xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya. Kekayaan tersebut terlihat dari keanekaragaman tradisi dan budaya masyarakat setempat. Hal ini
karena tiap suku mempunyai adat istiadat serta ciri khas yang berbeda, sehingga harus dilestarikan dan dikembangkan.
Sastra lisan merupakan bagian dari budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Apa yang diungkapkan di
dalamnya berisi nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Namun, belakangan ini masyarakat memandangnya dengan sebelah mata. Sastra
lisan dianggap tidak memberikan sumbangan terhadap modernisasi, sehingga sastra lisan tergeser dan tergantikan. H. Djantera, dkk. 1997: 1
mengungkapkan bahwa banyak sastra lisan tidak lagi dikenal oleh masyarakat, padahal bentuk sastra ini jika dipandang secara antropologis,
dibentuk oleh tradisi masyarakat. Hal ini berarti, di dalam sastra lisan terdapat nilai-nilai yang pernah dianut oleh masyarakat penciptanya.
Sastra lisan berkembang sebelum muncul sastra tulis, sehingga nilai tradisinya amat kuat dirasakan oleh masyarakat. Sastra lisan menjadi
bagian dari sistem komunikasi, serta proses pematangan pola pikir secara alamiah yang berlaku di masyarakat. Kemudian, peran dan fungsi sastra
mulai bergeser yang disebabkan oleh pengaruh negatif kemajuan jaman globalisasi, kurang tahunya masarakat tentang sastra lisan dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, sastra lisan harus digarap secara sungguh- sungguh menjadi bacaan masyarakat. Sastra lisan perlu dibukukan,
xv diselamatkan dan ditransliterasi ke dalam bahasa nasional, karena pada
umumnya berasal dari bahasa daerah. Sebenarnya proses pencatatan ini sudah dilakukan, namun kurang
maksimal. Menurut Ajib Rosidi 1995: 128 pencatatan dongeng-dongeng atau bentuk tradisi lisan lainnya mulai dilakukan pada abad ke
−19 oleh para pejabat Belanda yang sebagian telah diterbitkan dalam berbagai
majalah atau buku, tetapi sebagian besar masih tersimpan berupa naskah. Ia juga mengatakan bahwa hampir semua pengumpulan itu untuk
bacaan orang Belanda, sehingga ditulis dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1960 pemerintah melalui jawatan kebudaaan melakukan
pencatatan cerita rakyat yang kemudian diterbitkan berjilid-jilid oleh Balai Pustaka. Selain itu, pada tahun 1980, lembaga-lembaga dalam lingkungan
Depdikbud mengadakan pencatatan berbagai tradisi lisan secara lebih luas, namun hasilnya hanya disebarkan pada lingkungan terbatas.
Pada dekade ini banyak penerbit juga mengumpulkan beberapa sastra lisan ke dalam buku, tetapi hasilnya juga belum begitu memuaskan.
Sastra lisan yang terkumpul hanya beberapa daerah saja, sedangkan sastra lisan di Indonesia begitu banyak jumlahnya dan perlu
diselamatkan. Selain para penerbit, ada beberapa peneliti yang tertarik pada
dunia sastra mencoba mengkajinya, tetapi juga hanya daerah tertentu saja, sehingga perlu dikembangkan lagi baik oleh peneliti tersebut
maupun peneliti-peneliti lainnya. Pengumpulan dan pemeliharaan secara fisik tentu belum cukup. Pemeliharaan di sini artinya pengungkapan ide-
ide, pikiran dan perasaan, serta nilai-nilai didiknya. Tradisi lisan atau sastra lisan sebagai bagian budaya yang
diwariskan secara turun temurun dan sebagai milik bersama, tidak terbatas pada cerita rakyat dongeng, legenda dan mitos, melainkan juga
sistem kognasi kekerabatan, sejarah hukum adat, praktik hukum dan 1
xvi pengobatan tradisional. Sastra lisan ini muncul bukan hanya sekadar
untuk mengisi di waktu senggang, namun sebagai penyalur sikap dan pandangan, cerminan angan-angan, alat pengesahan aturan sosial dan
sebagainya Suwardi Endraswara, 2005: 2 −3.
Adapun bentuk sastra lisan pada penelitian ini adalah cerita rakyat. Peneliti memfokuskan cerita rakyat sebagai bahan penelitian;
Pertama, karena biasanya berisi kisah perjalanan serta kehidupan seseorang yang dianggap mengesankan atau mempunyai peranan
penting atau dipuja oleh masyarakat pendukungnya; Kedua, di dalam cerita rakyat terdapat nilai-nilai pendidikan, seperti religi, sosial, moral,
kebudayaan dan lainnya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari; Ketiga, dengan mengkaji dan mempelajari cerita rakyat berarti ikut
menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa. Pada penelitian kali ini, peneliti mengambil cerita rakyat di Kota
Salatiga dan sekitarnya yaitu: cerita rakyat ”Asa-usul Kota Salatiga”, ”Rawa Pening” dan ”Sendang Senjaya”. Alasan peneliti tertarik
mengkajinya adalah; Pertama cerita rakyat tersebut sangat menonjol di wilayah masing-masing, bahkan sudah ada yang dibukukan; Kedua, cerita
rakyat tersebut mempunyai indikasi mengandung nilai-nilai pendidikan yang baik untuk perkembangan mental bangsa; Ketiga, dengan mengkaji
ceerita rakyat tersebut berarti ikut membantu perkembangan kebudayaan bangsa dan negara.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Cerita Rakat di Kota Salatiga dan Sekitarnya
Tinjauan Struktur dan Nilai Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah