Aspek Kesejahteraan Masyarakat

2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat

2.2.1. Pertumbuhan PDRB

Indikator yang umum dipakai untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi makro suatu daerah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung dengan dua pendekatan harga yaitu harga berlaku dan harga konstan yang semakin meningkat.

Dinamika perekonomian Jawa Barat secara agregat yang tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan distribusinya dapat diungkap dari sisi penawaran (lapangan usaha) dan permintaan (penggunaan). Berdasarkan perhitungan metode baru, sisi penawaran mencakup 17 lapangan usaha.

Berdasarkan harga konstan 2010, nilai PDRB Jawa Barat pada tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun 2016. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya produksi di seluruh lapangan usaha yang sudah bebas dari pengaruh inflasi. Nilai PDRB Jawa Barat tahun 2017 atas dasar harga konstan 2010, mencapai 1.342,95 triliun rupiah. Angka tersebut naik sebesar 67,42 triliun dari 1.275,53 triliun rupiah pada tahun 2016. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2017 terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,29 persen, lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya yang mencapai 5,66 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2017 dibandingkan Tahun 2016 disebabkan karena melambatnya beberapa lapangan usaha seperti Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; Transportasi dan Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Informasi dan Komunikasi; Jasa Keuangan dan Asuransi; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; serta Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial. Sementara itu, penurunan pertumbuhan lapangan usaha Pertambangan dan Penggalian serta Pengadaan Listrik dan Gas juga turut memberikan andil perlambatan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2017.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐18

Tabel 2.6

PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012-2017 (juta rupiah)

Lapangan Usaha

A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 88.409.460,01 92.390.134,87 92.653.584,24 92.802.798,97 98.181.660,71 99.874.567,56 B Pertambangan dan Penggalian 27.213.582,31 26.872.467,19 27.291.421,36 27.403.820,15 27.138.684,60 26.589.905,88

C Industri Pengolahan 445.675.276,56 477.714.072,28 502.433.623,07 524.466.677,04 549.471.383,78 578.858.487,37 D Pengadaan Listrik dan Gas 5.571.250,12 6.025.231,98 6.373.286,03 5.939.653,36 6.139.545,25 5.438.506,30

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, E

794.326,67 845.969,55 896.263,79 948.977,84 1.009.018,45 1.080.964,61 Limbah dan Daur Ulang

F Konstruksi 81.197.699,57 87.818.637,11 92.603.491,63 98.555.254,72 103.507.069,45 111.001.029,17 G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi

198.887.074,01 207.945.094,67 Mobil dan Sepeda Motor 177.747.518,19 183.634.922,83 190.440.113,16 H Transportasi dan Pergudangan 45.721.399,30 47.965.848,58 51.579.514,10 56.171.095,98 61.135.337,70 64.258.575.91 I Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum 32.549.519,57 35.285.421,71 J

Informasi dan Komunikasi 28.094.004,54 30.651.836,81 36.005.412,36 41.878.751,58 47.856.799,53 53.527.156,09 K

Jasa Keuangan dan Asuransi 23.437.318,77 26.347.771,86 27.497.251,44 29.521.633,81 33.030.521,52 34.179.944,74 L Real Estate 11.916.840,59 12.561.546,45 13.121.319,37 13.837.689,48 14.738.072,12 16.109.923,50

M,N Jasa Perusahaan 3.957.451,77 4.265.893,31 4.561.081,01 4.932.613,38 5.334.980,44 5.784.330,04 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan

O 23.901.327,94 23.568.018,37 23.676.877,00 24.987.382,17 25.731.416,57 25.780.576,99 dan Jaminan Sosial Wajib

P Jasa Pendidikan 23.608.192,70 25.715.274,28 29.424.905,69 32.418.865,50 34.885.810,90 37.909.721,09 Q

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 6.303.721,09 6.720.170,33 7.780.534,33 8.880.758,33 9.723.042,98 10.537.792,90 R,S,T,U Jasa lainnya 18.862.233,78 20.347.856,97 22.137.539,99 24.120.774,04 26.226.539,58 28.790.501,55

PDRB 1.028.409.739,51 1.093.543.545,87 1.149.216.057,05 1.207.083.405,73 1.275.546.477,15 1.342.953.376,17 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2018

Keterangan: * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐19

Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh lapangan usaha Informasi dan Komunikasi yaitu sebesar 11,85 persen. Sepuluh lapangan usaha mengalami pertumbuhan positif sebesar lima hingga sepuluh persen. Sementara lima lapangan usaha lainnya berturut-turut tercatat mengalami pertumbuhan positif namun lebih rendah, yaitu kurang dari lima persen. Sedangkan 2 (dua) lapangan usaha mengalami pertumbuhan negatif yaitu Pertambangan dan Penggalian serta Pengadaan Listrik dan Gas.

Tabel 2.7

Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha

Tahun 2012-2017 (persen)

Lapangan Usaha

Pertanian, Kehutanan, A dan Perikanan

5,80 1,88 B Pertambangan dan

C Industri Pengolahan

4,39 4,77 5,35 D Pengadaan Listrik dan

Pengadaan Air, E Pengelolaan Sampah,

5,88 6,33 7,13 Limbah dan Daur Ulang

F Konstruksi

6,43 5,02 7,24 Perdagangan Besar dan G Eceran; Reparasi Mobil

3,71 4,44 4,58 dan Sepeda Motor Transportasi dan

8,10 9,31 8,37 dan Makan Minum

I Penyediaan Akomodasi

J Informasi dan

K Jasa Keuangan dan

L Real Estate

5,46 6,51 9,31 M,N Jasa Perusahaan

8,15 8,16 8,42 Administrasi O

5,53 2,98 0,19 Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan

14,14 9,48 8,38 Kegiatan Sosial

Jasa Kesehatan dan

R,S, T,U

Jasa lainnya

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2018 Keterangan: * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐20

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selama periode 2012-2017 selalu lebih tinggi dari LPE Nasional. Pola petumbuhan ekonomi nasional dan Jawa Barat hampir mirip sebagaimana ditunjukkan pada gambar dibawah. Pada Tahun 2014 dan 2015 sempat mengalami pelambatan. Namun pada tahun- tahun berikutnya kembali meningkat. Posisi Tahun 2017 menunjukkan LPE Jawa Barat lebih tinggi dari nasional yaitu sebesar 5,29 persen sementara LPE nasional adalah 5,07 persen.

Jawa Barat

Nasional

Sumber: BPS Indonesia Tahun 2018, dan BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Gambar 2.6

Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat dan Nasional Tahun 2012-2017

Nilai PDRB Jawa Barat atas dasar harga berlaku pada tahun 2017 mencapai 1.786,09 triliun rupiah. Secara nominal, nilai PDRB ini mengalami kenaikan sebesar 133,33 triliun rupiah dibandingkan dengan tahun 2016 yang mencapai 1.652,76 triliun rupiah. Naiknya nilai PDRB ini dipengaruhi oleh meningkatnya produksi di seluruh lapangan usaha dan adanya inflasi.

Peranan terbesar dalam pembentukan PDRB Jawa Barat pada tahun 2017 dihasilkan oleh lapangan usaha Industri Pengolahan, yaitu mencapai 42,29 persen. Selanjutnya disusul oleh Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil, dan Sepeda Motor sebesar 15,10 persen; Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 8,60 persen; Konstruksi sebesar 8,26 persen; serta Transportasi dan Pergudangan sebesar 5,79 persen.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐21

Tabel 2.8

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012-2017 (juta rupiah)

Lapangan Usaha

A Pertanian, Kehutanan, dan

B Pertambangan dan

25.481.689,51 Penggalian C Industri Pengolahan

755.387.255,99 D Pengadaan Listrik dan Gas

10.855.233,28 E Pengadaan Air, Pengelolaan

1.588.061,37 Sampah, Limbah dan Daur Ulang

F Konstruksi

147.534.650,72 G Perdagangan Besar dan

269.777.764,60 Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

H Transportasi dan

I Penyediaan Akomodasi dan

48.395.131,81 Makan Minum

J Informasi dan Komunikasi

Jasa Keuangan dan Asuransi 27.317.166,59 32.408.455,16

18.659.369,94 M,N

Real Estate

7.339.111,19 O Administrasi Pemerintahan,

Jasa Perusahaan

40.220.226,10 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

P Jasa Pendidikan

13.472.969,02 Sosial R,S,

Jasa Kesehatan dan Kegiatan

36.816.024,21 T,U

Jasa lainnya

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 Keterangan: * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐22

Bila ditinjau dari data tahun 2017 terlihat bahwa nilai output lapangan usaha Industri Pengolahan memiliki nilai paling tinggi yaitu 755,39 Milyar rupiah. Lapangan usaha lain yang juga cukup tinggi yaitu Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor dan Konstruksi dengan nilai masing-masing 269,78 milyar rupiah dan 147,55 milyar rupiah. Dengan demikian, ketiga lapangan usaha tersebut menjadi sandaran utama PDRB Jawa Barat. Jika dirasiokan, nilai kontribusi tersebut menunjukkan struktur ekonomi Jawa Barat yakni perekonomian yang bercirikan industri karena pangsanya yang mencapai 42,29 persen pada tahun 2017. Sementara lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sekitar 15,10 persen.

Tabel 2.9

Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012-2017 (persen)

Lapangan Usaha

A Pertanian, Kehutanan, dan

B Pertambangan dan Penggalian

1,71 1,53 1,43 C Industri Pengolahan

43,23 43,22 43,64 43,03 42,49 42,29 D Pengadaan Listrik dan Gas

0,75 0,72 0,61 Pengadaan Air, Pengelolaan

E Sampah, Limbah dan Daur

F Konstruksi

8,26 8,12 8,26 Perdagangan Besar dan

G Eceran; Reparasi Mobil dan 15,91 15,86 15,26 15,24 15,15 15,10 Sepeda Motor Transportasi dan

H Pergudangan

5,50 5,72 5,79 I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

Informasi dan Komunikasi

Jasa Keuangan dan Asuransi

1,02 1,02 1,04 M,N

Real Estate

0,40 0,40 0,41 Administrasi Pemerintahan,

Jasa Perusahaan

O Pertahanan dan Jaminan

2,41 2,34 2,25 Sosial Wajib

P Jasa Pendidikan

0,70 0,73 0,75 R,S,T,U Jasa lainnya

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 Keterangan: * Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐23

2.2.2. Laju Inflasi

Inflasi di suatu daerah adalah indikator penting untuk bahan analisis ekonomi karena menunjukkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang terjadi karena adanya kegiatan ekonomi dengan adanya permintaan (demand) dan penawaran (supply). Laju Inflasi atau Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Provinsi Jawa Barat dipantau oleh BPS di

7 (tujuh) kabupaten/kota yaitu Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi dan Kota Depok. Angka inflasi di Jawa Barat pada tahun 2012 tercatat cukup rendah yaitu 3,86 persen namun meningkat cukup besar pada tahun 2013 akibat adanya kenaikan harga BBM akibat tekanan harga minyak dunia yang semakin tinggi yang pada akhirnya membebani subsidi BBM. Kenaikan harga BBM di dalam negeri juga akhirnya diikuti oleh kenaikan harga listrik dan harga-harga kebutuhan bahan pokok lainnya yang mendorong inflasi menjadi 9,15 persen. Di tahun 2014 dan 2015 menurun menjadi 7,6 persen dan 2,73 persen, tahun 2016 sedikit meningkat sebesar 0,03 persen dan ditahun 2017 meningkat menjadi 0,88 persen.

Tabel 2.10

Inflasi dan Indeks Harga Konsumen Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Inflasi dan IHK

Inflasi 3,86 9,15 7,6 2,73 2,75 3.63 IHK 130,11 139,82 112,61 118,92 122,59 130,41

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2017, dan *) Indikator Statistik Terkini Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 dan Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Barat September Tahun 2017

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐24

Secara umum dari ke 7 wilayah yang menjadi daerah pantauan inflasi, di Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi rata-rata memiliki angka inflasi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain, termasuk Jawa Barat. Sedangkan untuk Kota Sukabumi, Kota Cirebon dan Kota Tasikmalaya rata- rata tingkat inflasi berada dibawah Jawa Barat. Namun di Kota Bandung cukup berfluktuasi, pada tahun 2013 justru kenaikan harga-harga dibawah rata-rata Jawa Barat, sedangkan pada tahun-tahun berikutnya selaku berada di atas Jawa Barat.

Berdasarkan data laju inflasi di 7 (tujuh) kota di Jawa Barat menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2016, terlihat bahwa pemicu kenaikan harga secara umum disumbang oleh kelompok pengeluaran bahan makanan atau volatile food. Pada tahun 2015 dan 2016 kenaikan harga pada kelompok volatile food disebabkan oleh pergeseran musim panen sebagai dampak lanjutan dari El Nino di tahun 2015 serta curah hujan yang tinggi di awal tahun. Di Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kota Depok dan Kota Bogor inflasi dipicu oleh kenaikan harga pada kelompok bahan makanan, makanan jadi, minuman rokok dan tembakau serta pada kelompok pengeluaran kesehatan. Namun di Kota Bogor kelompok pengeluaran kesehatan menduduki peringkat utama yang kemudian diikuti oleh kelompok pengeluaran bahan makanan.

Untuk mengendalikan laju inflasi tersebut, koordinasi dan intensitas komunikasi terus ditingkatkan oleh Bank Indonesia dengan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Barat melalui Forum Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) sebagai upaya untuk menahan laju inflasi agar tetap terkendali. Sebagai contoh, pada tahun 2016, Tim Pengendali Inflasi Daerah Jawa Barat melalui tema program Proper Kahiji Utama fokus pada penguatan dan pemberdayaan petani melalui sinergi dengan pihak terkait serta mengaktifkan Sistem Resi Gudang sebagai upaya mengatasi permasalahan infrastruktur, logistik serta kelembagaan pertanian.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐25

2.2.3. PDRB Per Kapita

PDRB Per kapita sering menjadi acuan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi PDRB Per kapita suatu daerah, maka semakin baik tingkat perekonomian daerah tersebut, walaupun ukuran ini belum mencakup faktor kesenjangan pendapatan antar penduduk. PDRB Per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau per satu orang penduduk.

Nilai PDRB per kapita Jawa Barat atas dasar harga berlaku sejak tahun 2012 hingga 2017 senantiasa mengalami kenaikan. Pada tahun 2012 PDRB per kapita tercatat sebesar 25,27 juta rupiah. Secara nominal terus mengalami kenaikan hingga tahun 2017 mencapai 37,18 juta rupiah. Kenaikan angka PDRB per kapita yang cukup tinggi ini disebabkan masih dipengaruhi oleh faktor inflasi.

Tabel 2.11

PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017 (juta rupiah)

Tahun

Uraian

2017** PDRB Perkapita

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2018 Keterangan: * Angka sementara, **Angka sangat sementara

Meski PDRB per Kapita Jawa Barat sudah mencapai Rp. 32,65 juta per kapita per tahun di tahun 2015, namun hanya 7 (tujuh) kota/kabupaten saja yang memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata Jawa Barat, atau sekitar 26 persen. Artinya sekitar 74 persen masih berada di bawah rata-rata Jawa Barat. PDRB per kapita terendah terjadi di Kabupaten Cianjur, yaitu sebesar Rp. 14,42 juta per kapita, sedangkan terbesar berada di Kota Bandung, Kabupaten Bekasi dan diikuti oleh Kabupaten Kerawang sebesar Rp.78,91 juta, Rp.75,8 juta dan Rp.73,51 juta. Hal tersebut menunjukkan distribusi pendapatan per kapita yang belum merata dan hanya terfokus di beberapa daerah saja.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐26

Tabel 2.12

PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012-2015 (juta rupiah)

No Kabupaten/Kota

17 Bandung Barat

19 Kota Bogor

20 Kota Sukabumi

21 Kota Bandung

22 Kota Cirebon

23 Kota Bekasi

24 Kota Depok

25 Kota Cimahi

26 Kota Tasikmalaya

27 Kota Banjar

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 dan LKPJ Provinsi Jawa Barat Tahun 2017

2.2.4. Indeks Gini

Indeks Gini merupakan satu ukuran untuk melihat ketimpangan pendapatan antar masyarakat. Angka ini memperkuat fenomena yang telah di jelaskan pada sub bab sebelumnya terkait pendapatan per kapita. Data selama 6 (enam) tahun indeks gini dapat dilihat di tabel berikut ini.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐27

Tabel 2.13

Indeks Gini Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Indeks Gini

Uraian

2017 *) Provinsi Jawa

Nasional 0,41 0,41 0,41 0,40 0,39 0,39 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan BPS RI Tahun 2017 dan LKPJ Provinsi Jawa Barat

Tahun 2017

Indeks Gini Provinsi Jawa Barat masuk kategori ketimpangan sedang karena berada pada kisaran 0,3 sampai 0,5. Pada tahun 2012 sebesar 0,42 dan turun menjadi sebesar 0,40 di tahun 2013 dan 2014. Namun angka ini meningkat kembali pada tahun 2015 menjadi 0,43, menurun kembali tahun 2016 menjadi 0,40 dan di tahun 2017 sedikit mengalami penurunan 0,01 persen sehingga menjadi 0,39 persen. Dengan semakin menurunnya Gini Ratio ini dapat diartikan bahwa distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat semakin merata.

Bila dibandingkan dengan nasional, indeks gini Provinsi Jawa Barat memiliki angka yang sama yaitu 0,39. Angka nasional tahun 2017 tidak bergerak dari angka tahun sebelumnya atau dengan kata lain tidak mengalami penurunan sebagaimana Provinsi Jawa Barat.

Data indeks gini kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2016 yang lebih besar dari indeks gini Provinsi Jawa Barat sebesar 0,40 adalah: Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐28

Tabel 2.14

Indeks Gini Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016

Indeks Gini No

Nama Daerah 2012 2013 2014 2015 2016

1 Bogor 0.42 0.42 0.39 0.42 0.40 2 Sukabumi

0.36 0.36 0.33 0.35 0.31 17 Bandung Barat

0.37 0.37 0.33 0.34 0.36 18 Pangandaran

- 0.36 0.34 19 Kota Bogor

0.45 0.45 0.36 0.47 0.43 20 Kota Sukabumi

0.4 0.4 0.36 0.43 0.42 21 Kota Bandung

0.42 0.42 0.48 0.44 0.44 22 Kota Cirebon

0.41 0.41 0.4 0.41 0.40 23 Kota Bekasi

0.37 0.37 0.33 0.41 0.39 24 Kota Depok

0.40 0.40 0.37 0.40 0.40 25 Kota Cimahi

0.37 0.37 0.39 0.4 0.42 26 Kota Tasikmalaya

0.4 0.4 0.37 0.49 0.42 27 Kota Banjar

0.39 0.39 0.32 0.42 0.37 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2017

2.2.5. Pemerataan Pendapatan Versi Bank Dunia

Selain Indeks Gini, untuk melihat distribusi pendapatan atau ketimpangan dapat menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh Bank

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐29

Dunia. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, pada tahun 2016 distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat tergolong merata pada ketimpangan sedang ke arah rendah. Hal tersebut ditunjukkan bahwa rata-rata 40 persen penduduk berpendapatan rendah menikmati pendapatan sekitar 16 persen sampai 17,6 persen. Sedangkan menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan rendah jika mereka memperoleh di atas 17 persen dari pendapatan yang ada.

Namun perlu menjadi perhatian bahwa ketimpangan di Jawa Barat bergerak antara ketimpangan sedang dan rendah, dan menjadi sangat sensitif ketika terjadi inflasi yang tinggi dapat mendorong ke arah ketimpangan sedang. Rentannya kondisi tersebut juga diperkuat oleh kecenderungan kelompok 20 persen penduduk dengan penghasilan tertinggi menikmati pendapatan yang relatif meningkat mendekati angka

50 persen. Pada kelompok penduduk berpengeluaran tinggi terjadi peningkatan presentase dari 47,71 persen di tahun 2013 menjadi 44,75 persen pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 kembali meningkat menjadi 48,96 persen. Namun pada tahun 2016 dan 2017 menurun menjadi 46,88 persen dan 46,15 persen.

Tabel 2.15

Distribusi Pembagian Pengeluaran Per Kapita Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kriteria Bank Dunia

16,44 16,86 40 persen menengah

40 persen terendah

36,68 37,00 20 persen tertinggi

48.96 46,88 46,15 Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat Jawa Barat Tahun 2015 dan *) Perkembangan

Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Barat September 2016 dan September 2017

2.2.6. Indeks Pembangunan Manusia

Kondisi umum kesejahteraan masyarakat Jawa Barat dapat dilihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai barometer indikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indeks Pembangunan

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐30

Manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar, mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Nilai IPM Provinsi Jawa Barat periode 2012 sampai dengan 2016 selalu meningkat, namun berada pada posisi di bawah IPM Nasional. Pada tahun 2012 IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 67,32 sementara IPM nasional mencapai 67,70. Angka IPM Provinsi Jawa Barat maupun nasional terus meningkat dari tahun ke tahun, masing-masing mencapai 70,69 dan 70,81 pada tahun 2017. Diharapkan pada tahun-tahun berikutnya nilai tersebut semakin meningkat.

Tabel 2.16

Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Provinsi Jawa 67,32 68,25 68,80 69,50 70,05 70,69 Barat

Nasional 67,70 68,31 68,90 69,55 70,18 70,81 Sumber: BPS RI Tahun 2018

2.2.7. Angka Kemiskinan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun telah melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 mencapai 4.485.654 jiwa dan menurun menjadi

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐31

3,774 juta jiwa pada bulan September tahun 2016. Pemerintah Jawa Barat dapat menurunkan jumlah penduduk miskin dari 9,89 persen pada tahun 2012 menjadi 7,83 persen pada tahun 2017. Artinya pada periode tahun 2012 sampai 2017 Pemerintah Jawa Barat berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,06 persen.

Tabel 2.17

Indikator Kemiskinan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

No Indikator

Angka Kemiskinan (%)

2017 1 Jumlah Penduduk

4.421.484 4.382.648 4.238.960 4.485.654 4.168.110 3.774.410 Miskin (jiwa) 2 Garis Kemiskinan

242.104 276.825 291.474 318.602 324.992 354.679 (Rupiah/kapita/bulan)

3 Persentase Penduduk 9,89 9,61 9,18 9,57 8,77 7,83 Miskin (%) 4 Indeks Kedalaman

1,62 1,65 1,39 1,63 1,49 1,39* ) Kemiskinan (P1) (%) 5 Indeks Keparahan

0,42 0,44 0,33 0,43 0,37 0,35* ) Kemiskinan (P2) (%) Sumber: BPS RI, 2018

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Berdasarkan tabel di atas, indeks kedalaman kemiskinan tertinggi sebesar 1,65 persen di tahun 2013, dan terendah sebesar 1,39 persen di tahun 2017.

Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) merupakan indeks yang memberikan informasi mengenai gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Berdasarkan tabel di atas, Indeks Keparahan Kemiskinan tertinggi sebesar 0,44 persen di tahun 2013, dan terendah sebesar 0,33 persen di tahun 2014. Kondisi keparahan kemiskinan di Jawa Barat sampai tahun 2017 cenderung menurun menjadi 0,35 persen.

Dari Gambar 2.6 dapat dilihat bahwa tahun 2012-2017 terjadi penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Barat, di mana penurunan tingkat kemiskinan mencapai 2,06 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perlambatan penurunan kemiskinan di Jawa Barat dari target yang telah

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐32 II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐32

Provinsi Jawa Barat

Nasional

Gambar 2.7

Persentase Penduduk Miskin

di Provinsi Jawa Barat dan Nasional Tahun 2012- 2017

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2017

Upaya penanggulangan kemiskinan dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Jawa Barat, yang secara simultan dilaksanakan dalam rangka mencapai target Indikator Kinerja Daerah khususnya indikator pada aspek kesejahteraan masyarakat yang mencakup upaya dalam bidang ekonomi non pertanian, ekonomi pertanian, pendidikan, kesehatan, dan program keluarga berencana, serta prasarana pendukungnya.

2.2.8. Angka Melek Huruf

Angka melek huruf (AMH) merupakan proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dalam huruf latin atau lainnya. Manfaat perhitungan angka melek huruf digunakan untuk mengukur keberhasilan program pemberantasan buta huruf, yang khususnya ada di wilayah perdesaan.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐33

Melek huruf sangat berkaitan erat dengan buta huruf. Semakin meningkatnya angka melek huruf menunjukkan semakin menurunnya angka buta huruf. Baik angka melek huruf maupun angka buta huruf dapat digunakan untuk melihat pencapaian keberhasilan program- program pemberantasan buta huruf.

Program pemberantasan huruf sebetulnya sudah berjalan sejak jaman kemerdekaan, namun dalam perjalanannya terjadi pasang surut, bahkan dalam sejarahnya negara Indonesia pernah memproklamirkan bebsa buta huruf. Tetapi karena tidak dipergunakan ketrampilan menyebabkan banyak yang menjadi buta kembali. Program pemberantasan butan huruf mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung serta berketrampilan. Dengan kemampuan yang dimiliki tersebut memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tujuan lain adalah menciptakan tenaga lokal yang potensial guna mengelola sumberdaya yang ada dilingkungannya. Bagi pendidikan persekolahan, diharapkan akan mampu menekan angka putus sekolah di pendidikan persekolahan.

Pada periode 2012 sampai dengan 2017, angka melek huruf penduduk di Jawa Barat menunjukkan peningkatan. Hal ini berarti semakin banyak penduduk Jawa Barat yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2012, Angka Melek Huruf Jawa Barat adalah 96,18 persen dan mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Posisi angka melek huruf pada Tahun 2017 adalah 98,38 persen. Ini menunjukkan bahwa masih ada 1,62 persen penduduk Jawa Barat yang masih buta huruf. Untuk itu pemerintah tetap akan terus menggalakkan pemberantasan buta huruf di seluruh wilayah, terlebih untuk usia muda. Jangan sampai buta huruf baru di usia muda bermunculan dan akan menjadi beban pemerintah di masa mendatang.

Data angka melek huruf Provinsi Jawa Barat tahun 2012 hingga 2016 ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.

Tabel 2.18

Angka Melek Huruf (AMH) Tahun 2012-2017

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐34

Tahun

Angka Melek huruf

Sumber: BPS RI, 2018

2.2.9. Angka Harapan Lama Sekolah dan Rata-Rata Lama Sekolah

Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. Sementara rata-rata lama sekolah adalah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah dari masuk sekolah dasar sampai sampai dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh. Namun jumlah tahun bersekolah ini tidak mengindahkan kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar diusia yang lebih muda atau lebih tua. Menghitung angka rata-rata lama sekolah dapat dikonversikan langsung dari jenjang pendidikan dan kelas tertinggi yang pernah diduduki seseorang.

Tabel 2.19

Angka Harapan Lama Sekolah dan Rata-Rata Lama Sekolah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Tahun

No. Uraian

1. Angka Harapan

12,30 12,42 Lama Sekolah

2 Rata-Rata Lama 7,52 7,58 7,71 7,86 7,95 8,14 Sekolah

Sumber: BPS RI, 2018

Angka Harapan Lama di Jawa Barat pada tahun 2017 mencapai 12,42 tahun atau mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya (12,30 tahun). Hal ini berarti bahwa secara rata-rata anak usia 7 tahun yang masuk jenjang pendidikan formal pada Tahun 2017 di Jawa Barat memiliki

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐35 II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐35

Sementara untuk Rata-Rata Lama Sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat pada tahun 2017 mencapai 8,14 tahun atau mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya (7,95 tahun). Kondisi ini berarti bahwa rata-rata penduduk Jawa Barat baru mampu menempuh pendidikan sampai dengan kelas 1 SMP atau putus sekolah di kelas 2 SMP.

2.2.10. Angka Partisipasi Kasar

Angka Partisipasi Kasar menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum disuatu tingkat pendidikan. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Angka partisipasi kasar merupakan perbandingan jumlah siswa pada tingkat pendidikan SD/ SMP/ SMA dibagi dengan jumlah penduduk berusia 7 hingga 18 tahun atau rasio jumlah siswa. Angka partispasi kasar merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.

Tabel 2.20

Angka Partisipasi Kasar di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

108,09 107,54 APK SMP/MTs

APK SD/MI

85,26 87,50 90,07 99,68 88,8 APK SMA/MA/SMK

60,12 68,55 70,23 67,56 76,48 Sumber:BPS RI Tahun 2017, BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 dan Statistik

Kesejahteraan Rakyat Jawa Barat Tahun 2012-2016

Dari tabel di atas menunjukkan nilai APK pada tahun 2012 sampai 2017 mengalami fluktuasi untuk seluruh jenjang pendidikan. APK SD/MI tertinggi sebesar 109,42 di tahun 2015, terendah sebesar 103,28 di tahun 2012, APK SMP/MTs tertinggi sebesar 99,68 di tahun 2016, terendah sebesar

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐36

85,26 di tahun 2013. APK SMA/MA/SMK tertinggi sebesar 76,48 di tahun 2017, terendah sebesar 60,12 di tahun 2013.

2.2.11. Angka Partisipasi Murni

Angka partisipasi murni adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. Angka partisipasi murni fungsinya hampir sama dengan APK, hanya saja APM merupakan indikator yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar dijenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.

Sedangkan nilai APM seluruh jenjang pendidikan selalu menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun. APM SD/MI sebesar 93,41 di tahun 2012, terus meningkat menjadi 98,06 di tahun 2017. APM SMP/MTs sebesar 73,54 di tahun 2012, terus meningkat menjadi 80,29 di tahun 2017. APM SMA/MA/SMK sebesar 51,24 di tahun 2012, terus meningkat menjadi 57,22 di tahun 2017.

Tabel 2.21

Angka Partisipasi Murni di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

97,08 97,60 97,68 98,20 98,05 APM SMP/MTs

APM SD/MI

76,76 79,30 79.55 79,76 80,29 APM SMA/MA/SMK

52,25 56,48 56,73 56,92 57,22 Sumber:BPS RI 2017, BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 dan Statistik Kesejahteraan

Rakyat Jawa Barat 2012-2016

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐37

2.2.12. Jumlah Kematian Bayi

Jumlah kematian bayi di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2012- 2015 masih mengalami fluktuasi. Jumlah kematian bayi tertinggi sebesar 4.803 kasus di tahun 2012, terendah sebesar 1.321 kasus di tahun 2014. Adapun rasio kematian bayi sebesar 5,2 di tahun 2012 dan terus mengalami penurunan dengan kondisi akhir di tahun 2016 sebesar 3,93. Jumlah kematian bayi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.22

Jumlah Kematian Bayi

Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 - 2016

Rasio Kematian Bayi TAHUN

Jumlah Kematian Bayi

Per Tahun

3.93 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2017

2.2.13. Jumlah Kasus Kematian Ibu

Angka kematian Ibu (AKI) di Provinsi Jawa Barat berdasarkan data beberapa tahun terakhir sebagaimana disajikan pada tabel di bawah menunjukkan posisi terbanyak pada tahun 2016 yaitu mencapai 780 kasus. Jumlah kematian Ibu di Provinsi Jawa Barat disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.23

Jumlah Kasus Kematian Ibu Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016

Jumlah kasus 804 765 748 823 780 Kematian Ibu

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2017

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐38

2.2.14. Angka Usia Harapan Hidup

Angka Usia Harapan Hidup mengindikasikan peluang bayi yang baru lahir akan mencapai usia harapan hidup hingga tahun tertentu. Tingkat kesehatan di suatu negara salah satunya dapat dilihat dari besarnya usia harapan hidup penduduknya.

Membaiknya kondisi kesehatan masyarakat Jawa Barat telah diiringi dengan peningkatan Angka Harapan Hidup. Angka Harapan Hidup Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 2013 sampai dengan 2017 semakin lama semakin meningkat hingga mencapai menjadi 72,47 tahun. Angka ini berarti bahwa setiap bayi yang lahir pada tahun 2017 memiliki harapan untuk hidup hingga usia mencapai 72,47 tahun. Peningkatan Angka Harapan Hidup di Jawa Barat ini sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain semakin baik akses pelayanan kesehatan bagi semua kelompok masyarakat, perilaku hidup sehat oleh masyarakat luas dan disertai semakin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat disertai dukungan peningkatan kesehatan lingkungan.

Tabel 2.24

Angka Harapan Hidup Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Angka Harapan 71,82 72,09 72,23 72,41 72,44 72,47 Hidup

Sumber: BPS RI, 2018

2.2.15. Persentase Balita Gizi Buruk

Persentase balita gizi buruk adalah persentase balita dalam kondisi gizi buruk terhadap jumlah balita. Keadaan tubuh anak bayi dilihat dari berat badan menurut umur. Gizi buruk adalah kondisi terparah dari kekurangan gizi menahun.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐39

Tabel 2.25

Persentase Gizi Buruk Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2016

0,07 0,07 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2012-2016

Persentase Gizi Buruk (%)

Pada tahun 2012 balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 28.348 atau 0.85 persen dari total balita 3.346.574 orang balita. Pada tahun 2013 balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 24.348 atau 0.72 persen dari total balita 3.346.574 orang balita. Pada tahun 2014 balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 3.126 atau 0.72 persen dari total balita 4.435.523 orang balita. Sedangkan di tahun 2015 balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 2.979 atau 0.07 persen dari total balita 4.383.332 orang balita.

2.2.16. Rasio Penduduk Yang Bekerja

Berdasarkan data BPS, dari 35.353.191 jiwa penduduk usia kerja ini 22.391.003 jiwa adalah angkatan kerja (terdiri dari yang bekerja dan mencari kerja) dan 12.962.188 jiwa bukan angkatan kerja (terdiri dari mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya). Penduduk

yang bekerja sejumlah 20.551.575 jiwa terdiri dari 13.531.806 jiwa laki- laki dan 7.019.769 jiwa perempuan.

Tabel 2.26

Rasio Penduduk yang Bekerja Tahun 2012-2017 (jiwa)

N Kegiatan Jumlah

Laki-laki Perempua Jumlah n

14.709.09 7.681.907 22.391.00 Kerja

A. Angkatan 20.150.09

n Terbuka B. Bukan

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐40

N Kegiatan Jumlah

Laki-laki Perempua Jumlah n

Rasio 90,99 91,54 90,84 91,10 91,28 92.00 91.38 91,78 Penduduk Yang Sumber: Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012-2016 Bk j

*) Indikator Statistik Terkini Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Sebagaimana data yang diolah pada tabel diatas, diketahui rasio penduduk yang bekerja di Jawa Barat pada tahun 2017 sebesar 91,78 persen. Angka ini meningkat dari tahun 2012 yang berjumlah 90,99 persen.

2.2.17. Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)

Untuk mengevaluasi hasil pembangunan perspektif gender digunakan beberapa indikator, diantaranya adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Angka IPG menggambarkan kesenjangan atau gap pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. IPG merupakan rasio antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan dan laki-laki. Sedangkan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) mengukur partisipasi aktif laki-laki dan perempuan pada kegiatan ekonomi, politik dan pengambilan keputusan.

Tabel 2.27

Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Di Provinsi Jawa Barat 2012-2017

IPG 87,79 88,21 88,35 89,11 89,56 89,18 IDG

69,02 70,04 Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2013, 2015 dan 2016, dan *) LKPJ Provinsi Jawa Barat Tahun 2016-2017

Indeks Pembangunan Gender selama periode 2012 sampai 2017 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, terakhir berada pada

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐41 II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐41

2.2.18. Keluarga Pra Sejahtera

Keberhasilan program KB tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga atau organisasi masyarakat lainnya yang secara bersama-sama mensukseskan program dimaksud yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan tahapan atau tingkatan kesejahteraan keluarga, maka setiap keluarga dapat dikelompokan kepada 5 (lima) tahapan keluarga yaitu: Keluaraga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera Tahap I, Keluarga Sejahtera Tahap II, Keluarga Sejahtera Tahap III, dan Keluarga Sejahtera Tahap III plus. Jumlah Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera I dan II di Jawa Barat Tahun 2012-2016 disajikan pada tabel berikut.

Tabel 2.28

Jumlah Keluarga Pra Sejahtera I, II, III III Plus

di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Keluarga Pra 1.114.337 Sejahtera

2.526.361 2.577.327 2.390.125 2.390.125 1.083.117 Keluarga Sejahtera

6.442.293 I 3.396.010 3.656.177 3.570.220 3.570.220 7.140.709

Keluarga Sejahtera 4.957.539 II, III, II Plus

6.353.120 6.164.324 6.443.833 6.443.833 3.546.196 Sumber: Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2013-2017 dan LPPD Provinsi Jawa

Barat Tahun 2013-2016

Keluarga Pra Sejahtera semakin menurun yaitu 1.114.337 pada tahun 2017, dibandingkan dengan tahun 2015 yang berjumlah 2.390.125. Di sisi lain, jumlah Keluarga Sejahtera I tahun 2017 sebanyak 6.442.293. Angka ini meningkat drastis bila dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 3.570.220. Adapun jumlah Keluarga Sejahtera II di tahun 2017 berjumlah 4.957.539, angka ini menurun drastis dari tahun 2015 yang berjumlah 6.443.833. Kondisi ini menunjukkan Keluarga Sejahtera II mengalami penurunan menjadi Keluarga Sejahtera I.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐42

2.2.19. Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat

Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat yang beberapa tahun terakhir diganti menjadi Survey Kepuasan Masyarakat oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, adalah adalah pengukuran secara komprehensif kegiatan tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari penyelenggara pelayanan publik. Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat terhadap pelayanan publik di Provinsi Jawa Barat disajikan pada tabel di bawah.

Tabel 2.29

Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Tahun

INDIKATOR 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat -333 3,21 3,5 Sumber: LKPJ Provinsi Jawa Barat Tahun Tahun 2016-2017

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat pada Tahun 2013 sebesar 3 (baik) dan meningkat menjadi 3,5 (baik) pada tahun 2017. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah semakin meningkat.

2.2.20. Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah setiap tahun menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan selanjutnya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil opini BPK atas pengelolaan keuangan di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 2012-2016 dapat dilihat di tabel berikut ini.

Tabel 2.30

Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐43

Opini BPK WTP WTP WTP WTP WTP WTP Sumber: Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat 2012-2016

Hasil opini BPK atas pengelolaan keuangan di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 2012-2017 menunjukkan prestasi yang baik yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

2.2.21. Pencapaian Skor Pola Pangan Harapan

Indikator kualitas konsumsi pangan ditunjukkan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsumsi antar kelompok pangan. PPH biasanya digunakan untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan pangan yang ideal di suatu wilayah.

Tabel 2.31

Skor PPH Kemandirian Pangan Kabupaten/Kota

di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Skor PPH

81 84,30 Sumber: LKPJ Provinsi Jawa Barat Tahun 2016-2017

Data menunjukkan, skor PPH Jawa Barat tahun 2013 sebesar 74,90, menurun menjadi 74 di tahun 2014. Namun pada tahun-tahun berikutnya meningkat sehingga mencapai 84,30 di tahun 2017. Skor PPH ini menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan di Jawa Barat.

2.2.22. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB

Indikator yang digunakan untuk mengetahui urusan pilihan bidang pertanian salah satunya dengan melihat Kontribusi sektor pertanian dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi dalam wilayah tertentu dan

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐44 II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐44

Kontribusi Pertanian terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat mencakup sub sector Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian; Subsektor Kehutanan dan Penebangan Kayu; dan Subsektor Perikanan. Pada kurun waktu 2012 sampai dengan 2017, kontribusi sector ini mengalami fluktuasi. Pada Tahun 2012 persentase kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 7,98 persen dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 8,09 persen. Namun pada tahun 2014 dan 2015 menurun masing-masing sebesar 8,72 persen 8,69 persen. Walau sempat meningkat di tahun 2016 meningkat menjadi 8,90 persen, kontribusi sektor pertanian kembali turun pada tahun 2017 menjadi 8,60 persen.

Tabel 2.32

Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB

Sumber: PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha 2012-2017

2.2.23. Kontribusi Pariwisata terhadap PDRB

Kontribusi Pariwisata terhadap PDRB Tahun 2014 sebesar 2,43 persen, di tahun 2015 tetap pada 2,43 persen, sedangkan di tahun 2016 naik menjadi 2,55 persen, dan di tahun 2017 menjadi sebsar 2,71 persen. Kontribusi Pariwisata terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat disajikan pada tabel di bawah ini.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐45

Tabel 2.33

Kontribusi Pariwisata terhadap PDRB Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi Pariwisata 2,35 2,39 2,43 2,50 2,60 2,71 Terhadap PDRB (%)

Sumber: Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012-2017, dan *) LKPJ Provinsi Jawa Barat Tahun 2017

2.2.24. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDRB

Komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan kehutanan meliputi kayu gelondongan (baik yang berasal dari hutan rimba maupun hutan budidaya), kayu bakar, rotan, bambu dan hasl hutan lainnya. Dicakup juga dalam kegiatan kehutanan adalah jasa yang menunjang kegiatan kehutanan atas dasar balas jasa (fee) atau kontrak termasuk kegiatan reboisasi hutan yang dilakukan atas dasar kontrak.

Pada tahun 2012 kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB sebesar 0,10, di tahun 2013 menurun menjadi 0,09 persen dan di tahun 2014 sampai dengan tahun 2017 menurun menjadi 0,07 persen.

Tabel 2.34

Kontribusi sektor Kehutanan terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi sektor kehutanan

0,10 0,09 0,08 0,08 0,08 0,07 terhadap PDRB (%) Sumber: PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha 2012-2017

2.2.25. Kontribusi Sektor Pertambangan Terhadap PDRB

Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB adalah jumlah kontribusi PDRB dari sektor pertambangan dibagi dengan jumlah total PDRB dikalikan 100 persen. Seluruh jenis komoditi yang dicakup dalam kategori pertambangan adalah pertambangan minyak dan gas bumi (migas), pertambangan batubara dan lignit, pertambangan bijih logam

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐46 II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐46

Tabel 2.35

Kontribusi sektor Pertambangan terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi sektor pertambangan

3,27 2,77 2,43 1,71 1,53 1,43 terhadap PDRB (%) Sumber: PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012-2017

Berdasarkan data, pada tahun 2012 kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Jawa Barat sebesar 3,27 persen dan terus menurun hingga mencapai 1,43 persen pada Tahun 2017.

2.2.26. Kontribusi Sektor Perdagangan Terhadap PDRB

Kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB adalah jumlah kontribusi PDRB dari sektor perdagangan dibagi dengan jumlah total PDRB dikalikan 100 persen. Adapun kegiatan sektor perdagangan meliputi kegiatan ekonomi/lapangan usaha di bidang perdagangan besar dan eceran (penjualan tanpa perubahan teknis) dari berbagai jenis barang, dan memberikan imbalan jasa yang mengiringi penjualan barang-barang tersebut. Baik penjualan secara grosir (perdagangan besar) maupun eceran merupakan tahap akhir dalam pendistribusian barang dagangan.

Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2012 kontribusi sektor perdagangan terhadap PDRB sebesar 15,91 persen dan cenderung mengalami pelambatan pada tahun-tahun berikutnya. Pada Tahun 2017, sekotr perdangan memberi kontribusi sebesar 15,10 persen. Angka ini sedikit meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berada pada 15,08 persen.

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐47

Tabel 2.36

Kontribusi sektor Perdagangan terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi sektor Perdagangan terhadap PDRB

Sumber: PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012-2017

2.2.27. Kontribusi Sektor Industri Terhadap PDRB

Sektor industri merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Walau demikian, kondisi 2 (dua) tahun terakhir menunjukkan penurunan kontribusi terhadap PDRB.

Kontribusi sektor industi terhadap PDRB kurun waktu 2012 sampai 2015 menunjukkan peningkatan, hingga mencapai 43,03 persen pada tahun 2015. Namun sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2017 mengalami penurunan menjadi sebesar 42,29 persen.

Pada kategori industri pengolahan, industri yang memiliki peranan terbesar adalah industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik, kemudian diikuti oleh industri tekstil dan pakaian. Besarnya kontribusi sektor industri pengolahan ersebut menjadi pedang bermata dua bagi Jawa Barat. Di satu sisi industri pengolahan menjadi pendorong ekonomi Jawa Barat. Di sisi lain kondisi tersebut membuat Jawa Barat bergantung pada industri pengolahan membuat Jawa Barat berisiko tinggi mengalami dampak besar jika terdapat gangguan finansial global yang mempengaruhi kinerja industri pengolahan.

Tabel 2.37

Kontribusi Sektor Industri terhadap PDRB di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2017

Kontribusi sektor Industri 43,23 43,22 43,64 43,03 42,49 42,29 terhadap PDRB (%)

BAB

II – GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH II ‐48

Sumber: PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha 2012-2017