1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hewan selalu menunjukkan kemampuannya untuk bereproduksi, hal tersebut sangat penting untuk mempertahankan kelestarian jenisnya di alam agar
tidak punah. Terjadinya reproduksi membutuhkan dua komponen penting yaitu sel telur dari betina dan sel spermatozoa dari pejantan. Namun, ada kalanya
pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya pejantan tidak dapat melakukan
ejakulasi secara alami, pejantan tidak dapat memberikan respon terhadap penampungan semen dengan alat bantu, pejantan terlalu dini dipotong, ataupun
pejantan mati secara mendadak. Dengan adanya gangguan aktivitas reproduksi seperti di atas, maka akan
sangat merugikan bagi pengembangan populasi hewan terutama hewan dengan nilai genetik plasma nutfah yang unggul. Kegagalan pengembangan populasi
dapat mengakibatkan penurunan populasi hewan jika tidak cepat ditanggulangi. Semakin besar penurunan populasi semakin besar kemungkinan timbulnya
ancaman terhadap keberlangsungan hewan bahkan dapat berujung kepada kepunahan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga plasma nutfah
dari kepunahan adalah melalui aplikasi teknologi reproduksi. Sumber spermatozoa yang dapat digunakan untuk aplikasi teknologi
reproduksi tersebut dapat berasal dari kauda epididimis terutama jika pejantan tidak dapat melakukan aktivitas reproduksinya. Menurut Hafez dan Hafez 2000,
spermatozoa yang berada di kauda epididimis diketahui telah mengalami proses pematangan sehingga memiliki kemampuan membuahi oosit. Selain itu, kauda
epididimis menyimpan 75 spermatozoa dari total spermatozoa dalam duktus epididimis.
Keberhasilan aplikasi teknologi reproduksi sebagai upaya penyelamatan plasma nutfah hewan sangat dipengaruhi oleh kualitas spermatozoa yang baik.
Kualitas spermatozoa pada hewan secara fisiologis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormonal, metabolisme, maupun nutrisi pakan. Dengan
demikian, upaya untuk penyelamatan plasma nutfah hewan melalui aplikasi
2
teknologi reproduksi juga harus mendorong upaya perbaikan fungsi fisiologis pada hewan.
Daun katuk mampu meningkatkan fungsi fisiologis hewan termasuk fungsi reproduksi. Subekti 2007 mengemukakan terjadi peningkatan fertilitas dan daya
tetas pada puyuh akibat pemberian ransum ekstrak daun katuk maupun tepung daun katuk. Pemberian daun katuk dalam bentuk ekstrak ternyata juga dapat
meningkatkan produksi air susu pada domba Suprayogi 2000, mencit Sari 2004, babi Sidauruk 2008, dan tikus Suprayogi et al. 2009. Khasiat tersebut
merupakan peran senyawa aktif dalam daun katuk yang mampu meningkatkan aktifitas hormonal, metabolisme, maupun nutrisi. Disamping itu, Suprayogi et al.
2009 menemukan adanya senyawa aktif dalam daun katuk yang merupakan prekursor hormon androgen maupun estrogen. Hal ini diperkuat penelitian
Saragih 2005 dan Subekti 2007 yang menyatakan terjadinya peningkatan konsentrasi estradiol serum pada pemberian daun katuk dalam ransum unggas.
Namun mekanisme senyawa tersebut terhadap proses reproduksi jantan sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Mencermati hal di atas, maka terdapat pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk terhadap fungsi reproduksi. Daun katuk dapat
meningkatkan produksi air susu ataupun produksi telur pada hewan betina. Diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan yaitu dapat
memacu peningkatan fungsi reproduksi yang diakibatkan peningkatan hormon steroid terutama terutama testosteron.
Sampai saat ini belum diketahui bagaimana efek pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi hewan jantan. Oleh karena itu langkah-
langkah penelitian awal untuk mengetahui pengaruh dari pemberian fraksi ekstrak daun katuk terhadap fungsi reproduksi jantan melalui karakteristik spermatozoa di
kauda epididimis domba sebagai hewan coba perlu dilakukan.
3
1.2 Tujuan