Kajian komunitas terumbu karang daerah perlindungan laut perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara

(1)

KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS

KABUPATEN TAPANULI TENGAH

PROPINSI SUMATERA UTARA

HEMAT SIRAIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Hemat Sirait


(3)

HEMAT SIRAIT. Study of coral reef community of marine protected areas in Sitardas Waters Central Tapanuli District North Sumatra Province. Under direction of M. MUKHLIS KAMALand NURLISA A. BUTET

A coral reef ecosystem, as one of the main habitats on a coastal, physically serves to protect the beach from currents and waves. Ecologically, it serves as habitat for marine life and as a protected, feeding, spawning, and nursing ground (Nybakken 1992). The study aims to: (1) knowing the condition of coral reefs in the Sitardas Village water areas; (2) review the damage of coral reefs in Sitardas Village; (3) formulate recommendation of coral reef management strategy in developing marine protected areas. The method that used in the research is survey method with data types consist of primary and secondary data. Primary data include: aquatic biophysical conditions (physical-chemistry parameters of waters and coral coverage). Measurements of coral percent coverage conducted with Line Intercept Transect method (LIT), reef fish by Underwater fish Visual Census method (UVC) and megabenthos with Reef Check Benthos method (RCB); community socioeconomic data taken with purposively sampling by distribute the questionnaires and direct interviews. Secondary data include the aspects relating to management of coral reef ecosystem in Sitardas, obtained through searching of the literature and data from other relevant agencies. Analysis development of management strategies for coral reef ecosystems and marine protected areas (MPAs) using SWOT analysis. Based on field observations, the category of life form coral reefs was in sufficient and good category. But commonly coral reef ecosystem in Sitardas waters occur disturbed which caused by anthropogenic and sedimentation. Based on the research results can be concluded that conditions of coral reefs in the Sitardas waters damaged due fishing by using bombs and Pottasium and due to the use by the fishing ship's anchor.

Key words: marine protected areas, line intercept transect, underwater fish visual cencus, reef check benthos, bomb, pottasium cyanide.


(4)

RINGKASAN

HEMAT SIRAIT. Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan NURLISA A. BUTET.

Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken, 1992). Secara ekologis terumbu karang merupakan tempat hidup biota laut sebagai tempat berlindung, mencari makan, bertelur dan daerah pembesaran. Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan hewan benthic lainnya. Adanya kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas mengakibatkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang serta turunnya hasil perikanan masyarakat nelayan Desa Sitardas. Oleh karena itu, maka penelitian ini dilakukan untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan.

Penelitian ini bertujuan, untuk mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas, kemudian mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Sitardas, selanjutnya memberikan rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi parameter fisika kimia perairan dan tutupan karang. Pengukuran persentase tutupan karang dilakukan dengan metode (Line Intercept Transect=LIT), ikan karang dengan metode (Underwater fish Visual Cencus=UVC) dan benthic fauna yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan metode (Reef Check Benthos=RCB). Data sosial ekonomi masyarakat diambil secara purposive sampling dengan penyebaran kuisioner dan wawancara langsung. Data sekunder meliputi aspek sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas, diperoleh melalui penelusuran berbagai pustaka dan data dari instansi terkait lainnya. Analisis data dilakukan secara deskriftif berdasarkan hasil pengolahan data primer dan sekunder. Analisa pengembangan untuk strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) menggunakan analisis SWOT.

Berdasarkan data rerata persentase penutupan karang hasil penelitian tahun 2009 dengan data baseline 2004 terjadi penurunan, kemudian terjadi peningkatan dibandingkan dengan monitoring 2007 dan 2008. Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 01 hard coral 43.03%, lumpur berpasir 18.70%, patahan karang 16.03%, alga 11.83% dan substrat lainnya 10.40%, stasiun SIT 02 hard coral

64.34%, patahan karang 13.67%, dead coral algae 9.90% dan substrat lainnya 12.10%, stasiun SIT 03 hard coral 52.24%, soft coral 17.10%, pasir 12.73%, dead coral algae 10.43%, patahan karang 4.33% dan substrat lainnya 3.16%, stasiun BKL 04 hard coral 27.06%, patahan karang 29.17%, pasir 20.23%, alga 12.50%, dead


(5)

dengan persentse tutupan biota dan substrat tersebut, maka kategori tutupan karang hidup hasil penelitian di Perairan Sitardas termasuk kategori sedang sampai baik sesuai dengan kategori Gomez dan Yap (1988) meskipun hal ini tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kondisi objektif berdasarkan pengamatan di lapangan persentase tutupan substrat selain tutupan karang hidup juga cukup tinggi, banyaknya patahan karang, karang mati serta adanya endapan lumpur menjadi indikasi bahwa terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas.

Secara umum kerusakan ekosistem terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas diakibatkan aktifitas manusia dan sedimentasi. Penangkapan ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan (penggunaan bom dan pottasium) masih terjadi di wilayah Perairan Sitardas. Akibat sedimentasi melalui muara sungai yang mengalir dari Desa Sitardas menuju perairan laut, kemudian adanya penebangan hutan secara liar di sekitar perbukitan Desa Sitardas yang menyebabkan erosi tanah dan langsung menuju keperairan laut semakin memperburuk kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kurangnya pengetahuan tentang terumbu karang dan manfaatnya, serta lemahnya pengawasan menjadi kendala utama dalam upaya pelestarian terumbu karang di wilayah ini.

Berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kemudian diterjemahkan kedalam keputusan teknis sebagai rekomendasi dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas yaitu, perlu adanya penzonasian ulang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut yang rusak.

Penelitian kajian komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta akibat penggunaan jangkar kapal. Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengawasi serta mengelola ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas belum terlihat dengan jelas.

Kata kunci: daerah perlindungan laut, transek garis menyinggung, pengamatan ikan bawah air, pengamatan hewan dasar perairan, bom, pottasium.


(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS

KABUPATEN TAPANULI TENGAH

PROPINSI SUMATERA UTARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

HEMAT SIRAIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Sumatera Utara Nama : Hemat Sirait NIM : C252070204

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 10 November 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.

Ketua

Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. Anggota

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Laporan penelitian dengan judul “Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc.

selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian serta penyusunan laporan penelitian ini.

2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi SPL.

5. Seluruh Dosen pengajar atas bimbingan yang telah diberikan dan seluruh staf karyawan dan staf sekretariat SPL atas bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB.

6. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II– ADB) Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah membiayai pendidikan dan penelitian ini.

7. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah serta BAPPEDA Kabupaten Tapanuli Tengah atas segala bantuan dan koordinasi yang diberikan.

8. Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Indonesia (Pak Ricoh, Mas Bayu, Dimas dkk) atas bantuan dan kerjasama yang diberikan.

9. Ibunda Sakdiah Damanik atas segala do’a dan bimbingan yang diberikan serta kakak, abang dan adik-adik (Evi, Mala, Bandi, Ana dan Iti) di Medan.


(11)

Hessy Aurellya Sirait atas segala dorongan dan dukungan yang telah diberikan.

11. Ungkapan terima kasih kepada Ayah A. Bakar Rambe dan Ibu Deswita Jalil beserta seluruh adik-adik (Ucok, Betha, Dewi, Rika, Doni dan Anton).

12. Rekan-rekan SPL–SANDWICH COREMAP II–ADB (Ustad Ilham, Kiyai Dedy D, Brother Jojo dan Viddint, Coy Reza, Lida Aro, Cuy Amehr dan Dedy E, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu), terima kasih atas kebersamaan selama mengikuti masa study di Bogor dan Xiamen–China. 13. Teman-teman yang membantu selama penelitian (Ivan, Pagar, Tanti, Bang

Dolly dan Bang Adek) atas kerjasama selama di lapangan.

Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan bagi pembacanya.

Bogor, November 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Raja Simalungun Propinsi

September 1975 sebagai anak ke

dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda Sakdiah Damanik.

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, pada tahun 1999.

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Coral Reef

(COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melanjutkan pendidikan di

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan,

Republik Rakyat China.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Raja Maligas, Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 02 September 1975 sebagai anak ke-empat dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda Sakdiah Damanik. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumbrdaya Perairan,

erdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis beasiswa dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

di Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen utan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan Xiamen University Maligas, Kabupaten Sumatera Utara pada tanggal 02 empat dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda Pendidikan sarjana ditempuh di emanfaatan Sumbrdaya Perairan, Jurusan Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis Rehabilitation and Management Program (COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Bogor dan Xiamen University


(13)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL

... xiii

DAFTAR GAMBAR

... xiv

DAFTAR LAMPIRAN

... xv

1

PENDAHULUAN

... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Kerangka Pemikiran ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

2

DAFTAR PUSTAKA ... 11

2.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 11

2.2 Faktor Pembatas ... 15

2.3 Kerusakan Terumbu Karang ... 16

2.4 Daerah Perlindungan Laut ... 19

3

METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Tahapan Penelitian ... 23

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 24

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 27

3.4 Data Primer ... 27

3.4.1 Parameter fisika dan kimia perairan ... 27

3.4.2 Data terumbu karang ... 27

3.4.3 Data ikan karang ... 28

3.4.4 Data Benthic Fauna ... 29

3.4.5 Data sosial ekonomi ... 30

3.5 Data Sekunder ... 30

3.6 Analisis Data ... 31

3.6.1 Persentase tutupan karang ... 31

3.6.2 Kelimpahan ikan ... 31

3.6.3 Kelimpahan benthic fauna ... 32

3.6.4 Faktor sosial ekonomi ... 33

3.7 Analysis SWOT ... 33

4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 36

4.2 Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 41

4.3 Komunitas Terum bu Karang ... 46

4.3.1 Karang... 46

4.3.2 Benthic fauna ... 59


(14)

xii

4.4 Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat ... 73

4.5 Analisis Pengelolaan untuk Pengembangan ... 80

5

KESIMPULAN DAN SARAN

... 92

5.1 KESIMPULAN ... 92

5.2 SARAN ... 93

DAFTAR PUSTAKA

... 94

LAMPIRAN

... 100 xii


(15)

xiii

Halaman

1 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada lokasi penelitian di Desa Sitardas ... 42 2 Rerata jumlah hewan benthic pertransek hasil pengamatan tahun 2004,

2007, 2008 dan 2009 ... 60 3 Jumlah benthic fauna dengan metode RCB pada masing-masing stasiun

penelitian ... 61 4 Kelimpahan benthic fauna di stasiun penelitian dalam luasan transek ... 62 5 Rerata jumlah individu ikan karang per transek berdasarkan kelompok

dari hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 ... 66 6 Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki frekwensi kehadiran relatif

tertinggi pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas 2009 ... 67 7 Jumlah ikan karang untuk masing-masing suku pada stasiun penelitian

di Perairan Sitardas tahun 2009 ... 68 8 Perbandingan jumlah individu ikan major, ikan target dan ikan indikator

pada masing-masing stasiun penelitian ... 69 9 Persentase kelompok ikan karang pada stasiun penelitian ... 69 10 Kelimpahan ikan karang di stasiun penelitian dalam luasan transek ... 73 11 Bobot unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL

Sitardas (faktor strategi internal/IFS) ... 83 12 Bobot unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL

Sitardas (faktor strategi eksternal/EFS) ... 83 13 Bobot, rating dan skoring unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu

karang dan DPLSitardas (faktor strategi internal/IFS).. ... 84 14 Bobot, rating dan skoring unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu

karang DPL Sitardas (faktor strategi eksternal/EFS) ... 85 15 Matriks formulasi arahan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang

dan DPL Sitardas ... 86 16 Ranking prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan


(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan

Daerah Perlindungan Laut Sitardas ... 9

2 Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas ... 24

3 Lokasi penelitian di perairan laut Desa Sitardas tahun 2009 dan lokasi penelitian LIPI tahun 2004, 2007 dan 2008 ... 25

4 Teknik Pengamatan Line Intercept Transect (LIT) ... 28

5 Metode Underwater fish Visual Census (UVC) ... 29

6 Metode Reef Check Benthos (RCB) ... 30

7 Desa Sitardas : (a) Dusun I (Kampung Sawah), (b) Perairan Sitardas, (c) P. Ungge dan (d) P. Bakal yang menjadi lokasi penelitian ... 37

8 Peta Daerah Perlindungan Laut Sitardas 2008 ... 39

9 Photo bawah air kondisi stasiun penelitian; (a) SIT 01, (b) SIT 02, (c) SIT 03, (d) BKL 04 dan (e), (f) UNG 05 di Perairan Sitardas 2009 ... 50

10 Persentase tutupan biota dan substrat masing-masing stasiun penelitian tahun 2009 ... 51

11 Persentase tutupan karang hidup pada stasiun penelitian ... 52

12 Peta persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Tapanuli Tengah ... 53

13 Persentase jumlah benthic fauna per jenis pada stasiun penelitian ... 63

14 Peta kondisi benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah ... 65

15 Persentase kehadiran relatif suku ikan karang pada stasiun penelitian ... 71

16 Peta persentase kehadiran relatif ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah ... 72


(17)

xv

Halaman

1 Posisi stasiun pengamatan untuk karang, ikan dan benthic fauna di

Perairan Desa Sitardas tahun 2009 ... 101

2 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 01 ... 102

3 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 02 ... 103

4 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 03 ... 104

5 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun BKL 04 ... 105

6 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun UNG 05 ... 106

7 Persentase jumlah jenis benthic fauna pada stasiun penelitian ... 107

8 Jumlah kehadiran ikan karang per jenis hasil Underwater fish Visual Census pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Desa Sitardas ... 108


(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan

massif kalsium karbonat (CaCO3), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken 1992). Terumbu karang mempunyai nilai penting antara lain fungsi biologis (tempat memijah, bersarang, mencari makan dan tempat pembesaran berbagai biota laut); fungsi kimiawi (sumber nuftah bahan obat-obatan); fungsi fisik (sebagai pelindung pantai dari abrasi); dan fungsi sosial (sumber mata pencaharian nelayan dan objek wisata bahari) (Supriharyono 2007).

Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman jenis karang dan tempat asal-usul karang. Wilayah penyebarannya diperkirakan mencapai 75 000 Km2 atau sekitar 14% dari seluruh sebaran terumbu karang dunia (Dahuri 2003). Dinyatakan oleh (Suharsono 2008) bahwa jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sebanyak 590 jenis yang termasuk dalam 80 marga karang. Sebaran karang di Indonesia tidak merata mulai dari Sabang sampai Utara Jayapura, ada daerah tertentu dimana karang dapat tumbuh dengan baik dan ada daerah tertentu karang tidak dapat tumbuh dengan baik. Sebaran karang sebelah Barat Sumatera tersebar pada Pantai Barat Sumatera mulai dari Pulau Weh, Pulau-pulau Banyak, Pulau Simelue, Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, Pulau Siberut, Pulau Pagai dan Sipora hingga Pulau Enggano.

Menurut penelitian P3O LIPI (1996), kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39.5%, dalam kondisi sedang sekitar 33.5%, kondisi baik 21.7% dan hanya 5.3% dalam kondisi sangat baik. Hal ini disebabkan selain dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, juga disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak (destruktive fishing) seperti eksploitasi berlebih, teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau merusak (penggunaan bom, dan racun sianida), pencemaran, sedimentasi, penambangan dan pembangunan konstruksi pantai.


(19)

Tingkat kerusakan terumbu karang di Sumatera Utara saat ini, sebesar 40% rusak, 30% sedang dan 30% baik. Sebagian besar tersebar di Kabupaten Tapanuli Tengah di sekitar P. Mursala dan tiga kecamatan di sekitarnya, yaitu Kecamatan Badiri, Kecamatan Jago-Jago dan Kecamatan Tapian Nauli yang secara keseluruhan sudah dalam keadaan rusak. Luasan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 25.3572 km2, dengan persentase tutupan karang hidup 26.98% (COREMAP II 2004).

Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara terletak di Pantai Barat pulau Sumatera yang menjadi lokasi pelaksanaan COREMAP II. Program COREMAP ini dilakukan dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayah yang menjadi lokasi kegiatan tersebut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah terletak antara 1o11’00”–2o22’00” Lintang Utara dan 98o07’–98o12’ Bujur Timur dengan luas wilayah 2 194.98 km2 dan dengan ketinggian antara 0–1.266 m di atas permukaan laut.

Berdasarkan hasil pengamatan baseline ekologi Tapanuli Tengah tahun 2004 diperoleh persentase tutupan karang hidup bervariasi antara 19.90%–67.20% dengan nilai rerata sebesar 43.59%. Sedangkan hasil pengamatan monitoring evaluasi Tapanuli Tengah tahun 2007, hasil pengamatan karang dengan metode LIT di stasiun penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah dicatat persentase tutupan karang hidup bervariasi antara 9.0%–71.73% dengan nilai rerata sebesar 38.31%. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah diperoleh tutupan karang hidup berkisar antara 12.73%–69.00% dengan rerata tutupan sebesar 42.48%. Dari ketiga time series data tersebut disimpulkan bahwa terjadi penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah dari tahun sebelumnya.

Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan hewan benthic lainnya. Secara lebih luas berpengaruh pula dengan kehidupan masyarakat nelayan sebagai pemanfaat dan pengguna sumberdaya tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya yang


(20)

3

ada perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penetapan kawasan konservasi melalui pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau dikenal dengan marine sanctuary yang merupakan kawasan lindung skala kecil di tingkat desa.

Daerah Perlindungan Laut secara prinsipnya adalah merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan pemanfaatan sumberdaya serta dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat. Namun dalam prosesnya pembentukannya DPL juga harus dapat mengakomodir aspirasi masyarakat, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya yang ada. Akibatnya pembentukan DPL seringkali menjadi polemik karena adanya pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat nelayan, yang khawatir akan mengurangi hasil tangkapannya apabila daerah penangkapan ikan mereka dibatasi. Padahal dengan adanya DPL adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya yang ada, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan secara berkelanjutan. Adanya permasalahan ini menjadikan konsep DPL berbeda-beda pada masing-masing wilayah. Pengelolaan DPL di Perairan Sitardas yang ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas juga bersifat lebih akomodatif,

demi kepentingan masyarakat. Zona DPL Sitardas dibagi menjadi zona inti yang merupakan zona lindung yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan dan sumberdaya lainnya, kemudian zona penyangga yang merupakan suatu kawasan di sekeliling zona inti dimana beberapa kegiatan termasuk beberapa jenis kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan dapat diperbolehkan.

Proses pembentukan DPL dapat berdasarkan keinginan masyarakat ataupun peranan pemerintah dalam upaya perlindungan sumberdaya yang ada. Proses pembentukan DPL Sitardas dimulai dari keinginan sebagian masyarakat untuk memberikan perlindungan terhadap sumberdaya yang ada, akibat isu tentang kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kemudian isu permasalahan yang ada tersebut didiskusikan oleh masyarakat dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal di tingkat desa. Setelah adanya dukungan dari mayoritas masyarakat


(21)

dalam upaya pengelolaan terumbu karang di Desa Sitardas, maka di bentuklah DPL Sitardas yang tetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas yang ditandatangani oleh Kepala Desa atas Persetujuan Badan Permusyawaratan Desa melalui musyawarah desa. Perdes tersebut dikirim ke Bupati melalui Camat, yang kemudian dijadikan sebagai rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas yang dituangkan sebagai rencana pembangunan desa.

Penetapan kawasan DPL berdasarkan Pedoman Pembentukan Daerah Perlindungan Laut dari DIRJEN P3K–DKP 2005, betujuan antara lain untuk : (1) Mengusahakan terwujudnya pelestarian sumberdaya alam hayati pesisir dan lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan; (2) Menjaga, melindungi, menglola dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan biota laut lainnya; (3) Dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata; (4) Meningkatkan pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat; (5) Mendorong dan memperkuat masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki; (6) Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; (7) Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan lautan bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Berdasarkan konsep tentang pembentukan dan tujuan adanya Daerah Perlindungan Laut tersebut dapat dikatakan bahwa seharusnya kondisi ekosistem terumbu karang yang berada di dalamnya selayaknya berada dalam keadaan baik dan stabil. Untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan adanya monitoring dan evaluasi dari waktu kewaktu. Namun jika ternyata kondisinya juga berada dalam keadaan rusak, maka perlu adanya kajian secara spesifik agar diketahui faktor-faktor penyebabnya serta dapat disusun strategi pengelolaannya secara lebih baik. Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu upaya untuk pelestarian terumbu karang yang banyak dilakukan diseluruh dunia dan hasilnya sangat bermanfaat sehingga kajian tentang kondisi, efektifitas serta keterkaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat pesisir adalah sangat menarik untuk dilakukan.


(22)

5

Pengamatan ekologi terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai baseline study telah dilaksanakan sejak tahun 2004, oleh tim dari CRITC COREMAP–LIPI pada lokasi penelitian di Desa Sitardas, Desa Jago-Jago dan Desa Tapian Nauli, diperoleh hasil sebaran terumbu karang kurang lebih 1 721 ha. Desa Sitardas terletak di Kecamatan Badiri berbatasan dengan Desa Jago-Jago di sebelah Utara, Kecamatan Sibangun di sebelah Selatan, Samudera Indonesia di sebelah Barat serta Kecamatan Pinangsori di sebelah Timur. Desa Sitardas berjarak + 14 km dari ibukota Kecamatan dan + 28 km dari ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, Pandan. Perjalanan menuju ke kota kecamatan dari ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor. Sulitnya akses jalan darat untuk menuju Desa Sitardas menyebabkan masyarakat umumnya dari kecamatan menggunakan kapal menuju ke Desa Sitardas.

Wilayah Perairan Desa Sitardas mempunyai panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan dengan Samudera Indonesia. Tinggi gelombang laut berkisar antara 0.6–2.5 m, tinggi pasang surut rata-rata 0.70 m, tipe pasut campuran condong ke harian ganda, kedalaman 1–10 m dan jenis substrat dasar pantai berpasir dan kerikil. Daratan pesisir terdiri dari kawasan perbukitan dan dataran rendah yang dilalui beberapa sungai, di sebelah Utara terdapat Sungai Aek Lobu, di sebelah Selatan terdapat Sungai Aek Tunggal dan Sungai Kualo Maros. Sepanjang pinggiran sungai banyak terdapat vegetasi mangrove yang di dominasi jenis Rhizopoda sp. Terumbu karang di Desa Sitardas dapat dijumpai di bagian Utara perairan pesisir pantainya hingga ke P. Ungge, P. Bakar dan Pulau Situngkus, tepatnya di depan Dusun Kampung Sawah. Di sekeliling perairan pulau sampai 80 m kearah laut merupakan habitat terumbu karang dengan jenis biota antara lain: Anthozoa, lamun, porifera, hydra, udang karang dan ikan hias.

Berdasarkan informasi masyarakat setempat kondisi ekosistem terumbu karang di Desa Sitardas sudah dalam keadaan rusak. Umumnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi di wilayah Perairan Desa Sitardas selama ini sebagian besar merupakan dampak dari kegiatan manusia yang miskin pengetahuan dan miskin kesadaran yang hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek. Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan penangkapan ikan hias karang dengan menggunakan potassium cyanide masih


(23)

terjadi, meskipun peraturan sudah dibuat tetapi penangkapan ikan hias secara sembunyi-sembunyi masih dilakukan. Bahkan ada kegiatan penangkapan yang dilakukan secara terang-terangan di backing oleh oknum tertentu, sehingga masyarakat tidak berani untuk melarang.

Kerusakan terumbu karang juga banyak terjadi karena penggunaan jangkar besi yang digunakan oleh para nelayan. Akibat kerusakan yang diakibatkan oleh manusia masih dapat terlihat secara langsung pada kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Perairan Sitardas sampai saat ini. Patahan karang (rubble) akibat penggunaan alat tangkap dan jangkar kapal, kemudian banyaknya karang mati, luasnya pecahan terumbu karang serta tingginya persentase tutupan substrat pasir akibat pemboman ikan berdasarkan pengamatan langsung terlihat di perairan ini. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah konservasi sumberdaya laut berakibat rendahnya kesadaran dan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang.

Untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan terhadap kerusakan terumbu karang diperlukan adanya kajian yang tepat dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara baik. Berdasarkan pengalaman secara empiris, terbukti bahwa pendekatan dalam pembangunan dan perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang dilakukan secara sektoral tidak membuahkan hasil untuk mencapai pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan (Dahuri 2003). Oleh karena itu, alternatif yang lebih baik adalah melalui pendekatan ekologi secara langsung terhadap kerusakan terumbu karang. Untuk mengkaji kerusakan ekosistem terumbu karang, maka dikaji kondisi ekologi serta interaksi dari proses-proses di dalamnya yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang. Kemudian bagaimana dampak dari upaya yang telah dilakukan dalam upaya rehabilitasi terumbu karang tersebut.

Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan potensi terumbu karang adalah melalui konservasi, untuk memberikan perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan sumberdaya alam yang ada secara lestari. Dalam upaya perlindungan dan pengamanan tersebut diperlukan keterpaduan gerak dari masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya. Penyuluhan dan penyadaran yang diberikan kepada masyarakat merupakan langkah penting untuk memacu peran


(24)

7

serta masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam di wilayah pesisir terutama terumbu karang.

Peran serta masyarakat adalah merupakan keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan, sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat merupakan bentuk upaya yang dilakukan masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam suatu kegiatan dan hasilnya akan secara langsung atau tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat tersebut (Wardoyo 1992).

Penelitian kajian kondisi komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas ini dilakukan untuk dapat memberikan arahan strategi upaya pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan serta pengawasan terhadap ekosistem terumbu karang, agar pemanfaatan sumberdaya pesisir secara lestari dan berkelanjutan.

1.2 Permasalahan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan CRITC COREMAP – LIPI tahun 2008 kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Perairan Desa Sitardas mengalami kerusakan dan cenderung menurun kualitas dan kuantitasnya dari tahun pengamatan sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang, Sitardas 2007 diketahui adanya kerusakan terumbu karang di Desa Sitardas sangat berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar wilayah Perairan Desa Sitardas. Secara umum ada lima faktor fisik akibat aktifitas manusia yang menyebakan kerusakan terumbu karang di desa Sitardas yaitu (i) penggunaan racun (pottasium); (ii) penggunaan bom; (iii) penambangan karang; (iv) pembuangan jangkar perahu; dan (v) sedimentasi. Adanya kerusakan terumbu karang di Perairan dan sekitar Daerah Perlindungan Laut Sitardas akibat aktifitas manusia, secara langsung telah mengakibatkan terpuruknya produksi perikanan di perairan tersebut.

Permasalahan utama di Perairan Sitardas adalah kerusakan ekosistem terumbu karang baik di Perairan Sitardas maupun di kawasan DPL Sitardas. Kerusakan ini terjadi akibat kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat


(25)

tangkap yang merusak, (seperti bom dan racun sianida atau biasa disebut masyarakat dengan nama air mas). Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pelestarian dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang, minimnya pengawasan dan koordinasi antara masyarakat dan pihak terkait lainnya serta lemahnya supremasi hukum terhadap peraturan yang telah ditetapkan dalam peraturan Desa Sitardas untuk pengelolaan DPL Sitardas mengakibatkan kerusakan terus terjadi dari waktu kewaktu hingga saat ini. Kemudian hal ini diperburuk lagi oleh adanya akitifitas di daratan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi menuju perairan laut melalui muara-muara sungai yang ada di Desa Sitardas.

Dengan adanya permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kondisi kerusakan terumbu karang di wilayah ini. Penelitian ini belum memfokuskan bagaimana efektifitas pengelolaan ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, karena bagaimanapun pembentukan DPL Sitardas baru dimulai pada Oktober 2008, yang berarti belum berjalan 1 (satu) tahun pada saat penelitian ini dilaksanakan, sehingga efektifitas pengelolaannya belum terlihat secara jelas dan nyata. Adanya kerusakan yang masih terjadi adalah merupakan dasar dalam melakukan kajian untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan yang dapat dilakukan agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah adanya degradasi terumbu karang secara kuantitas dan kualitas di Perairan Desa Sitardas. Desa Sitardas memilki Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober 2008. Kerusakan terumbu karang yang sudah terjadi sejak lama baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat khususnya nelayan di Desa Sitardas. Pendekatan secara ekologis dan pendekatan sosial ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana kerusakan ekosistem terumbu karang tersebut. Salah satu upaya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan adalah dengan pembentukan Daerah Perlindungan Laut sebagai salah satu wujud dari konservasi sumberdaya. Oleh karena itu perlu adanya kajian untuk perbaikan dan pengelolaan dari waktu ke waktu untuk dapat


(26)

9

menentukan rencana strategi pengelolaan terumbu karang serta pengembangan Daerah Perlindungan Laut agar pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari dapat berjalan dengan baik. Diagram alir di bawah ini menggambarkan kerangka pikir pengelolaan terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang akan berhasil apabila didukung oleh keterlibatan aktif masyarakat di sekitarnya dan dukungan dari pemerintah setempat Adanya pengawasan dan kontrol oleh masyarakat dinilai sangat efektif dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Demikian juga halnya dukungan pemerintah sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu Daerah Perlindungan

Terumbu Karang

Pendekatan Ekologi Pendekatan

Sosial Ekonomi

LIPI: 2004, 2007, 2008 Penelitian

2009

Analisis SWOT

Pengelolaan terumbu karang dan Pengembangan Daerah Perlindungan Laut

Sumberdaya Perikanan Lestari

Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut

Permasalahan: Adanya kerusakan terumbu karang di

Desa Sitardas

Rencana Strategi


(27)

Laut, karena hal ini akan memberikan pengakuan bagi keberadaan Daerah Perlindungan Laut. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut yang sukses tentunya akan menjamin pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari dan berkelanjutan.

1.4 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini akan mengkaji kondisi ekologi terumbu karang yaitu; persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan kelimpahan fauna benthic lainnya di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Penelitian ini juga melihat bagaimana hasil penelitian kondisi ekologi terumbu karang pada tahun-tahun sebelumnya dari baseline ekologi Tapanuli Tengah 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah 2007 dan 2008 yang telah dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian juga mengakaji aspek sosial ekonomi yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang melalui Daerah Perlindungan Laut Sitardas sebagai data pendukung. Hasil penelitian data ekologi dan data sosial ekonomi akan dianalisa dalam merekomendasikan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ataupun pengembangan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Sitardas dimasa yang akan datang.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Desa Sitardas. 2. Mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Desa Sitardas.

3. Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.


(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan kumpulan binatang-binatang karang

(reef corals) yang hidup di dasar perairan yang mempunyai kemampuan cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut serta berasosiasi dengan algae dan organisme lain seperti, ikan, lobster juga penyu. Karang adalah hewan yang hidup dalam Filum Coelenterata terdiri atas polip-polip yang hidup berkoloni maupun soliter (Goreau et al. 1982). Jaringan hidup karang tumbuh membentuk bangunan kerangka kapur yang tersusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonite (kristal serat CaCO3) dan kalsit (kristal CaCO3). Pada jaringan polip karang hermatifik terdapat alga Klas Dinoflagellata yakni Symbiodium microadriaticum

yang mengandung klorofil dan disebut zooxanthellae (Falkowski et al. 1984). Zooxanthellae umumnya jarang terdapat pada jaringan endoderm dan ektoderm

ataupun mesoglia. Zooxanthellae ditemukan dalam jumlah besar dalam jaringan polip yang bersentuhan langsung dengan cahaya matahari seperti pada tentakel.

Berkaitan dengan terumbu karang, maka dibedakan antara karang (reef corals) sebagai individu organisme dan terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem termasuk di dalamnya binatang-binatang karang (Dawes 1981). Kemudian berdasarkan geomorfologinya ekosistem terumbu karang dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu, karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi ditemukan hampir di seluruh pantai daerah tropis dan tumbuh menuju permukaan laut kearah laut lepas. Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih 40 meter, sehingga berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut.

Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang (Supriharyono 2007).


(29)

Pertumbuhan karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar kesemua arah), columnar (membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat),

branching (membentuk percabangan atau menjari), foliaceus/folious (menyerupai daun), laminar (menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur karang ini sangat bervariasi, tergantung kepada jenis hewan yang berasosiasi dan kondisi lingkungannya (Vaughan dan Wells 1943 dalam van Woesik 2002).

Menurut Richmond (1997) karang bereproduksi secara seksual dan di luar kelamin (aseksual). Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari jenis dan kondisinya dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, di dekat terumbu karang, atau terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya, namun distribusi ini membutuhkan arus laut yang tepat untuk membuahi karang di hilir dan penting untuk menjaga keragaman genetik antara populasi karang dan terumbu karang.

Selain itu, cara reproduksi karang juga menentukan rentang di mana mereka dapat mengisi kembali karang lainnya, reproduksi karang secara aseksual dari patahan-patahan karang menyebarkan secara lokal, sementara reproduksi karang secara seksual dari larva dapat menyebar melalui jarak yang lebih jauh lebih (Nystrom dan Folke 2001).

Faktor spasial penting bagi ketahanan terumbu karang adalah hubungan antar dan di dalam terumbu karang. Berdarkan keterkaitan biota yang ada pada ekosistem terumbu karang, maka populasi besar karang dan pembebasan larva menciptakan keragaman genetik yang tinggi yang sangat penting untuk pemulihan dari gangguan. Terumbu karang memiliki species yang amat beragam dan sebagian besar dari species tersebut bernilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang memilki asosiasi yang kompleks dengan organisme lain, yaitu biota dan ikan yang hidup disekelingnya. Kemudian biota dan substrat tersebut berinteraksi dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda pada terumbu karang dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis dimana species yang paling banyak dijumpai adalah ikan.


(30)

13

Ikan karang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu ikan target yang merupakan ikan konsumsi, seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Nemipteridae, Caesionidae, Siganidae, Haemulidae, Scaridae dan Acanthuridae. Kemudian kelompok ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan, seperti famili Chaetodontidae.

Kelompok ketiga adalah ikan major sering disebut sebagai ikan hias yang berperan dalam rantai makanan, seperti famili Pomacentridae, Apogonidae, Labridae dan Blennidae (English et al. 1997). Goldman dan Talbot (1976) dalam Nybakken (1992) menyatakan bahwa banyak di antara karnivora yang hidup di habitat terumbu karang tidak mengkhususkan makanannya pada satu sumber makanan tertentu, sebaliknya memangsa apa saja yang berguna bagi mereka. Menurut Tamimi et al. (1993) distribusi spasial ikan-ikan karang ditentukan oleh karakteristik habitat dan interaksi ikan-ikan itu sendiri. Distribusi spasial beberapa jenis ikan secara nyata dapat dideterminasi oleh karakteristik habitat tertentu.

Secara deskriptif terumbu karang merupakan kelompok kehidupan (komunitas) yang paling produktif dan paling beranekaragam di muka bumi dan banyak dijumpai di laut tropis yang hangat, jernih, dan dangkal. Melalui simbiosis dengan alga bersel tunggal (zooxantellae), karang menjadi sumber produktifitas primer dalam komunitas terumbu karang (Richmond 1988).

Secara ekologis, terumbu karang juga dapat berfungsi melindungi komponen ekosistem pesisir lainnya (lahan pantai) dari gempuran gelombang dan badai. Menurut TERANGI (2005) ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di laut, diantaranya:

1. Sebagai pelindung pantai; terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi energi arus atau ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir.

2. Menyediakan makanan, tempat tinggal untuk berkembang biak, tempat asuhan dan perlindungan bagi makhluk laut.

Kemudian dalam Nybakken (1992), dikatakan bahwa terumbu karang memiliki fungsi ekologis sebagai pelindung pantai, menyediakan habitat untuk berlindung, memijah dan mendapatkan makanan bagi berbagai jenis biota.


(31)

Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis yang unik dengan nilai estetika yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya, memiliki warna dan desain yang sangat indah serta kaya akan keanekaragaman jenis biota.

Suharsono (2008) menyatakan bahwa karang tumbuh subur di perairan laut tropis, walaupun ada beberapa diantaranya yang juga di jumpai di perairan laut subtropis seperti karang yang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki penyengat. Secara umum filum Cnidaria terbagi atas kelompok Hydrizoa dan Anthozoa. Hydrizoa terdiri dari Millepora (karang api) dan Stylasterina. Stylasterina biasanya kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan karang pembentuk terumbu.

Anthozoa yang umumnya dikenal antara lain, Stolonifera contohnya karang suling

(Tubipora musica); Coenothecalia contohnya karang biru (Heliopora cooeruela); Sclerectinia atau lebih di kenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis karang pembentuk terumbu karang utama. Kemudian Veron (2002), menyatakan bahwa hewan karang adalah hewan sesille renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral, hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk kedalam filum Cnidaria (Coelentrata).

Sebaran karang sebelah Barat Sumatera merupakan terumbu karang dengan tipe terumbu karang lautan Hindia yang dicirikan dengan keanekaragaman yang relatif rendah. Karang tersebar mulai dari Pulau Weh di ujung Barat Pulau Sumatera, sepanjang pantai Barat Sumatera atau berada di pulau yang tersebar di sebelah Barat Sumatera memanjang sejar dengan Pulau Sumatera. Pulau-pulau di sebelah Barat Sumatera tidak seluruhnya dikelilingi oleh terumbu karang. Karang yang tumbuh umumnya berupa patches-patches pada lokasi-lokasi yang agak jauh dari pulau Sumatera (Suharsono 2008).

Menurut Rosen (1971) dalam Supriharyono (2007) bahwa di dunia ini ada tiga daerah pengelompokan karang, yang pertama di Indonesia Barat, yang kedua berada di Caribbea (Atlantic), dan yang ketiga terletak di sebelah Selatan Samudra Hindia (Indo–Pacific). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang terdapat di Samudra Hindia. Secara umum species pembangun terumbu karang (reef building corals) yang tumbuh di Indo–Pacific cenderung lebih banyak dibandingkan dengan di Atlantic.


(32)

15

Namun menurut Connel (1973), tingginya keanekaragaman jenis karang tersebut umumnya berada dalam kondisi yang tidak seimbang, yang mana apabila ada gangguan maka keanekaragamannya akan turun. Keanekaragaman jenis karang yang tumbuh pada suatu area sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan dan tekanan lingkungan serta faktor-faktor pembatas lainnya.

2.2 Faktor Pembatas

Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan alam maupun aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisika atau kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya.

Mengingat binatang karang (hermatific atau reef building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxantella) yang melakukan proses fotosintesis, maka pengaruh cahaya adalah penting sekali. Proses fotosintesis bagi

zooxanthellae tergantung dari penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Sedangkan kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan, dimana kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari sehingga mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesis untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992).

Suhu perairan juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan

zooxanthellae). Biota karang masih dapat mentoleransi suhu tahunan maksimum sampai kira-kira 36oC–40oC dan suhu minimun sebesar 18oC (Nybakken 1992).


(33)

Menurut Supriharyono (2007), bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang sekitar antara 25oC–29oC.

Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting) (Supriharyono 2007). Selain itu arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Menurut Nybakken (1992), pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang. Pada perairan yang selalu terkena ombak besar di dominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang yang mendominasi perairan yang tenang seperti goba, rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Pavia, Montrastea atau Stylophora.

Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Salinitas merupakan faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang. Kisaran salinitas pertumbuhan karang di Indonesia antara 29–33 ‰ (Coles and Jokiel 1992). Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati yang tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air luat yang normal (32‰–35‰). Meskipun skala yang lebih kecil di daerah tropik, pemasukan air tawar secara teratur dari alairan sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi terhenti (Nybakken 1992).

2.3 Kerusakan Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain karang dan terumbu karang juga adalah merupakan komunitas yang sangat peka, sedikit saja perubahan di lingkungan dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap kondisi kesehatan seluruh koloni karang. Perubahan ini bisa di sebabkan oleh gangguan alami dan gangguan akibat ulah manusia. Perubahan alami dapat menyebabkan perubahan yang drastis dalam komunitas karang, sedangkan gangguan yang disebabkan oleh kegiatan manusia umumnya menyebabkan turunnya luasan tutupan karang.


(34)

17

Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan (Brown 1987).

Menurut Supriharyono (2007) unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sedimen yang cukup tinggi melalui sungai disekitarnya. Makro alga ini umumnya akan menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat, seperti Acropora sp. dan Montipora digitata. Bahkan ’turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites (Jompa and Mc Cook 2003). Hasil penelitian Lirman (2001) bahwa laju kelulus hidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Adanya hewan herbivora untuk memakan alga dibutuhkan oleh anakan karang, agar makroalga tersebut termakan oleh hewan herbivora dan tidak menghalangi anakan karang karang dari sinar matahari.

Brown (1990) menyatakan bahwa adanya sedimentasi di perairan laut dapat memacu pertumbuhan macro alga sebagai kompetitor karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen di dasar substrat. Kondisi ini juga diduga sebagai penyebab rendahnya keanekaragaman di daerah reef flat tersebut. Disamping jenis sedimen di atas ada pula sedimen yang lain, yang dikenal dengan carbonate sediment, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya. Faktor lain akibat ulah manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang terbesar adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan akibat penggunaan jangkar


(35)

kapal. Pada perairan Sitardas masih banyak dijumpai kerusakan karang terkait dengan aktifitas perahu yang membuang jangkar diatas karang, sehingga menyebabkan karang patah.

van Woesik (1994), menyatakan karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk. Selanjutnya Chappell (1980) dalam Supriharyono (2007) menyatakan terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk massif dan sub-massif. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi yang rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang atau tabulate. Seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Nybakken (1992) bahwa pada perairan yang selalu terkena ombak besar, terumbu karang akan didominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang mendominasi perairan tenang seperti goba, maka rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Favia, Montestrea atau Stylopora. Ditambahkan Suharsono (1998) secara umum karang di daerah dangkal didominasi oleh Acropora spp, Montipora spp dan

Porites spp, sedangkan di daerah yang lebih dalam didominasi oleh Echinopora

spp, Mycedium spp, Oxyopora spp, dan Turbinaria spp.

Menurut Westmacott et al. (2000) ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang bersifat destruktif serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Kemudian diperparah lagi oleh adanya pemanasan global yang memicu peningkatan suhu permukaan air laut yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching).

Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga masih terjadi diperairan Sitardas (seperti bom dan racun cyanida/biasa disebut masyarakat Sitardas dengan nama air mas). Dampak penangkapan ikan secara destruktif ini telah mengakibatkan terjadinya kematian pada karang. Menurut Suharsono (1988), penyemprotan cyanida pada karang massive dapat berakibat karang


(36)

19

mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan itu pada karang yang berikan perlakuan yang sama akan mengalami kematian pada bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan menyebabkan kerusakan karang pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan adanya patahan karang yang terseret oleh gelombang dapat menghancurkan karang yang berada di sekitarnya akibat gaya gerak gelombang yang membawa patahan-patahan karang. Penelitian Fox et al. (2003) menjelaskan bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang.

2.4 Daerah Perlindungan Laut

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (Tulungen et al. 2002). Kegiatan perikanan dan pengambilan merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan desa (Perdes).

Daerah perlindungan laut dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada yaitu terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan sebagainya. Keberadaannya dapat ditetapkan melalui peraturan desa atau kabupaten dan kota, dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir dan perikanan di wilayah yang memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur, membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil (ikan kecil) serta melindungi


(37)

suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan (DIRJEN P3K–DKP 2005).

Dalam pengelolaannya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw 1994). Selain itu masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBMdalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional yang akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001). Metode yang digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan (Danielsen et al. 2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen.

Lebih lanjut menurut Nikijuluw (1994) bahwa pengelolaan berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di mana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Namun dalam prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan yang seperti ini banyak mengalami kepunahan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir, maka semakin sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentuk-bentuk pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat. Sebagai suatu model, diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan yang tentunya harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan dan kelautan. Beberapa kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBMini adalah:


(38)

21

• Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.

• Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.

• Mampu meningkatkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. • Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.

• Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. • Masyarakat lokal termotivasi mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.

Sementara kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat antara lain adalah:

• Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. • Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran

akan pentingnya lingkungan.

• Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang jelas atau terbatas.

• Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah.

• Rentan terhadap 'intervensi luar' atau permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan.

Sementara itu Grafton (2005) mengemukakan enam langkah umum proses pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni (1) menentukan tujuan spesifik, (2) penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi, (3) melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel kunci keputusan, (4) menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi perlindungan, (5) menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku kepentingan dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti, (6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi.

Keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, pengelola dan pemerintah dengan kesadaran dan komitmen untuk melakukan pengelolaan


(39)

secara mandiri dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan tersebut merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan berbasis masyarakat.

Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa partisipasi dibedakan berdasarkan tahapannya terbagi atas; (1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijakan dan perencanaan pembangunan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan program pembagunan. (3) Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan perikanan haruslah bersifat aspiratif dimana keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemanfaatan dan evaluasi hasil pembangunan dilakukan melalui pendekatan community management.

Kemudian menurut Madrie (1986) bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan. Sedangkan menurut Soeryani (1987), tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam.

Faktor-faktor tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan suatu pengelolaan sumberdaya termasuk pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat, semakin baik pengelolaannya terhadap sumberdaya yang ada. Namun demikian dapat digaris bawahi bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang dapat mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.


(40)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait dan diskusi intensif dengan pembimbing. Tahapan selanjutnya adalah mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang akan dikaji dalam kegiatan penelitian. Penelitian dilanjutkan dengan perumusan dan penyusunan proposal yang juga diikuti dengan survey awal terhadap lokasi penelitian yang ditentukan. Di samping itu juga dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk administratif dan teknis dalam menunjang pelaksanaan penelitian di lapangan.

Pada tahap selanjutnya dilakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan, observasi ataupun dengan diskusi dan penggunaan kuisioner serta wawancara langsung. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data tertulis serta pustaka pada instansi terkait dan stake holder yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang serta Daerah Perlindungan Laut di Desa Sitardas. Pengumpulan data di tingkat masyarakat difokuskan pada pendekatan melalui wawancara langsung, diskusi dengan pihak-pihak terkait (LPSTK) dan pengisian kuisioner.

Hasil pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder, dilakukan pengolahan data dan analisa data untuk mengetahui kondisi objektif pada lokasi penelitian serta merumuskan dan memberikan rekomendasi strategi untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Hasil pengolahan data, analisa data dan pembahasan yang dilakukan diharapkan dapat menjawab dan mencapai tujuan penelitian. Semua proses dalam penelitian dan hasil penelitian ini dituangkan dalam penulisan tesis yang kemudian akan diseminarkan.

Secara skematik tahapan penelitian yang akan dilakukan disajikan pada (Gambar 2) di bawah ini.


(41)

Gambar 2 Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009. Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Perlindungan Laut Sitardas dan perairan sekitarnya pada P. Ungge dan P. Bakal, yang merupakan stasiun penelitian sebelumnya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada baseline ekologi Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah Tahun 2007 dan monitoring terumbu karang Tapanuli Tengah Tahun 2008 (Gambar 3).

Persiapan Penelitian

Identifikasi Masalah dan Perumusan Konsep

Perumusan dan Penyusunan Proposal

Pengumpulan Data Survei Awal

Penyusunan Kuesioner

Penulisan Tesis Data Primer

Instansi Pemerintah

LSM

Masyarakat

Data Sekunder

Kajian Pustaka

Pengolahan dan Analisa Data


(42)

Gambar 3 Lokasi penelitian di perairan laut Desa Sitardas tahun 2009 dan lokasi penelitian LIPI tahun 2004, 2007 dan 2008. Sumber : Basemap terumbu karang Kabupaten Tapanuli Tengah. COREMAP–LIPI 2009.


(43)

Peta lokasi penelitian menggambarkan 5 stasiun penelitian di perairan Desa Sitardas tahun 2009 (red flag) dan 13 stasiun penelitian LIPI pada baseline ekologi tahun 2004, monitoring ekologi tahun 2007 dan 2008 (blue flag). Berdasarkan baseline ekologi LIPI 2004 dari 13 transek permanen yang ada di Tapanuli Tengah (Sitardas, Mursala dan Sibolga) terdapat empat lokasi yang dijadikan transek permanen di perairan Sitardas yaitu; TPTL 04 di Pulau Ungge, TPTL 05 di Pulau Bakal, TPTL 06 di Ug. Buluaro dan TPTL 07 di Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Stasiun penelitian 2009 pada awalnya akan dilakukan pada 4 transek permanen tersebut, namun karena kondisi cuaca buruk akhirnya stasiun penelitian diubah bergeser pada 3 transek permanen (TPTL 04=UNG 05), (TPTL 05=BKL 04), dan (TPTL 07=SIT 02) serta 2 TPTR yaitu TPTR 23 dan TPTR 24 dari baseline ekologi tahun 2004.

Lokasi penelitian dilakukan di transek permanen yang sudah ada, hal ini dimaksudkan untuk dapat membandingkan kondisi terumbu karang pada waktu pengamatan sebelumnya dengan hasil pengamatan pada saat penelitian, sehingga dapat diketahui dampak dari Daerah Perlindungan Laut terhadap pengelolaan terumbu karang di wilayah tersebut. Untuk mengetahui masing-masing titik stasiun penelitian pada saat penelitian dilakukan input kembali titik koordinat yang telah ada dengan bantuan GPS (Global Positioning System), disamping itu dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait di lapangan. Adapun posisi titik stasiun penelitian adalah sebagai berikut:

(1) Stasiun penelitian SIT 01 berada di perairan pesisir pantai Sitardas pada titik; 1.54351 BT dan 98.74867 LU.

(2) Stasiun penelitian SIT 02 berada di bagian ujung pesisir perairan pantai Sitardas pada titik; 1.56074 BT dan 98.74073 LU.

(3) Stasiun penelitian SIT 03 berada di bagian tengah pesisir perairan pantai Sitardas pada titik; 1.56868 BT dan 98.72766 LU.

(4) Stasiun penelitian BKL 04 berada di sebelah Barat P. Bakal pada titik;

1.58004 BT dan 98.71275 LU.

(5) Stasiun penelitian SIT 02 berada di sebelah Selatan P. Ungge pada titik;


(44)

27

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode survei untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder dengan penelusuran literatur (desk study) dan pengumpulan data dari instansi yang terkait.

3.4 Data Primer

Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Pengumpulan data primer meliputi data sumber daya alam menyangkut kondisi terumbu karang yakni, persentase terumbu karang, kemudian ikan karang yakni, kelimpahan ikan karang serta benthic fauna lainnya yakni, kelimpahan benthic fauna. Data sosial ekonomi merupakan penjabaran kondisi masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Perairan Sitardas.

3.4.1 Parameter fisika dan kimia perairan

Untuk mengetahui kondisi perairan secara umum dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika dan kimia perairan antara lain; kecerahan (m) diukur dengan menggunakan secchi disk, suhu (oC) menggunakan thermometer, salinitas (0/00) menggunakan refraktometer, dan kecepatan arus (cm/det) menggunakan

floating droadge.

Berdasarkan pemaparan literatur dalam tinjauan pustaka, diketahui bahwa parameter fisika dan kimia perairan ini adalah merupakan faktor-faktor penghambat pertumbuhan terumbu karang.

3.4.2 Data terumbu karang

Metode yang digunakan untuk pengambilan data biota pengisi habitat dasar adalah metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect=LIT). Pengamatan dilakukan di titik transek stasiun penelitian yang dilakukan LIPI pada kedalaman antara 3–5 m. Teknik pengamatan yang dilakukan sama dengan yang telah dilaksanakan dengan kegiatan baseline dan monitoring ekologi oleh LIPI pada tahun 2004, 2007 dan 2008 untuk dapat membandingkan antara data sebelumnya dengan data hasil penelitian yang dilakukan, sehingga diketahui


(1)

Lampiran 3 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 02

Sub Site 1 Sub Site 2 Sub Site 3 Rerata

Hard coral 55,80 74,00 63,20 64,33

Acropora branching ACB 44,80 23,70 13,90 27,47

Acropora digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora encrusting ACE 0,00 0,00 2,00 0,67

Acropora submassive ACS 0,00 4,30 0,00 1,43

Acropora tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00

Branching coral CB 0,00 2,00 4,00 2,00

Coral encrusting CE 9,00 24,60 21,50 18,37

Foliose coral CF 0,00 0,00 3,10 1,03

Massive coral CM 2,00 19,40 6,20 9,20

Melliphora ME 0,00 0,00 5,50 1,83

Mushroom coral CMR 0,00 0,00 0,00 0,00

Submassive coral CS 0,00 0,00 7,00 2,33

Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00

Death coral 10,70 9,50 9,50 9,90

Dead coral DC 0,00 0,00 0,00 0,00

Dead coral with algae DCA 10,70 9,50 9,50 9,90

Algae 0,00 0,00 2,40 0,80

Algae assemblege AA 0,00 0,00 2,40 0,80

Coralline Algae CA 0,00 0,00 0,00 0,00

Halimeda HA 0,00 0,00 0,00 0,00

Macro Algae MA 0,00 0,00 0,00 0,00

Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00

Other biota 10,60 2,00 12,30 8,30

Soft coral SC 10,60 2,00 9,80 7,47

Sponge SP 0,00 0,00 2,50 0,83

Zoantid ZO 0,00 0,00 0,00 0,00

Others OT 0,00 0,00 0,00 0,00

Ascidian ASC 0,00 0,00 0,00 0,00

Crinoid CRI 0,00 0,00 0,00 0,00

Gorgonian GO 0,00 0,00 0,00 0,00

Abiotic 22,90 14,50 12,60 16,67

Concrete CO 0,00 0,00 0,00 0,00

Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00

Ruble R 15,40 13,00 12,60 13,67

Sand S 7,50 1,50 0,00 3,00

Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00

Water W 0,00 0,00 0,00 0,00

1.000 1.000 1.000 3.000

66,40 76,00 77,90 73,43

33,60 24,00 22,10 26,57

55,80 74,00 63,20 64,33

Group Life Form Life Form

Total of line transect (cm) Biotic coverage

Abiotic coverage

Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)


(2)

Lampiran 4 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 03

Sub Site 1 Sub Site 2 Sub Site 3 Rerata

Hard coral 65,50 44,60 46,60 52,23

Acropora branching ACB 16,10 18,10 9,00 14,40

Acropora digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora encrusting ACE 0,00 0,00 8,60 2,87

Acropora submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00

Branching coral CB 2,10 0,00 0,00 0,70

Coral encrusting CE 3,50 4,00 1,70 3,07

Foliose coral CF 20,50 0,00 12,40 10,97

Massive coral CM 0,00 8,20 1,70 3,30

Melliphora ME 20,60 12,20 13,20 15,33

Mushroom coral CMR 2,70 2,10 0,00 1,60

Submassive coral CS 0,00 0,00 0,00 0,00

Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00

Death coral 6,50 17,60 11,20 11,77

Dead coral DC 0,00 0,00 4,00 1,33

Dead coral with algae DCA 6,50 17,60 7,20 10,43

Algae 0,00 0,00 0,50 0,17

Algae assemblege AA 0,00 0,00 0,50 0,17

Coralline Algae CA 0,00 0,00 0,00 0,00

Halimeda HA 0,00 0,00 0,00 0,00

Macro Algae MA 0,00 0,00 0,00 0,00

Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00

Other biota 7,90 34,80 13,60 18,77

Soft coral SC 7,90 32,90 10,50 17,10

Sponge SP 0,00 1,90 0,00 0,63

Zoantid ZO 0,00 0,00 0,00 0,00

Others OT 0,00 0,00 3,10 1,03

Ascidian ASC 0,00 0,00 0,00 0,00

Crinoid CRI 0,00 0,00 0,00 0,00

Gorgonian GO 0,00 0,00 0,00 0,00

Abiotic 20,10 3,00 28,10 17,07

Concrete CO 0,00 0,00 0,00 0,00

Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00

Ruble R 8,00 0,00 5,00 4,33

Sand S 12,10 3,00 23,10 12,73

Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00

Water W 0,00 0,00 0,00 0,00

1.000 1.000 1.000 3.000

73,40 79,40 60,70 71,17

26,60 20,60 39,30 28,83

65,50 44,60 46,60 52,23

Group Life Form Life Form

Total of line transect (cm) Biotic coverage

Abiotic coverage

Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)


(3)

Lampiran 5 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun BKL 04

Sub Site 1 Sub Site 2 Sub Site 3 Rerata

Hard coral 42,20 31,90 7,10 27,07

Acropora branching ACB 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora digitate ACD 7,00 6,80 0,00 4,60

Acropora encrusting ACE 1,30 0,00 0,00 0,43

Acropora submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00

Branching coral CB 0,00 0,00 0,00 0,00

Coral encrusting CE 8,40 2,50 0,00 3,63

Foliose coral CF 2,90 0,00 0,00 0,97

Massive coral CM 9,10 22,60 7,10 12,93

Melliphora ME 0,00 0,00 0,00 0,00

Mushroom coral CMR 1,00 0,00 0,00 0,33

Submassive coral CS 12,50 0,00 0,00 4,17

Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00

Death coral 9,90 18,80 3,00 10,57

Dead coral DC 0,00 0,00 0,00 0,00

Dead coral with algae DCA 9,90 18,80 3,00 10,57

Algae 20,80 5,30 10,50 12,20

Algae assemblege AA 20,80 5,30 10,50 12,20

Coralline Algae CA 0,00 0,00 0,00 0,00

Halimeda HA 0,00 0,00 0,00 0,00

Macro Algae MA 0,00 0,00 0,00 0,00

Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00

Other biota 2,30 0,00 0,00 0,77

Soft coral SC 0,00 0,00 0,00 0,00

Sponge SP 0,00 0,00 0,00 0,00

Zoantid ZO 0,00 0,00 0,00 0,00

Others OT 2,30 0,00 0,00 0,77

Ascidian ASC 0,00 0,00 0,00 0,00

Crinoid CRI 0,00 0,00 0,00 0,00

Gorgonian GO 0,00 0,00 0,00 0,00

Abiotic 24,80 44,00 79,40 49,40

Concrete CO 0,00 0,00 0,00 0,00

Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00

Ruble R 24,80 25,10 37,60 29,17

Sand S 0,00 18,90 41,80 20,23

Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00

Water W 0,00 0,00 0,00 0,00

1.000 1.000 1.000 3.000

65,30 37,20 17,60 40,03

34,70 62,80 82,40 59,97

42,20 31,90 7,10 27,07

Group Life Form Life Form

Total of line transect (cm) Biotic coverage

Abiotic coverage

Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)


(4)

Lampiran 6 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun UNG 05

Sub Site 1 Sub Site 2 Sub Site 3 Rerata

Hard coral 83,60 55,60 50,90 63,37

Acropora branching ACB 4,20 7,00 0,00 3,73

Acropora digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00

Acropora encrusting ACE 2,90 0,00 0,00 0,97

Acropora submassive ACS 3,50 0,00 0,00 1,17

Acropora tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00

Branching coral CB 6,50 0,00 0,00 2,17

Coral encrusting CE 33,50 18,40 29,20 27,03

Foliose coral CF 15,30 2,60 3,00 6,97

Massive coral CM 13,10 20,50 17,10 16,90

Melliphora ME 2,50 0,00 0,00 0,83

Mushroom coral CMR 2,10 7,10 1,60 3,60

Submassive coral CS 0,00 0,00 0,00 0,00

Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00

Death coral 7,90 18,30 12,20 12,80

Dead coral DC 0,00 0,00 0,60 0,20

Dead coral with algae DCA 7,90 18,30 11,60 12,60

Algae 0,00 0,00 1,70 0,57

Algae assemblege AA 0,00 0,00 1,70 0,57

Coralline Algae CA 0,00 0,00 0,00 0,00

Halimeda HA 0,00 0,00 0,00 0,00

Macro Algae MA 0,00 0,00 0,00 0,00

Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00

Other biota 0,80 2,40 4,50 2,57

Soft coral SC 0,80 0,40 4,50 1,90

Sponge SP 0,00 0,00 0,00 0,00

Zoantid ZO 0,00 0,00 0,00 0,00

Others OT 0,00 2,00 0,00 0,67

Ascidian ASC 0,00 0,00 0,00 0,00

Crinoid CRI 0,00 0,00 0,00 0,00

Gorgonian GO 0,00 0,00 0,00 0,00

Abiotic 7,70 23,70 30,70 20,70

Concrete CO 0,00 0,00 0,00 0,00

Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00

Ruble R 5,20 23,70 27,50 18,80

Sand S 2,50 0,00 3,20 1,90

Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00

Water W 0,00 0,00 0,00 0,00

1.000 1.000 1.000 3.000

84,40 58,00 57,10 66,50

15,60 42,00 42,90 33,50

83,60 55,60 50,90 63,37

Group Life Form Life Form

Total of line transect (cm) Biotic coverage

Abiotic coverage

Total of live coral coverage (hard coral and soft coral)


(5)

Lampiran 7 Persentase jumlah jenis benthic fauna pada stasiun penelitian

Jenis

SIT 01

SIT 02

SIT 03

BKL 04

UNG 05

Lobster

0,00

0,00

0,00

0,00

0,90

Sea urchin

32,83

0,63

54,01

41,82

0,90

Large giant clam

0,90

1,25

0,00

7,27

3,60

Small giant clam

45,18

59,38

45,15

47,27

84,23

Mushroom coral

21,08

38,75

0,84

3,64

10,36


(6)

Lampiran 8 Jumlah kehadiran ikan karang per jenis hasil

underwater fish visual

census

pada masing-masing stasiun penelitian di perairan Desa

Sitardas

No Suku Jenis Kelompok SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 1 Apogonidae Apogon quinquilineatus Major 380 325 410 75 195

Apogon sp. Major 140 90 115 0 70

2 Pomacentridae Neopomacentrus azysron Major 80 100 125 60 115

Amphiprion ocellaris Major 30 60 75 40 25

Pomacentrus moluccensis Major 50 75 125 0 65

3 Labridae Bodianus axillaris Major 13 15 12 3 4

Cheilinus fasciatus Major 0 3 0 5 4

Cheilinus trilobatus Major 0 5 0 5 6

Gomphosus varius Major 0 6 0 6 0

Halichoeres melanurus Major 0 0 0 20 5

Labroides dimidiatus Major 0 0 0 4 4

4 Chaetodontidae Chaetodon colare Indikator 21 26 46 20 30

Chaetodon trifasciatus Indikator 0 0 0 0 20

Chaetodon vagabundus Indikator 0 0 0 15 0

Heniochus monoceros Indikator 0 20 0 0 0

5 Chaesionidae Caesio teres Target 0 0 20 0 0

Pterocaesio tile Target 0 0 8 0 0

6 Acanthuriidae Acanthurus nigricans Target 6 6 0 10 5

Acanthurus sp. Target 0 0 0 7 0

7 Pomacanthidae Amphiprion sp. Major 5 7 0 0 19

Centropyge eibli Major 10 25 0 0 0

8 Serranidae Cephalopholis boenak Target 0 1 1 2 7

Cephalopholis leopardis Target 0 2 1 3 0

9 Scaridae Scarus ghoban Target 7 10 7 26 8

Scarus niger Target 0 3 0 13 3

10 Lutjanidae Luthjanus decussatus Target 3 0 0 5 0

Luthjanus gibbus Target 0 0 0 3 0

11 Siganidae Siganus canaliculatus Target 2 0 0 0 0 12 Tetraodontidae Arothron nigropunctatus Major 0 1 0 3 0

13 Mullidae Perupeneus barberinus Target 0 0 0 3 0

Upeneus vittatus Target 0 0 0 2 0

14 Lethrinidae Lethrinus harak Target 6 0 0 0 0

15 Haemullidae Plectorhinchus sp. Target 6 0 0 0 0

16 Monacanthidae Aluterus scriptus Major 0 2 0 5 0

759 782 945 335 585 Total