Karakteristik Spermatozoa Kauda Epididimis Domba Masa Tumbuh setelah Pemberian Fraksi Lipid (FL) dan Fraksi Delipidasi (FdL) Ekstrak Daun Katuk

(1)

ii KURNIASARI. Characteristic of Growth Ram Cauda Epididymal Sperm after Supplemented by Katuk Leaves Extract Fraction of Lipid (FL) and Katuk Leaves Extract Fraction of Delipidation (FdL). Under direction M. AGUS SETIADI and AGIK SUPRAYOGI.

This research was conducted to determine the relationship of FL and FDL on growth ram cauda epididymal sperm characteristic. This research was performed in 9 growth Priangan rams (5 years old) divided into 3 groups wich consist of 3 rams each group. The control group was given placebo and the treatment group was given FL in the dosage 270 mg/day or FdL in the dosage of 1230 mg/day for 2 months, then after treatment rams were killed. The epididimys was collected and sperm was observed by piercing and sucking by spoid for five days respectively. Epididimal weight and concentration were observed in H0, then in H0 until H4 the characteristic of sperm were observed on motility, live sperm, membrane integrity, and abnormality. The result of the experiment revealed that there was decreasing in motility, live sperm, and membrane integrity day by day. However, concentration on FL and FdL group lower than control and the life percentage in the treatment is still high until the end of observation in FL and FdL group. In general, there was no significant influence on cauda epididymal sperm characteristic after treatment with FL and FdL.


(2)

i

KARAKTERISTIK SPERMATOZOA KAUDA EPIDIDIMIS

DOMBA MASA TUMBUH SETELAH PEMBERIAN FRAKSI

LIPID (FL) DAN FRAKSI DELIPIDASI (FdL) EKSTRAK

DAUN KATUK

ADI NINGRUM KURNIASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

ii KURNIASARI. Characteristic of Growth Ram Cauda Epididymal Sperm after Supplemented by Katuk Leaves Extract Fraction of Lipid (FL) and Katuk Leaves Extract Fraction of Delipidation (FdL). Under direction M. AGUS SETIADI and AGIK SUPRAYOGI.

This research was conducted to determine the relationship of FL and FDL on growth ram cauda epididymal sperm characteristic. This research was performed in 9 growth Priangan rams (5 years old) divided into 3 groups wich consist of 3 rams each group. The control group was given placebo and the treatment group was given FL in the dosage 270 mg/day or FdL in the dosage of 1230 mg/day for 2 months, then after treatment rams were killed. The epididimys was collected and sperm was observed by piercing and sucking by spoid for five days respectively. Epididimal weight and concentration were observed in H0, then in H0 until H4 the characteristic of sperm were observed on motility, live sperm, membrane integrity, and abnormality. The result of the experiment revealed that there was decreasing in motility, live sperm, and membrane integrity day by day. However, concentration on FL and FdL group lower than control and the life percentage in the treatment is still high until the end of observation in FL and FdL group. In general, there was no significant influence on cauda epididymal sperm characteristic after treatment with FL and FdL.


(4)

iii KURNIASARI. Karakteristik Spermatozoa Kauda Epididimis Domba Masa Tumbuh setelah Pemberian Fraksi Lipid (FL) dan Fraksi Delipidasi (FdL) Ekstrak Daun Katuk. Dibimbing oleh M. AGUS SETIADI and AGIK SUPRAYOGI.

Hewan selalu menunjukkan kemampuannya untuk bereproduksi, hal tersebut sangat penting untuk mempertahankan kelestarian jenisnya di alam agar tidak punah. Terjadinya reproduksi membutuhkan dua komponen penting yaitu sel telur dari betina dan sel spermatozoa dari pejantan. Namun, ada kalanya pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya secara normal. Gangguan aktivitas reproduksi tersebut akan sangat merugikan bagi pengembangan populasi hewan terutama hewan dengan nilai genetik (plasma nutfah) yang unggul. Kegagalan pengembangan populasi tersebut dapat mengakibatkan penurunan populasi hewan jika tidak cepat ditanggulangi.

Semakin besar penurunan populasi semakin besar kemungkinan timbulnya ancaman terhadap keberlangsungan hewan bahkan dapat berujung kepada kepunahan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga plasma nutfah dari kepunahan adalah melalui aplikasi teknologi reproduksi dimana keberhasilan teknologi reproduksi tidak dapat lepas dari kualitas spermatozoa yang baik. Dengan demikian, upaya untuk penyelamatan plasma nutfah hewan melalui aplikasi teknologi reproduksi juga harus mendorong upaya perbaikan fungsi fisiologis pada hewan.

Daun katuk mampu meningkatkan fungsi fisiologis hewan termasuk fungsi reproduksi. Khasiat daun katuk diketahui dapat meningkatkan produksi air susu ataupun produksi telur pada hewan betina. Diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan yaitu dapat memacu peningkatan fungsi reproduksi yang diakibatkan peningkatan hormon steroid terutama testosteron. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana efek pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi hewan jantan. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian awal untuk mengetahui pengaruh dari pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi jantan melalui karakteristik spermatozoa di kauda epididimis domba sebagai hewan coba perlu dilakukan.

Penelitian ini menggunakan 9 ekor domba Priangan jantan berumur ± 5 bulan yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing 3 domba per kelompok perlakuan. Tiga perlakuan tersebut adalah kontrol yang diberi plasebo, FL diberi dosis 270 mg/hari/ekor dalam 3 kapsul, dan FdL diberi dosis 1230 mg/hari/ekor dalam 3 kapsul. Kapsul diberikan secara oral pada pagi hari (2 kapsul) dan sore hari (1 kapsul) selama 2 bulan, kemudian pada akhir perlakuan domba dikorbankan untuk selanjutnya epididimis dipreparir. Pengamatan dilakukan terhadap bobot epididimis dan konsentrasi spermatozoa epididimis serta selama 5 hari berturut-turut diamati motilitas, persentase hidup, keutuhan membran, dan abnormalitas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi ekstrak daun katuk tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot epididimis dan karakteristik spermatozoa (konsentrasi, motilitas, persentase hidup, keutuhan membran, dan abnormalitas). Namun demikin, diduga respon FL dan FdL


(5)

iv konsentrasi spermatozoa kauda epididimis dibandingkan kontrol. Motilitas spermatozoa pada pemberian FdL menunjukkan kecenderungan penurunan yang lebih cepat dibandingkan kelompok FL dan kontrol. Persentase hidup dan keutuhan membran spermatozoa kauda epididimis pada perlakuan FL dan FdL memperlihatkan kecenderungan nilai yang lebih besar dari H-2 hingga H-4 dibandingkan kontrol. Persentase cytoplasmic droplet dan abnormalitas lain tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan dari H-0 hingga H-4.

Pemberian fraksi ekstrak daun katuk dengan berbagai dosis tidak mempengarui bobot epididimis dan karakteristik spermatozoa kauda epididimis. Terdapat kecenderungan penurunan konsentrasi spermatozoa dan peningkatan kekuatan membran pada domba masa tumbuh.


(6)

v © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebgian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

vi

KARAKTERISTIK SPERMATOZOA KAUDA EPIDIDIMIS

DOMBA MASA TUMBUH SETELAH PEMBERIAN FRAKSI

LIPID (FL) DAN FRAKSI DELIPIDASI (FdL) EKSTRAK

DAUN KATUK

ADI NINGRUM KURNIASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

vii

Nama :

NIM :

Delipidasi (FdL) Ekstrak Daun Katuk Adi Ningrum Kurniasari

B04070074

Disetujui Pembimbing I

Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi

Pembimbing II

Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. AIF

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini, AIF


(9)

viii Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 ialah fisiologi reproduksi, dengan judul Karakteristik Spermatozoa Kauda Epididimis Domba Masa Tumbuh setelah Pemberian Fraksi Lipid (FL) dan Fraksi Delipidasi (FdL) Ekstrak Daun Katuk. Karya ilmiah ini dapat terwujud dengan baik atas dukungan dana DIPA IPB Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional dengan SPK Tahun Anggaran 2010 Nomor 8/13.24.4/SPK/PSN/2010, 5 Maret 2010 yang diketuai Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc., AIF.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi dan Bapak Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, MSc, AIF selaku pembimbing skripsi yang begitu sabar memberikan bimbingan, arahan, motivasi, waktu, dan pemikiran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mbak Hidayaturrahmah dan teman sepenelitian penulis, Arum Saksono serta Bapak Bondan selaku teknisi lab yang telah membantu sebelum dan selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, Dedek, Mbah Samat-Sumi, Mbah Uti-Akung tersayang serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat GIANUZZI FKH 44 dan teman-teman Wisma Naura atas motivasi dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2011

Adi Ningrum Kurniasari


(10)

ix Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 31 Juli 1989 dari ayah Adi Purwanto S.Pd dan ibu Dra. Siti Zuliati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan Dita Desviani. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis Penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi FKH IPB. Penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Masyarakat 2010 dan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian 2011 yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia. Penulis juga mengikuti kegiatan The 60th Internasional Veterinary Student Association (IVSA) Congress 2011 di Korea Selatan sebagai peserta delegasi.


(11)

x Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Reproduksi Domba Jantan ... 4

2.2 Fisiologi Reproduksi Jantan ... 5

2.2.1 Masa Reproduksi ... 5

2.2.2 Pengaturan Hormonal pada Jantan ... 6

2.3 Karakteristik Botani Tanaman Katuk ... 8

2.4 Manfaat Tanaman Katuk ... 9

2.5 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk ... 11

2.6 Mekanisme Senyawa Aktif Daun Katuk terhadap Fungsi Reproduksi 12

2.7 Ekstraksi dan Fraksinasi ... 15

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Ekstraksi dan Fraksinasi Daun Katuk ... 17

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.4 Prosedur Pengambilan Epididimis ... 19

3.5 Parameter Penelitian ... 20

3.6 Protokol Penelitian ... 22


(12)

xi

4.1 Konsentrasi Spermatozoa ... 23

4.2 Motilitas Spermatozoa ... 25

4.3 Persentase Hidup dan Keutuhan Membran Spermatozoa ... 26

4.4 Persentase Cytoplasmic Droplet dan Abnormalitas Lain Spermatozoa 29

4.5 Pembahasan Umum ... 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(13)

xii Halaman 1 Bobot epididimis dan konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis

setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk ... 2 Persentase motilitas spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian

fraksi ekstrak daun katuk ... 3 Persentase hidup spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian

fraksi ekstrak daun katuk ... 4 Persentase keutuhan membran spermatozoa di kauda epididimis setelah

pemberian fraksi ekstrak daun katuk ... 5 Persentase cytoplasmic droplet spermatozoa di kauda epididimis setelah

pemberian fraksi ekstrak daun katuk ... 6 Persentase abnormalitas spermatozoa di kauda epididimis setelah

pemberian fraksi ekstrak daun katuk ...

23 25 27

27 29


(14)

xiii Halaman 1 Hubungan hormon yang mengontrol fungsi testikuler...

2 Daun katuk ... 3 Biosintesis hormon steroid yang dipengaruhi sterol dan androstan ... 4 Bagan proses ekstraksi dan fraksinasi daun katuk ... 5 Skema perubahan morfologi spermatozoa akibat kondisi hipoosmotik ... 6 Protokol penelitian ... 7 Mekanisme pengaruh senyawa aktif daun katuk terhadap konsentrasi

dan motilitas spermatozoa domba masa tumbuh ...

8 9 14 18 21 22 33


(15)

xiv Halaman 1 Hasil ANOVA bobot epididimis ...

2 Hasil ANOVA konsentrasi spermatozoa epididimis ... 3 Hasil ANOVA motilitas spermatozoa ... 4 Hasil ANOVA persentase hidup spermatozoa ... 5 Hasil ANOVA keutuhan membran spermatozoa ... 6 Hasil ANOVA persentase cytoplasmic droplet spermatozoa ... 7 Hasil ANOVA persentase abnormalitas lain spermatozoa ...

41 41 42 42 43 43 44


(16)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hewan selalu menunjukkan kemampuannya untuk bereproduksi, hal tersebut sangat penting untuk mempertahankan kelestarian jenisnya di alam agar tidak punah. Terjadinya reproduksi membutuhkan dua komponen penting yaitu sel telur dari betina dan sel spermatozoa dari pejantan. Namun, ada kalanya pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya pejantan tidak dapat melakukan ejakulasi secara alami, pejantan tidak dapat memberikan respon terhadap penampungan semen dengan alat bantu, pejantan terlalu dini dipotong, ataupun pejantan mati secara mendadak.

Dengan adanya gangguan aktivitas reproduksi seperti di atas, maka akan sangat merugikan bagi pengembangan populasi hewan terutama hewan dengan nilai genetik (plasma nutfah) yang unggul. Kegagalan pengembangan populasi dapat mengakibatkan penurunan populasi hewan jika tidak cepat ditanggulangi. Semakin besar penurunan populasi semakin besar kemungkinan timbulnya ancaman terhadap keberlangsungan hewan bahkan dapat berujung kepada kepunahan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga plasma nutfah dari kepunahan adalah melalui aplikasi teknologi reproduksi.

Sumber spermatozoa yang dapat digunakan untuk aplikasi teknologi reproduksi tersebut dapat berasal dari kauda epididimis terutama jika pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya. Menurut Hafez dan Hafez (2000), spermatozoa yang berada di kauda epididimis diketahui telah mengalami proses pematangan sehingga memiliki kemampuan membuahi oosit. Selain itu, kauda epididimis menyimpan 75% spermatozoa dari total spermatozoa dalam duktus epididimis.

Keberhasilan aplikasi teknologi reproduksi sebagai upaya penyelamatan plasma nutfah hewan sangat dipengaruhi oleh kualitas spermatozoa yang baik. Kualitas spermatozoa pada hewan secara fisiologis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormonal, metabolisme, maupun nutrisi pakan. Dengan demikian, upaya untuk penyelamatan plasma nutfah hewan melalui aplikasi


(17)

teknologi reproduksi juga harus mendorong upaya perbaikan fungsi fisiologis pada hewan.

Daun katuk mampu meningkatkan fungsi fisiologis hewan termasuk fungsi reproduksi. Subekti (2007) mengemukakan terjadi peningkatan fertilitas dan daya tetas pada puyuh akibat pemberian ransum ekstrak daun katuk maupun tepung daun katuk. Pemberian daun katuk dalam bentuk ekstrak ternyata juga dapat meningkatkan produksi air susu pada domba (Suprayogi 2000), mencit (Sari 2004), babi (Sidauruk 2008), dan tikus (Suprayogi et al. 2009). Khasiat tersebut merupakan peran senyawa aktif dalam daun katuk yang mampu meningkatkan aktifitas hormonal, metabolisme, maupun nutrisi. Disamping itu, Suprayogi et al.

(2009) menemukan adanya senyawa aktif dalam daun katuk yang merupakan prekursor hormon androgen maupun estrogen. Hal ini diperkuat penelitian Saragih (2005) dan Subekti (2007) yang menyatakan terjadinya peningkatan konsentrasi estradiol serum pada pemberian daun katuk dalam ransum unggas. Namun mekanisme senyawa tersebut terhadap proses reproduksi jantan sampai saat ini belum diketahui secara pasti.

Mencermati hal di atas, maka terdapat pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk terhadap fungsi reproduksi. Daun katuk dapat meningkatkan produksi air susu ataupun produksi telur pada hewan betina. Diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan yaitu dapat memacu peningkatan fungsi reproduksi yang diakibatkan peningkatan hormon steroid terutama terutama testosteron.

Sampai saat ini belum diketahui bagaimana efek pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi hewan jantan. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian awal untuk mengetahui pengaruh dari pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi jantan melalui karakteristik spermatozoa di kauda epididimis domba sebagai hewan coba perlu dilakukan.


(18)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengamati pengaruh fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi jantan melalui karakteristik spermatozoa di kauda epididimis domba masa tumbuh.

2. Mengamati ketahanan spermatozoa di kauda epididimis dalam upaya penyelamatan plasma nutfah hewan terkait pemanfaatan daun katuk.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai efek fraksi ekstrak daun katuk terhadap reproduksi hewan jantan. Selain itu, didapatkan pula fraksi yang paling baik sebagai bahan baku obat pemacu reproduksi sebagi salah satu upaya pemanfaatan epididimis domba untuk melestarikan sumber daya pejantan dengan kualitas unggul.


(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Reproduksi Domba Jantan

Sistem reproduksi jantan terdiri atas skrotum, spermatic cord, testes, kelenjar asesorius, penis, preputium, dan saluran reproduksi (Bearden et al. 2004). Testes merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi penting: gametogenesis dan steroidogenesis (Pineda 2003). Testes domba mengandung banyak tubulus seminiferus yang berkelok-kelok dengan panjang 4000 meter (Wodzicka-Tomaszewska et al. 2001).

Tubulus seminiferus testes terdiri atas sel spermatogenik (sel kecambah) yang berdiferensiasi membentuk spermatozoa dan sel Sertoli yang memproduksi cairan kaya protein. Diantara tubulus seminiferus terdapat jaringan interstitial dengan komposisi pembuluh darah, limfe, saraf, dan sel Leydig yang mensekresikan hormon androgen terutama testosteron. Spermatozoa meninggalkan testes melalui duktus eferen dilanjutkan menuju duktus epididimis yang nantinya berlanjut ke duktus deferen (Hafez dan Hafez 2000).

Epididimis mengandung duktus epididimis yaitu saluran berliku yang dibagi atas kepala (kaput), badan (korpus), dan ekor (kauda). Duktus epididimis memiliki diameter 100 sampai 300 µm dan memiliki epitel yang khas berupa sel sekretoris dan sel bersilia. Epididimis memiliki fungsi utama yaitu pengangkutan spermatozoa dari rere testis ke duktus eferen, pengkonsentrasian spermatozoa, pematangan spermatozoa, dan penyimpanan spermatozoa (Toelihere 1993).

Mukosa duktus epididimis mamalia tidak bersilia dan terutama tersusun dari sel basal (apikal, tipis, dan jernih) dan leukosit intrapitel (sel halo) yang beradaptasi dalam sekresi dan reabsorbsi cairan, protein, dan cairan organik lainnya (Robaire dan Hinton 2002). Epididimis memiliki blood-epididymis barrier yang berfungsi sebagai penghalang anatomis yang menahan molekul dan sel masuk atau keluar lumen secara ketat. Barrier tersebut secara fisiologis terdiri dari pengangkut yang mengatur gerakan bahan kimia masuk atau keluar lumen sehingga membentuk lingkungan mikro yang penting dalam perkembangan dan pematangan sel kecambah. Secara imunologis barrier tersebut mencegah spermatozoa diserang oleh sistem imun tubuh (Mital et al. 2011).


(20)

2.2 Fisiologi Reproduksi Jantan 2.2.1 Masa Reproduksi

Hewan mengalami masa tumbuh yang merupakan masa terjadinya proses pertambahan ukuran (volume, bobot, dan jumlah sel) yang terjadi selama fetus hingga akhir pubertas. Masa setelahnya merupakan masa perkembangan yaitu terjadinya diferensiasi sel menuju keadaan yang lebih dewasa sehingga mencapai dewasa penuh. Pubertas akan muncul di masa tumbuh yang secara umum diartikan sebagai perkembangan seksual dimana hewan dapat bereproduksi ditandai dengan ditemukannya spermatozoa motil dalam ejakulat pada jantan tetapi hewan belum matang penuh secara seksual (belum dewasa kelamin). Dewasa kelamin adalah masa dimana hewan menunjukkan kemampuan penuh reproduksinya (Hafez dan Hafez 2000).

Pubertas pada domba terjadi pada usia 6 bulan tetapi ada kemungkinan tertunda hingga usia 9 sampai 12 bulan yang dapat dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, dan lingkungan (Pineda 2003), selain itu pubertas juga dapat dipengaruhi oleh ras, komposisi tubuh, bobot badan, jenis kelamin, manajemen perawatan, dan pertumbuhan kerangka tubuh (Hafez dan Hafez 2000). Sutama (1992) berpendapat bahwa domba Priangan mencapai pubertas pada umur 6 sampai 8 bulan. Sementara itu dewasa kelamin akan tercapai beberapa bulan setelahnya (Cunningham dan Klein 2007).

Sebelum pubertas sekresi gonadothropin-releasing hormone (GnRH) dan gonadotropin dijaga dalam konsentrasi yang tetap karena hipotalamus sangat sensitif terhadap efek umpan balik negatif hormon steroid, yang akan menjadi kurang sensitif setelah hewan mengalami dewasa penuh. Mekanisme efek umpan balik negatif yang sensitif terlihat pada hewan jantan muda atau pada masa tumbuh sehingga pemberian hormon steroid dari luar dapat menurunkan kadar

follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Hewan yang telah mengalami pubertas akan mengalami peningkatan sekresi gonadotropin hingga tahapan terjadinya spermatogenesis untuk pertama kalinya. Lamanya proses spermatogenesis kemungkinan besar menyebabkan pejantan biasanya baru berhasil membuahi betina setelah berumur lebih dari 30 minggu (Cunningham dan Klein 2007).


(21)

Terdapat perbedaan fisiologis reproduksi pada pejantan di masa belum pubertas dan telah pubertas sehingga menyebabkan perbedaan karakteristik reproduksi yang nyata pula. White et al. (2005) mengamati karakteristik testis dan epididimis beruang pada umur belum pubertas dan telah pubertas. Bobot dan volume testis, volume tubulus seminiferus dan interstitial, dan diameter tubulus seminiferus lebih rendah pada umur belum pubertas dibandingkan telah pubertas. Bobot epididimis juga lebih rendah pada umur belum pubertas.

Wildeus (1993) juga menyatakan bahwa lingkar skrotum berkorelasi positif terhadap umur dan bobot badan sapi. Sementara itu lingkar skrotum berkorelasi positif terhadap bobot, panjang, dan lebar testis. Dinyatakan pula produksi harian sperma dan jumlah sperma pada eppididimis lebih besar pada umur dewasa kelamin. Karakteristik spermatozoa dipengaruhi oleh umur, bangsa, dan efek iklim juga stress akibat perlakuan yang berulang-ulang. Sementara itu kejadian abnormalitas spermatozoa berupa abnormalitas kepala dan akrosom, proximal cytoplasmic droplet, dan total abnormalitas secara nyata dipengaruhi oleh umur (Söderquist et al. 1996).

2.2.2 Pengaturan Hormonal pada Jantan

Hormon primer mengatur berbagai proses reproduksi sedangkan hormon sekunder atau metabolitnya berpengaruh secara tidak langsung. Hormon dari hipotalamus yang mengatur reproduksi adalah GnRH. GnRH secara langsung maupun melalui sistem peredaran darah menstimulasi (umpan balik positif) kelenjar hipofise anterior sehingga mensekresikan FSH dan LH.

LH berperan dalam proses pematangan spermatozoa dengan menstimulasi sekresi hormon androgen. Hormon androgen terdiri atas testosteron,

dihydrotestosterone (DHT), dan 17-ketosteroids seperti dehydroepian-drosterone

(DHEA) yang disintesis di sel Leydig testis sebanyak 95% dan sisanya disintesis di adrenal korteks hipofise anterior (Despopoulos dan Silbernagl 2003). FSH bekerja menstimulasi sintesis dan sekresi androgen-binding protein (ABP), inhibin, aktivin, dan estrogen yang berperan dalam penyediaan nutrisi ke sel kecambah; meiosis; pematangan spermatocyte; spermiation (Cunningham dan


(22)

Klein 2007); dan menginduksi pembentukan reseptor LH pada sel Leydig (Despopoulos dan Silbernagl 2003).

Testosteron yang disintesis oleh sel Leydig berdifusi ke darah dan limfe, dimana akan diikat oleh ABP yang diproduksi sel Sertoli sehingga dapat masuk ke dalam lumen tubulus seminiferus testis. ABP berfungsi mengatur konsentrasi testosteron dalam testis sehingga konsentrasi testosteron yang tinggi dalam tubulus seminiferus akan menyebabkan terjadinya spermatogenesis. ABP juga menfasilitasi transportasi testosteron ke epididimis dimana testosteron akan diubah menjadi DHT yang berperan dalam perjalanan dan pematangan lebih lanjut spermatozoa di epididimis (Cunningham dan Klein 2007).

Hormon steroid seperti testosteron, DHT, dan estradiol diketahui menekan pelepasan FSH dan LH melalui efek umpan balik negatif. Pemberian testosteron dari luar untuk meningkatkan fertilitas dapat menimbulkan kontraindikasi karena dapat mengganggu sekresi hormon hipofise yang berfungsi memelihara lingkungan spermatogenik yang optimal (Pineda 2003). Inhibin bekerja bersama testosteron terlibat dalam umpan balik negatif terhadap hipofise, sedangkan aktivin dalam cairan rete testes bekerja sebagai umpan balik positif terhadap hipofise (Hafez dan Hafez 2000). Prostaglandin pada jantan mengatur beberapa aktivitas fisiologis seperti kontraksi otot polos saluran organ reproduksi, ereksi, ejakulasi, dan transportasi sperma (Pineda 2003).

Testes menghasilkan spermatozoa melalui proses spermatogenesis. Waktu yang diperlukan domba dalam proses tersebut adalah 37 hari (Wodzicka-Tomaszewska et al. 2001). Spermatogonia akan membelah secara mitosis sebanyak empat kali sehingga dihasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer kemudian mengalami meiosis (jumlah kromosom menjadi setengahnya) menjadi spermatosit sekunder. Proses tersebut disebut spermatocytogenesis (Hafez dan Hafez 2000) yang dikendalikan oleh FSH dan testosteron (Toelihere 1993). Hasil akhir berupa spermatid mengalami proses perkembangan struktur dan perubahan bentuk menjadi spermatozoa. Perubahan tersebut disebut spermiogenesis (Hafez dan Hafez 2000) yang berada di bawah pengaruh DHT (Toelihere 1993).


(23)

Gambar 1 Hubungan hormon yang mengontrol fungsi testikuler (Despopoulos dan Silbernagl 2003)

Menurut Sagi (1994), secara garis besar aktifitas testes dalam kaitannya dengan spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain temperatur tubuh, lokasi testes dan kontrol hipofisis. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah rangsang psikis, dan perubahan-perubahan lingkungan seperti temperatur lingkungan, makanan, zat-zat kimia tertentu, dan kontak-kontak sosial.

2.3 Karakteristik Botani Tanaman Katuk

Tanaman katuk termasuk divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, Bangsa Euphorbiales, Suku Euphorbiaceae, Marga Sauropus, Jenis Sauropus androgynus (L.) Merr.. Namanya beragam di berbagai daerah seperti Simani di Minangkabau, Cekop manis di Melayu, Katuk di Sunda, Katu di Jawa Tengah, dan Karekur di Madura. Habitus berupa perdu setinggi 2.5-5 m, batang tegak,


(24)

bulat, dan berwarna hijau. Batang berkayu, tegak, saat masih muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat kehijauan. Daun berupa daun majemuk, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan pangkal tumpul, jumlah daun per cabang berkisar antara 11-12 helai. Daunnya mempunyai pertulangan menyirip, bertangkai pendek, dan berwarna hijau keputihan pada bagian atas, hijau terang pada bagian bawah dan kadang-kadang terlihat ada bercak keputih-putihan Tanaman ini tumbuh baik pada daerah denngan ketinggian 1300 meter di bawah permukaan laut dan di daerah yang terbuka tetapi tidak langsung terkena sinar matahari (BPOM RI 2008).

Gambar 2 Daun katuk

2.4 Manfaat Tanaman Katuk

Tanaman katuk telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman sayuran, tanaman pagar, dan tanaman obat. Daunnya digunakan untuk memperlancar keluarnya air susu (ASI). Daun katuk juga dapat dipakai sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah, frekuensi dan amplitude denyut jantung, meningkatkan kontraksi usus dan uterus. Selain itu, daun katuk juga digunakan untuk pewarna makanan dan menurunkan demam. Jus daun katuk dapat digunakan untuk menyembuhan penyakit mata dan pelangsing tubuh pada manusia (Rukmana dan Indra 2003).


(25)

Daun dan akar katuk sering digunakan sebagai obat luar untuk mengobati borok, bisul, koreng, demam, darah kotor, dan frambusia. Zat yang berfungsi sebagai antikuman pada daun katuk diduga adalah tanin dan flavonoid. Tanin bersifat racun terhadap mikroba. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut, yaitu berdasarkan sifat astrigensinya dapat menghambat enzim tertentu; berreaksi terhadap membran; dan pembentukan kompleks tanin dengan ion logam. Selain itu, dalam daun katuk juga terdapat senyawa alkaloid yang juga bersifat antiprotozoa dan antikuman (Santoso et al. 2002).

Penelitian terhadap aspek fisiologis dan farmakologis terhadap berbagai hewan coba telah banyak dilakukan. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling 7.74 g/hari pada domba laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 7.75%, lebih besar dibandingkan sediaan ekstrak alkohol daun katuk 1.89 g/hari yaitu hanya 0.89% dibandingkan kontrol. Peningkatan produksi susu ini diduga karena senyawa aktif daun katuk yang mampu meningkatkan populasi dan aktifitas sintesis sel-sel kelenjar ambing. Sementara itu di saat yang sama senyawa aktif daun katuk juga mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi di dalam darah yang berperan dalam produksi susu. Suprayogi et al. (2009) menyatakan terjadi peningkatan produksi air susu pada pemberian fraksi heksan (non-polar) sedangkan terjadi penurunan bobot badan pada pemberian fraksi etilasetat, fraksi air, dan fraksi etanol (polar dan semipolar) pada tikus.

Manfaat katuk pada unggas juga telah diteliti oleh Subekti (2007) yang mengemukakan terjadi peningkatan sistem reproduksi yang ditandai dengan peningkatan organ reproduksi, percepatan umur dewasa kelamin, peningkatan fertilitas, dan daya tetas pada puyuh baik pada pemberian ransum dengan 9% ekstrak daun katuk maupun tepung daun katuk. Santoso et al. (2002) menemukan bahwa pemberian masing-masing ekstrak daun katuk (EDK)-air panas, EDK-etanol, EDK-metanol pada ayam petelur umur 40 minggu mampu meningkatkan mutu telur seperti meningkatkan haugh unit (HU), tebal kerabang dan warna kuning telur, menurunkan jumlah mikroba dalam feses seperti Staphylococcus sp., Salmonella sp., Lactobacillus sp., Streptococcus sp., dan Escherichia coli. Produksi dan kadar nitrogen feses juga mengalami penurunan.


(26)

2.5 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk

Katuk banyak mengandung nutrisi yang bermanfaat yaitu protein, lemak, kalsium, fosfat, besi, steroid, flavonoid, polifenol (Agusta et al. 1997), vitamin A, B, C (244 mg/100 mg), dan E (4.16%) yang baik bagi fungsi reproduksi (Agusta

et al. 1997; Subekti 2007). Hasil penelitian Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia menunjukkan bahwa tanaman katuk mengandung beberapa golongan senyawa kimia, antara lain alkaloid, protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonoid, dan tanin (Rukmana dan Indra 2003). Katuk mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kelompok fitosterol yang lebih banyak dibandingkan jenis sayuran lainnya sehingga dapat dijadikan sumber fitosterol yaitu sebesar 2.14% yang terdiri atas stigmasterol, sitosterol, dan fukosterol (Subekti 2007).

Suprayogi (2000) menemukan 7 kandungan utama daun katuk yang dapat mempengaruhi fisiologis tubuh yaitu 5 senyawa asam lemak tak jenuh (octadecanoic acids, 9-eicosyne, 5,8,11-heptadecatrienoic acid methyl ester, 9,12,15-octadecatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester), 17-ketosteroid (androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha), dan 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid. Senyawa-senyawa tersebut mampu memodulasi hormon-hormon laktogenesis dan laktasi pada betina, serta sebagai eksogenous asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs. Penelitian yang dilakukan Subekti (2007) dengan menggunakan gas chromatography and mas spectrometers (GCMS) menemukan beberapa golongan senyawa kimia dalam ekstrak daun katuk (dengan etanol 70%) yaitu 5 senyawa asam lemak, klorofil (phytol), tokoferol (vitamin E), stigmasterol, sitosterol, dan fukosterol.

Wang dan Lee (1997) menemukan senyawa flavonol yaitu 3-O- -D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaemferol, 3-O- -D-glucosyl-(1→6)- -D-glucosyl-kaemferol, dan 3-O- -D-glucosyl-(1→6)- -D-glucosyl-7-O-α -L-rhamnosyl-kaemferol yang mudah dipisahkan dengan pelarut polar (etanol). Hal ini diperkuat oleh Zuhra et al. (2008) yang juga menemukan adanya senyawa flavonoid jenis flavonon dalam ekstrak daun katuk.


(27)

2.6 Mekanisme Senyawa Aktif Daun Katuk terhadap Fungsi Reproduksi Terdapat pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk terhadap fungsi reproduksi pada hewan. Daun katuk dapat meningkatkan produksi air susu dan produksi telur pada hewan betina. Penelitian Suprayogi et al. (2009) menunjukkan bahwa senyawa fraksi heksan (non-polar) memiliki respon peningkatan produksi air susu pada tikus betina bunting. Suprayogi (2000) menerangkan mengeni mekanisme peningkatan air susu terjadi melalui aksi hormonal serta aksi metabolik. Aksi hormonal daun katuk dalam meningkatkan prosuksi susu terjadi secara langsung maupun tak langsung.

Menurut Suprayogi (2000), ekstrak daun katuk mengandung asam lemak tak jenuh yang kemungkinan diubah menjadi asam lemak tak jenuh 20-C (aracchidonic, di-homo- -linolenic, dan eicosapentaenoic acids) melalui desaturasi dan elongasi. Asam lemak tak jenuh 20-C tersebut memiliki peran penting sebagai prekursor biosintesis eicosanoid seperti: prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxines, dan leukotrienes melalui mekanisme siklooksigenase atau lipoksigenase. Prostaglandin hasil biosintesis senyawa

eicosanoids bekerja langsung pada sel-sel sekretoris kelenjar ambing dengan meningkatkan populasi dan aktifitas sekretisnya. Selain senyawa tersebut, terdapat pula senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha yang merupakan prekursor atau intermediate dalam biosintesis hormon steroid. Peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam plasma darah secara tidak langsung menstimulasi sel-sel kelenjar hipofise anterior dan posterior untuk melepaskan hormon prolaktin, hormon pertumbuhan, dan oksitosin.

Selain aksi hormonal, ditemukan pula aksi metabolit dalam peningkatan prosuksi susu yang melibatkan senyawa 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, monomethyl suksinat, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl-acetate

dan methylpyroglutaman yang terdapat dalam ekstrak daun katuk. Senyawa-senyawa tersebut dapat mengalami hidrolisis di dalam saluran pencernaan menghasilkan produk metabolit berupa suksinat, asam malonik, asetat, dan glutamate yang berperan dalam siklus Krebs dalam produksi energi.

Menurut Despopoulos dan Silbernagl (2003) senyawa-senyawa 17-ketosteroi secara langsung diubah menjadi testosteron atau


(28)

dehidroepiandrosterone (DHEA), selanjutnya dapat diubah menjadi androstenedion, estron, estradiol, atau dihidrotestosteron secara enzimatis dalam biosintesis hormon steroid. Hal ini diperkuat penelitian Saragih (2005) dan Subekti (2007) yang menyatakan terjadinya peningkatan konsentrasi estradiol serum pada pemberian daun katuk dalam ransum unggas petelur.

Fitosterol dalam ekstrak daun katuk (Subekti 2007) diduga juga dapat mempengaruhi fungsi reproduksi. Wu et al. (2005) menyatakan bahwa konsumsi fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol, estron, dan SHBG pada serum darah, sedangkan Al Zyood dan Shawakfa (2006) menyatakan bahwa sitosterol melalui metabolisme mampu diubah menjadi pregnolon dan dehidroepiandrosteron yang merupakan prekursor hormon-hormon steroid. Dapat diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan akibat kedua senyawa di atas yaitu dapat memacu peningkatan hormon steroid terutama testosteron dalam plasma darah.

Senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha juga dapat meningkatkan konsentrasi ABP melalui peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam plasma darah. Menurut Munell et al. (2002), produksi ABP dipengaruhi oleh hormon reproduksi dimana respon yang timbul tergantung pada faktor usia, dosis hormon, dan hormon lain. Tindal et al. (1978) menemukan terjadi peningkatan daerah pengikatan ABP pada tikus dewasa terhadap pemberian hormon steroid (testosteron, 5α-gihidrotestosteron, dan prekursor-prekursornya) baik secara in vivo maupun in vitro. Hal tersebut diperkuat oleh Danzo et al. (1990) bahwa testosteron merupakan hormon primer yang poten dalam menstimulasi ABP/SHBG pada tikus dewasa. Peningkatan ABP-testosteron akan meningkatkan konsentrasi ABP-testosteron dan DHT meningkat dalam testis dan epididimis. Testosteron berperan dalam menstimulasi tahap akhir spermatogenesis dan memperpanjang masa hidup spermatozoa epididimis (Hafez dan Hafez 2000)

Selain itu peningkatan hormon steroid yang tinggi dalam plasma darah dapat menyebabkan umpan balik negatif terhadap sintesis dan sekresi hormon hipotalamus-hipofise sehingga akan terjadi penurunan GnRH yang menyebabkan penurunan kadar FSH-LH pula (Pineda 2003). Efek tersebut sangat terlihat pada


(29)

hewan dimasa tumbuh dimana sangat sensitif terhadap efek tersebut sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan hambatan sekresi hormon hipotalamus-hipofise. Efek tersebut menjadi semakin kurang sensitif setelah hewan dewasa (Cunningham dan Klein 2007) sehingga diduga menyebabkan perubahan yang kurang berarti terhadap sekresi hormon hipotalamus-hipofise.

Kolesterol Pregnolon 

Progesteron 17α-OH-pregnolone

17α-OH progesterone Dehydroepiandrosterone (DHEA) 

Mineralcorticoids Glucocorticoid Androstenedione

Estron Testosteron 

Estradiol  Dihydrotestosteron

Gambar 3 Biosintesis hormon steroid (Despopoulos dan Silbernagl 2003) yang dipengaruhi sterol dan androstan

Keterangan: 1

Sitosterol dimetabolis menjadi pregnolon dan DHEA (Al Zyood dan Shawakfa 2006)

2

Fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol (Wu et al. 2005) 3

Senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha diubah menjadi testosteron atau DHEA (Suprayogi 2000) Suprayogi (2000) menemukan adanya senyawa alkaloid isoquinolone pada ekstrak daun katuk yang memiliki kemiripan struktur kimia, efek farmakologi dan biologi seperti Papaverine (Papaverine Like Compound). Alkaloid dapat menghambat sekresi gonadotropin, menyebabkan hambatan pada pertumbuhan dan perkembangan folikel dan ovulasi pada tikus betina dan spermatogenesis pada tikus jantan. Hal ini disebabkan alkaloid dapat menyebabkan gangguan

Sitosterol1

Other 17-ketosteroids

Sitosterol1

Fitosterol2


(30)

pada hubungan hipotalamus-hipofise-testis dalam sekresi FSH dan LH sehingga berpengaruh terhadap hormon seksual lainnya seperti testosteron (Gomez et al.

2001).

Daun katuk juga mengandung senyawa-senyawa yang bersifat sebagai antioksidan kuat (Wang dan Lee 1997; Subekti 2007; Zuhra et al. 2008) tetapi belum diketahui pasti mekanisme kerjanya terhadap organ reproduksi. Kandungan vitamin C yang tinggi dalam daun katuk (Subekti 2007) bermanfaat dalam sintesa kolagen, meningkatkan steroidogenesis, dan antioksidan (Murray et al. 2001). Vitamin C bekerja sebagai reduktir yang akan mendonorkan satu elektron membentuk semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat. Peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel (Suhartono et al. 2007).

Kandungan vitamin E dalam ekstrak daun katuk juga tinggi (Subekti 2007). Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan dan dapat meningkatkan fungsi reproduksi. Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan LDL dengan menyumbangkan ion H. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi 2004).

2.7 Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi atau penyarian adalah penarikan zat pokok yang dinginkan dari bahan mentah (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut (Ansel dan Howard 1995). Menurut Depkes RI simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Proses pengeringan simplisia bertujuan menurunkan kadar air sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri; menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif; dan mempermudah dalam pengolahan selanjutnya (Gunawan dan Mulyani 2004).


(31)

Beberapa metode ekstraksi yaitu maserasi, perkolasi, soxhletasi, dan infundasi. Penelitian ini menggunakan metode maserasi untuk ekstraksi kandungan senyawa aktif daun katuk. Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel dan Howard 1995).

Fraksinasi (partisi) bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang ada dalam ekstrak kasar. Fraksinasi merujuk pada pemisahan lebih halus. Prinsipnya dengan melakukan pemisahan komponen kimia di antara dua fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi 1986).

Menurut Winarno et al. (1973), pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu senyawa untuk selanjutnya membentuk larutan. Pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa nonplar lebih mudah larut dalam senyawa non-polar. Jenis pelarut akan mempengaruhi kandungan senyawa yang terekstrak karena kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus yang terikat pada pelarut tersebut.

Alkohol adalah pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Etanol (etil alkohol atau meril karboksil) merupakan cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut dalam air dan mudah melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya. Etanol juga merupakan pelarut yang paling aman dalam arti tidak bersifat racun. Sementara itu heksan merupakan pelarut yang bersifat non-polar, berwarna putih agak coklat, agak berbau fenol, dan tidak larut air (Winarno et al. 1973). Mencermati hal tersebut etanol merupakan pelarut yang lebih polar dibandingkan heksan sehingga sennyawa-senyawa polar akan lebih banyak ditemukan dalam larutan etanol sedangkan senyawa-senyawa non-polar akan lebih banyak ditemukan dalam larutan heksan.


(32)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH IPB untuk proses ekstraksi dan fraksinasi dilanjutkan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH IPB untuk pengamatan karakteristik spermatozoa. Kandang percobaan domba berada di lokasi Karyomendo Farm Jl. Cibanteng Proyek 100, Cihideung Ilir, Ciampea-Bogor.

3.2 Ekstraksi dan Fraksinasi Daun Katuk

Daun katuk segar diperoleh di daerah sekitar Cinangneng-Ciampea-Kabupaten Bogor. Pengolahan dilakukan merujuk pada cara yang telah dilakukan Suprayogi et al. (2010). Daun katuk segar dicuci dengan air bersih kemudian dilakukan penjemuran matahari tak langsung sampai kering-layu. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan alat oven yang diatur suhunya sampai 60 0C selama semalam (± 12 jam) sehingga diperoleh daun katuk kering. Dari perhitungan pengeringan ini diperoleh 23.45% bahan kering daun katuk dari bahan segarnya.

Bahan daun katuk kering (simplisia) yang dihasilkan kemudian diekstraksi dengan teknik maserasi. Dua kg daun katuk kering giling dimasukkan ke dalam panci Stainless dengan volume 15 liter, kemudian diisikan pelarut etanol (EtOH) sebanyak ± 13 liter. Campuran tersebut diaduk selama 30 menit dan kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah dimaserasi kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain flannel dan kertas saring, sehingga diperoleh larutan ekstrak etanol daun katuk (filtrat). Metode yang sama diulang sampai diperoleh larutan ekstrak etanol yang relatif jernih (encer). Dalam penelitian ini keadaan encer terjadi sampai maserasi ke dua. Filtrat dari penyaringan ini kemudian dievaporasikan dengan menggunakan rotary-evaporator dengan pegaturan temperatur 40 0C. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh ekstrak kental etanol.


(33)

Evaporasi

+ EtOh 500 ml + Heksan 500 ml Separasi

Ekstraksi dilanjutkan untuk memisahkan senyawa non-polar dengan menggunakan pelarut heksan. 20 gram ekstrak kental etanol dilarutkan dalam 500 ml etanol, kemudian dimasukkan ke gelas separasi (separation flash), pada gelas separasi yang sama ditambahkan pelarut heksan 500 ml. Setelah kedua campuran pelarut tersebut berada di dalam gelas separasi, maka dilakukan pengocokan sehingga terjadi pemisahan berdasarkan kelarutannya. Setelah beberapa menit terjadi pemisahan pelarut lagi, dan kemudian dilakukan pengeluaran kedua pelarut tersebut dengan menampungnya pada gelas erlenmeyer yang terpisah. Pencampuran dan pengocokan ini diulang sampai pelarut heksan tampak jernih (kurang lebih 4 kali). Evaporasi dilakukan pada kedua pelarut tersebut, sehingga diperoleh fraksi ekstrak etanol yang telah bebas senyawa non-polarnya (atau disebut fraksi delipidasi, FdL) dan fraksi ekstrak heksan (atau disebut fraksi lipid, FL).

Gambar 4 Bagan proses ekstraksi dan fraksinasi daun katuk (Suprayogi et al.

2010)

Setelah didapatkan fraksi ekstrak kental dari proses di atas, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bubuk fraksi ekstrak daun katuk agar mudah diaplikasikan terhadap domba. Pembuatan bubuk fraksi ekstrak daun katuk dilakukan dengan menambahkan bahan pengisi maltodekstrin untuk masing-masing fraksi ekstrak daun katuk sehingga diperoleh persentase bahan bubuk FdL 82% dan FL 18%. Pemilihan maltodekstrin disebabkan sifat maltodekstrin yang inert, aman, dan tidak higroskopis sehingga cocok dipakai sebagai bahan pengisi

+ EtOh 500 ml - Evaporasi Daun katuk kering

Ekstrak kental etanol

Fraksi delipidasi (FdL) Fraksi Lipid (FL) Evaporasi


(34)

sehingga mudah dimasukkan ke dalam kapsul. Setelah menjadi bubuk, tiap-tiap bubuk fraksi dimasukkan ke dalam kapsul sehingga tiap kapsul dalam perhitungannya mengandung FdL 410 mg/kapsul atau FL 90 mg/kapsul.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Dua belas ekor domba priangan jantan yang diperoleh dari sekitar Bogor dengan umur sekitar 5 bulan dikandangkan dalam kandang individu. Selama 10 hari masa adaptasi, domba diberi obat anti parasit (Albendazole dan Ivermectin). Domba juga dilatih dengan pemberian konsentrat dan rumput. Formula konsentrat terbuat dari campuran bungkil kelapa, dedak padi, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, dan garam. Setiap domba mendapat formula pakan yang sama dengan komposisi nutrisi yang sama. Pada pagi hari dari pukul 07.00 sampai pukul 12.00 domba diberikan konsentrat dan pukul berikutnya hingga pagi hari domba diberikan pakan rumput. Domba juga diberikan minum ad libitum. Pemberian formulasi pakan dan minum tersebut dilakukan juga selama penelitian. Setelah 10 hari masa adaptasi domba dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan (masing-masing 3 ekor) yaitu kelompok kontrol, FL, dan FdL. Masing-masing kelompok mendapat perlakuan dimana kontrol dengan plasebo (3 kapsul kosong), FL dengan dosis 270 mg/hari/ekor (3 kapsul), dan FdL dengan dosis 1230 mg/hari/ekor (3 kapsul). Dosis tersebut berdasarkan perhitungan Suprayogi et al.

(2010) yang disesuaikan terhadap konsentrasi senyawa aktif yang terkandung dalam rendemen tiap fraksi yang telah ditemukan dalam penelitian Suprayogi et al. (2009) sebelumnya. Perlakuan dilakukan selama 2 bulan.

3.4 Prosedur Pengambilan Epididimis

Pengambilan sampel testis dilakukan saat pemotongan domba berumur kurang lebih 7 bulan. Testis dibawa ke laboratorium dalam termos berisi NaCl 0.9% dan icepack selama 3-4 jam. Di laboratorium epididimis dipreparir dipisahkan dari testis kemudian diikat pada kedua ujung bagiannya. Epididimis kemudian ditimbang dan disimpan dalam wadah plastik berisi NaCl 0.9% kemudian disimpan dalam lemari es dengan suhu 4 0C. Koleksi spermatozoa dilakukan dengan cara menusuk kaput epididimis kanan dan kiri menggunakan


(35)

spuit jarum suntik. Cairan yang keluar dari kedua epididimis dicampur di atas gelas objek untuk dihomogenkan.

3.5 Parameter Penelitian

Sampel dievaluasi setiap hari selama 5 hari berturut-turut secara mikroskopis yang meliputi motilitas spermatozoa, persentasi hidup spermatozoa, persentasi keutuhan membran spermatozoa, persentasi cytoplasmic droplet

spermatozoa, dan persentasi abnormalitas lain spermatozoa sebagai berikut: a. Konsentrasi Spermatozoa

Konsentrasi spermatozoa hanya diukur sekali saja pada hari ke-0 menggunakan kamar hitung Neubauer. Pertama dilakukan pengenceran 500X dengan cara mencampurkan 1 µL cairan epididimis dengan 499 µL formal saline. Setelah homogen diteteskan ke dalam kamar hitung Neubauer, pengamatan dilakukan dengan prbesaran 400X dengan menghitung jumlah spermatozoa yang tedapat dalam lima kotak haemocytometer yaitu satu kotak pada tiap ujung dan satu kotak di tengah. Konsentrasi spermatozoa dihitung dengan rumus berikut:

Konsentrasi spermatozoa = Σ spermatozoa × (25x106) sel/ml. b. Motilitas Spermatozoa

Pemeriksaan motilitas dilakukan dengan mencampur 1 tetes cairan epididimis dengan 3 tetes NaCl fisiologis pada gelas objek kemudian dihangatkan. Pengamatan motilitas dilakukan secara objektif dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 100X yang dinilai dalam %.

c. Keutuhan membran Spermatozoa

Pemeriksaan keutuhan membran dilakukan dengan metode hypoosmotic swelling (HOS) test. Reagen HOS test yang digunakan adalah campuran 0.675 gram fruktosa dan 0.735 gram natrium sitrat dalam 50 ml aquades. Campuran 9 tetes reagen HOS test dengan 1 tetes cairan epididimis dalam tabung eppendorf diinkubasikan dalam penangas air pada suhu 37 0C selama 30 menit. Evaluasi dilakukan dengan meneteskan campuran di objek gelas kemudian menghitung


(36)

jumlah spermatozoa yang membrannya masih utuh dalam beberapa layang pandang dengan jumlah sel minimal 200 sel. Spermatozoa yang membrannya masih utuh ditandai dengan ekor sperma yang melengkung (Gambar 4). Persentase membran plasma utuh dihitung dengan rumus berikut:

Persentase membran plasma utuh =

.

Gambar 5 Skema perubahan morfologi spermatozoa akibat kondisi hipoosmotik. (a) spermatozoa normal; (b) sampai (g) beragam tipe perubahan ekor (WHO 2010)

d. Spermatozoa Hidup

Pemeriksaan spermatozoa hidup mati dilakukan dengan menggunakan 3 gelas objek yang bersih dan bebas lemak. Dua tetes eosin nigrosin dicampur dengan cairan epididimis, setelah homogen lalu membuat preparat ulas, kemudian dipanaskan sampai kering. Spermatozoa yang hidup ditandai dengan tidak terwarnai spermatozoa karena tidak menyerap warna. Jumlah spermatozoa yang hidup dihitung dalam beberapa layang pandang dengan jumlah sel minimal 200 sel. Persentase spermatozoa hidup dihitung dengan rumus berikut:

Persentase spermatozoa hidup =

.

e. Abnormalitas Spermatozoa

Pemeriksaan abnormalitas spermatozoa dilakukan dengan memeriksa persentasi spermatozoa yang masih memiliki cytoplasmic droplet dan spermatozoa yang mengalami abnormalitas lain seperti ekor patah, ekor


(37)

melingkar, ekor ganda dan sebagainya. Pengukuran menggunakan preparat ulas yang telah dibuat pada pemeriksaan spermatozoa hidup sebelumnya. Penghitungan dilakukan hingga jumlah spermatozoa minimal 200 sel dalam beberapa lapang pandang. Persentase abnormalitas spermatozoa dihitung dengan rumus berikut:

Persentase abnormalitisa spermatozoa =

.

3.6 Protokol Penelitian

Hari ke-

H 0 1 2 3 4

Ket: H = Hari dimulainya pengamatan

Gambar 6 Protokol penelitian

3.7 Analis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga macam perlakuan dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Duncan.

0 10 70 75 Adaptasi

domba

Perlakuan K, FL, FdL

Pengamatan spermatozoa Ekstraksi

dan fraksinasi daun katuk

- Bobot epididimis - Konsentrasi

Domba dikorbankan

- motilitas - persentase hidup - keutuhan membran


(38)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konsentrasi Spermatozoa

Bobot epididimis dan konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Bobot epididimis dan konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Bobot epididimis (g)

Konsentrasi (106 sel/ml) Kontrol 32.26±2.56 6323±2928.22 FL 31.13±5.13 3438±701.95 FdL 32.64±1.98 4109±54.27

Berdasarkan analisis data, bobot epididimis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan maupun terhadap kontrol, begitu pula dengan konsentrasi spermatozoa kauda epididimia yang tidak berbeda antar perlakuan maupun terhadap kontrol. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Cook et al. (1994) yaitu konsentrasi spermatozoa pada epididimis berkorelasi positif terhadap bobot testis maupun epididimis. Tidak adanya perbedaan nyata pada bobot epididimis antar kelompok berhubungan dengan tidak adanya perbedaan nyata pada konsentrasi spermatozoa antar kelompok dalam penelitian ini.

Rata-rata konsentrasi pada kelompok FL dan FdL lebih rendah dibandingkan terhadap kontrol meskipun tidak berbeda nyata. Lebih rendahnya konsentrasi spermatozoa pada kelompok FL dan FdL dibandingkan kontrol diduga akibat peran senyawa androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha,

fitosterol, flavonoid, dan Papaverine Like Coumpound dalam daun katuk (Suprayogi 2000). Senyawa-senyawa tersebut diduga mampu mengganggu sekresi hormon hipotalamus-hipofise dimana mekanisme tersebut terjadi selama masa perlakuan.

Senyawa androstan-17-one, 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (17-ketosteroid) terlibat sebagai prekursor atau intermediate dalam biosintesis hormon steroid yang kemungkinan besar diubah menjadi testosteron secara langsung (Suprayogi 2000). Fitosterol maupun sitosterol dapat diubah menjadi prekursor-prekursor hormon steroid melalui biosintesis hormon steroid sehingga dapat menyebabkan


(39)

peningkatan hormon steroid dalam darah. Peningkatan kadar hormon steroid terutama testosteron dalam plasma darah akibat senyawa androstan dan fitosterol dapat menghambat sintesis dan sekresi hormon hipotalamus-hipofise melalui efek umpan balik negatif. Sementara itu senyawa flavonoid dan alkaloid ( Papaverine Like Compound) dapat menyebabkan gangguan pada poros hipotalamus-hipofise-testis yang berefek pada gangguan sekresi hormonal hipotalamus-hipofise-hipotalamus-hipofise-testis (Gomez et al. 2001).

Gangguan terhadap hormon hipotalamus-hipofise di atas dapat mengganggu sekresi GnRH maupun FSH-LH. Penurunan kadar FSH akan berpengaruh terhadap sel Sertoli yang menyebabkan terjadinya penurunan sintesis androgen-binding protein (ABP) sehingga sekresi ABP ke dalam lumen tubulus seminiferus berkurang. Penurunan kadar LH dapat menghambat sel Sertoli dalam mensitesis hormon androgen. Berkurangnya konsentrasi ABP dan hormon androgen menyebabkan testosteron yang menuju ke tubulus seminiferus berkurang sehingga mengganggu spermatogenesis yang ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah spermatozoa.

Senyawa androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha dan fitosterol merupakan senyawa hidrofobik sehingga mudah larut dalam pelarut non-polar misalnya heksan sedangkan senyawa flavonoid dan alkaloid-Papaverine Like Compound bersifat lebih polar (hidrofilik) sehingga mudah larut dalam pelarut polar. Diduga kuat bahwa senyawa androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha

dan banyak terdapat dalam FL sedangkan senyawa flavonoid dan

alkaloid-Papaverine Like Compound banyak terdapat dalam FdL.

Konsentrasi kauda epididimis pada ketiga kelompok dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Menurut Surachman et al.

(2006) konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis domba rata-rata sebanyak 11660 juta sel/ml (berkisar antara 10390 sampai 12420 juta sel/ml), sedangkan menurut Rizal dan Herdis (2005) konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis pada domba Garut sebanyak rata-rata 13993.33 juta sel/ml (berkisar antara 13530 sampai 14520 juta sel/ml).

Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya diduga akibat perbedaan umur, jenis domba yang


(40)

digunakan, teknik koleksi spermatozoa yang dilakukan, serta status kesehatan dari hewan tersebut. Hewan yang digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah hewan pada masa dewasa, sedangkan domba dalam penelitian adalah domba masa tumbuh yang beumur 7 bulan sehingga diduga masih berada pada awal pubertas. Hal ini diperkuat penelitian White et al. (2005) yang menyatakan bahwa bobot dan volume testis, volume tubulus seminiferus dan interstitial, dan diameter tubulus seminiferus lebih rendah pada masa belum pubertas dibandingkan masa setelah pubertas.

4.2 Motilitas Spermatozoa

Motilitas spermatozoa dinyatakan oleh persentase spermatozoa yang bergerak maju secara progresif dari satu titik ke titik lain dalam garis lurus (Bearden et al. 2004). Nilai persentase motilitas disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Persentase motilitas spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Waktu Penyimpanan H-

0 (%) 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) Kontrol 61.7±22.5 40.0±10.0 13.3±7.6 0 0 FL 55.0±18.0 30.0±20.0 15.0±5.0 0 0 FdL 58.0±27.5 23.0±7.5 5.0±2.0 0 0

Nilai persentase motilitas tidak memperlihatkan perbedaan nyata antar perlakuan dan terhadap kontrol pada H-0 sampai H-4. Secara umum terjadi penurunan motilitas tiap harinnya, hal tersebut normal terjadi dikarenakan pengaruh masa penyimpanan. Hari pertama menunjukkan rata-rata motilitas 55 sampai 58%. Pada H-2 terjadi penurunan motilitas yang cukup drastis yaitu 5 sampai 15% dikarenakan spermatozoa sudah mulai meemperlihatkan kondisi aglutinasi dan terlihat pula banyak spermatozoa yang bergerak di tempat yaitu berputar di tempat. Penurunan motilitas selama masa penyimpanan diduga akibat tingginya ion hidrogen karena akumulasi CO2 dan pembentukan asam karbon akibat metabolism spermatozoa dapat menyebabkan penurunan pH di dalam epididimis yang mengakibatkan penekanan terhadap motilitas spermatozoa (Wodzicka-Tomaszewska et al. 2001).


(41)

Penyimpanan H-3 dan H-4 tidak memperlihatkan adanya motilitas lagi (0%) dikarenakan sebagian besar spermatozoa telah mengalami aglutinasi antar kepala sehingga hanya dapat bergerak di tempat. Menurut WHO (2010), aglutinasi ditunjukkan oleh menempelnya spermatozoa motil satu sama lain, baik antar kepala, antar ekor, maupun kepala dengan ekor. Aglutinasi dapat berpengaruh terhadap penilaian motilitas. Aglutinasi dapat terjadi akibat lipoprotein yang membungkus permukaan sperma. Selama pematangan beberapa unsur merembes keluar dari permukaan spermatozoa dan cenderung saling menarik satu sama lain atau mengalami aglutinasi (Toelihere 1993).

Terdapat kecenderungan penurunan yang lebih cepat pada perlakuan FdL. Sebagai mana diketahui, daun kaatuk mengandung suatu alkaloid yaitu

Papaverine Lie Compound. Diduga besar bahwa alkaloid itulah yang merupakan penyebab menurunnya motilitas spermatozoa. Alkaloid dapat mengganggu aktifitas enzim ATP-ase yang ada dalam membran sel sperma ATP-ase ini ada di bagian tengah ekor sperma dan berfungsi mempertahankan homeostatis internal untuk ion natrium dan kalium. Motilitas sperma sangat bergantung pada komposisi ion natrium dan kalium. Dengan demikian kalau aktifitas enzim ATP-ase ini terganggu maka homeostatis ion natrium dan kalium akan terganggu, sehingga motilitas sperma juga akan terganggu (Grady dan Nelson 1972).

Hafez dan Hafez (2000) menyatakan bahwa faktor endogen yang mempengaruhi motilitas spermatozoa antara lain umur, persediaan energi (ATP), pematangan spermatozoa serta integritas membran sel. Faktor eksogen yang mempengaruhi motilitas spermatozoa antara lain faktor fisiologis dan biofisik (viskositas, osmolaritas, pH, temperatur, komposisi ion, dan lainnya), stimulus/inhibin (ion inorganik, hormon, kinin, neurofarmakologi, polusi lingkungan, dan faktor imunokimia), dan cairan penangguh (plasma epididimis, dan seminal plasma).

4.3 Persentase Hidup dan Keutuhan Membran Spermatozoa

Evaluasi terhadap persentase spermatozoa hidup dan keutuhan membran merupakan pemeriksaan penting dalam menilai kualitas spermatozoa. Eosin-nigrosin digunakan untuk menilai perubahan membran sel akibat kerusakan atau


(42)

kematian sel dengan cara masuk melalui membran sel yang rusak sehingga mewarnai kepala spermatozoa. Sementara itu Hypoosmotic swelling (HOS) test

dapat menentukan keutuhan maupun kemampuan osmotik membran spermatozoa sehingga membran sel yang baik akan mampu menahan cairan yang telah masuk ke dalam membran ekor spermatozoa (Regina dan Turner 2005). Data hasil pengamatan disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Persentase hidup spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Waktu Penyimpanan H-

0 (%) 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) Kontrol 91.0±4.3 79.9±12.7 75.9±5.3 61.5±16.7 63.3±18.8 FL 88.2±3.5 79.2±5.4 82.0±6.7 77.4±5.5 68.9±10.0 FdL 85.7±2.9 75.6±9.7 79.7±6.3 81.0±3.5 68.6±4.5

Tabel 4 Persentase keutuhan membran spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Waktu Penyimpanan H-

0 (%) 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) Kontrol 45.3±21.9 30.1±11.7 47.3±14.3 38.2±9.6 17.0±12.7 FL 35.5±22.5 36.3±29.5 59.4±17.1 31.2±10.5 24.9±16.9 FdL 56.3±33.14 27.8±15.1 55.5±16.8 37.6±9.6 26.5±16.1

Persentase spermatozoa hidup dan keutuhan membran antar kelompok perlakuan dan terhadap kontrol menunjukkan tidak adanya perbedaan secara nyata. Selain itu terlihat secara umum terjadi kecenderungan penurunan persentase hidup dan keutuhan membran pada kelompok yang normal terjadi akibat masa penyimpanan. Menurut Rizal dan Herdis (2005), diduga banyak spermatozoa yang mati akan menjadi racun bagi spermatozoa yang masih hidup selama proses penyimpanan.

Nolan dan Hammerstedt (1997) juga menyatakan bahwa seiring dengan proses pematangan spermatozoa di dalam epididimis, juga terjadi perubahan komposisi senyawa penyusun membran plasma sel. Sebagian kolesterol yang terdapat pada membran plasma sel diserap, sehingga rasio antara asam lemak tak jenuh dan kolesterol meningkat. Hal ini menyebabkan membran plasma sel menjadi kurang stabil dikarenakan permeabilitas meningkat sehingga membran sel mudah rusak.


(43)

Namun, spermatozoa yang hidup dan yang memiliki membran yang utuh pada kelompok perlakuan cenderung lebih banyak dibandingkan kontrol walaupun tidak signifikan. Hal tersebut diduga akibat tingginya kandungan antioksidan dalam ekstrak daun katuk yang diduga dapat meningkatkan kekuatan membran sel spermatozoa sehingga daya tahan spermatozoa meningkat. Diduga, tingginya konsentrasi vitamin E yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi vitamin E dalam plasma darah. Vitamin E adalah antioksidan yang bekerja sebagai pemutus rantai ikatan sehingga menetralisir peroksidasi hidrogen dan melindungi membran plasma dari peroksidasi lipid. Vitamin E dapat ditemukan dalam membran sel (Agarwal et al. 2004) sehingga diduga selama pembentukan spermatozoa, vitamin E dalam berbagai bentuk turut menyusun membran sel spermatozoas sehingga diduga selama transportasi dalam epididimis membran sel spermatozoa lebih kuat.

Vitamin C juga merupakan antioksidan penting dalam cairan ekstraselular dan memiliki kemampuan menetralisir radikal hidroksil, superoksida, dan hidrogen peroksidasi (Agarwal et al. 2004). Pemberian suplemen yang kaya akan vitamin C dapat meningkatkan konsentrasi vitamin C dalam plasma darah dan testes (Sönmez et al. 2004). Diduga secara langsung maupun selama sekresi plasma epididimis oleh sel epitel terjadi peningkatan konsentrasi vitamin C dalam plasma epididimis. Peningkatan konsentrasi vitamin C dalam plasma epididimis menyebabkan kondisi epididimis yang lebih baik dalam mempertahankan spermatozoa.

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang mudah larut dalam pelarut polar (lipid) misalnya heksan sehingga kemungkinan besar FL mengandung banyak vitamin E. Sementara itu vitamin C kemungkinan besar lebih mudah dipisahkan dengan pelarut polar misalnya etanol sehingga kemungkinan besar FdL mengandung banyak vitamin C.

Tingginya nilai persentase hidup dan keutuhan membran secara umum pada spermatozoa penelitian ini diduga akibat spermatozoa tersimpan dalam duktus epididimis. Sel-sel epitel epididimis aktif mensekresikan cairan yang dibutuhkan dalam menjada kondisi lingkungan mikro epididimis sehingga dapat mempertahankan kehidupan spermatozoa selama berada di epididimis (Robaire


(44)

dan Hinton 2002). Plasma epididimis mengandung antioksidan seperti fosfolipid hidroperoksidase dan glutation peroksidase. Selain itu dalam sel epitel epididimis terdapat tembaga-zinc sitoplasmik dan superoksida dismutase (Agarwal et al.

2004). Epididimis juga mengatur tingkat metabolisme spermatozoa dengan menahan tingkat metabolisme 3 sampai 5 kali dari spermatozoa dalam semen sehingga meminimalisir produksi oksigen reaktif yang dapat membahayakan kehidupan spermatozoa. Hal ini disebabkan eppididimis merupakan tempat penyimpanan spermatozoa sementara sebelum diejakulasikan (Robaire dan Hinton 2002).

Selain hal di atas, terlihat bahwa persentase keutuhan membran spermatozoa (Tabel 4) memiliki nilai rata-rata yang lebih rendah dibandingkan rata-rata persentase hidup spermatozoa (Tabel 3), hal tersebut diperkuat oleh kesimpulan Mansour (2009) dan Nur et al. (2005). Terjadinya hal tersebut diduga kuat dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kedua uji tersebut menilai daerah membran sel yang berbeda (Zhu dan Liu 2000), pada pewarnaan eosin-nigrosin beberapa spermatozoa mungkin memiliki membran yang tidak berfungsi tapi masih dapat menahan molekul eosin-nigrosin masuk ke dalam spermatozoa (Vigano et al.

1990), ataupun pada HOS test membran sel terlalu lemah atau mudah rusak sehingga memungkinkan tidak memperlihatkan peningkatan influk air sehingga tidak terlihat terjadinya perubahan terhadap ekor spermatozoa ketika diamati (Regina dan Turner 2005).

4.4 Persentase Cytoplasmic Droplet dan Abnormalitas Lain Spermatozoa Pemeriksaan morfologi spermatozoa diperlukan untuk menilai kualitas spermatozoa. Evaluasi terhadap persentase cytoplasmic droplet dan abnormalitas lain spermatozoa disajikan dalam Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5 Persentase cytoplasmic droplet spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Waktu Penyimpanan H-

0 (%) 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) Kontrol 21.7±4.5 24.8±5.7 22.3±13.5 24.4±13.9 23.5±18.4 FL 30.5±11.4 20.6±5.4 27.8±9.6 23.0±16.9 17.4±3.7 FdL 35.3±8.2 23.4±8.4 16.5±8.8 18.3±8.6 12.4±14.0


(45)

Tabel 6 Persentase abnormalitas lain spermatozoa di kauda epididimis setelah pemberian fraksi ekstrak daun katuk

Perlakuan Waktu Penyimpanan H-

0 (%) 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) Kontrol 48.7±6.5 47.3±7.5 45.0±5.3 50.3±3.3 49.8±7.3 FL 35.8±8.1 35.4±16.9 48.7±6.0 44.3±4.6 48.9±14.4 FdL 39.6±4.2 46.9±3.8 40.1±12.1 50.8±4.6 60.9±7.6

Nilai persentase cytoplasmic droplet dan abnormalitas lain selama masa penyimpanan H-0 hingga H-4 tidak menunjukkan perbedaan nyata dan cenderung memiliki nilai yang tidak jauh berbeda pada setiap harinya baik antar kelompok perlakuan maupun terhadap kontrol.

Menurut Toelihere (1993), bentuk-bentuk abnormalitas spermatozoa diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena kelainan pada tubuli seminiferi dan gangguan testikuler akibat faktor keturunan, penyakit defisiensi makanan, dan pengaruh lingkungan yang jelek. Misalnya spermatozoa dengan kepala terlalu besar (macrochephalic), kepala terlalu kecil (microcephalic), kepala rangkap, ekor berganda, bagian tengah membesar, filiformis, pertautan abaksial pada pangkal kepala, dan ekor melingkar atau terbelah. Abnormalitas sekunder terjadi setelah sel atau bakal sel kelamin jantan meninggalkan epithelium germinativum pada tubuli seminiferi, selama perjalanannya melalui saluran epididimis dan vas deferens, pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang terlalu cepat, kontaminasi dengan air, serta perlakuan sewaktu pewarnaan dan pembuatan preparat ulas. Misalnya spermatozoa dengan kepala tanpa ekor, ekor yang terputus, proksimal droplet, distal droplet, dan akrosom yang terlepas.

Abnormalitas yang banyak teramati pada penelitian ini adalah abnormalitas sekunder yang kemungkinan besar diakibatkan oleh perlakuan sewaktu pewarnaan dan pembuatan preparat ulas. Misalnya spermatozoa dengan kepala tanpa ekor, ekor yang terputus, dan ekor yang menekuk. Tidak banyak ditemukan adanya abnormalitas primer selama pengamatan.

Banyaknya cytoplasmic droplet dan abnormalitas lain yang ditemukan dalam epididimis pada penelitian ini kemungkinan juga dapat disebabkan oleh penghambatan sekresi FSH-LH yang berujung pada penurunan kadar ABP dan hormon steroid akibat senyawa androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha,


(46)

fitosterol, flavonoid dan Papaverine Like Coumpound dalam daun katuk seperti yang teleh dijelaskan sebelumnya. ABP berperan dalam menfasilitasi transportasi testosteron ke epididimis dimana testosteron akan diubah menjadi DHT yang berperan dalam perjalanan dan pematangan lebih lanjut spermatozoa di epididimis (Cunningham dan Klein 2007). Penurunan kadar ABP-testosteron menyebabkan pematangan spermatid terganggu sehingga ditemukan banyaknya

cytoplasmic droplet.

Selain itu tingginya persentase abnormalitas kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh status reproduksi domba. Domba dalam penelitian ini merupakan domba masa tumbuh yang berumur 7 bulan sehingga kemungkinan domba berada pada awal pubertas sehingga banyak ditemukan spermatozoa yang belum matang. Menurut Hafez dan Hafez (2000), dalam gametogenesis gonocyte

pada awal pubertas dapat mengalami tiga kemungkinan yaitu sebagai cadangan sel dalam bentuk sel stem spermatogonia, mengalami degenerasi, atau spermiogenesis namun spermatozoa yang dibentuk masih dalam kondisi belum matang. Spermatozoa dewasa yang matang secara total akan dibentuk ketika memasuki masa akhir pubertas. Hal ini diperkuat penelitian Söderquist et al.

(1996) bahwa kejadian abnormalitas spermatozoa (abnormalitas kepala dan akrosom, proximal cytoplasmic droplet, total abnormalitas) secara nyata dipengaruhi oleh umur.

4.5 Pembahasan Umum

Spermatozoa di kauda epididimis dapat menjadi alternatif sumber spermatozoa dalam penerapan aplikasi teknologi reproduksi karena telah mengalami pematangan. Selain itu, 75% spermatozoa dalam tubulus tersimpan dalam kauda epididimis (Hafez dan Hafez 2000). Pemberian FL dan FdL tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap parameter yang diamati dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, selama masa penyimpanan terjadi penurunan motilitas, penurunan persentase hidup, dan persentase keutuhan membran pada ketiga kelompok. Penurunan yang terjadi semata-mata disebabkan oleh masa penyimpanan karena ada kematian spermatozoa secara apoptosis.


(47)

Selama masa perlakuan dua bulan, terlihat adanya pengaruh fisiologis terhadap domba akibat pemberian fraksi ekstrak daun katuk (Suprayogi et al.

2010; Hidayaturrahmah 2011) termasuk responnya terhadap fungsi reproduksi. Namun dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata pada karakteristik spermatozoa seperti di atas. Terdapat kemungkinan bahwa setelah domba dikorbankan (dipotong) respon FL dan FdL terhadap karakteristik spermatozoa akan mudah terlihat pada umur post-mortem di bawah satu hari. Maka dari itu, diperlukan pengamatan pada waktu yang singkat seperti tiap jam atau beberapa jam pasca preparasi epididimis.

Fraksi ekstrak daun katuk diduga mempengaruhi fungsi reproduksi domba yaitu gametogenesis dalam tubulus seminiferus melalui aksi hormonal selama masa perlakuan. Umur domba yang masih tergolong muda dan berada pada masa tumbuh menimbulkan kesensitifan yang tinggi terhadap efek umpan balik negatif hormonal. Hal ini terlihat pada nilai konsentrasi spermatozoa di kauda epididimis pada perlakuan yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Terlihat pula bahwa ilai motilitas spermatozoa pada kelompok FdL cenderung lebih cepat menurun dibandingkan kelompok FL dan kontrol.

Nilai persentase hidup cenderung masih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol pada H-2 sampai H-4 meskipun motilitas rendah selama masa penyimpana. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori bahwa keutuhan membran plasma seharusnya berkorelasi positif terhadap motilitas. Selain itu senyawa dalam ekstrak daun katuk juga kemungkinan besar mempegaruhi komposisi penyusun struktur membran sel selama proses pembentukan spermatozoa (spermiogenesis) sehingga ketahanan membran sel spermatozoa lebih kuat. Hal ini terlihat pada persentase hidup dan keutuhan membran yang masih tinggi hingga H-4. Namun hal tersebut harus ditelaah lebih lanjut terutama sampai sejauh mana pengaruhnya terhadap struktur membran spermatozoa.


(1)

Tabel 1 Hasil ANOVA bobot epididimis

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:bobot epididimis

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

3.724a 2 1.862 .147 .866

Intercept 9221.761 1 9221.761 728.684 .000

perlakuan 3.724 2 1.862 .147 .866

Error 75.932 6 12.655

Total 9301.417 9

Corrected Total 79.656 8

a. R Squared = .047 (Adjusted R Squared = -.271)

Tabel 2 Hasil ANOVA konsentrasi spermatozoa epididimis Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:konsentrasi

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

1.368E7 2 6838302.333 2.262 .185

Intercept 1.924E8 1 1.924E8 63.629 .000

perlakuan 1.368E7 2 6838302.333 2.262 .185

Error 1.814E7 6 3023392.889

Total 2.242E8 9

Corrected Total 3.182E7 8 a. R Squared = .430 (Adjusted R Squared = .240)


(2)

42

Tabel 3 Hasil ANOVA motilitas spermatozoa

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:motilitas spermatozoa

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

14.444a 2 7.222 .011 .989

Intercept 11202.222 1 11202.222 16.432 .000

perlakuan 14.444 2 7.222 .011 .989

Error 28633.333 42 681.746

Total 39850.000 45

Corrected Total 28647.778 44

a. R Squared = .001 (Adjusted R Squared = -.047)

Tabel 4 Hasil ANOVA persentase hidup spermatozoa

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:persentasi hidup

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Partial Eta Squared Corrected

Model

1134.684a 4 283.671 1.697 .227 .404

Intercept 77698.092 1 77698.092 464.772 .000 .979

perlakuan .000 0 . . . .000

hari 1134.684 4 283.671 1.697 .227 .404

Error 1671.747 10 167.175

Total 80504.523 15

Corrected Total 2806.430 14 a. R Squared = .404 (Adjusted R Squared = .166)


(3)

Tabel 5 Hasil ANOVA keutuhan membran spermatozoa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Keutuhan membran

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

92.934a 2 46.467 .117 .890

Intercept 67565.663 1 67565.663 169.895 .000

perlakuan 92.934 2 46.467 .117 .890

Error 16703.047 42 397.692

Total 84361.644 45

Corrected Total 16795.981 44

a. R Squared = .006 (Adjusted R Squared = -.042)

Tabel 6 Hasil ANOVA persentase cytoplasmic droplet spermatozoa Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Cytoplasmic Droplet Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

212.113a 2 106.057 .877 .424

Intercept 25594.628 1 25594.628 211.571 .000

Perlakuan 212.113 2 106.057 .877 .424

Error 5080.921 42 120.974

Total 30887.662 45

Corrected Total 5293.034 44


(4)

44

Tabel 7 Hasil ANOVA persentase abnormalitas lain spermatozoa Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Abnormalitas Spermatozoa Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

285.779a 2 142.890 1.650 .204

Intercept 95886.322 1 95886.322 1107.543 .000

Perlakuan 285.779 2 142.890 1.650 .204

Error 3636.180 42 86.576

Total 99808.282 45

Corrected Total 3921.960 44 a. R Squared = .073 (Adjusted R Squared = .029)


(5)

iii KURNIASARI. Karakteristik Spermatozoa Kauda Epididimis Domba Masa Tumbuh setelah Pemberian Fraksi Lipid (FL) dan Fraksi Delipidasi (FdL) Ekstrak Daun Katuk. Dibimbing oleh M. AGUS SETIADI and AGIK SUPRAYOGI.

Hewan selalu menunjukkan kemampuannya untuk bereproduksi, hal tersebut sangat penting untuk mempertahankan kelestarian jenisnya di alam agar tidak punah. Terjadinya reproduksi membutuhkan dua komponen penting yaitu sel telur dari betina dan sel spermatozoa dari pejantan. Namun, ada kalanya pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya secara normal. Gangguan aktivitas reproduksi tersebut akan sangat merugikan bagi pengembangan populasi hewan terutama hewan dengan nilai genetik (plasma nutfah) yang unggul. Kegagalan pengembangan populasi tersebut dapat mengakibatkan penurunan populasi hewan jika tidak cepat ditanggulangi.

Semakin besar penurunan populasi semakin besar kemungkinan timbulnya ancaman terhadap keberlangsungan hewan bahkan dapat berujung kepada kepunahan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga plasma nutfah dari kepunahan adalah melalui aplikasi teknologi reproduksi dimana keberhasilan teknologi reproduksi tidak dapat lepas dari kualitas spermatozoa yang baik. Dengan demikian, upaya untuk penyelamatan plasma nutfah hewan melalui aplikasi teknologi reproduksi juga harus mendorong upaya perbaikan fungsi fisiologis pada hewan.

Daun katuk mampu meningkatkan fungsi fisiologis hewan termasuk fungsi reproduksi. Khasiat daun katuk diketahui dapat meningkatkan produksi air susu ataupun produksi telur pada hewan betina. Diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan yaitu dapat memacu peningkatan fungsi reproduksi yang diakibatkan peningkatan hormon steroid terutama testosteron. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana efek pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi hewan jantan. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian awal untuk mengetahui pengaruh dari pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi jantan melalui karakteristik spermatozoa di kauda epididimis domba sebagai hewan coba perlu dilakukan.

Penelitian ini menggunakan 9 ekor domba Priangan jantan berumur ± 5 bulan yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing 3 domba per kelompok perlakuan. Tiga perlakuan tersebut adalah kontrol yang diberi plasebo, FL diberi dosis 270 mg/hari/ekor dalam 3 kapsul, dan FdL diberi dosis 1230 mg/hari/ekor dalam 3 kapsul. Kapsul diberikan secara oral pada pagi hari (2 kapsul) dan sore hari (1 kapsul) selama 2 bulan, kemudian pada akhir perlakuan domba dikorbankan untuk selanjutnya epididimis dipreparir. Pengamatan dilakukan terhadap bobot epididimis dan konsentrasi spermatozoa epididimis serta selama 5 hari berturut-turut diamati motilitas, persentase hidup, keutuhan membran, dan abnormalitas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi ekstrak daun katuk tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot epididimis dan karakteristik spermatozoa (konsentrasi, motilitas, persentase hidup, keutuhan membran, dan abnormalitas). Namun demikin, diduga respon FL dan FdL


(6)

iv kemungkinan besar dapat teramati pada pengamatan kurang dari satu hari setelah domba dikorbankan. Pemberian FL dan FdL menyebabkan penurunan konsentrasi spermatozoa kauda epididimis dibandingkan kontrol. Motilitas spermatozoa pada pemberian FdL menunjukkan kecenderungan penurunan yang lebih cepat dibandingkan kelompok FL dan kontrol. Persentase hidup dan keutuhan membran spermatozoa kauda epididimis pada perlakuan FL dan FdL memperlihatkan kecenderungan nilai yang lebih besar dari H-2 hingga H-4 dibandingkan kontrol. Persentase cytoplasmic droplet dan abnormalitas lain tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan dari H-0 hingga H-4.

Pemberian fraksi ekstrak daun katuk dengan berbagai dosis tidak mempengarui bobot epididimis dan karakteristik spermatozoa kauda epididimis. Terdapat kecenderungan penurunan konsentrasi spermatozoa dan peningkatan kekuatan membran pada domba masa tumbuh.