Studi Sifat Fisikokimia, Fungsional Protein, dan Kapasitas Antioksidan pada Konsentrat Protein Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) Sweet).

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kekurangan energi protein (KEP) terjadi karena rendahnya jumlah konsumsi protein oleh masyarakat. Padahal konsumsi protein yang berasal dari nabati bisa didapatkan selain dari protein hewani. Salah satu sumber protein nabati utama adalah berasal dari kacang-kacangan. Kacang-kacangan merupakan sumber protein, karbohidrat, serat pangan, dan mineral (Osman, 2007). Kacang-kacangan juga dapat menjadi pangan yang ideal untuk mencegah atherosklerosis karena kandungan serat yang tinggi, protein, mikroelemen, substansi bioaktif, dan kandungan lemak yang rendah (Ramakrishna, et al., 2007). Kacang-kacangan juga kaya akan lisin dan triptofan namun mengandung asam amino sulfur dalam jumlah yang rendah seperti metionin dan sistein (Oboh, 2006).

Kedelai merupakan salah satu jenis kacang-kacangan paling banyak dikonsumsi di Indonesia dan aplikasinya telah banyak digunakan di industri pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi kedelai nasional pada 2007 semakin anjlok menjadi 608.263 ton. Luas panen turun menjadi 464.427 ha, meskipun produktivitas tanaman meningkat menjadi 1,3 ton/ha. Jika kebutuhan kedelai dalam negeri sekitar 2 juta ton per tahun, untuk memenuhi konsumsi kedelai nasional dapat dilakukan dengan mengimpor rata-rata 1,2 juta ton per tahun (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2008). 

Saat ini dibutuhkan jenis kacang-kacangan lain yang berpotensi untuk dikembangkan sehingga dapat mengurangi ketergantungan nasional terhadap kedelai. Salah satunya adalah kacang komak (Lablab purpureus). Guilon dan Champ (2002) yang dikutip Cabrejas, et al. (2008) melaporkan bahwa kualitas protein dari kacang komak ini hampir setara dengan jenis kacang-kacangan lainnya dan memiliki struktur karbohidrat yang lebih tinggi komposisi serat pangannya dibandingkan tanaman pangan kaya serat seperti sereal. Menurut Subagio (2006), produksivitas kacang komak petani Indonesia pada daerah kering dapat mencapai 1000-1200 kg biji kering/ha.


(2)

Salah satu proses pengolahan kacang-kacangan adalah melalui proses perkecambahan (germinasi). Menurut Chang dan Harold (1988) yang dikutip Cabrejas, et al. (2008), germinasi diketahui sebagai proses yang tidak mahal dan teknologi yang efektif dalam meningkatkan kualitas kacang-kacangan dengan meningkatkan kemampuan daya cerna dan menurunkan jumlah komponen antinutrisi.

Untuk meningkatkan mutu dan fungsi dalam pengolahan pangan, seperti halnya dengan kedelai, kacang komak dapat pula dibuat dalam bentuk konsentrat protein. Penggunaan konsentrat protein di industri pangan lebih banyak dibandingkan dalam bentuk tepung misalnya digunakan pada produk-produk seperti saus, sosis, produk bakeri, dan sebagainya.

Penggunaan konsentrat protein lebih banyak diminati dibandingkan tepung kacang-kacangan sebab konsentrat protein memiliki sifat fungsional yang besar dan relatif bebas dari faktor toksik dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna (Neto, et al., 2001 dikutip dalam Adebowale dan Lawal, 2003). Aplikasi konsentrat protein ini bergantung pada sifat fungsional protein yang dimilikinya seperti daya serap air, daya serap minyak, daya emulsi, gelasi, dan pembusaan. Sifat fungsional ini ditandai dengan karakteristik fisikokimia protein pangan yang dapat menentukan perilakunya dalam pangan selama pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi.

Kacang-kacangan seperti kacang komak juga banyak mengandung senyawa fenolik dan polifenol. Komponen ini memiliki pengaruh antioksidatif yang berfungsi bagi kesehatan tubuh manusia. Menurut Hartoyo dan Yulia (2007), tingginya aktivitas antioksidan ekstrak air pada kacang komak ditunjukkan oleh adanya senyawa yang bersifat antioksidan yaitu fenol hidrokuinon, saponin, tanin, steroid, triterpenoid dan alkaloid pada ekstrak air.

Adanya proses germinasi diduga akan meningkatkan beberapa senyawa antioksidan seperti komponen fenolik. Menurut Lin dan Lai (2006), kecambah biji bertahan selama germinasi dengan meningkatkan pertahanan mereka melalui biosintesis senyawa fenolik. Germinasi juga


(3)

diduga dapat mengubah komposisi nutrisi, termasuk substansi fungsional, melalui respirasi aerobik dan metabolisme biokimia.

Penelitian tentang konsentrat protein kecambah kacang komak belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga menjadi pendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini ingin melihat sejauh mana pengaruh perkecambahan dapat meningkatkan nutrisi, sifat fisikokimia, sifat fungsional protein, dan kapasitas antioksidan pada konsentrat protein kacang komak.

 

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perkecambahan (germinasi) pada kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) terhadap sifat fisikokimia, karakteristik fungsional protein, dan kapasitas antioksidan pada konsentrat protein kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) yang dihasilkan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaaat dari topik penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pengaruh germinasi pada kacang komak terhadap konsentrat protein yang dihasilkan. Karakteristik yang diukur diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan produk kaya protein berbasis kecambah yang berasal dari kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet).  

               


(4)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KACANG KOMAK

Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) dikenal juga dalam beberapa nama. Beberapa artikel dipublikasikan dalam beberapa dekade dengan nama Dolichos lablab L. Atau Lablab niger Medik. Menurut Skerman (1977), terdapat beberapa nama yang berbeda untuk kacang komak di beberapa negara yaitu Rongai dolichos, Lab-lab bean (Australia), poor man’s bean, Tonga bean (Inggris), lubia (Sudan), batao (Filipina), hyacinth bean (Brazil), frijol jacinto (Colombia), quiquaqua, caroata chwata (Venezuela), poroto de Egipto (Argentina), dolique lab-lab, dolique d’Egypte (Perancis), fiwi bean (Zambia), chicarros, frijol caballo (Puerto Rico), gallinita (Mexico), frijol de adorno (El Salvador), dan wal (India).

Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, Divisi Magnoliophyta, Klas Magnoliopsida, Ordo Fabales, Famili Fabaceae, Subfamili Faboideae, bangsa Phaseoleae, genus Lablab dan species L. purpureus.

Tanaman kacang komak dapat tumbuh pada temperatur hangat, subtropis dan wilayah hutan hujan yang berkisar antara 22oC sampai 35oC serta pada wilayah arid, semiarid, dan lembab (National Research Council, 1979). Skerman (1977) juga mendeskripsikan tanaman kacang komak memiliki panjang batang tegap 3-6 m, daun bercabang tiga (trifoliate), daun muda lebar berbentuk oval-belah ketupat dengan panjang 7.5-15 cm, bunga berwarna putih, biru, atau ungu. Panjang polong antara 4-5 cm, lunak, dan mengandung 2-4 biji. Kacang komak hanya dapat hidup di atas 2000 m di atas permukaan laut (dpl) dan sangat baik tumbuh pada curah hujan lebih dari 750 mm tetapi tidak lebih dari 2500 mm per tahun. Toleran terhadap tanah yang ekstrim, tumbuh pada kisaran pH dari 5.0 sampai 7.5. Tanaman kacang komak dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.


(5)

Gambar 1. Tanaman kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

Gambar 2. Polong dan biji kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

National Research Council (1979) melaporkan kacang komak kering mengandung 20-28 % protein kasar dan merupakan salah satu sumber terbaik untuk besi (155 mg/100 g daun, basis kering) seperti halnya yang disebutkan oleh Kay (1979) bahwa kandungan protein biji tua kacang komak secara normal berkisar antara 21-29%. Sama halnya dengan kedelai, kacang komak juga kaya akan asam amino esensial. Berdasarkan penelitian Chau, et al. (1998), kacang komak (Dolichos lablab) dapat menjadi sumber yang potensial bagi protein, asam amino essensial, serat pangan, dan pati. Namun, asam amino yang mengandung sulfur seperti methionin dan sistein menjadi asam amino pembatas dan berada di bawah standar FAO/WHO. Komposisi kimia kacang komak dapat dilihat pada Tabel 1 dan susunan asam amino esensial yang terkandung di dalam kacang komak pada Tabel 2.


(6)

Tabel 1. Komposisi kimia kacang komak (Lablab Purpureus (L.) Sweet) a

a

dihitung berdasarkan basis basah b

dihitung menggunakan by difference dari air, protein, lemak, dan abu Sumber : Subagio (2006)

Tabel 2. Susunan asam amino yang terkandung di dalam kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

Jenis Asam amino Jumlah

(mg/g N) Jenis Asam amino

Jumlah (mg/g N)

Isoleusin 256 Threonin 207

Leusin 436 Valin 294

Lisin 360 Arginin 393

Methionin 36 Histidin 186

Sistein 57 Alanin 266

Fenilalanin 299 Serin 323

Tirosin 197 Asam aspartat 727

Glisin 240

Asam glutamat 978 Prolin 288

Sumber : Kay (1979)

Komponen Jumlah

Air (%) 9.3 ± 0.5

Protein (%) 17.5 ± 1.5

Lemak (%) 1.1± 0.4

Abu (%) 3.6 ± 0.1

Karbohidrat (%)b 67.9 ± 4.2 HCN (mg/100g) 1.1 ± 0.1 Fitat (mg/g) 18.9 ± 0.2 Tripsin Inhibitor (TIU/mg) 0.15 ± 0.02


(7)

Pemanfaatan kacang komak sebagai bahan pangan telah digunakan di beberapa negara diantaranya pemanfaatan bijinya untuk dimasak dan dimakan secara langsung, diproses menjadi tofu atau difermentasi menjadi tempe. Kecambah yang dihasilkan mirip dengan kecambah kedelai dan bijinya cukup potensial dibuat konsentrat (National Research Council, 1979). Selain itu juga, masyarakat Amerika Serikat menggunakan kacang komak sebagai hiasan. Asia dan Afrika membudidayakan kacang komak sebagai tanaman pangan. Kacang komak merupakan penambat nitrogen yang sangat baik dan terkadang ditumbuhkan untuk melindungi hasil panen atau sebagai pakan ternak.  

B. PERKECAMBAHAN

Kecambah adalah biji-bijian yang mengalami perubahan fisik dan kimiawi yang disebabkan oleh proses metabolisme (Winarno, et al.,1980). Bewley dan Black (1983) menjelaskan ketika biji basah, air akan masuk, kemudian terjadi respirasi, sintesis protein, dan aktivitas metabolik lainnya dan setelah periode waktu tertentu embrio akan muncul dari biji ditandai dengan munculnya radikel atau hipokotil melalui permukaan biji. Kecambah muncul karena hipokotil (bagian kecambah di bawah buku kotiledon) yang memanjang sehingga mendorong kotiledon ke permukaan dan titik tumbuh mulai tumbuh. Perubahan biomassa biji dan persen germinasi kacang komak dibandingkan kedelai pada kondisi germinasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.

Germinasi dapat meningkatkan daya cerna nutrisi karena perkecambahan merupakan proses katabolis yang menyediakan zat gizi yang penting untuk pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisa dari zat gizi cadangan yang terdapat dalam biji. Secara umum, selama germinasi terjadi peningkatan zat-zat nutrisi terutama setelah munculnya buluh akar yaitu setelah 24-48 jam perkecambahan (Andarwulan dan Hariyadi, 2005).


(8)

Tabel 3. Perubahan biomassa dan persen germinasi kacang komak dan kedelai pada kondisi germinasi berbeda.

Sumber : Cabrejas, et al. (2008)

Selama proses perkecambahan, beberapa kandungan pati diubah menjadi bagian yang lebih kecil yaitu glukosa dan maltosa. Kandungan glukosa dan fruktosa meningkat sepuluh kali lipat, serta kandungan sukrosa meningkat dua kali dan galaktosa menghilang. Molekul protein dipecah menjadi asam-asam amino yaitu lisin 24%, threonin 19%, dan fenilalanin 7%. Lemak juga dihidrolisa menjadi asam-asam lemak yang lebih mudah dicerna. Beberapa mineral (Ca dan Fe) yang biasa terikat dilepaskan sehingga menjadi bentuk yang lebih bebas. Dengan demikian lebih mudah dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan (Winarno, 1980).

Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Osman (2007) bahwa perkecambahan pada kacang komak dapat meningkatkan kadar protein secara signifikan. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan Aw selama perkecambahan yang dapat mengaktifkan enzim hidrolitik. Selain itu juga, perkecambahan secara signifikan dapat menurunkan kadar karbohidrat dan aktivitas tripsin inhibitor. Perkecambahan juga dapat meningkatkan daya cerna protein secara in vitro. Hal ini terjadi karena hilangnya aktivitas enzim Jenis

kacang-kacangan

Kondisi germinasi

% peningkatan bobot segar biji

Pertumbuhan

radikel (cm) % germinasi

Kacang komak

Kontrol - - -

0-h-L 134 5.9 84

12-h-L 105 5.2 83

24-h-L 112 4.4 81

Kedelai

Kontrol - - -

0-h-L 109 4.6 96

12-h-L 110 4.4 96


(9)

inhibitor dan hidrolisis asam fitat. Kandungan gizi kacang komak yang mengalami perkecambahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Gizi kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) yang mengalami perkecambahan

Komponen Jumlah (% berat kering) Air 12.95 Protein 28.55 Lemak 1.19 Karbohidrat 66.40 Abu 3.83 Sumber : Osman (2007)

Menurut Sathe, et al. (1983), kecambah mempunyai kandungan vitamin lebih banyak dari bentuk bijinya. Jika dibandingkan dalam biji, kadar vitamin B meningkat 2.5 sampai 3 kali lebih besar, sedangkan vitamin C yang jumlahnya sangat sedikit pada biji kacang hijau kering, dalam bentuk kecambah meningkat menjadi 20 mg/100 g. Selain itu perkecambahan juga dapat menurunkan faktor antinutrisi seperti tripsin inhibitor.

Cabrejas, et al. (2008) juga menyebutkan bahwa germinasi merupakan proses yang efisien untuk mereduksi jumlah α-galaktosida. Kehilangan oligosakarida disebabkan selama germinasi terjadi peningkatan aktivitas enzim α-galaktosida yang dapat menghidrolisis ikatan α-glikosidik sehingga menyebabkan peningkatan jumlah total gula terlarut.

Kecambah banyak mengandung protein, kalsium, dan fosfor serta sedikit zat besi. Namun, kecambah miskin vitamin A. Demikian juga kandungan vitamin C-nya juga relatif sedikit. Untuk setiap 100 g bahan, kecambah kedelai mengandung energi sebesar 67 kalori, kecambah kacang hijau sebesar 23 kalori, dan kecambah kacang tunggak sebesar 35 kalori (Novary, 1999).


(10)

C. KONSENTRAT PROTEIN

Secara umum definisi dari konsentrat protein adalah produk yang memiliki kandungan protein sebesar 70 % (N x 6.25) dalam basis kering (Endres, 1989 di dalam Matthews (ed), 1989). Menurut Hanson (1974), konsentrat protein mengandung 60-70 % (bk) protein sedangkan isolat protein mempunyai kadar protein lebih dari 90 % (bk). Sementara itu Waggle dan Kolar (1979) memberikan definisi yang hampir sama, yaitu konsentrat protein memiliki kadar protein tidak boleh kurang dari 70 % (bk), sedangkan isolat protein memiliki kadar protein tidak boleh kurang dari 90 % (bk).

Menurut Endres (1989) diacu dalam Matthews (ed) (1989), prinsip pembuatan konsentrat adalah memindahkan komponen utama protein dan mengekstrak komponen nonprotein. Komponen yang terekstrak terdiri dari karbohidrat yang larut, rafinosa, stachyosa, garam, protein yang larut, dan komponen minor lainnya yang dapat larut. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

1. Ekstraksi dengan larutan asam dalam kisaran pH isoelektrik 4-5. Komponen protein dipisahkan dengan cara diendapkan pada titik isoelektriknya kemudian dipisahkan antara karbohidrat yang larut dengan protein. Residu protein dinetralisasikan pada pH 7.0 dan dikeringkan menggunakan spray drying.

2. Ekstraksi dengan menggunakan larutan alkohol. Dalam proses ini, 60-80 % alkohol digunakan untuk memisahkan komponen protein. Karbohidrat dapat larut dalam larutan alkohol. Fraksi protein secara kontinu dipindahkan, menguapkan alkohol kemudian dikeringkan.

3. Denaturasi protein. Dengan demikian protein akan terpisah dengan karbohidrat dan garam dengan cara mencucinya dengan air.

4. Ekstraksi menggunakan campuran dari pelarut organik

Konsentrat protein dapat ditambahkan dalam bahan pangan untuk meningkatkan penampilan, mengontrol, tekstur, atau viskositas, menurunkan


(11)

susut masak, meningkatkan umur simpan, meningkatkan sifat penanganan adonan dan kebutuhan nutrisi. Konsentrat kedelai sering digunakan sebagai pengikat dan pengkondisi pada sosis karena kemampuannya untuk mengikat air dan lemak (Pomeranz, 1991).

D. SIFAT FISIK DAN KIMIA KONSENRTAT PROTEIN a. Derajat warna dan derajat putih

Warna diukur secara umum menggunakan Hunter color meters dan dinyatakan sebagai nilai L, a, dan b. Nilai L adalah ukuran sejumlah cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan oleh objek (0 = hitam, 100 = putih). Nilai a adalah ukuran warna merah ketika positif dan hijau ketika minus. Nilai b adalah warna kuning ketika positif dan biru ketika minus. Derajat putih adalah atribut untuk menduga objek mendekati warna referensi yang lebih putih (Waggle, et al., 1989).

Menurut Waggle, et al. (1989), pada konsentrasi tetap, nilai L meningkat dengan penurunan kelarutan protein karena peningkatan kecerahan dipengaruhi oleh protein yang tidak larut. Jika ada dua sampel yang memiliki nilai b setara, sampel yang kurang larut akan tampak putih.

b. Densitas kamba (Bulk Density)

Ketika terjadi pencampuran, transportasi, penyimpanan, dan pengemasan bahan seperti kacang-kacangan dan tepung, sangat penting untuk mengetahui karakteristik kamba suatu bahan. Ketika sejumlah padatan dituang ke dalam kontainer, total volume yang ditempati mengandung sejumlah substansi udara (Lewis, 1996).

Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Cara lain dalam menyatakan densitas kamba adalah dalam bentuk bagian dari densitas


(12)

partikel solidnya yang dihubungkan teori densitas. Densitas partikel adalah suatu ukuran dengan memperhitungkan jumlah udara yang terperangkap di dalam masing-masing partikel (Wirakartakusumah, et al., 1992).

Bubuk digolongkan dalam 2 tingkat, yaitu bubuk sebagai partikel dan bubuk sebagai satu kesatuan (kamba). Sifat-sifat kamba dipengaruhi oleh sifat-sifat partikel, dimana hubungan keduanya tidak sederhana dan meliputi faktor-faktor eksternal, seperti sistem geometris, proses mekanis dan proses panas dari bubuk, sehingga untuk menentukan sifat-sifat bubuk dari partikel agak sulit (Wirakartakusumah, et al., 1992).

Menurut Winata (2001), densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, sifat bahan, komposisi bahan, dan mungkin pula dipengaruhi oleh degradasi molekul-molekul dalam bahan akibat adanya pengolahan. Jadi kenaikan densitas kamba disebabkan adanya degradasi molekul-molekul pati, protein, lemak, dan lain-lain saat diberi perlakuan pemasakan awal sehingga molekul-molekul tersebut menempati ruang yang lebih sempit.

c. Aktivitas Air (Aw)

Kerusakan bahan pangan pada umumnya merupakan kerusakan kimiawi, enzimatik, mikrobiologis atau kombinasi antara ketiga macam kerusakan tersebut. Semua jenis kerusakan ini memerlukan air selama prosesnya. Oleh karena itu banyaknya air dalam bahan pangan akan ikut menentukan kecepatan terjadinya kerusakan.

Menurut Winarno (1992) air terikat dapat dibagi ke dalam empat tipe berdasarkan derajat keterikatan airnya. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan


(13)

suatu bahan atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh.

Aktivitas air (Aw) adalah sejumlah air bebas di dalam media pertumbuhannya dan bahan pangan, dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air larutan dan tekanan uap air murni. Aktivitas air juga dapat diartikan sebagai sejumlah air bebas di dalam bahan pangan yang pada kondisi tertentu mikroba dapat tumbuh dan memungkinkan bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi (Fardiaz, et al., 1992).

Dengan meningkatnya aktivitas air, air menjadi lebih tersedia sebagai pelarut dan medium untuk reaksi, kecepatan enzimatik, dan degradasi mikrobiologi juga meningkat. Rata-rata batas terendah aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba adalah 0.91 (bakteri), 0.88 (khamir), 0.80 (kapang), 0.75 (bakteri halofilik), 0.65 (fungi xerofilik), dan 0.60 (khamir osmofilik). Meningkatnya ketersediaan air mempercepat pencoklatan enzimatik dan berkurangnya nilai nutrisi (Pomeranz, 1991).

d. Daya Cerna Protein

Menurut Muchtadi (1989), kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein. Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Gambar 3 memperlihatkan secara skematis mengenai penggunaan senyawa nitrogen dari protein makanan oleh tubuh.


(14)

Proses pencernaan

proses anabolik/katabolik

Gambar 3. Skema penggunaan nitrogen dari protein makanan

Oleh karena penentuan daya cerna protein dengan menggunakan hewan percobaan dianggap terlalu lama dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi, maka digunakan metode yang lebih praktis yaitu dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan secara in vitro. Beberapa macam enzim protease yang telah digunakan antara lain : pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut (multienzim).

E. SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT PROTEIN a. Daya serap air

Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air berinteraksi dengan protein dalam beberapa cara dan sejumlah signifikan air terikat oleh protein melalui ikatan hidrogen. Interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus hidrofilik polar seperti imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein (Zayas, 1997).

N dalam feses N yang dikonsumsi

N yang diserap

N yang terdapat dalam urin

N yang tertahan oleh tubuh


(15)

Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikat air yaitu : 1) asam amino polar dengan daya pengikatan air paling tinggi, 2) asam amino yang tidak mengion, mengikat sejumlah air dalam jumlah yang medium, 3) gugus hidrofobik yang hanya dapat mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar pada molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air (Zayas, 1997).

Pengikatan air dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme di bawah ini : kemampuan matriks protein untuk mengembang dan menyerap air tanpa terlarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein yang larut atau mengembang dan/atau pembentukan gel selama persiapan sampel (Waggle, et al., 1989).

Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh jaringan protein sambil melonggarkan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan dan fasilitas tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan menggantikan ikatan protein-protein dengan protein-air (Muchtadi, 1991).

b. Daya serap minyak

Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130% dari berat keringnya, lebih banyak jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi protein dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak dikarenakan terbukanya struktur protein sehingga memaparkan asam amino yang bersifat nonpolar.

Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi lipid-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi


(16)

protein-lipid adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan nonkovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas komplek protein-lipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul (Zayas, 1997).

Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih rendah dan mengikat banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting dalam produksi meat extenders dan replacer, dimana penyerapan lemak oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouth feel. Lemak diserap terutama melalui pemerangkapan secara fisik. Penyerapan lemak dapat ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan densitas kambanya (Pomeranz, 1991).

c. Daya emulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi (Muchtadi, 1991).

Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi. Kemampuan ini disebut kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna, et al. (1990), daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan pencampuran, jenis protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak (nonpolar) maupun air (polar).

Emulsifier mengandung dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar lebih dominan, maka


(17)

molekul emulsifier tersebut akan diadsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus nonpolar lebih dominan, maka molekul emulsifier akan lebih kuat diadsorpsi oleh minyak dibandingkan dengan air (Muchtadi, 1991).

Apabila emulsifier tersebut lebih terikat baik pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya adalah mentega dan margarin (Winarno, 1992).

d. Kekuatan gel

Pembentukan gel (gelasi) sangat penting untuk banyak pangan. Gel protein dapat digambarkan dalam tiga dimensi matriks atau jaringan, sebagian berhubungan dengan polipeptida dimana air terperangkap. Gelasi protein berarti transformasi protein dari bentuk sol menjadi ”gel like”. Transformasi ini difasilitasi oleh panas, enzim, atau kation divalen di bawah kondisi tertentu (Damodaran, 1996). Menurut Muchtadi (1991), gelasi merupakan hasil pemisahan protein oleh panas yang dengan pendinginan membentuk matriks yang terstrukstur sambil menjerat air.

Pomeranz (1991) menjelaskan secara umum gelasi membutuhkan sejumlah pemanasan protein yang menghasilkan modifikasi molekul protein atau denaturasi. Pembentukan gel protein terdenaturasi membutuhkan keseimbangan awal antara gaya tarik dan gaya tolak. Gelasi adalah dua tahapan proses yang meliputi denaturasi awal dari protein asal menjadi peptida yang tidak melipat kemudian secara bertahap membentuk matriks gel jika gaya tarik dan kondisi termodinamika sesuai.


(18)

Peningkatan suhu akan meningkatkan pembentukan gel yang baik dan kokoh. Selama pendinginan, penguraian peptida membentuk jaringan. Hubungan ini meliputi berbagai interaksi kovalen dan nonkovalen, ikatan disulfida, ikatan hidrogen, daya tarik ionik, hubungan hidrofobik, dan kombinasinya.

Ada dua macam jenis struktur gel yaitu thermoset (reversible) dan thermoplastik (irreversible). Di dalam gelasi thermoset, kondisi sol atau progel dapat ditunjukkan pada pemanasan yang umumnya diikuti dengan kenaikan kekentalan. Progel ini akan membentuk gel pada saat pendinginan. Jenis gel ini biasanya dapat mencair kembali dan dapat membentuk progel kembali pada pemanasan berikutnya. Sedangkan pada thermoplastik, gel akan menjadi lunak atau mengerut pada pemanasan berikutnya, tetapi di bawah kondisi praktis pencairan kembali atau perubahan kembali menjadi progel tidak terjadi (Fardiaz, et al., 1992). Secara jelas, skema pembentukan gelasi oleh panas digambarkan pada Gambar 4.

dingin Sol Progel gel panas

kelebihan panas metasol

Gambar 4. Skema induksi panas dalam pembentukan gelasi (Waggle, et al., 1989)

Kemampuan pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh komponen yang terdapat di dalam bahan pangan, terutama protein atau fraksi-fraksinya. Sathe dan Salunkhe (1981) menyebutkan bahwa pembentukan gel tidak hanya bergantung pada konsentrasi protein, tetapi juga dari tipe protein yang terdapat di dalam suatu bahan. Subarna, et al. (1990) juga menjelaskan bahwa daya pembentukan gel tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi antara protein dengan protein, melainkan juga interaksi antara protein dengan air.


(19)

e. Kapasitas dan stabilitas busa

    Busa suatu protein yaitu suatu struktur terdispersi yang mengandung cairan koloid yaitu larutan protein sebagai medium pendispersi dan udara atau gas sebagai fase terdispersi (Subarna, et al., 1990). Kapasitas busa protein berarti kemampuan protein untuk membentuk lapisan film tebal pada permukaan gas-cair sehingga sejumlah besar gelembung udara dapat bergabung dan terstabilkan. Sedangkan stabilitas busa berarti kemampuan protein untuk menstabilkan busa melawan gravitasi dan stres mekanis (Damodaran, 1996).

Pembentukan busa meliputi difusi larutan protein ke dalam fase antara udara-air. Suatu larutan protein dikatakan mempunyai stabilitas busa yang baik apabila larutan tersebut mampu mempertahankan daya busanya dalam waktu relatif lama (Subarna, et al., 1990). Kekuatan dan stabilitas busa secara umum meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein karena terjadi peningkatan viskositas dan mendorong pembentukan multilayer yaitu lapisan kohesif pada permukaan (Damodaran, 1996).

f. Protein dispersability index (PDI), dan nitrogen solubility index (PSI) NSI dan PDI merupakan ukuran kelarutan nitrogen dan

dispersabilitas protein dalam air. Keduanya merupakan ukuran fungsionalitas produk protein dan kegunaan atau kemampuannya dalam formulasi pangan (Wiedermann, 1986). Nilai NSI dan PDI digunakan sebagai alat uji yang cepat bagi sifat fungsional protein kedelai (Kinsella, 1979). Nilai NSI digunakan sebagai indikator pemandu sifat fungsional protein (Fukurawa dan Ohta, 1983). Tipe penggunaan tepung kedelai berdasarkan kisaran PDI nya dapat dilihat pada Tabel 5.

Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila larutan protein telah


(20)

mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap (Winarno, 1992). Selain itu juga, semakin besar ukuran molekul protein, maka semakin sulit molekul protein tersebut untuk larut (Subarna, et al., 1990)

Tabel 5. Tipe penggunaan tepung kedelai berdasarkan kisaran PDI nya

Tipe produk Penggunaan

PDI 90-95 Zat pemutih pada roti

PDI 70-80 Adonan bakery, donat, minuman,

hidrolisat protein sayuran, sereal untuk bayi

PDI 35-45 Farmasi, sereal untuk bayi, olahan daging, minuman, hidrolisat protein sayuran, bakery, pakan hewan peliharaan, pengganti susu hewan

PDI 8-20 Farmasi, sereal untuk bayi, olahan

daging, pakan hewan peliharaan, pengganti susu hewan

Sumber : Horan (1967) di dalam Pomeranz (1991)

F. ANTIOKSIDAN

Oksidatif stres terjadi ketika produksi molekul berbahaya yang disebut radikal bebas terjadi. Radikal bebas merupakan atom atau molekul aktif yang memiliki kelebihan atau kekurangan jumlah muatan elektron. Radikal bebas tersebut misalnya anion superoksida, radikal hidroksil, logam transisi seperti besi dan tembaga, asam nitrat, dan ozon (Oboh, 2006). Radikal bebas yang mengandung oksigen dikenal dengan nama reactive oxygen species (ROS).

Reactive oxygen species (ROS) seperti radikal superoksida (O2.), radikal hidroksil (OH.) dan radikal peroksil (ROO.) dapat terbentuk secara alami dalam proses metabolik. Kerusakan oksidatif disebabkan oleh adanya ROS pada lemak, protein dan asam nukleat yang dapat memicu terjadinya


(21)

berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit jantung koroner, atherosklerosis, dan kanker (Wong, et al., 2006). Senyawa yang dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi disebut antioksidan. Antioksidan dapat melawan terbentuknya ROS dengan tiga mekanisme yaitu dengan cara menangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam-logam prooksidan, dan berperan sebagai senyawa pereduksi.

Winarno (1992) mengklasifikasikan antioksidan menjadi 2 jenis yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Antioksidan alami yang tergolong primer adalah tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam askorbat. Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam (sequestran). Contoh dari antioksidan sekunder adalah asam sitrat dan EDTA.

Antioksidan penting dalam mencegah penyakit pada manusia. Komponen antioksidan memiliki fungsi sebagai penangkal radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam prooksidan, agen pereduksi dan menghentikan pembentukan singlet oxygen (Andlaues dan Furst, 1998 di dalam Rajeshwar, et al., 2005). Polifenol alami memiliki aktivitas antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas, mengkelat katalis logam, mengaktivasi enzim antioksidan, mereduksi α-tokoferol radikal, dan menghambat oksidase (Oboh, 2006).

               


(22)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT a. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) yang diperoleh dari daerah Probolinggo, Jawa Timur. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah heksana, HCl pekat, NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, akuades, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0.02 N, indikator merah metil serta metil biru, HCl 25% , HCl 6 N, HCl 0.01 N, NaOH 0.01 N, HNO3 pekat, NaOH 2 N, minyak jagung, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, larutan multienzim (tripsin, kimotripsin, dan pankreatin), buffer asetat 0.1 M (pH 5.50), radikal bebas DPPH 3mM dalam metanol, asam askorbat, metanol 80%, buffer Tris-HCl 100mM, buffer fosfat 0.2 M pH 6.60, kalium ferri sianida (K3Fe(CN)6) 1%, larutan trikloroasetat (TCA) 10%, larutan FeCl3 0.1%, HNO3 0.5 M, etanol 95 %, pereaksi Folin Ciocalteau 50% (v/v), Na2CO3 5 % (w/v), dan larutan standar asam galat.

b. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain wadah germinasi, ember, daun pisang, refrigerator, blender, pin disc mill, ayakan 60 mesh, kain saring, waterbath, kertas saring, sentrifus, oven pengering, oven vakum, desikator, pH meter, cawan porselen, cawan aluminium, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet mohr, neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml, alat destilasi, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, gelas piala, batu didih, gelas arloji, tanur, Chromameter CR-310 Minolta, Aw meter, whiteness meter, gelas ukur 100 ml, tabung reaksi, erlenmeyer 125 ml, batang gelas, magnetic stirer, ultratorax, tabung sentrifus, vortex, alumunium foil, shaker, botol gelap, tabung reaksi bertutup, alat spektrofotometer, dan hot plate.


(23)

B. METODE PENELITIAN

Gambar 5. Skema metode penelitian studi sifat fisikokimia, fungsional protein, dan kapasitas antioksidan pada konsentrat protein kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

• Total Colour • Derajat putih • Densitas

kamba

• Aw

• Daya cerna protein in vitro

Kacang komak

Kondisi germinasi terbaik yaitu waktu perendaman 12 jam dan

waktu germinasi 30 jam

Produksi kecambah dengan waktu perendaman 12 jam dan waktu germinasi 30 jam

Penepungan dengan pin disc mill ayakan 60 mesh

Pembuatan fraksi protein dan nonprotein tepung kecambah serta kontrol

Pengujian kapasitas antioksidan

• Uji DPPH • Kemampuan

mereduksi • Total fenol Pengujian

fisikokimia

Pembuatan konsentrat protein kecambah dan kontrol

Pengujian proksimat

Pengujian fungsional protein

• Kadar air • Kadar abu • Kadar protein • Kadar lemak • Kadar karbohidrat

• Daya serap air • Daya serap

minyak • Daya emulsi • Kekuatan gel • Kapasitas

busa

• Stabilitas busa • PDI & NSI • WAI & WSI


(24)

a. Penelitian pendahuluan

    Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu perendaman dan waktu germinasi terbaik untuk memproduksi kecambah kacang komak. Waktu perendaman yang diujikan adalah 12 jam dan 24 jam perendaman dengan air hangat (suhu 50oC). Sedangkan waktu germinasi yang diujikan adalah 24, 30, 36, dan 42 jam germinasi dalam wadah berlubang yang dilapisi daun pisang. Perlakuan yang menghasilkan rendemen terbanyak dan panjang kecambah yang terpanjang diambil sebagai waktu perendaman dan waktu germinasi untuk produksi kecambah kacang komak.

b. Penelitian utama

1. Pembuatan kecambah dan tepung kecambah kacang komak

Proses germinasi (perkecambahan) kacang komak dibuat dengan cara kacang komak yang telah disortasi, dicuci dengan air kemudian direndam dalam air hangat bersuhu 50oC (kacang komak:air = 1:3) pada suhu ruang (35oC) selama 12 jam. Setelah direndam, kacang komak ditiriskan dan ditempatkan dalam wadah (keranjang) berlubang yang dilapisi dengan daun pisang untuk menjaga kelembaban dan menghindari terjadinya genangan air dalam wadah. Kacang komak kemudian digerminasi selama 30 jam dalam wadah tersebut dan disemprot dengan air dua kali sehari untuk menjaga kelembaban. Kecambah kacang komak yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 50oC selama 24 jam. Kemudian kecambah kering digiling menggunakan pin disc mill menggunakan ayakan ukuran 60 mesh. Prosedur pembuatan tepung kecambah kacang komak dapat dilihat pada Gambar 6.


(25)

Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

Disortasi

Direndam dengan air hangat 50oC (1:3) selama 12 jam

Ditiriskan kemudian ditempatkan di keranjang berlubang yang dilapisi daun pisang

Ditutup rapat kembali dengan daun pisang

Dikecambahkan selama 30 jam, disemprot 2x sehari

Kecambah kacang komak

Dikeringkan di oven pengering suhu 50oC selama 24 jam

Digiling dengan pin disc mill ayakan 60 mesh

Tepung Kecambah Kacang Komak

Gambar 6. Prosedur pembuatan tepung kecambah kacang komak 2. Pembuatan konsentrat protein tepung kecambah kacang komak

Konsentrat protein kecambah kacang komak dapat dibuat dengan cara tepung kecambah dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1:6-8. Kemudian larutan tersebut diatur pH-nya hingga pH 9.0 menggunakan NaOH 1 N. Larutan dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50-51oC selama 1 jam. Biarkan mengendap, kemudian filtrat yang telah terpisah dari endapan diambil. Selanjutnya filtrat diendapkan kembali pada suhu refrigerator selama 1 malam. Filtrat yang telah terpisah kemudian diambil kembali dan diendapkan pada pH isoelektrik yaitu pH 4.5


(26)

menggunakan HCl pekat kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm. Endapan yang terbentuk dikeringkan dengan oven vakum 45oC selama 24 jam. Konsentrat kering lalu dihaluskan dengan blender kering dan disimpan di dalam refrigerator untuk analisis selanjutnya.

Ditambah air (1:6-8)

Ditambah NaOH 1 N hingga pH 9.0

Dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50-51oC

selama 1 jam

Dibiarkan mengendap

Diambil filtrat, diendapkan pada suhu refrigerator

selama 1 malam

Diambil filtrat, diendapkan pada pH isoelektrik (4.5) dengan HCl pekat

Disentrifus kecepatan 4000 rpm, 25 menit, ambil endapan

Dikeringkan dengan oven vakum suhu 45oC selama 24 jam hingga kering

Dihaluskan dengan blender kering

Gambar 7. Pembuatan konsentrat protein kecambah kacang komak Konsentrat Protein Kecambah Kacang Komak


(27)

3. Pembuatan fraksi protein dan non protein tepung kecambah kacang komak

Ditambah 1 liter akuades (1:10) bersuhu 60 oC

Ekstraksi alkalik pada pH 8.5 – 8.7 dengan NaOH 2N pada suhu 60 oC selama 30 menit

Disentrifugasi 2000 rpm selama 15 menit

Residu Supernatan fraksi protein (fraksi nonprotein)

Ekstraksi asidik pada pH 4.5 dengan penambahan HCl 2N

Disentrifus 2000 rpm selama15 menit

Supernatan Residu

Dikeringkan pada 50oC selama 12 jam

Penepungan lolos 60 mesh

Gambar 8. Pembuatan fraksi protein dan nonprotein tepung kecambah kacang komak (Suwarno, 2003)

Fraksi Protein Tepung Kecambah Kacang Komak


(28)

4. Analisis proksimat

4.1. Kadar air (Apriyantono, et al., 1989)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven 105oCselama 15 menit, dinginkan dalam desikator 10 menit kemudian timbang (a gram). Timbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan (x gram). Keringkan dalam oven 105oC selama 6 jam atau hingga diperoleh berat tetap (≤0.0005 g). Setelah dingin, timbang kembali (y gram).

Kadar air (% bb) = x - y × 100 x - a

Kadar air (% bk) = x – y × 100 y - a

4.2. Kadar abu (Apriyantono, et al., 1989)

Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven 105oC selama 15 menit , lalu dinginkan dalam desikator selama 5 menit, kemudian timbang (a gram). Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dalam cawan kering. Keringkan dalam tanur hingga beratnya tetap. Kemudian dinginkan dalam desikator dan timbang (b gram).

Kadar abu (% bb) = b - a × 100 Berat sampel

Kadar abu (% bk) = kadar abu (bb) × 100 (100-kadar air (bb))

4.3. Kadar protein (metode Kjeldahl)

Sebanyak 100-250 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2 ± 0.1 ml H2SO4. Setelah itu sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air destilata.


(29)

Lalu isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan 60 % NaOH-5 % Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakkan erlemeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator metilen red-metilen blue. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Setelah itu, destilat diencerkan sampai ± 50 ml. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai warna sampel berubah menjadi abu-abu.

Kandungan nitrogen yang diperoleh dikonversi menjadi kandungan protein menggunakan faktor konversi 6.25.

%N = (ml sampel-ml blanko) × N HCl × 14.007 × 100 Berat sampel basis kering (mg)

Kadar protein (% bb) = % N x 6.25

Kadar protein (% bk) = kadar protein (bb) × 100 (100-kadar air (bb))

4.4. Kadar lemak (Apriyantono, et al., 1989)

Labu lemak dikeringkan dalam oven, dinginkan dalam desikator dan timbang (x gram). Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dalam kertas saring kemudian letakkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondenser dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituang ke labu lemak dan lakukan refluks selama minimal 5 jam. Setelah ekstraksi selesai, pelarut dikeluarkan dari labu lemak. Labu lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven 105oC, kemudian dinginkan dan timbang (y gram).

Kadar lemak (% bb) = y - x × 100 Berat sampel


(30)

Kadar lemak (% bk) = kadar lemak (bb) × 100

(100-kadar air (bb))

4.5. Kadar karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (% bb) = 100 % - (kadar air (%bb) + kadar abu (%bb) + kadar protein (%bb) + kadar lemak %bb))

Kadar karbohidrat (% bk) = 100 % - (kadar air (%bk) + kadar abu (%bk) + kadar protein (%bk) + kadar lemak %bk))

5. Analisis sifat fisikokimia

5.1. Derajat warna dengan Chromameter CR-310 Minolta (modifikasi Hutching, 1999)

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 – 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 – (-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 – 70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 – (-70) untuk warna biru.

5.2. Derajat putih (Whiteness)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan whiteness meter. Pastikan filter warna biru terpasang dan masukkan plat kalibrasi ke dalam cawan contoh, kemudian masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran. Tombol ON dinyalakan, LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi. Untuk pengukuran contoh, tempatkan contoh ke dalam cawan contoh


(31)

kemudian tempatkan ke dalam wadah contoh. Masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran. LED akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urut pengukuran. Nilai derajat putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8.

Nilai derajat putih contoh = Nilai derajat putih × 100% Nilai derajat putih BaSO

4

5.3. Densitas kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Gelas ukur 10 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukan ke dalamnya sampai volumenya mencapai 10 ml. Pengisian diusahakan tepat tanda tera dan tidak dipadatkan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat sampel menyatakan berat sampel per-10 ml. Densitas kamba (Bulk Density) dinyatakan dalam g/ml atau g/cm3.

Densitas kamba (g/cm3) = a – b 10

Keterangan : a = berat gelas ukur berisi sampel 10 ml (g) b = berat gelas ukur kosong (g)

5.4. Aktivitas air (Aw)

Pengukuran aktivitas air (Aw) dilakukan dengan menggunakan alat Aw meter “Shibaura Aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memilki Aw 0.7547; 0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20.25 dan 29oC dengan cara memasukan NaCl jenuh tersebut dalam wadah Aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar. Bila Aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran Aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah Aw meter. Nilai Aw


(32)

dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.

5.5. Daya cerna protein in vitro (metode Hsu, et al., 1977 yang dimodifikasi di dalam Muchtadi, 1989)

Sebanyak 1.5 gram konsentrat ditambahkan 30 ml akuades pH 8.0 yang telah ditepatkan dengan NaOH. Larutan divorteks kemudian sebanyak 10 ml suspensi dipipet secara homogen dan sisa campuran diukur pH nya. Larutan enzim protease (1,6 mg tripsin + 3.1 mg kimotripsin + 4 mg pankreatin per ml akuades pH 8.0) 1 ml ditambahkan sambil dicatat waktu penambahan. Larutan diinkubasi 37oC selama 15 menit. Ambil 2 ml larutan secara homogen dan sisa campuran diukur pH nya sesegera mungkin lalu hitung selisih pH nya. Tambahkan 2 ml akuades dan 4 ml TCA 0.1 M. Larutan divorteks lalu disentrifus 3800 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil 1.5 ml kemudian ditambahkan 5 ml Na2CO3 0.4 M dan 1 ml pereaksi Folin. Larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu 37oC. Absorbansi dibaca pada 578 nm. Blanko yang digunakan adalah akuades dan kasein sebagai kontrol.

DC relatif = A sampel × 100 % A kontrol

6. Analisis sifat fungsional protein

6.1. Daya serap air (Lin et al., 1974 di dalam Widowati, dkk, 1998) Sebanyak 0.5 gram sampel ditambah 5 ml air destilata dalam tabung reaksi, diaduk dengan vorteks selama 2 menit. Campuran didiamkan 1 jam pada suhu kamar, disentrifus pada 3000 rpm selama 25 menit. Filtrat dibuang secara hati-hati dan sampel basah diletakkan terbalik dalam oven 450C selama 30 menit lalu ditimbang. Perbedaan antara bobot basah dan bobot awal adalah air yang terserap untuk setiap gram sampel.


(33)

Daya serap air (%) = berat air terserap × 100%

berat protein

6.2. Daya serap minyak (Widowati, 1998)

Sebanyak 0.5 gram konsentrat protein ditambah 3 ml minyak jagung. Campuran divorteks selama 2 menit. Lalu didiamkan pada suhu kamar dan disentrifus 3000 rpm selama 25 menit. Volume minyak bebas dapat dibaca.

Daya serap minyak (%) = Volume minyak terserap × 100%

berat protein

6.3. Daya emulsi (Franzen dan Kinsella, 1976)

Sampel sebanyak 2 gram ditambah 100 ml air, diatur pH 8. Sampel diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Sebanyak 25 ml sampel ditambah 25 ml minyak jagung. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Volume emulsi diukur.

Aktivitas emulsi (%) = volume campuran teremulsi × 100%

volume total campuran

6.4. Kekuatan gel (Schmidt, 1981 di dalam Widowati, dkk, 1998) Konsentrat protein sebanyak 0.75, 1.00, 1.25, dan 1,50 gram dilarutkan dalam 10 ml akuades sehingga diperoleh konsentrasi larutan 7.5, 10, 12.5, dan 15 %. Larutan ditepatkan pH 8.0 menggunakan NaOH 2 N. Larutan tersebut dipipet sebanyak 3.0 ml ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 1000C selama 15 menit. Tabung dikeluarkan dan disimpan pada suhu 40C selama 2 jam. Kekuatan gel diukur secara kualitatif.


(34)

Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah 0 = tidak berbentuk gel

1 = gel sangat lemah, yaitu bila dimiringkan gel jatuh 2 = bila tabung dibalik vertikal gel tidak jatuh

3 = bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali, gel tidak jatuh

4 = bila tabung dihentak berkali-kali, gel tidak jatuh

6.5. Penentuan kapasitas dan stabilitas busa (Widowati, 1998) Stabilitas buih merupakan perbandingan antara volume buih setelah satu jam dengan volume buih setelah 30 detik. Konsentrat sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 100 ml akuades dan diaduk dengan magnetic stirrer. Larutan diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan NaOH 2 N. Volume awal dicatat. Kemudian diblender selama 2 menit. Volume buih setelah 30 detik dan setelah 1 jam diukur.

Kapasitas busa (%) = volume busa setelah 30 detik ×100% volume awal

Stabilitas busa (%) = volume busa setelah 1 jam ×100%

volume busa setelah 30 detik

6.6. Protein Dispersibility Index (PDI) (AOCS, 1970)

Sebanyak 4 g sampel dilarutkan dalam 60 ml akuades sambil diaduk dengan batang gelas. Bila sampel sudah larut, batang gelas dibilas dengan sisa akuades. Larutan tersebut kemudian ditepatkan pHnya hingga 8.0 dengan larutan NaOH 2 N. Larutan diaduk dengan magnetic stirer pada skala 7 selama 5 menit. Sebanyak 50 ml larutan dipipet ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 2700 rpm selama 10 menit. Filtrat yang diperoleh dipipet sebanyak 2 ml untuk dianalisis dengan metode Kjeldahl.


(35)

PDI (%) = % protein terdispersi ×100% %protein total

6.7. Nitrogen Solubility Index (NSI)

Sebanyak 2 g sampel dilarutkan dalam 40 ml akuades sambil diaduk dengan batang gelas. Bila sampel sudah larut, batang gelas dibilas dengan sisa akuades. Larutan tersebut kemudian ditepatkan pHnya hingga 8.0 dengan larutan NaOH 2 N. Larutan tersebut kemudian diaduk dengan magnetic stirer dengan skala 4 selama 45 menit. Seluruh larutan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Filtrat yang diperoleh kemudian dipipet sebanyak 1 ml untuk dianalisis dengan metode Kjeldahl.

NSI (%) = % nitrogen terlarut ×100% %nitrogen total

6.8. Water Absorption Index (WAI) dan Water Solubility Index (WSI) (AOAC, 1980)

Tiap sampel konsentrat (0.5 gram) dicampur dengan 5 ml akuades dalam tabung sentrifus. Larutan tersebut divorteks selama 1 menit kemudian didiamkan selama 15 menit. Larutan disentifugasi pada 2000 rpm selama 15 menit. Supernatan dituang ke dalam wadah lain. Sebanyak 2 ml supernatan dituangkan ke dalam cawan evaporasi kemudian dikeringkan di oven 105oC selama 1 jam. Cawan yang telah didinginkan lalu ditimbang. Sedangkan residu yang tersisa dalam tabung dipanaskan di oven 50oC selama 25 menit, lalu timbang setelah dingin. WAI dihitung dari berat gel yang terbentuk dan dinyatakan dalam gram solid/gram solid awal, sedangkan WSI dihitung dari berat solid kering yang terbentuk dari evaporasi supernatan pada suhu 105oC selama 1 jam.


(36)

WSI = berat bahan terlarut dalam 2 ml 2 ml larutan

WAI = berat bahan terserap Berat awal-berat bahan terlarut

7. Analisis kapasitas antioksidan

7.1. Uji DPPH (Kubo et al., 2002 di dalam Radianti, 2005)

Buffer asetat 0.1 M 4 ml (pH 5.50), 7.5 ml metanol, dan 400 µl radikal bebas DPPH 3mM dalam metanol dimasukkan dalam tabung reaksi. Larutan kemudian divorteks. Sebanyak 100 µl larutan sampel ditambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut dan diinkubasi 25oC selama 20 menit. Absorbansi larutan tersebut dibaca pada panjang gelombang 517 nm. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan menggunakan asam askorbat 1000 ppm sehingga satuannya dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity).

Kapasitas antioksidan (%) = (A kontrol negatif – A sampel) × 100%

A kontrol negatif

7.2. Uji Aktivitas Kemampuan Mereduksi dengan Metode Baku (Oyaizu, 1986 di dalam Kardono dan Dewi, 1998)

Ekstrak sampel (10-1000 g) dalam 1 ml air suling dicampur dengan 2.5 ml buffer fosfat 0.2 M, pH 6.60 dan 2.5 ml kalium ferri sianida (K3Fe(CN)6) 1%. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 50 oC selama 20 menit. Ke dalam campuran kemudian ditambahkan 2.5 ml larutan trikloroasetat (TCA) 10%. Larutan tersebut disentrifus dengan kecepatan 300 rpm selama 10 menit. Lapisan atas larutan hasil sentrifus diambil sebanyak 2.5 ml dan ditambahkan dengan 2.5 ml air suling dan 0.5 ml larutan FeCl3 0.1%. Absorbansi larutan tersebut kemudian diukur pada panjang gelombang 700 nm.


(37)

Peningkatan absorbansi menunjukkan kekuatan mereduksi yang tinggi.

7.3. Total fenol dengan metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty, et al., 1995 di dalam Radianty, 2005) Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung

reaksi yang bersih dan ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 5 ml akuades. Larutan kemudian divorteks. Tambahkan pada masing-masing sampel 5 ml reagen Folin Ciocalteu 50 % (v/v) lalu vorteks. Setelah 5 menit, 1 ml Na2CO3 5 % (w/v) ditambahkan dan diencerkan kembali dengan air bebas ion (jika terlalu pekat). Setelah itu divorteks dan disimpan pada ruangan gelap selama 60 menit. Sampel divorteks dan absorbansinya diukur pada 725 nm.

Sebagai standar digunakan asam galat. Pembuatan standar asam galat yaitu dengan cara membuat larutan induk 250 ppm. Penentuan kurva standar dilakukan sama dengan penentuan sampel. Perhitungan total fenol sampel berdasarkan hasil ploting nilai absorbansi pada kurva standar.

8. Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13 dengan pengujian paired sample t-test kecuali untuk parameter kekuatan gel digunakan uji non parametric two-related samples pada selang kepercayaan 95%.

           


(38)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan waktu perendaman dan waktu germinasi terbaik untuk memproduksi sampel. Hal ini penting untuk mencegah kegagalan dalam jumlah yang cukup besar. Waktu perendaman dan waktu germinasi yang tidak sesuai akan mengakibatkan kecambah menjadi tidak dapat tumbuh atau bahkan dapat menjadi busuk.

Waktu perendaman penting untuk diketahui karena lamanya waktu perendaman akan menentukan seberapa banyak air yang dapat masuk ke dalam biji (imbibisi) sehingga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan yang dibutuhkan dalam proses germinasi. Imbibisi air ini sangat penting karena digunakan untuk rehidrasi biji yang menjadi tahap awal dalam proses germinasi (Bewley dan Black, 1983). Kacang komak memiliki kulit biji yang cukup tebal yaitu sekitar 0.1 ± 0.01 mm sehingga diperlukan perlakuan khusus agar air dapat lebih mudah untuk masuk ke dalam biji. Salah satu perlakuannya adalah dengan penggunaan air bersuhu 50oC sebagai media perendaman.

Air bersuhu 50oC digunakan untuk mempersingkat waktu perendaman karena peningkatan suhu air rendaman dapat meningkatkan kecepatan imbibisi air ke dalam biji. Kelemahan dari penggunaan air bersuhu lebih tinggi adalah dapat melarutkan beberapa vitamin dan mineral yang larut air bersama oligosakarida, fitat, dan tanin. Akan tetapi pada air bersuhu 50oC, kehilangan total padatan, komponen N, total gula, oligosakarida, Ca, Mg, dan tiga vitamin larut air (thiamin, riboflavin, dan niasin) hilang dalam jumlah sedikit. Ketika suhu meningkat menjadi 60oC, kehilangan nutrisi akan meningkat tajam (Salunkhe, et al., 1985).

Waktu perendaman yang diukur adalah 12 jam dan 24 jam sedangkan waktu germinasi masing-masing waktu perendaman adalah 24, 30, 36, dan 42 jam. Waktu perendaman ini dipilih berdasarkan pada proses pembuatan kecambah secara umum yaitu biji direndam selama 12-24 jam


(39)

dan dig Tiap p kacang perend Lampi yang m Pengam energi pengam sekitar dan Bl kompo karboh rendah pada G Gamb rata ke 1977). germinasi pa perlakuan wa g komak daman dan iran 1. Proses perk mengakibatk

mbilan air d kinetik akib matan, penin r 156-187 %

lack (1983), onen sel te hidrat pada o h. Persentase Gambar 9.

bar 9. Grafi terhad

Kacang ko ecepatan ger Epigeal yai

ada ruang ge aktu perend sebagai sa waktu ger kecambahan kan jaringan diikuti denga bat diambiln ngkatan ber % terhadap b

, setelah im erjadi, beber

organ penyim e peningkata

ik persentas dap berat ke

omak memil rminasi 85-9 itu jika koti

elap selama 2 aman dan w ampel. Hasi rminasi kac

n dimulai den biji mengem an keluarnya nya energi a rat kacang k berat kering mbibisi awal

rapa matrik mpanan dihi an berat biji

e peningkat ring biji kac

iki tipe germ 5% (Kay, 19 iledon terang

24-48 jam (S waktu germin il pengama cang komak

ngan pengam mbang dan m a panas yang air (Taylorso komak sete kacang kom dan hidrasi ks seperti c drolisis men i setelah per

tan berat bij cang komak

minasi epige 979) atau m gkat ke atas

Salunkhe, et nasi digunak atan terhad k dapat di

mbilan air de merentangny g mencirikan on, 1984). B lah perenda mak. Menur pada dindi cadangan pr njadi moleku rendaman da

ji setelah p

eal dan mem minimal 75%

s tanah. Besa

t al., 1985). kan 40 biji dap waktu

lihat pada

engan cepat a kulit biji. n hilangnya Berdasarkan aman yaitu

rut Bewley ng sel dan rotein dan ul berbobot apat dilihat erendaman miliki rata-(Skerman, arnya daya


(40)

pertum dan Bl paling germin sedang germin Perlaku

yang d Cabrej persen perend untuk pada w pada G Gamb 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 % k

ecambah yang tum

buh

wa mbuhan dari

lack, 1983). besar terdap nasi 30 jam gkan paling k nasi 24 jam

uan germina Panjang rad dihasilkan le

as, et al (20 ntase germin daman 12 jam

produksi sa waktu peren Gambar 10.

bar 10. Perse perend 0 0 0 0 0 0 0 0 24 50.00 57.5 ktu rendam hipokotil m Persentase j pat pada per m yaitu 67.5%

kecil terjadi m yaitu 50%

asi 36 dan 42 dikel dan pe ebih kecil d 007) yaitu p nasi antara

m dan waktu ampel. Perse ndaman dan

entase kecam daman dan w

30 67.50 0 60. Waktu ger 12 jam menyebabka jumlah keca rlakuan pere % dengan p

pada perlaku % dengan pa 2 jam mengh ersentase jum dibandingkan anjang radik 81-84%. O u germinasi entase kecam waktu germ mbah kacang waktu germin 36 52.50 .00 55.0 rminasi (jam waktu rend an pola pert mbah kacan endaman sela panjang radi uan perenda anjang radik hasilkan keca mlah kecamb n yang diha kel berkisar Oleh karena 30 jam diam mbah kacang minasi yang

g komak yan nasi yang be

42 65.00

00 55.

m)

am 24 jam tumbuhan in ng komak ya

ama 12 jam ikel rata-rat aman 12 jam kel rata-rata

ambah yang bah yang dap asilkan pada

antara 4.4-5 a itulah ma mbil sebagai g komak yan

berbeda dip

ng tumbuh p erbeda

00

ni (Bewley ang tumbuh

dan waktu ta 2.66 cm m dan waktu

a 2.24 cm. g berakar.

pat tumbuh a penelitian

5.9 cm dan aka waktu i perlakuan

ng tumbuh perlihatkan


(41)

J. PEMBUATAN KECAMBAH DAN TEPUNG KECAMBAH KACANG KOMAK

Kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) dibuat dengan cara merendam kacang komak yang telah disortir berdasarkan keadaan fisik yaitu yang tidak berlubang, rusak, dan patah. Perendaman dilakukan dalam air bersuhu 50oC selama 12 jam yaitu sesuai dengan penelitian pendahuluan sebelumnya. Air bersuhu 50oC ini akan mempercepat imbibisi air ke dalam biji karena terjadi pelunakan kulit biji kacang komak yang tebal. Perbandingan antara kacang komak dengan air adalah 1:3 mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Cabrejas, et al. (2007). Perendaman selama 12 jam akan melarutkan senyawa-senyawa antinutrisi yang bersifat toksik seperti tripsin inhibitor, hemaglutinin, alkaloid, dan saponin sehingga menghasilkan air rendaman yang berbusa.

Kacang komak yang telah direndam kemudian ditiriskan dan ditempatkan dalam wadah berlubang yang telah dilapisi dengan daun pisang. Penggunaan wadah berlubang dikarenakan untuk mencegah genangan air dalam wadah sehingga biji tidak mudah menjadi busuk. Daun pisang merupakan media yang cukup baik dalam menjaga kelembaban di dalam wadah. Penggunaan daun pisang sebagai media germinasi telah dilakukan pada pembuatan kecambah secara tradisional selain dari penggunaan kain saring dan kain lap basah. Kacang komak tersebut lalu digerminasi selama 30 jam dalam ruang gelap bersuhu ruang (35oC). Kecambah kacang komak yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet dengan waktu perendaman 12 jam dan waktu germinasi 30 jam.


(42)

Setelah penyimpanan dalam ruang gelap selama 30 jam, sesegera mungkin dilakukan pengeringan untuk mencegah tumbuhnya mikroba seperti kapang karena kadar air dan aktivitas air dalam biji sangat tinggi akibat proses perendaman. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 50oC selama 24 jam. Kecambah yang telah kering kemudian digiling menggunakan pin disc mill dengan ayakan 60 mesh untuk menyeragamkan ukuran. Tepung kecambah kacang komak dan tepung kontrol yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Tepung kecambah kacang komak (kiri) dan tepung kontrol (kanan) yang dihasilkan

K. PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN KECAMBAH KACANG

KOMAK

Konsentrat protein adalah hasil olah atau hasil ekstraksi dari suatu bahan organik sehingga kadar proteinnya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan pada bahan asalnya (Muchtadi, 1991). Menurut Siegel dan Fawcett (1976), penamaan konsentrat protein kacang-kacangan diberikan pada produk tinggi protein yang dipersiapkan dengan metode presipitasi protein pada kacang-kacangan. Konsentrat protein dibuat berdasarkan metode ekstraksi dan presipitasi protein pada titik isoelektriknya.

Tepung kecambah yang dihasilkan sebelumnya dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:6-8 kemudian diatur pHnya menjadi 9 dengan NaOH 1 N. Menurut Cheftel et al. (1985), pemilihan suasana basa sebagai pH selama ekstraksi berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, muatan sejenis cenderung untuk tolak-menolak. Hal ini


(43)

menyebabkan minimumnya interaksi antara residu-residu asam amino yang berarti kelarutan protein akan meningkat. Perlakuan pemanasan 50-51oC selama 1 jam akan meningkatkan kelarutan protein karena kelarutan protein dipengaruhi oleh suhu dan meningkat kelarutannya pada suhu antara 40-50oC (Zayas, 1997).

Pengendapan terjadi karena adanya pemisahan antara komponen protein larut dan komponen nonprotein yang tidak larut. Filtrat kemudian dipisahkan dengan endapannya melalui penyaringan sehingga didapatkan filtrat yang hanya mengandung protein yang larut. Pengendapan filtrat dilakukan pada pH 4.5 yang merupakan titik isoelektrik kacang komak (Subagio, 2006). Pada titik isoelektrik ini, jumlah muatan protein adalah nol, gaya tarik menarik menjadi dominan dan molekul-molekul mulai berasosiasi yang ditandai dengan ketidaklarutan (Zayas, 1997). Kelarutan globulin juga mendekati minimum pada pH 4.5 (Siegel dan Fawcett, 1976).

Protein yang mengendap pada titik isoelektrik tersebut kemudian dipisahkan dengan disentrifus pada kecepatan 4000 rpm. Komponen protein dan nonprotein yang larut akan terpisah dan berada di dalam supernatan sedangkan protein yang tidak larut akan berada di dalam endapan. Endapan ini kemudian dipisahkan dan ditempatkan dalam wadah loyang. Kemudian endapan dikeringkan menggunakan oven vakum bersuhu 45oC selama 24 jam. Konsentrat protein yang telah kering kemudian diblender kering untuk memperkecil dan menyeragamkan ukurannya. Konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol diperlihatkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Konsentrat protein kecambah kacang komak (kiri) dan konsentrat protein kontrol (kanan) yang dihasilkan


(44)

L. PEMBUATAN FRAKSI PROTEIN DAN NONPROTEIN KECAMBAH KACANG KOMAK

Pembuatan fraksi protein dan nonprotein dari kecambah kacang komak memiliki kesamaan prinsip pembuatan dengan konsentrat protein kecambah kacang komak. Akan tetapi komponen protein yang dihasilkannya lebih murni dibandingkan pengkonsentratan protein biasa. Proses pembuatannya berdasarkan prinsip ekstraksi dan presipitasi protein (Suwarno, 2003).

Tepung kecambah kacang komak dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:10 (tepung kecambah:akuades) bersuhu 60oC. Kemudian diekstraksi alkalik pada pH 8.5 – 8.7 dengan NaOH 2N pada suhu 60 oC selama 30 menit. Ekstraksi alkalik pada suhu 60oC ini berfungsi untuk melarutkan protein seperti halnya pada pembuatan konsentrat. Larutan kemudian disentrifus 2000 rpm untuk memisahkan komponen protein yang larut dengan komponen nonprotein yang tidak larut. Komponen yang tidak larut dan mengendap sebagai residu tersebut ialah fraksi nonprotein.

Setelah pemisahan antara residu (fraksi nonprotein) dengan supernatan, residu dikeringkan dalam oven pengering 50oC selama 12 jam sedangkan supernatannya diolah untuk proses ekstraksi selanjutnya. Supernatan yang terpisah ini mengandung fraksi protein. Untuk mengendapkan proteinnya, dilakukan ekstraksi asidik pada pH 4.5 dengan penambahan HCl 2N. Pada pH 4.5, protein kecambah kacang komak mengendap karena pada pH isoelektrik (pI) muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga bermuatan nol (Winarno, 1992) sehingga gaya tarik-menarik akan dominan dan protein menjadi tidak larut.

Proses sentrifus akan memisahkan komponen protein yang tidak larut (residu) dengan komponen nonprotein yang larut (supernatan). Fraksi protein adalah komponen protein yang tidak larut. Residu fraksi protein ini kemudian dikeringkan dalam oven pengering bersuhu 50oC selama 12 jam. Kedua fraksi yang telah kering kemudian diblender kering dan disimpan dalam refrigerator untuk analisis kapasitas antioksidan.


(45)

M. ANALISIS PROKSIMAT

Tabel 6. Komposisi kimia konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol (Lablab purpureus (L.) Sweet) x

Komponen

Jenis konsentrat protein

Kontrol Kecambah Air (%) 12.98 ± 0.28b 11.68 ± 0.44a

Abu (%) 3.89 ± 0.00b 3.57 ± 0.30a

Protein (%) 72.28 ± 0.92b 47.71 ± 12.48a Lemak ( %) 1.51 ± 0.63a 1.56 ± 0.49a Karbohidrat (%) y 9.33 ± 1.64b 35.48 ± 12.93a

x

dihitung berdasarkan basis kering y

dihitung menggunakan by difference dari air, abu, protein, dan lemak a, b

angka dengan huruf yang berbeda dalam tiap baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada signifikansi 5% dengan paired sample t-test

a. Kadar air

Kadar air suatu bahan pangan sangat mempengaruhi terhadap daya simpannya. Kadar air juga mempengaruhi kualitas suatu bahan pangan. Jika kadar air bahan terlalu tinggi, maka bahan tersebut akan rentan terserang kerusakan baik secara fisik, kimia, maupun mikroorganisme.

Kadar air dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6. dan Lampiran 2. Berdasarkan pengukuran terhadap kadar air, diketahui bahwa kadar air konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 11.68 ± 0.44% dan 12.98 ± 0.28% dalam basis kering.

Kadar air yang lebih rendah pada konsentrat protein kecambah kacang komak karena proses perendaman dalam perkecambahan mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding sel sehingga difusi


(46)

air lebih mudah dan komponen terlarut keluar dari bahan (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Winata (2001) juga menyebutkan pembengkakan granula yang irreversible cenderung memiliki rongga antar sel yang lebih besar sehingga selama pengeringan, air yang dikandung lebih mudah terlepas.

Berdasarkan teori yang ada, seharusnya peningkatan kadar air berkorelasi dengan kenaikan aktivitas air ataupun daya serap air. Hal ini terkait pada kemampuan gugus hidrofil pada permukaan untuk mengikat air bebas. Ketidakterkaitan antara kadar air, Aw, dan daya serap air dalam penelitian karena diduga proses pengeringan kecambah ataupun konsentrat yang dilakukan kurang terstandarisasi. Proses pengeringan yang terlalu lama menyebabkan jumlah air yang keluar menjadi lebih banyak.

Data hasil pengukuran terhadap kadar air kemudian diuji menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada Lampiran 23. Berdasarkan pengujian statistik diketahui bahwa kedua sampel berbeda nyata kadar airnya (p<0.05). Perbedaan yang nyata antara kedua sampel ditandai dengan huruf yang berbeda dibelakang angka.

b. Kadar abu

Kadar abu dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6. dan Lampiran 3. Berdasarkan pengukuran terhadap kadar abu, diketahui bahwa kadar abu konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 3.57 ± 0.30% dan 3.89 ± 0.00% dalam basis kering.

Kadar abu yang lebih rendah pada konsentrat protein kecambah dibandingkan pada konsentrat protein kontrol disebabkan adanya pelarutan elemen makro dan mikro mineral yang larut air selama proses perendaman saat perkecambahan. Penggunaan air bersuhu lebih tinggi


(47)

akan menyebabkan kehilangan yang lebih besar pada komponen-komponen yang larut dalam air seperti vitamin larut air dan beberapa mineral yang larut air (Salunkhe, et al., 1985).

Data hasil pengukuran terhadap kadar abu kemudian diuji menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar abu dapat dilihat pada Lampiran 24. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui bahwa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar abunya yang ditandai dengan huruf yang berbeda dibelakang angka.

c. Kadar protein

Kadar protein dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 4. Berdasarkan pengukuran terhadap kadar protein, diketahui bahwa kadar protein konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 47.71 ± 12.48% dan 72.28 ± 0.92% dalam basis kering.

Kadar protein pada proses perkecambahan awalnya akan meningkat karena proses germinasi akan mengaktifkan enzim protease untuk memecah protein menjadi asam-asam amino. Namun, ketika tepung kecambah tersebut kembali diproses menjadi konsentrat protein, beberapa asam amino dapat hilang dan larut bersama air. Molekul-molekul asam amino yang lebih kecil akan cenderung larut dalam air. Menurut Damodaran (1996), beberapa protein albumin yang kaya akan sulfur pada umumnya dapat larut pada pH isoelektrik sehingga dapat hilang bersama supernatan.

Menurut Subagio (2006), pada pembuatan isolat protein kacang komak, presipitasi pH yang digunakan tidak bisa mendapatkan seluruh ekstrak protein karena hanya 50% ekstrak protein yang dapat mengendap pada pH 4-4.5. Proses perendaman dapat memicu reaksi hidrolisis protein menjadi polipeptida yang lebih kecil yang tidak dapat mengendap pada pH 4. Hasil ini mengindikasikan bahwa biji kacang


(48)

komak memiliki protein dengan kelarutan yang baik pada pH rendah. Selain itu, menurut Swanson (1990), ternyata proses ekstraksi alkali pada protein dapat menyebabkan penurunan asam amino esensial seperti sistein dan lisin.

Kadar protein konsentrat protein kecambah berada dibawah standar untuk disebut sebagai konsentrat protein yaitu 60-70% dalam basis kering (Hanson, 1974). Akan tetapi, Muchtadi (1991) juga menyatakan bahwa konsentrat protein adalah hasil olah atau hasil ekstraksi dari suatu bahan organik sehingga kadar proteinnya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan pada bahan asalnya. Peningkatan kadar protein konsentrat protein kecambah kacang komak ini ditunjukkan dari kadar protein tepung kecambah kacang komak yaitu 25.16% (bk) (Anita, 2009) kemudian meningkat menjadi 47.71% (bk) dalam bentuk konsentratnya.

Data hasil pengukuran terhadap kadar protein kemudian diuji menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar protein dapat dilihat pada Lampiran 25. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui bahwa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar proteinnya. Kadar protein kosentrat protein kecambah dan konsentrat protein kacang komak lebih rendah dibandingkan konsentrat protein pada mucuna bean (Mucuna pruriens) yaitu 78.3%.

d. Kadar lemak

Kadar lemak dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 5. Berdasarkan pengukuran terhadap kadar lemak, diketahui bahwa kadar lemak konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 1.56 ± 0.49% dan 1.51 ± 0.63% dalam basis kering.

Kadar lemak dipengaruhi oleh degradasi lemak akibat aktivitas enzim lipase. Enzim lipase ini akan memecah lemak menjadi


(49)

asam-asam lemak bebas. Peningkatan kadar lemak pada konsentrat protein kecambah kacang komak dapat dikarenakan meningkatnya aktivitas enzim lipase. Enzim lipase dapat aktif dengan adanya keberadaan air karena enzim lipase merupakan enzim hidrolitik yang membutuhkan air untuk memecah lemak.

Menurut Swanson (1990), selama solubilisasi dan ekstraksi isolat protein sayuran, beberapa materi nonprotein seperti polifenolik, klorofil dan karotenoid, fitat, dan lipid serta produk turunannya dapat ikut terekstrak. Flavor beany, pahit, flavor seperti kertas karton pada beberapa isolat protein kacang-kacangan dapat menyebabkan konversi asam lemak tidak jenuh menjadi aldehid, keton, dan alkohol. Oksidasi lipid kemungkinan terjadi selama penyimpanan biji, proses ekstraksi alkali, atau penyimpanan isolat protein yang dapat menghasilkan flavor hasil oksidasi yang tidak diinginkan.

Data hasil pengukuran terhadap kadar lemak kemudian diuji menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar lemak dapat dilihat pada Lampiran 26. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui bahwa kedua sampel tidak berbeda nyata (p>0.05) kadar lemaknya. Hal ini diduga karena kadar lemak awal dari kacang komak cukup rendah yaitu hanya 1.06% (bk) (Anita, 2009) sehingga cenderung sedikit pemecahan lemak yang terjadi.

e. Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 6. Berdasarkan pengukuran terhadap kadar karbohidrat, diketahui bahwa kadar karbohidrat konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 35.48 ± 12.93% dan 9.33 ± 1.64% dalam basis kering.

Kadar karbohidrat yang masih tinggi ini dimungkinkan tahap yang dilalui kecambah kacang komak masih dalam tahap awal.


(50)

Pomeranz (1991) menjelaskan bahwa pada tahap awal perkecambahan, minyak dalam biji dipecah dan asam lemak bebas terbentuk lalu dinding sel didegradasi diikuti dengan pemecahan protein. Hanya pada tahap lanjut, perkecambahan akan mengubah pati menjadi gula.

Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference yaitu kadar karbohidrat merupakan hasil selisih antara 100% kadar nutrisi dalam bahan dengan jumlah antara kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat yang masih sangat besar pada konsentrat protein kecambah kacang komak diduga terjadi karena penurunan kadar air, kadar abu, dan kadar protein.

Data hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat kemudian diuji menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar karbohidrat dapat dilihat pada Lampiran 27. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui bahwa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar karbohidratnya.

N. ANALISIS SIFAT FISIKOKIMIA f. Derajat warna

Pengukuran nilai Y, x, dan y dilakukan dengan menggunakan Chromameter CR-310 Minolta. Nilai Y, x, dan y ini kemudian dikonversi menjadi nilai X, Y, dan Z yang disebut dalam sistem CIE. Sistem CIE akan mentransformasi refleksi atau transmisi objek ke dalam warna tiga dimensi menggunakan penyebaran kekuatan spektrum iluminasi dan kesesuaian fungsi warna dengan standar yang diukur (MacDougall, 2002). Sistem CIE kemudian ditransformasi lagi menjadi sistem CIELAB yaitu menggunakan penerjemahan L, a, dan b. Nilai L, a, dan b pada konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol dapat diperlihatkan pada Lampiran 7 dan Gambar 14.


(51)

a 56.75

b 3.51

c 12.81 a

57.34

b 3.41

c 13.12 0

10 20 30 40 50 60 70

L a b

D

era

jat

wa

rna

Parameter warna

Kontrol Kecambah

Berdasarkan pengukuran terhadap derajat warna, diketahui bahwa konsentrat protein kecambah kacang komak memiliki nilai L lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu 57.34 sedangkan kontrolnya 56.75. Nilai a menunjukkan bahwa konsentrat kecambah (3.41) lebih rendah dibandingkan kontrol (3.51). Sedangkan nilai b menunjukkan bahwa konsentrat kecambah lebih tinggi nilai b nya (13.12) dibandingkan pada kontrolnya (12.81). Akan tetapi ketiga pengukuran L, a, dan b ini tidak berbeda nyata (p>0.05) pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengujian statistik derajat warna dapat dilihat pada Lampiran 28.

Gambar 14. Nilai L, a, dan b konsentrat protein kecambah kacang komak dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak berbeda nyata (paired sample t-test pada α = 5%)

Pengukuran warna dengan kolorimeter biasanya juga dinyatakan dengan perbedaan antara warna contoh dengan standar atau kontrol. Konsentrat kecambah memiliki perbedaan L yang positif dengan kontrol yang menunjukkan bahwa contoh lebih putih dibandingkan kontrol. Hal ini sejalan dengan nilai derajat putih konsentrat kecambah yang lebih besar dibandingkan kontrol. Perbedaan nilai a yang negatif antara contoh dengan kontrol menunjukkan bahwa contoh lebih hijau dibandingkan kontrol. Kenaikan intensitas warna hijau ini diduga adanya sintesis klorofil ketika proses perkecambahan berlangsung. Sedangkan perbedaan yang positif pada nilai b menunjukkan contoh lebih kuning dibandingkan kontrol.


(1)

Paired Samples Statistics

,29067 6 ,023330 ,009524

,27850 6 ,021742 ,008876

Kemampuan_ mereduksi_protein_ kontrol

Kemampuan_ mereduksi_protein_ kecambah

Pair 1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

6 ,488 ,326

Kemampuan_ mereduksi_protein_ kontrol & Kemampuan_ mereduksi_protein_ kecambah

Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

,012167 ,022842 ,009325 -,011805 ,036138 1,305 5 ,249

Kemampuan_ mereduksi_protein_ kontrol - Kemampuan_ mereduksi_protein_ kecambah

Pair 1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences


(2)

T-Test (fraksi nonprotein)

Paired Samples Statistics

,21033 6 ,012011 ,004904

,25033 6 ,032825 ,013401

Kemampuan_

mereduksi_nonprotein_ kontrol

Kemampuan_

mereduksi_nonprotein_ kecambah

Pair 1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

6 -,109 ,837

Kemampuan_

mereduksi_nonprotein_ kontrol & Kemampuan_ mereduksi_nonprotein_ kecambah

Pair 1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-,040000 ,036166 ,014765 -,077954 -,002046 -2,709 5 ,042

Kemampuan_

mereduksi_nonprotein_ kontrol - Kemampuan_ mereduksi_nonprotein_ kecambah

Pair 1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences


(3)

Paired Samples Statistics

29,1650 4 1,34523 ,67261

49,5825 4 14,77125 7,38562

Protein_kontrol Protein_kecambah Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

4 -,072 ,928

Protein_kontrol & Protein_kecambah Pair

1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-20,41750 14,92816 7,46408 -44,17153 3,33653 -2,735 3 ,072 Protein_kontrol

-Protein_kecambah Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences


(4)

T-Test (fraksi nonprotein)

 

Paired Samples Statistics

29,8350 4 2,11888 1,05944

116,0000 4 88,67317 44,33659 nonprotein_kontrol

nonprotein_kecambah Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

4 -,154 ,846

nonprotein_kontrol & nonprotein_kecambah Pair

1

N Correlation Sig.

Paired Samples Test

-86,16500 89,02421 44,51210 -227.822 55,49238 -1,936 3 ,148 nonprotein_kontrol

-nonprotein_kecambah Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences


(5)

Hartoyo, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA. 2009

RINGKASAN

Kacang-kacangan merupakan sumber protein, karbohidrat, serat pangan, dan mineral yang penting. Kedelai merupakan jenis kacang-kacangan yang paling banyak dikonsumsi. Namun, ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional menyebabkan ketergantungan terhadap impor kedelai. Oleh karena itulah dibutuhkan sumber protein nabati lain yang potensial untuk dikembangkan. Salah satunya adalah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet). Salah satu proses pengolahan yang efektif dalam menurunkan komponen antigizi dan meningkatkan daya cerna adalah dengan proses perkecambahan. Selama perkecambahan, biosintesis senyawa fenolik meningkat sebagai bentuk pertahanan kecambah. Untuk meningkatkan mutu dan fungsi dalam pengolahan pangan, dilakukanlah pembuatan konsentrat protein. Aplikasi konsentrat protein ini bergantung pada sifat fungsional protein yang dimilikinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh germinasi kacang komak pada konsentrat protein yang dihasilkan terhadap sifat fisikokimia, fungsional protein, dan kapasitas antioksidannya. Sebagai kontrol digunakan konsentrat protein yang dibuat dari kacang komak tanpa perlakuan perkecambahan.

Berdasarkan penelitian pendahuluan, ditentukan waktu perendaman dan waktu germinasi terbaik adalah 12 jam dan 30 jam. Kacang komak digerminasikan dengan cara merendam biji kacang komak selama 12 jam dan dikecambahkan dalam ruang gelap selama 30 jam. Kecambah yang terbentuk dibuat konsentrat protein kecambah dengan cara ekstraksi protein pada pH basa (pH 9.0) kemudian diendapkan pada titik isoelektrik (pH 4.5) dan dikeringkan menggunakan oven vakum. Konsentrat protein kecambah dianalisis proksimat, sifat fisikokimia, dan sifat fungsional protein dengan konsentrat protein kacang komak (tanpa perlakuan) sebagai kontrol. Fraksi yang dianalisis dalam analisis kapasitas antioksidan adalah fraksi protein dan fraksi nonprotein dari tepung kecambah dan tepung kacang komak sebagai kontrol. Analisis data menggunakan program SPSS 13 dengan pengujian paired sample t-test kecuali untuk parameter kekuatan gel digunakan uji non parametric two-related samples pada selang kepercayaan 95%.

Analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air, kadar abu, dan kadar protein lebih rendah secara signifikan (p<0.05) dibandingkan kontrol berturut-turut yaitu 11.68%, 3.57%, dan 47.71%. Sedangkan pada kontrolnya adalah kadar air (12.98%), abu (3.89%), dan protein (72.28%). Kadar karbohidrat konsentrat protein kecambah lebih tinggi secara signifikan (p<0.05) dibandingkan kontrol yaitu 35.48%, sedangkan pada kontrolnya 9.33%. Kadar lemak tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan perlakuan germinasi.


(6)

Pengujian sifat fisikokimia menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap aktivitas air dan daya cerna protein secara in vitro. Keduanya meningkat dibandingkan kontrol sebesar 0.636 dan 81.39% sedangkan pada kontrolnya 0.472 dan 28.86%. Namun, perlakuan germinasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p<0.05) pada nilai L, a, b, derajat putih, dan densitas kambanya. Kenaikan nilai L, a, b, derajat putih, dan densitas kamba hanya terjadi sebesar 57.34, 3.41, 13.12, 23.5, dan 0.8663 g/ml sedangkan pada kontrolnya 56.75, 3.51, 12.81, 21.4, dan 0.8597 g/ml.

Analisis sifat fungsional menunjukkan nilai lebih tinggi secara signifikan (p<0.05) pada daya serap minyak, daya emulsi, dan PDI dengan adanya perlakuan germinasi yaitu 318.04%, 45.00%, dan 72.8% sedangkan pada kontrolnya 209.89%, 30.00%, dan 27.46%. Akan tetapi, kapasitas dan stabilitas busa konsentrat protein kecambah lebih rendah secara signifikan (p<0.05) dibandingkan kontrol yaitu 57.97%, dan 1.91% sedangkan pada kontrol adalah 77.69% dan 65.07%. Kekuatan gel konsentrat kecambah kacang komak lebih baik dibandingkan kontrol karena dapat membentuk gel pada konsentrasi larutan 12.5% sedangkan kontrol tidak dapat membentuk gel sama sekali. Daya serap air, NSI, WAI, dan WSI konsentrat protein kecambah tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kontrol.

Pengujian kapasitas antioksidan menunjukkan aktivitas antioksidan dan total fenol yang tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada fraksi protein dan nonprotein kecambah dengan kontrol. Pengujian aktivitas kemampuan mereduksi menunjukkan kemampuan mereduksi yang lebih tinggi secara signifikan (p<0.05) pada fraksi nonprotein dibandingkan kontrol yaitu 0.250 sedangkan kontrolnya 0.210. Namun pada fraksi protein tidak berbeda nyata (p>0.05) kemampuan mereduksinya dibandingkan kontrol.