Kerusakan Terumbu Karang MUKHLIS KAMAL and NURLISA A. BUTET

16 Menurut Supriharyono 2007, bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang sekitar antara 25 o C–29 o C. Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak encrusting Supriharyono 2007. Selain itu arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Menurut Nybakken 1992, pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang. Pada perairan yang selalu terkena ombak besar di dominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang yang mendominasi perairan yang tenang seperti goba, rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Pavia, Montrastea atau Stylophora. Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Salinitas merupakan faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang. Kisaran salinitas pertumbuhan karang di Indonesia antara 29–33 ‰ Coles and Jokiel 1992. Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati yang tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air luat yang normal 32‰–35‰. Meskipun skala yang lebih kecil di daerah tropik, pemasukan air tawar secara teratur dari alairan sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi terhenti Nybakken 1992.

2.3 Kerusakan Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain karang dan terumbu karang juga adalah merupakan komunitas yang sangat peka, sedikit saja perubahan di lingkungan dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap kondisi kesehatan seluruh koloni karang. Perubahan ini bisa di sebabkan oleh gangguan alami dan gangguan akibat ulah manusia. Perubahan alami dapat menyebabkan perubahan yang drastis dalam komunitas karang, sedangkan gangguan yang disebabkan oleh kegiatan manusia umumnya menyebabkan turunnya luasan tutupan karang. 17 Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan eutrofikasi yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan Brown 1987. Menurut Supriharyono 2007 unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sedimen yang cukup tinggi melalui sungai disekitarnya. Makro alga ini umumnya akan menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat, seperti Acropora sp. dan Montipora digitata. Bahkan ’turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites Jompa and Mc Cook 2003. Hasil penelitian Lirman 2001 bahwa laju kelulus hidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Adanya hewan herbivora untuk memakan alga dibutuhkan oleh anakan karang, agar makroalga tersebut termakan oleh hewan herbivora dan tidak menghalangi anakan karang karang dari sinar matahari. Brown 1990 menyatakan bahwa adanya sedimentasi di perairan laut dapat memacu pertumbuhan macro alga sebagai kompetitor karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen di dasar substrat. Kondisi ini juga diduga sebagai penyebab rendahnya keanekaragaman di daerah reef flat tersebut. Disamping jenis sedimen di atas ada pula sedimen yang lain, yang dikenal dengan carbonate sediment , yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang baik secara fisik ataupun biologis bioerosion. Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewan- hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya. Faktor lain akibat ulah manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang terbesar adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan akibat penggunaan jangkar 18 kapal. Pada perairan Sitardas masih banyak dijumpai kerusakan karang terkait dengan aktifitas perahu yang membuang jangkar diatas karang, sehingga menyebabkan karang patah. van Woesik 1994, menyatakan karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk. Selanjutnya Chappell 1980 dalam Supriharyono 2007 menyatakan terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk massif dan sub-massif. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi yang rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang atau tabulate. Seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Nybakken 1992 bahwa pada perairan yang selalu terkena ombak besar, terumbu karang akan didominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang mendominasi perairan tenang seperti goba, maka rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Favia, Montestrea atau Stylopora. Ditambahkan Suharsono 1998 secara umum karang di daerah dangkal didominasi oleh Acropora spp, Montipora spp dan Porites spp, sedangkan di daerah yang lebih dalam didominasi oleh Echinopora spp, Mycedium spp, Oxyopora spp, dan Turbinaria spp. Menurut Westmacott et al. 2000 ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang bersifat destruktif serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Kemudian diperparah lagi oleh adanya pemanasan global yang memicu peningkatan suhu permukaan air laut yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang coral bleaching. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga masih terjadi diperairan Sitardas seperti bom dan racun cyanidabiasa disebut masyarakat Sitardas dengan nama air mas. Dampak penangkapan ikan secara destruktif ini telah mengakibatkan terjadinya kematian pada karang. Menurut Suharsono 1988, penyemprotan cyanida pada karang massive dapat berakibat karang 19 mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan itu pada karang yang berikan perlakuan yang sama akan mengalami kematian pada bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan menyebabkan kerusakan karang pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan adanya patahan karang yang terseret oleh gelombang dapat menghancurkan karang yang berada di sekitarnya akibat gaya gerak gelombang yang membawa patahan-patahan karang. Penelitian Fox et al. 2003 menjelaskan bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang.

2.4 Daerah Perlindungan Laut