang komak selama perlakuan yang besarnya mencapai 49.39. Hal ini terjadi karena konsumsi ransum grup kecambah kacang komak sangat rendah bila dibandingkan grup kontrol positif dan kontrol negatif. Asupan ransum yang sedikit ini tidak cukup untuk digunakan dalam pemeliharaan tubuh tikus percobaan sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi ransum per hari ketiga grup perlakuan berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 Lampiran 6 . Tabel 14. Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Selama Percobaan Kelompok Berat Badan Awal g Berat Badan Akhir g Konsumsi Ransum ghari Kenaikan Berat Badan Kontrol negatif 103.20 168.00 10.37 a 62.79 Kontrol positif 111.40 141.40 7.97 b 26.93 Kecambah 114.60 60.20 2.94 c -49.39 Keterangan : Kelompok kontrol negatif diberi ransum standar. Kontrol positif diberi ransum standar, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Kelompok kecambah diberi ransum standar tanpa kasein, tepung kecambah komak 57.1 bb, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata pada one way anova uji lanjut Duncan p0.05. Untuk melihat apakah jumlah konsumsi ransum masing-masing grup perlakuan ideal atau tidak, dilihat dari nilai konsumsi ransum per hari per 100g berat badan. Hal ini dikarenakan kebutuhan tikus akan makanan sangat tergantung pada berat badannya. Tikus grup perlakuan kecambah kacang komak yang mengalami penurunan berat badan selama perlakuan sehingga memiliki tubuh yang lebih kecil akan menjadi lebih sedikit kebutuhan dan jumlah konsumsinya, sedangkan grup kontrol negatif yang tikusnya semakin besar akan mengkonsumsi ransum lebih banyak. Idealnya, tikus mengkonsumsi ransum sebanyak 5g 100g berat badan Malole dan Pramono, 1989. 37 Jika dibandingkan jumlah konsumsi per 100 g berat badan antara ketiga grup perlakuan tikus percobaan Tabel 15 dengan jumlah konsumsi ransum ideal, ternyata jumlah konsumsi ransum per 100 g berat badan grup kontrol negatif dan kontrol positif lebih besar sedangkan konsumsi tikus grup perlakuan kecambah kacang komak lebih rendah dari konsumsi ideal. Tabel 15. Konsumsi Ransum dan Rasio Konsumsi terhadap Kenaikan Berat Kelompok Konsumsi Ransum per Hari g Berat Badan Rata-rata g Kenaikan Berat Badan g Konsumsi Ransum per Hari g100g berat badan Rasio Konsumsi Ransum Kenaikan Berat Badan Kontrol negatif 10.37 a 141.58 64,8 a 7.31 a 0,17 a Kontrol positif 7.97 b 131.35 30,0 b 6.08 b 0,36 a Kecambah 2.94 c 80.02 -56 c 3.67 c -0,05 b Keterangan : Kelompok kontrol negatif diberi ransum standar. Kontrol positif diberi ransum standar, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Kelompok kecambah diberi ransum standar tanpa kasein, tepung kecambah komak 57.1 bb, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata pada one way anova uji lanjut Duncan p0.05. Alasan mengapa konsumsi ransum per hari per 100 g berat badan grup kecambah kacang komak paling rendah diantaranya karena tingginya kandungan serat pangan 14.00, terutama serat tidak larut kacang komak yang jumlahnya dalam ransum mencapai 11.19. Grup perlakuan kontrol negatif dan kontrol positif hanya mengandung serat sebanyak 5. Adanya serat pangan membuat proses mengunyah lebih lama dan hal ini menstimulir ekskresi saliva serta cairan lambung lebih banyak sehingga menyebabkan perut merasa kenyang dan konsumsi berkurang Muchtadi, 2001. Selain itu, kacang komak mengandung banyak fraksi 7S globulin -Conglycinin yaitu sebesar 20.5 dari total fraksi globulin 55.2 Subagio, 2006 yang dapat menekan konsumsi ransum dan pengosongan lambung dengan cara meningkatkan level plasma kolesistokinin CCK pada tikus. Kolesistokinin 38 CCK adalah mediator fisiologis yang penting dalam mengatur kepuasan dan pengosongan lambung Nishi et al., 2003. Alasan lain yang mungkin mengakibatkan rendahnya konsumsi adalah bau ransum kecambah mentah yang cukup menyengat. Konsumsi ransum per hari per 100 g berat badan dan kenaikan berat badan grup kontrol positif lebih rendah dibandingkan kontrol negatif berturut-turut 16.8 dan 57 Tabel 14. Berdasarkan analisis statistik, kedua grup kontrol berbeda signifikan jumlah konsumsi ransum per 100 g berat badan dan kenaikan berat badannya Lampiran7. Hal ini diduga disebabkan kandungan PTU dalam ransum kontrol positif membuat ransum agak pahit sehingga konsumsinya lebih rendah. Hasil ini diperkuat oleh Nugroho 2007 yang melaporkan bahwa tikus kontrol positif memiliki konsumsi ransum lebih rendah 35.4 dan kenaikan berat badan lebih rendah 83.4 dibandingkan kontrol negatif yang tidak diberikan PTU. Sejalan dengan itu, Cole et al. 1984 mengungkapkan bahwa kenaikan berat badan tikus yang diberi ransum kolesterol dan PTU 55 lebih rendah dibandingkan kelompok tikus yang diberi kolesterol namun tidak ditambahkan PTU. Dengan demikian, disimpulkan bahwa PTU memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum tikus dan secara tidak langsung mempengaruhi kenaikan berat badan tikus. Keterangan : Kelompok kontrol negatif diberi ransum standar. Kontrol positif diberi ransum standar, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Kelompok kecambah diberi ransum standar tanpa kasein, tepung kecambah komak 57.1 bb, kolesterol 1 dan PTU 0.1. Gambar 18 . Kurva Pertumbuhan Berat Badan Tikus Percobaan. 39 Berdasarkan grafik pada Gambar 18, terlihat bahwa grup perlakuan kecambah kacang komak memiliki kurva pertumbuhan yang terus menurun, sedangkan kontrol positif dan negatif memiliki kurva pertumbuhan yang terus meningkat dan hampir berhimpitan selama setengah masa perlakuan. Kenaikan berat badan grup kontrol negatif dan positif terjadi karena konsumsi per hari yang cukup tinggi dan protein penyusun ransum kedua grup ini adalah kasein yang merupakan protein hewani dengan nilai protein efficiency ratio PER lebih tinggi Urbano et al., 2003 dan komposisi asam amino yang lebih baik dibandingkan protein nabati kecambah kacang komak yang rendah kandungan asam amino sulfur Kay, 1979. Efektifitas ransum kecambah kacang komak terhadap kenaikan berat badan sangat rendah begitu pula efektifitasnya mempertahankan kondisi tubuh. Hal ini tercermin dari nilai rasio konsumsi ransum per kenaikan berat badan grup kecambah kacang komak yang bernilai negatif dan paling rendah jika dibandingkan grup kontrol positif dan kontrol negatif Tabel 15. Hasil ini sejalan dengan Nugroho 2007 yang menunjukkan adanya penurunan berat tikus yang mengkonsumsi protein kacang komak. Meskipun perkecambahan pada kacang komak secara signifikan menurunkan kadar asam fitat sebesar 48.9 Osman, 2007 atau 36.6 Ramakrishna et al., 2006, trypsin inhibitor activity sebesar 19.39 Osman, 2007 atau 83.4 Ramakrishna et al., 2006 dan tanin sebesar 56.2 Ramakrishna et al., 2006, namun pada penelitian ini diduga faktor antinutrisi belum tereliminasi dengan baik dengan proses perkecambahan 30 jam. Kemungkinan pada tepung kecambah kacang komak masih terdapat aktivitas antinutrisi terutama hemaglutinin yang menurut de Muelenaere 1964 dapat dihilangkan secara efektif dengan pemanasan basah. Pada penelitian ini kecambah kecang komak tidak mengalami pemanasan basah hingga suhu tinggi. Pemanasan hanya terjadi pada saat pengeringan kering kecambah dengan oven suhu 75 C sebelum digiling menjadi tepung. Oleh karena itu kemungkinan proses pengolahan kecambah yang dilakukan tidak cukup menghilangkan aktivitas antinutrisi terutama hemaglutinin. Dugaan ini dikuatkan dengan penampakan tubuh terutama warna ekor, kulit dan telinga 40 tikus grup kecambah kacang komak yang terlihat pucat karena hemaglutinin dapat menggumpalkan sel darah merah Liener, 1981 sehingga mengurangi jumlah eritrosit yang bersirkulasi. Maka diduga kuat masih adanya hemaglutinin dan antinutrisi ini yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tikus. Hemaglutinin dilaporkan oleh Ramamani et al., 1979 merupakan antinutrisi kacang komak yang paling berperan memberikan pengaruh buruk penghambatan pertumbuhan. Penghambatan ini terjadi karena hemaglutinin dapat berikatan dengan sel pada permukaan usus dan menghambat penyerapan di usus Liener, 1969. Perlakuan pendahuluan perendaman dan dilanjutkan pemanasan dengan autoklaf dibutuhkan untuk menghilangkan secara total toksisitas dari hemaglutinin Phadke dan Sohonie, 1962 dan aktivitas antitripsin kacang komak Ramamani et al., 1979. Nugroho 2007 menyatakan pemanasan protein kacang komak dengan autoklaf selama 5 menit belum menghilangkan aktivitas senyawa antinutrisi seperti hemaglutinin. Meskipun demikian, pengaruh antinutrisi kecambah kacang komak terhadap manusia tidak dapat dilihat hanya berdasarkan penelitian pada hewan percobaan. Enzim tripsin pada manusia diketahui hanya 10-20 dihambat oleh antitripsin kedelai Liener, 1979. Selama ada perlakuan panas yang mencukupi pengaruh buruk dari antitripsin dan hemaglutinin pada manusia tidak nyata Liener, 1981. Selain itu, meskipun hemaglutinin merupakan antinutrisi, diduga senyawa ini memiliki peranan yang baik bagi kesehatan kolon manusia. Hemaglutinin gandum yang dikonsumsi manusia dilaporkan dapat bertahan selama proses pencernaan hingga mencapai usus besar dalam bentuk yang utuh secara biologis Brady et al., 1978 dan disinyalir berperan dalam mencegah kanker kolon dengan merangsang hipersekresi mukosa usus yang berperan secara langsung dalam menekan pertumbuhan sel tumor Fred dan Buckley, 1978.

2. Rasio Berat Organ dengan Berat Badan