fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan
sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.
3. Sumber Data
Jenis data penelitian ini adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa perUndang-undangan yang berkaitan
dengan tanggung jawab suami isteri dalam perceraian terhadap anak, dalam hal ini peraturan perUndang-undangan yang berkaitan adalah :
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku,
hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti. c.
Bahan hukum Tertier Bahan hukum tertier dalam penelitian ini akan memberikan informasi lebih lanjut tentang
bahan hukum primer dan tertier berupa data statistik.
4. Teknik pengumpul data
Universitas Sumatera Utara
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan,
berupa peraturan perUndang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
5. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tertier untuk mengetahui
validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis data ini.
Evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan diolah kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan
sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga dapat diketahui tanggung jawab hukum suami istri dalam perceraian terhadap anak dihubungkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB
PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN
A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian
Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga
disebut dengan cerai.
45
Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan
saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
46
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
47
Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai
suami isteri lagi. Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian,
karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab
45
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober 2011.
46
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
47
Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.
48
Oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah dibentuk dapat putus antara lain karena:
49
a. Kematian, b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suamiistri
atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.
Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumah tangganya.
Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-
alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:
50
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
48
R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.
49
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
50
R.Subekti, op cit, Pasal 209
Universitas Sumatera Utara
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami–isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan
perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika dibutuhkan Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
51
Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya
sendiri.
52
Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut berasal dari harta
kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk itu.
53
2. Akibat Hukum Perceraian
51
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
52
R.Subekti, op cit, Pasal 225
53
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.
54
Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur
oleh hukum.
55
Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1 Terhadap anak-anaknya,
2 Terhadap harta bersama harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.
3 Terhadap Nafkah pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak
berupa benda atau uang dan lainnya. 1
Terhadap anak-anaknya Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua
karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.
56
Hal ini menyebabkan : a.
Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi
permasalahan mereka. b.
Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.
54
J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.
55
ibid, hal 101.
56
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal 29.
Universitas Sumatera Utara
c. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk
hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik. Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci,
sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang
kriminal lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.
Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan
perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.
57
Lebih lanjut Kartini Kartono juga mengatakan bahwa penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam,
rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan
lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta
menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang
berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus
57
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja., Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17.
Universitas Sumatera Utara
delinkuen dan karakter pada diri anak.
58
Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu
juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki.
59
Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.
60
Peristiwa perceraian, apapun alasannya, akan membawa dampak bukan hanya bagi mantan suami dan istri tersebut akan tetapi juga bagi anak. Anak biasanya akan mengalami
dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya
pengasuhan anak. Konsekwensi hukum dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya
perceraian adalah bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari kekuasaan orang tua menjadi kekuasaan wali.
61
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 masih berada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu belum dicabut.
62
Walaupun pada dasarnya masih orang tua si anak juga yang menjalankan pengasuhan terhadap anak tersebut.
Menurut Pengadilan, setelah terjadinya perceraian maka Pengadilan akan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan
pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak
asuh.
58
Ibid, hal 18.
59
Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
60
Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.
61
R.Subekti, op cit, Pasal 206 ayat 2
62
Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Sengketa hak pemeliharaan anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak pemeliharaan
sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah,
biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalanghalangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga
sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
63
Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Sebagai
ibu atau bapak mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata
mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat
memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.
64
Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang
tua putus.
65
Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut Undang-undang perkawinan adalah sebagai berikut:
66
63
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
64
Pasal 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
65
Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
66
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak- anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut. Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan
orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
67
Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.
68
Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap
anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung
yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.
69
Dengan demikian jelas bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus. Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga
memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang
67
Pasal 47 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
68
Pasal 48 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
69
Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak alimentasi yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah
terjadi perceraian. Apabila perkawinan antara seorang suami dengan seorang istrinya dalam suatu rumah
tangga, baik karena kematian meninggal dunia salah seorang di antara mereka maupun karena terjadinya suatu perceraian di antara mereka dan karena putusan Pengadilan, maka akan
membawa akibat terganggunya proses pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka tersebut. Oleh sebab itu salah seorang di antara kedua orang tuanya
harus menjadi pemelihara dan pendidik bagi anak tersebut, hal ini berhubungan erat dengan masa depan dan perkembangan jiwa anak-anak yang masih memerlukan perhatian, kasih sayang dan
pendidikan dasar dari orang tuanya, khususnya bagi anak yang masih di bawah umur. Pada umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara
dan mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan ketentuan agama dan juga peraturan perUndang-undangan yang berlaku sekarang khususnya dalam
Undang-undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya, disebabkan bahwa anak-anak di bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu, sedangkan kepada seorang
ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak mereka tersebut sampai dewasa.
70
Jadi dalam hal ini apabila pihak yang diserahkan kewajiban memelihara dan mendidik
anak tidak melaksanakan dengan baik, maka dapat saja digugat kembali oleh pihak lain yang
berkepentingan terhadap anak tersebut. Gugatan tersebut dapat timbul setelah memperoleh hak
70
Pasal 45 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
asuh dan tanggung jawab dalam pemeliharaan dari anak tersebut, di mana dalam pelaksanaannya
penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.
2 Akibat terhadap harta
Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang
disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing- masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu
Pasal 36 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan
harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan
hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan.
71
Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.
72
Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun
71
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal 199
72
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 200
Universitas Sumatera Utara
harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.
73
Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :
1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan itu pula J.Satrio menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :
1 Harta bersama
2 Harta Pribadi, dapat berupa:
a. Harta bawaan suami
b. Harta bawaan isteri
c. Harta hibahan warisan suami
d. Harta hibahan warisan isteri.
Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 Undang-
undang Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu
perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian. Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:
73
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999, hal 156
Universitas Sumatera Utara
1 Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta
bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.
2 Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk
kepada hukum adat yang mengenal harta bersama gono-gini atau harta guna kaya, jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k Sip 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k Sip 1969 tanggal 30-8-1969.
74
3 Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata
yang mengenal harta bersama persatuan harta sejak terjadi perkawinan. Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH
Perdata juncto Pasal 37 Undang-undang Perkawinan belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan
dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separoh bagi bekas suami dan separoh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata
memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.
Rumusan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan juga dibagi dua, separoh untuk bekas suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan
yang seimbang antara suami dan istri”. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri.
75
74
http:asiamaya.comkonsultasi_hukumharta_perkawinanpembag_harta.htm , diakses pada tanggal 16
oktober 2011.
75
Pasal 37 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain.
“Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara
suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.
76
B. Pengasuhan Anak Menurut Hukum
Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak subyek hukum ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 KUHPerdata Indonesia bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati sewaktu dilahirkannya dianggap ia tidak pernah telah ada.
77
Hukum perdata mengatur setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama untuk didukung hak dan kewajibannya, manusia mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan,
bahkan sejak dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki.
78
Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan dan lahirnya harus hidup.
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukaan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pertumbuhan fisiknya. Peran seorang ayah yang berkewajiban
dalam membiayai nafkah pemeliharaan dan pendidikan seorang anak agar si anak tersebut dapat menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara kelak,
76
Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
77
Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal 4.
78
Abdul Qodir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hal, 45.
Universitas Sumatera Utara
mengingat tanggung jawab anak sebagai generasi penerus. Untuk kepentingan seorang anak, sikap perduli dari kedua orang tua terhadap tanggung jawab biaya nafkah memang sangat
diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh, tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu yang paling diharapkan adalah keterpaduan
keduanya yang akan bisa diwujudkan selama kedua orang tuanya itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas mengasuh anak lebih
banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan dalam hal memenuhi segala kebutuhan guna memperlancar tugas pengasuhan.
Harapan seperti tersebut di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan malapetaka bagi anak,
di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan
mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak.
1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam