fakta  tersebut.  Ratio  decidendi  inilah  yang  menunjukkan  bahwa  ilmu  hukum  merupakan  ilmu yang  bersifat  preskriptif,  bukan  deskriptif.  Sedangkan  diktum,  yaitu  putusannya  merupakan
sesuatu  yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.
3. Sumber Data
Jenis  data  penelitian  ini  adalah  menggunakan  data  sekunder,  yang  terdiri  dari  sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer Bahan  hukum  primer  dalam  penelitian  ini  berupa  perUndang-undangan  yang  berkaitan
dengan  tanggung  jawab  suami  isteri  dalam  perceraian  terhadap  anak,  dalam  hal  ini  peraturan perUndang-undangan yang berkaitan adalah :
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
b. Bahan hukum sekunder
Bahan  hukum  sekunder  dalam  penelitian  ini  berupa  bahan-bahan  yang  erat  kaitannya dengan  bahan  hukum  primer  berupa  putusan-putusan  Pengadilan  Negeri  Medan,  buku-buku,
hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti. c.
Bahan hukum Tertier Bahan hukum tertier dalam penelitian ini akan memberikan informasi lebih lanjut tentang
bahan hukum primer dan tertier berupa data statistik.
4. Teknik pengumpul data
Universitas Sumatera Utara
Teknik  pengumpulan  data  yang  digunakan  untuk  mengumpulkan  data  dalam  penelitian  ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan, melakukan penelaahan kepustakaan,
berupa peraturan perUndang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
5. Analisis Data
Sesuai  dengan  sifat  penelitian  maka  sebelum  dilakukan  analisis  data  terlebih  dahulu dilakukan  pemeriksaan  terhadap  data  primer,  data  sekunder  dan  data  tertier  untuk  mengetahui
validitasnya.  Selanjutnya  data  itu  dikelompokkan  atas  data  yang  sejenis  untuk  kepentingan analisis data ini.
Evaluasi  dan  penafsiran  data  dilakukan  secara  kualitatif  oleh  karena  itu  data  yang  sudah dikumpulkan  dipilah-pilah  dan  diolah  kemudian  dianalisis  dan  ditafsirkan  secara  logis  dan
sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga dapat diketahui tanggung jawab  hukum  suami  istri  dalam  perceraian  terhadap  anak  dihubungkan  dengan  peraturan
perundang-undangan  yang  berlaku.  Atas  dasar  pembahasan  dan  analisis  ini  diharapkan  akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB
PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN
A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian
Salah  satu  bentuk  pemutusan  hubungan  ikatan  suami-isteri  karena  sebab-sebab  tertentu yang  tidak  memungkinkan  lagi  bagi  suami-isteri  untuk  meneruskan    kehidupan  rumah  tangga
disebut dengan cerai.
45
Perceraian  yang  sah  haruslah  perceraian  yang  penghapusan  perkawinannya  dilakukan dengan  putusan  hakim,  Undang-undang  tidak  membolehkan  perceraian    dengan  permufakatan
saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
46
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang  Pengadilan  setelah  Pengadilan  yang  bersangkutan  berusaha  dan  tidak  berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
47
Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai
suami isteri lagi. Menurut  Undang-undang,  alasan  perkawinan  dapat  bubar  antara  lain  karena  kematian,
karena  keadaan  tidak  hadir  si  suami  atau  isteri,  selama  10  sepuluh  tahun  diikuti  dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab
45
Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  Versi  Online,  http:ebsoft.web.id,  diakses  pada  tanggal  2  Oktober 2011.
46
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
47
Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.
48
Oleh  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  menetapkan  bahwa  perkawinan  yang  telah dibentuk dapat putus antara lain karena:
49
a. Kematian, b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suamiistri
atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.
Putusnya  perkawinan  dikarenakan  Perceraian  merupakan  putusnya  perkawinan  yang dikarenakan  adanya  ketidak  cocokkan  lagi  para  pihak  untuk  melanjutkan  rumah  tangganya.
Sehingga  terjadinya  pengajuan  gugatan  salah  satu  pihak  baik  itu  suami  maupun  istri  untuk diputuskannya  perkawinan  mereka.  Terhadap  perceraian  ini  maka  yang  dapat  menjadi  alasan-
alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:
50
a.  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut  tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar  kemampuannya;
b.  Salah  satu  pihak  berbuat  zina  atau  menjadi  pemabuk,  pemadat,  penjudi  dan  lain    sebagainya yang sukar disembuhkan;
c.  Salah  satu  pihak  mendapat  hukuman  penjara  5  lima  tahun  atau  hukuman  yang    lebih  berat setelah perkawinan berlangsung;
48
R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.
49
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
50
R.Subekti, op cit, Pasal 209
Universitas Sumatera Utara
d.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat  yang membahayakan  pihak yang  lain;
e.  Salah  satu  pihak  mendapatkan  cacat  badan  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak    dapat menjalankan kewajiban sebagai suami–isteri;
f.  Antara  suami  dan  isteri  terus  menerus  terjadi  perselisihan  dan  pertengkaran  dan    tidak  ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya  perkawinan  karena  putusan  pengadilan  merupakan  putusnya  perkawinan berdasarkan  keputusan  yang  ditetapkan  oleh  Hakim.  Selain  karena  hal  pengajuan  gugatan
perceraian  tersebut  diatas,  putusnya  perkawinan  karena  putusan  pengadilan  dilapangan  juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah satu  pihak  istri  atau  suami  terhadap  pihak  lainnya.  ini  dikarenakan,  jika  dibutuhkan  Pengadilan
dapat  mewajibkan  kepada  bekas  suami  untuk  memberikan  biaya  penghidupan  dan  atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
51
Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang telah  diceraikan  tersebut  tidak  mempunyai  penghasilan  yang  cukup  untuk  menafkahi  dirinya
sendiri.
52
Pengadilan  Negeri  menentukan  jumlah  nafkah  tunjangan  yang  akan  diberikan  kepada salah  satu  pihak  yang  dinilai  pantas  untuk  dinafkahi,  dimana  nafkah  tersebut  berasal  dari  harta
kekayaan  pihak  suami  atau  istri  yang  dianggap  mempunyai  kelebihan  atau  kemampuan  untuk itu.
53
2. Akibat Hukum Perceraian
51
Pasal  41  Undang-undang  Nomor 1 Tahun  1974
52
R.Subekti, op cit,  Pasal 225
53
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Akibat  hukum  adalah  akibat  yang  ditimbulkan  oleh  peristiwa  hukum.
54
Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur
oleh  hukum.
55
Adapun  akibat  hukum  dalam  kaitannya  dengan  akibat  perceraian  ini  diatur  di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.
Akibat  putusnya  perkawinan  karena  perceraian  diatur  dalam  Pasal  156  Inpres  Nomor  1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1 Terhadap anak-anaknya,
2 Terhadap harta bersama harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.
3 Terhadap  Nafkah  pemberian  bekas  suami  kepada  bekas  isterinya  yang  dijatuhi  talak
berupa benda atau uang dan lainnya. 1
Terhadap anak-anaknya Keluarga  yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua
karena  kematian,  perceraian,  hidup  berpisah,  untuk  masa  yang  tak  terbatas  ataupun  suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.
56
Hal ini menyebabkan : a.
Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama  bimbingan  ayah,  karena  ayah  dan  ibunya  masing-masing  sibuk  mengurusi
permasalahan mereka. b.
Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.
54
J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.
55
ibid, hal 101.
56
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal 29.
Universitas Sumatera Utara
c. Anak-anak  tidak  mendapatkan  latihan  fisik  dan  mental  yang  sangat  diperlukan  untuk
hidup  susila.  Mereka  tidak  dibiasakan  untuk  disiplin  dan  kontrol  diri  yang  baik.  Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh  karena  itu,  Kartini  Kartono  mengatakan  bahwa  sebagai  akibat  bentuk  pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci,
sehingga  anak  menjadi  kacau  dan  liar.  Di  kemudian  hari  mereka  mencari  kompensasi  bagi kerisauan  batin  sendiri  diluar  lingkungan  keluarga,  yaitu  menjadi  anggota  dari  suatu  gang
kriminal  lalu  melakukan  banyak  perbuatan  brandalan  dan  kriminal.  Pelanggaran  kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.
Semua  ini  juga  memunculkan  kecenderungan  menjadi  delinkuen  pada  anak-anak  dan  remaja. Setiap  perubahan  dalam  relasi  personal  antara  suami-istri  menjurus  pada  arah  konflik  dan
perceraian.  Maka  perceraian  merupakan  faktor  penentu  bagi  pemunculan  kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.
57
Lebih  lanjut  Kartini  Kartono  juga  mengatakan  bahwa  penolakan  oleh  orang  tua  atau ditinggalkan  oleh  salah  seorang  dari  kedua  orang  tuanya,  jelas  menimbulkan  emosi,  dendam,
rasa  tidak  percaya  karena  merasa  dikhianati,  kemarahan  dan  kebencian,  sentimen  hebat  itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan
lenyapnya  kontrol  diri,  sehingga  anak  dengan  mudah  dapat  dibawa  ke  arus  yang  buruk,  lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran  yang salah. Fakta
menunjukkan  bahwa  tingkah  laku  yang  jahat  tidak  terbatas  pada  strata  sosial  bawah,  dan  strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang
berantakan.  Memang  perceraian  suami-istri  dan  perpisahan  tidak  selalu  mengakibatkan  kasus
57
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja., Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17.
Universitas Sumatera Utara
delinkuen dan karakter pada diri anak.
58
Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar  itu  mengakibatkan  bentuk  ketidakseimbangan  kehidupan  psikis  anak.  Di  samping  itu
juga  tidak  berkembangnya  tokoh  ayah  sebagai  sumber  otoritas  bagi  anak  laki-laki.
59
Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.
60
Peristiwa  perceraian,  apapun  alasannya,  akan  membawa  dampak  bukan  hanya  bagi mantan  suami  dan  istri  tersebut  akan  tetapi  juga  bagi  anak.  Anak  biasanya  akan  mengalami
dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya
pengasuhan anak. Konsekwensi  hukum  dari  Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  dengan  adanya
perceraian  adalah  bahwa  kekuasaan  orang  tua  terhadap  anak  menjadi  hapus  dan  berubah,  dari kekuasaan  orang  tua  menjadi  kekuasaan  wali.
61
Sedangkan  menurut  Undang-undang  Nomor  1 tahun  1974  masih  berada  dibawah  kekuasaan  orang  tua  selama  kekuasaan  itu  belum  dicabut.
62
Walaupun  pada  dasarnya  masih  orang  tua  si  anak  juga  yang  menjalankan  pengasuhan  terhadap anak tersebut.
Menurut  Pengadilan,  setelah  terjadinya  perceraian  maka  Pengadilan  akan  memutuskan siapa  di  antara  ayah  dan  ibu  yang  berhak  menjalankan  kuasa  orang  tua  demi  kelangsungan
pemeliharaan  dan  pengasuhan  anak,  tidak  jarang  terjadi  perebutan  mengenai  hak  asuh  anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak
asuh.
58
Ibid, hal 18.
59
Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
60
Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.
61
R.Subekti, op cit,  Pasal 206 ayat 2
62
Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Sengketa  hak  pemeliharaan  anak  berbeda  dengan  sengketa  harta,  dalam  sengketa  harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak  yang kalah, tetapi putusan hak pemeliharaan
sama  sekali  tidak  menafikan  hubungan  pihak  yang  kalah  dengan  anak  yang  disengketakan. Sehingga  lazimnya  walaupun  putusan  memenangkan  pihak  ibu  dan  mengalahkan  pihak  ayah,
biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu  tidak  boleh  menghalanghalangi  ayah  berhubungan  dengan  anaknya  demikian  juga
sebaliknya,  meskipun  orang  tuanya  sudah  bercerai  anak  tetap  bebas  berhubungan  dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
63
Dengan  terjadinya  perceraian,  pengadilan  dapat  mewajibkan  kepada  bekas  suami  untuk memberikan  biaya  penghidupan  atau  menentukan  sesuatu  kewajiban  bagi  bekas  isteri.  Sebagai
ibu  atau  bapak  mereka  tetap  berkewajiban  memelihara  dan  mendidik  anak-anak  dan  jika  ada perselisihan  mengenai  penguasaan  anak  pengadilan  memberi  putusan  dengan  semata-mata
mendasarkan  kepada  kepentingan  anak.  Seorang  bapak  bertanggung  jawab  atas  semua  biaya pemeliharaan  dan  pendidikan  yang  diperlukan  anak  dan  jika  bapak  ternyata  tidak  dapat
memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.
64
Kewajiban orang tua  untuk  memelihara  dan  mendidik  anak  tetap  melekat  meskipun  hubungan  perkawinan  orang
tua putus.
65
Terhadap  anak,  akibat  putusnya  perkawinan  karena  perceraian  yang  timbul  menurut Undang-undang  perkawinan adalah sebagai berikut:
66
63
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
64
Pasal 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
65
Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
66
Pasal 41 Undang-undang  Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata  berdasarkan  kepentingan  anak,  bilamana  ada  perselisihan  mengenai  penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi  keputusannya.
b. Bapak  yang  bertanggung  jawab  atas  semua  biaya  pemeliharaan  dan  pendidikan  yang
diperlukan  anak-  anak    itu,  bilamana  bapak  dalam  kenyataan  tidak  dapat  memberi kewajiban  tersebut.Pengadilan  dapat  menentukan    bahwa    ibu  ikut  memikul  biaya
tersebut. Selagi  anak  belum  berusia  18  tahun  atau  belum  menikah  ia  berada  di  bawah  kekuasaan
orang  tuanya  yang  akan  mewakilinya  mengenai  perbuatan  hukum  di  dalam  dan  diluar pengadilan.
67
Meskipun  memegang  kuasa,  orang  tua  tidak  boleh  memindahkan  hak  atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.
68
Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap
anak  dapat  dicabut  untuk  waktu  tertentu,  pencabutan  kekuasaan  orang  tua  dapat  dimintakan  ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung
yang  telah  dewasa  atau  oleh  pejabat  berwenang,  kekuasaan  orang  tua  yang  dicabut  tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.
69
Dengan  demikian  jelas  bahwa  kedua  orang  tua  wajib  memelihara  dan  mendidik  anak sebaik-baiknya  sampai  anaknya  kawin  atau  dapat  berdiri  sendiri.  Kewajiban  orang  tua  untuk
memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus. Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga
memiliki  hak  yang  harus  dipenuhi  anaknya.  Hak  anak  untuk  mendapatkan  penghidupan  yang
67
Pasal 47 Undang-undang  Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
68
Pasal 48 Undang-undang  Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
69
Pasal 49 Undang-undang  Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak alimentasi yang  harus  dipenuhi  orang  tua,  terutama  ayah,  baik  dalam  masa  perkawinan  atau  pun  setelah
terjadi perceraian. Apabila  perkawinan  antara  seorang  suami  dengan  seorang  istrinya  dalam  suatu  rumah
tangga, baik karena kematian meninggal dunia salah seorang di antara mereka maupun karena terjadinya  suatu  perceraian  di  antara  mereka  dan  karena  putusan  Pengadilan,  maka  akan
membawa  akibat  terganggunya  proses  pemeliharaan  dan  pendidikan  terhadap  anak-anak  yang lahir dari perkawinan mereka tersebut. Oleh sebab itu salah seorang di antara kedua orang tuanya
harus menjadi pemelihara dan pendidik bagi anak tersebut, hal ini berhubungan erat dengan masa depan  dan  perkembangan  jiwa  anak-anak  yang  masih  memerlukan  perhatian,  kasih  sayang  dan
pendidikan dasar dari orang tuanya, khususnya bagi anak yang masih di bawah umur. Pada  umumnya  apabila  anak  yang  masih  di  bawah  umur,  maka  hak  untuk  memelihara
dan  mendidik  anak  tersebut  akan  diberikan  kepada  ibunya,  hal  ini  sesuai  dengan  ketentuan agama  dan  juga  peraturan  perUndang-undangan  yang  berlaku  sekarang  khususnya  dalam
Undang-undang  Perkawinan  beserta  peraturan  pelaksananya,  disebabkan  bahwa  anak-anak  di bawah  umur  masih  sangat  memerlukan  perhatian  dari  seorang  ibu,  sedangkan  kepada  seorang
ayah  diberikan  tanggung  jawab  untuk  membiayai  kebutuhan  hidup  dan  pendidikan  anak-anak mereka tersebut sampai dewasa.
70
Jadi  dalam  hal  ini  apabila  pihak  yang  diserahkan  kewajiban  memelihara  dan mendidik
anak  tidak  melaksanakan  dengan  baik,  maka  dapat  saja  digugat  kembali oleh  pihak  lain  yang
berkepentingan  terhadap  anak  tersebut.  Gugatan  tersebut  dapat timbul  setelah  memperoleh  hak
70
Pasal 45 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
asuh dan tanggung jawab dalam pemeliharaan dari anak tersebut, di mana dalam pelaksanaannya
penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.
2 Akibat terhadap harta
Menurut  Pasal  35  UU  Perkawinan  harta  perkawinan  ada  yang  disebut  harta  bersama yakni  harta  benda  yang  diperoleh  selama  perkawinan  berlangsung.  Disamping  ini  ada  yang
disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing- masing  sebagai  hadiah  atau  warisan  sepanjang  para  pihak  tidak  menentukan  lain.  Karena  itu
Pasal  36  Undang-undang  Perkawinan  menentukan  bahwa  mengenai  harta  bersama,  suami  atau istri  dapat  bertindak  atas  persetujuan  kedua  belah  pihak,  sedang  mengenai  harta  bawaan  dan
harta  diperoleh  masing-masing  sebagai  hadiah  atau  warisan,  suami  dan  istri  mempunyai  hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Suatu  perceraian  akan  membawa  akibat  hukum  yaitu  adanya  pembagian  harta  bersama bagi  para  pihak  yang  ditinggalkannnya.  Pembagian  tersebut  perlu  dilakukan  guna  menentukan
hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang uang dan sebagainya  yang  menjadi  kekayaan.
71
Sedangkan  yang  dimaksud  dengan  harta  bersama  yaitu harta  kekayaan  yang  diperoleh  selama  perkawinan  di  luar  hadiah  atau  warisan.
72
Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Sedangkan  yang  dimaksud  harta  benda  perkawinan  adalah  semua  harta  yang  dikuasai  suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun
71
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal 199
72
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 200
Universitas Sumatera Utara
harta  perorangan  yang  berasal  dari  harta  warisan,  harta  penghasilan  sendiri,  harta  hibah,  harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.
73
Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :
1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta  bawaan  dari  masing-masing  suami  dan  isteri  dan  harta  benda  yang  diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari  ketentuan  Pasal  35  Undang-undang  Perkawinan  itu  pula  J.Satrio  menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :
1 Harta bersama
2 Harta Pribadi, dapat berupa:
a. Harta bawaan suami
b. Harta bawaan isteri
c. Harta hibahan warisan suami
d. Harta hibahan warisan isteri.
Dengan  demikian  harta  yang  telah  dipunyai  pada  saat  dibawa  masuk  ke  dalam perkawinan  terletak  diluar  harta  bersama.  Menurut  Pasal  37  jo  penjelasan  Pasal  35  Undang-
undang  Perkawinan,  apabila  perkawinan  putus,  maka  harta  bersama  itu  diatur  menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu
perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian. Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:
73
Hilman  Hadi  Kusuma,  Hukum  Perkawinan  Adat,  Citra  Aditya  Bakti,  Bandung,  cet.  IV,  Tahun  1999, hal 156
Universitas Sumatera Utara
1 Bagi  mereka  yang  kawin  menurut  agama  Islam,  hukum  Islam  tidak  mengenal  harta
bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.
2 Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk
kepada hukum adat yang mengenal harta bersama gono-gini atau harta guna kaya, jika terjadi  perceraian  bekas  suami  dan  bekas  istri  masing-masing  mendapat  separuh
Yurisprudensi  Mahkamah  Agung  No.387k  Sip  1958  tanggal  11-2-1959  dan  No.392k Sip 1969 tanggal 30-8-1969.
74
3 Bagi  mereka  yang  kawin  menurut  agama  Kristen,  tetap  tunduk  kepada  KUH  Perdata
yang  mengenal  harta  bersama  persatuan  harta  sejak  terjadi  perkawinan.  Jika  terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH
Perdata  juncto  Pasal  37  Undang-undang  Perkawinan  belum  memberikan  penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan
dualisme  hukum.  Padahal  hukum  adat  sudah  memberikan  penyelesaian  yang  adil  yaitu separoh  bagi  bekas  suami  dan  separoh  bagi  bekas  istri.  Demikian  juga  KUH  Perdata
memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.
Rumusan  Pasal  37  Undang-undang  Perkawinan  juga  dibagi  dua,  separoh  untuk  bekas suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan
yang  seimbang  antara  suami  dan  istri”.  Harta  milik  masing-masing  pada  waktu  pernikahan dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri.
75
74
http:asiamaya.comkonsultasi_hukumharta_perkawinanpembag_harta.htm , diakses pada tanggal 16
oktober 2011.
75
Pasal 37 Undang-undang  No 1 tahun 1974 tentang  perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Demikian  juga  harta  yang  mereka  peroleh  masing-masing  selama  berlangsung pernikahan  tidak  bercampur  menjadi  kekayaan  bersama,  tetapi  tetap  terpisah  satu  sama  lain.
“Terhadap  milik  suami,  si  isteri  tidak  berhak  begitu  saja,  dan  sebaliknya.  Tetapi  suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara
suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.
76
B. Pengasuhan Anak Menurut Hukum
Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak subyek hukum ialah dimulai saat berada  dalam  kandungan  ibunya  sudah  dianggap  telah  dilahirkan  dan  berakhir  pada  saat  ia
meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan  2  KUHPerdata  Indonesia  bahwa  anak  yang  ada  dalam  kandungan  seorang  perempuan
dianggap  sebagai  telah  dilahirkan  bilamana  juga  kepentingan  si  anak  menghendakinya,  mati sewaktu dilahirkannya dianggap ia tidak pernah telah ada.
77
Hukum  perdata  mengatur  setiap  manusia  pribadi  mempunyai  hak  yang  sama  untuk didukung  hak  dan  kewajibannya,  manusia  mempunyai  kewenangan  berhak  sejak  ia  dilahirkan,
bahkan  sejak  dalam  kandungan  ibunya  asalkan  ia  lahir  hidup  apabila  kepentingannya menghendaki.
78
Jadi  setiap  orang  dimungkinkan  pula  berhak  sejak  ia  masih  dalam  kandungan dan lahirnya harus hidup.
Seorang  anak  pada  permulaan  hidupnya  sampai  umur  tertentu  memerlukaan  orang  lain dalam kehidupannya, baik dalam pertumbuhan fisiknya. Peran seorang  ayah yang berkewajiban
dalam membiayai nafkah pemeliharaan dan pendidikan seorang anak agar si anak tersebut dapat menjadi  seseorang  yang  berguna  dan  bermanfaat  bagi  masyarakat,  bangsa  dan  negara  kelak,
76
Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
77
Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal 4.
78
Abdul Qodir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hal, 45.
Universitas Sumatera Utara
mengingat  tanggung  jawab  anak  sebagai  generasi  penerus.  Untuk  kepentingan  seorang  anak, sikap  perduli  dari    kedua  orang  tua  terhadap  tanggung  jawab  biaya  nafkah  memang  sangat
diperlukan.  Jika  tidak,  maka  bisa  mengakibatkan  seorang  anak  tumbuh,  tidak  terpelihara  dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu yang paling diharapkan adalah  keterpaduan
keduanya  yang  akan  bisa  diwujudkan  selama  kedua  orang  tuanya  itu    masih  tetap  dalam hubungan  suami  istri.  Dalam  suasana  yang  demikian,    kendatipun    tugas  mengasuh  anak  lebih
banyak  dilakukan  oleh  pihak  ibu,  namun  peranan  seorang  ayah  tidak  bisa  diabaikan  dalam  hal memenuhi segala kebutuhan guna memperlancar tugas pengasuhan.
Harapan  seperti  tersebut  di  atas  tidak  akan  terwujud,  bilamana  terjadi  perceraian  antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan  malapetaka bagi  anak,
di  saat  itu  si  anak  tidak  lagi  dapat  merasakan  nikmat  kasih  sayang  dari  kedua  orang  tuanya. Padahal  merasakan  kasih  sayang  kedua    orang  tua  merupakan  unsur  penting  bagi  pertumbuhan
mental  seorang  anak.  Pecahnya  rumah  tangga  kedua  orang  tua,  tidak  jarang  membawa  kepada terlantarnya  pengasuhan anak.
1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam