19 mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan itu
pada karang yang berikan perlakuan yang sama akan mengalami kematian pada bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan menyebabkan kerusakan karang
pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan adanya patahan karang yang terseret oleh gelombang dapat menghancurkan karang yang berada di sekitarnya
akibat gaya gerak gelombang yang membawa patahan-patahan karang. Penelitian Fox et al. 2003 menjelaskan bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan
menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan
kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang
berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain
yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang.
2.4 Daerah Perlindungan Laut
Daerah Perlindungan Laut DPL adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan
pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat Tulungen et al. 2002. Kegiatan perikanan dan pengambilan merupakan hal
terlarang di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan dan larangan aktivitas
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan desa Perdes.
Daerah perlindungan laut dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada yaitu terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan sebagainya. Keberadaannya
dapat ditetapkan melalui peraturan desa atau kabupaten dan kota, dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir dan perikanan di wilayah yang
memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur,
membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil ikan kecil serta melindungi
20 suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin
ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan DIRJEN P3K–DKP 2005. Dalam pengelolaannya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa
disebut Community Based Management CBM merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya
perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya Nikijuluw 1994. Selain itu masyarakat lokal
juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya religion. Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik,
maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional yang akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya.
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati
seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah Feinsinger 2001. Metode yang digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret
lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan Danielsen et al. 2000. Dapat juga dilakukan pemantauan
dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen.
Lebih lanjut menurut Nikijuluw 1994 bahwa pengelolaan berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di
mana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi
seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Namun dalam prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan yang seperti ini banyak
mengalami kepunahan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir, maka semakin sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentuk-bentuk
pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat. Sebagai suatu model, diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis
masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan yang tentunya harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan dan kelautan.
Beberapa kelebihan nilai-nilai positif dari model CBM ini adalah:
21 •
Mampu mendorong pemerataan equity dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.
• Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.
• Mampu meningkatkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat yang ada.
• Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.
• Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal.
• Masyarakat lokal termotivasi mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.
Sementara kelemahan nilai-nilai negatif dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat antara lain adalah:
• Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang
strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. •
Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan.
• Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang
jelas atau terbatas. •
Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah.
• Rentan terhadap intervensi luar atau permintaan sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan. Sementara itu Grafton 2005 mengemukakan enam langkah umum proses
pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni 1 menentukan tujuan spesifik, 2 penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi,
3 melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel
kunci keputusan, 4 menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi perlindungan, 5 menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku
kepentingan dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti, 6 melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi.
Keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, pengelola
dan pemerintah dengan kesadaran dan komitmen untuk melakukan pengelolaan
22 secara mandiri dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
tersebut merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan berbasis masyarakat. Cohen dan Uphoff 1977 menyatakan bahwa partisipasi dibedakan
berdasarkan tahapannya terbagi atas; 1 Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijakan dan perencanaan pembangunan. 2 Partisipasi dalam pelaksanaan
program pembagunan. 3 Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. 4 Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi
pembangunan. Menurut Dahuri 2000 pembangunan kelautan perikanan haruslah bersifat aspiratif dimana keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan hingga pemanfaatan dan evaluasi hasil pembangunan dilakukan melalui pendekatan community management.
Kemudian menurut Madrie 1986 bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat
mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan. Sedangkan menurut Soeryani 1987, tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah
faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam.
Faktor-faktor tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan suatu pengelolaan sumberdaya termasuk
pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin baik kondisi
sosial ekonomi masyarakat, semakin baik pengelolaannya terhadap sumberdaya yang ada. Namun demikian dapat digaris bawahi bahwa semakin baik kondisi
sosial ekonomi masyarakat akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang dapat mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tahapan Penelitian