Biodiversitas dan Peran Mikrofungsi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah cair Tahu

(1)

ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU

INNA PUSPA AYU

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biodiversitas dan Peran Mikrofungi Isolat Telaga Warna dalam Mendekomposisi Bahan Organik pada Limbah Cair Tahu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Mei 2008

Inna Puspa Ayu


(3)

Inna Puspa Ayu. Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and There Role in Organic Decomposition of Tofu Liquid Waste. Under the direction of Hefni Effendi and Yusli Wardiatno

Biodiversity of Microfungi Isolated from Telaga Warna and Its Role in Decomposing Organic Matter of Tofu Liquid Waste

The biodiversity of microfungi isolated from Telaga Warna and its role in decomposing organic matter of tofu liquid waste. Microfungi are decomposer microorganism of organic matter and could be used as biological agent in waste process. Aquatic fungi exploration in Indonesia is still in low number. As a conservation area, Telaga Warna has fungi biodiversity such as Abisidia spinosa (AS), Cephalosphorium acremonium (CA), Acremonium strictum (ACST), Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV) and, K (Control). Those microfungi have been experimented in order to reduce organic matter content in Tofu Liquid waste. This content was measured for six days through COD (Chemical Oxygen Demand) and organic nitrogen also its effect to microfungi’s growth. The experiment result shows the treatments that could reduce organic matter faster and biggest also followed with increasing of coverage percentage are PV and PV on second day. Each of treatments could reduce COD 73,96% and 63,54% with percentage of coverage 53,33% and 46,67%. Meanwhile, organic matter in ACST and CA treatments reduce on fourth day 77,08% and 72,92% but the percentage of coverage was followed by the life of new organisms. All fungi in AS treatment were died in first day even COD reduced in the fifth day because of the living of other microorganism. Control treatment also faced the reducing of COD in the forth day which followed by existence of other microorganism.


(4)

Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuannya dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu. Penelitian ini dilakukan dalam dua rangkaian, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna pada musim hujan dan kemarau, pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi, kemudian penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil penelitian pendahuluan. Pada penelitian utama dilakukan pengukuran kandungan bahan organik dalam air limbah melalui hasil pengukuran COD serta N organik. Selain itu, dilakukan juga pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta persentase penutupan mikrofungi.

Analisis data yang digunakan adalah analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan uji lanjutan (uji Tukey) untuk melihat pengaruh perbandingan konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada masing-masing jenis mikrofungi uji. Selain itu digunakan pula Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam waktu untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik.

Isolat mikrofungi yang didapatkan dari Perairan Telaga Warna pada musim kemarau adalah jenis Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, Cephalosporium acremonium. Sedangkan yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, Monilia humicola.

Mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah Penicillium rugulosum (PR), Penicillium viridicatum (PV), Acremonium strictum (ACST), Cephalosphorium acremonium (CA), dan Abisidia spinosa (AS). Mikrofungi tersebut diujikan pada limbah cair tahu dengan kosentrasi 75%. Hasil menunjukkan bahwa PV dan PR mampu menurunkan COD pada hari kedua yang n sebesar 73,96% dan 63,54% dengan disertai peningkatan persentase penutupan sebesar 53,33% dan 46,67%. Sementara itu, bahan organik pada perlakuan ACST dan CA menurun pada hari keempat sebesar 77,08% dan 72,92%, namun persentase penutupan pada media disertai oleh pertumbuhan dari mikroorganisme lain. Perlakuan AS mengalami kematian setelah hari kesatu, namun terjadi penurunan COD pada hari kelima disebabkan oleh munculnya mikroorganisme lain. Kontrol mengalami penurunan COD pada hari keempat, yang disertai


(5)

rugulosum dan Penicillium viridicatum dapat menurunkan bahan organik tercepat dan terbesar dibandingkan mikrofungi uji jenis lainnya.


(6)

@HakCipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan.

penelitian, penulisan karya ilmiah. penyusunan laporan, penul isan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(7)

ORGANIK PADA LIMBAH CAIR TAHU

INNA PUSPA AYU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Nama : Inna Puspa Ayu

NIM : C151050051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Ilmu Perairan Dekan

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis yang berjudul “Biodiversitas dan peran mikrofungi isolat Telaga Warna dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master of Sains pada Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan

dan arahan selama penelitian serta telah memberikan kesempatan penulis untuk turut serta dalam penelitian mikrofungi.

2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memotivasi, mengarahkan, dan memberi saran bagi penulis.

3. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si. selaku penguji tamu untuk saran dan masukan dalam perbaikan tesis ini serta bantuannya selama penelitian.

4. Osaka Gas Foundation melalui PPLH IPB yang telah mendanai penelitian ini. 5. Kedua orang tua, adikku serta keluarga besar yang telah mendoakan dan

memberi dorongan untuk mencapai ridho-Nya.

6. Anton Aliabbas dan keluarga lampung atas doa, semangat dan bantuannya. 7. Ibu Maya, bu Nur, Pak Sodikin, Aan, Devit, Ari, Tina, Yeyen, Apri, Ningsih,

Rommy serta seluruh anggota Lab. ProLingkungan Perairan atas segala kebaikan dan kerjasamanya.

8. Ibu Utami, Toni, Senin untuk masukkannya dalam penyususnan tesis. 9. Iis, Usman, Rabbani, Indah, Endang serta teman-teman Pasca Air. 10. Bapak Satari, anti, serta seluruh kerabat di Malabar, Bogor.

11. Seluruh kerabat dan teman yang telah membantu dalam penelitian, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini.

Bogor, Mei 2008


(10)

Penulis dilahirkan di Cimahi tanggal 6 Oktober 1980 sebagai anak pertama dari kedua bersaudara dari pasangan Indra Wilana dan Nani Nurfiatni. Pendidikan ditempuh di SDN V Cimahi (1986-1991), SMPN VI Cimahi (1991-1994), dan dilanjutkan ke SMUN I Cimahi (1994-1998). Tahun 1998 penulis diterima di Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis menjadi asisten dosen di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Selanjutnya pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di program Ilmu Perairan, Pascasarjana IPB atas beasiswa BPPS Ditjen DIKTI.


(11)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

1.5 Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Mikrofungi ... 6

2.1.1. Taksonomi mikrofungi ... 6

2.1.2. Morfologi mikrofungi ... 7

2.1.3. Pertumbuhan dan reproduksi mikrofungi ... 8

2.1.3.1 Pertumbuhan ... 8

2.1.3.2 Rerproduksi ... 10

2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) mikrofungi ... 12

2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu ... 13

2.2.1. Karakteristik tahu ... 13

2.2.2. Karakteristik limbah cair tahu ... 15

2.3. Parameter Kualitas Air ... 16

2.3.1. Parameter fisika ... 16

2.3.2. Parameter kimia ... 17

2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Waktu dan tempat ... 23

3.2. Penelitian pendahuluan... 23

3.2.1. Tahap pertama ... 23

3.2.1.1. Pengambilan mikrofungi dari Telaga Warna ... 23

3.2.1.2. Isolasi dan purifikasi mikrofungi ... 23

3.2.1.3. Identifikasi mikrofungi ... 24

3.2.1.4. Penyiapan stok mikrofungi ... 24

3.2.2. Tahap kedua ... 24

3.2.2.1. Penyiapan mikrofungi uji ... 24

3.2.2.2 Treatment limbah ... 25

3.2.2.3. Penentuan konsentrasi limbah ... 25

3.3. Penelitian utama ... 25

3.4. Metode pengumpulan data ... 26

3.4.1. Analisis parameter kualitas air ... 26


(12)

3.5. Analisis statistik ... 26

3.5.1. Penelitian pendahuluan ... 26

3.5.2. Penelitian utama ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Hasil ... 30

4.1.1. Penelitian pendahuluan ... 30

4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna ... 30

4.1.1.2. Penentuan konsentrasi limbah ... 31

4.1.2. Penelitian Utama ... 33

4.1.2.1. Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) ... 33

4.1.2.2. Analisis persentase penutupan ... 37

4.1.2.3. Analisis N organik ... 43

4.1.2.4. Analisis N anorganik ... 48

4.1.2.5. Analisis TDS dan TSS ... 50

4.1.2.6. Analisis pH ... 52

4.1.2.7. Analisis oksigen terlarut (Dissolved oxygen) ... 53

4.1.2.8. Analisis suhu ... 53

4.2. Pembahasan ... 55

4.2.1. Hubungan antara keberadaan bahan organik dengan persen penutupan ... 55

4.2.2. Pertumbuhan mikrofungi ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1. Kesimpulan ... ... 62

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik air limbah tahu ... ...16

2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya ... 16

3. Tabel sidik ragam RAL ... 27

4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu ... 29

5. Pengelompokkan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna ... 31


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perumusan masalah ... 4

2. Morfologi mikrofungi...8

3. Kurva pertumbuhan mikrofungi ... 9

4. Bagan proses pembuatan tahu ... 14

5. Skema mikroscreen pada recycle reaktor ... 21

6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ... 33

7. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium ... 34

8. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Acremonium strictum ... 35

9. Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ... 35

10. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ... 36

11. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu tanpa mikrofungi ... 36

12. Rata-rata konsentrasi COD (mg/l) pada limbah cair tahu Pada tiap perlakuan fungi ... 38

13. Keberadaan mikroorganisme kontaminan pada media ... 39

14. Persentase penutupan mikroorganisme pada limbah cair tahu ... 40

15. Kurva pertumbuhan mikrofungi pada limbah cair tahu ... 42

16. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa ... 44

17. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium... 44

18. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum ... 45

19. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium rugulosum ... 45

20. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicilium viridicatum ... 46

21. Rata-rata konsentrasi N organik pada limbah cair tahu dengan tanpa mikrofungi... 46


(15)

22. Rata-rata konsentrasi N organik (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 47 23. Nilai rata-rata ammonia (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 49 24. Nilai rata-rata nitrat (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 49 25. Nilai rata-rata nitrit (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 50 26. Nilai rata-rata TDS (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 51 27. Nilai rata-rata TSS (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 52 28. Nilai rata-rata pH pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 53 29. Nilai rata-rata oksigen terlarut (mg/l) pada limbah cair tahu

pada tiap perlakuan fungi ... 54 30. Konsentrasi COD limbah dan persentase penutupan

tiap jenis mikrofungi ... 57 31. Konsentrasi N organik limbah dan persentase penutupan

tiap jenis mikrofungi ... 58


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Potatoes Dextrose Agar ... 67

2. Treatment limbah dengan menggunakan UV ... 68

3. Prosedur pengukuran COD ... 69

4. Karakteristik spesial mikrofungi di perairan Telaga Warna ... 70

5. Persentase pertumbuhan mikrofungi hari ke empat pada konsentrasi uji ... 72

6. Hasil analisis statistik konsentrasi uji terhadap pertumbuhan mikrofungi ... 73

7. Hasil pengukuran nilai COD serta persentase penurunannya pada limbah cair tahu ... 74

8. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi COD ... 75

9. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan COD pada limbah cair tahu ... 78

10. Nilai rata-rata persentase penutupan pada berbagai perlakuan (%) ... 81

11. Nilai rata-rata N organik serta persentase penurunnanya pada limbah cair tahu ... 82

12. Hasil analisis statistik pengaruh waktu terhadap konsentrasi N organik ... 83

13. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi, waktu serta interaksinya terhadap penurunan N organik ... 86

14. Nilai rata-rata N anorganik pada limbah cair tahu ... 89

15. Rata-rata konsentrasi serta persentase penurunan TDS dan TSS ... 90


(17)

1.1. Latar Belakang

Mikrofungi merupakan mikroorganisme tidak berklorofil dan memiliki sifat saprofit yang berperan penting dalam lingkungan perairan, yaitu sebagai dekomposer atau pengurai bahan organik yang berasal dari mahluk hidup yang telah mati (Wong et al. 1998). Mikroorganisme ini menggunakan hifa untuk melekat pada bahan organik tersebut yang kemudian akan didekomposisi menjadi bahan anorganik. Bahan organik yang diuraikan oleh mikroorganisme dekomposer ini merupakan nutrien yang akan digunakan untuk produksi biomassa mikrofungi itu sendiri. Kemampuan dalam memanfaatkan dan menguraikan mahluk hidup yang telah mati tersebut menyebabkan mikrofungi berfungsi dalam regenerasi material yang terurai serta berperan dalam siklus karbon, nitrogen, dan fosfat di lingkungan perairan danau, sungai, ataupun perairan tawar lainnya (Davidson et al. 1996; Sigee, 2004).

Mikrofungi perairan tawar memiliki jenis yang beragam. Lebih dari 600 spesies sudah diidentifikasi pada daerah temperate (Wong et al. 1998), sedangkan di daerah tropis, penelitian dan eksplorasi fungi masih relatif minim. Penelitian untuk mengungkapkan biodiversitas fungi, khususnya penemuan fungi jenis baru di Indonesia masih dimungkinkan (Ilyas et al. 2006). Salah satu contoh perairan tawar di Indonesia yang belum diketahui keanekaragaman hayati fungi akuatiknya adalah Telaga Warna. Danau ini terletak di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor (6o42’LS;106o,59’BT) dengan ketinggian sekitar 1400 m dpl (Wardiatno et al. 2003). Perairan alami ini berbentuk elips mendekati bundar dengan luas permukaan sebesar 1,04 ha dan kedalaman maksimum 7,8 m (Pratiwi et al. 2006). Telaga Warna merupakan bagian dari kawasan konservasi cagar alam dan taman wisata alam, sehingga dimungkinkan memiliki potensi mikrofungi yang dapat dikembangkan.

Setiap fungi di alam memiliki peran dan potensi yang berbeda karena setiap jenisnya memiliki keunikan sifat dan karakteristik tersendiri. Beberapa jenis fungi diketahui memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena diperlukan dalam kegiatan industri. Potensi ekonomi fungi tersebut di antaranya adalah sebagai


(18)

obat-obatan (Zhigiang, 2005 in Paulus, 2006), agen bioleaching (Kisielowskadan Kasińska-Pilut, 2005), penyubur lahan, biopestisida, penghasil enzim, dan bahan organik aktif lainnya (Harman et al. 2004 in Gil, 2006), serta obyek menarik dalam penelitian genetika (Ilyas et al. 2006).

Dewasa ini mikrofungi banyak dikembangkan dalam pengolahan limbah secara biologis. Hal ini sejalan dengan meningkatnya limbah yang berasal dari kegiatan manusia, sehingga diperlukan metode yang tepat dalam penanganan limbah. Limbah banyak mengandung bahan organik seperti protein, karbohidrat, lemak, dan bila dibuang langsung ke perairan umum dapat menimbulkan pencemaran. Limbah tersebut di antaranya berasal dari industri rumah tangga, misalnya industri pembuatan tahu (Saubani, 2006). Limbah yang dihasilkan industri tahu berupa limbah padat dan cair. Limbah padat dapat ditanggulangi dengan memanfaatkannya sebagai bahan pembuat oncom dan bahan makanan ternak (Dhahiyat, 1990), sedangkan limbah cair (whey) kebanyakan dibuang langsung ke sungai atau badan air lainnya (Warisno, 1994; Rubiyanto, 2000). Limbah cair tahu mengandung bahan organik yang kompleks serta karbon dan N yang tinggi. Hal ini akan menurunkan tingkat kualitas air dan akhirnya berdampak buruk pada ekosistem air yang menerimanya bila limbah cair yang diterima di perairan melebihi kemampuan daya pulih lingkungan perairan tersebut.

Bahan organik yang kompleks tersebut dapat diuraikan oleh fungi menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana yang selanjutnya dapat meningkatkan kesuburan perairan, serta sebagian bahan-bahan organik tersebut digunakan untuk kolonisasi mikrofungi itu sendiri. Pemanfaatan mikrofungi dalam pengolahan limbah dikenal dengan istilah bioremediasi (Gadd, 1993 in Ahmad, 2005). Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh bakteri dan fungi heterotrofik, yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami sebagai sumber karbon dan energi. Penggunaan mikrofungi dalam pengolahan limbah menjadi salah satu alternatif yang menarik untuk dikembangkan karena penanganannya efisien dan efektif (Zhang et al. 2007).


(19)

1.2. Perumusan masalah

Mikrofungi merupakan organisme yang dapat mendekomposisi bahan organik dari air limbah, dan memanfaatkan senyawa organik di dalamnya sebagai nutrien untuk proses metabolisme. Proses tersebut akan menyebabkan organisme mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan mikrofungi ada yang cepat atau lambat tergantung pada jenis mikrofungi itu sendiri.

Pertumbuhan merupakan respon dari kemampuan mikrofungi dalam memanfaatkan bahan organik. Bahan organik yang dikaji dalam penelitian ini adalah bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu. Limbah cair tahu mengandung bahan organik, terutama nitrogen, dengan kadar yang cukup tinggi, yang bila dibuang langsung ke perairan akan mempengaruhi kualitas air di perairan tersebut.

Peran mikrofungi dalam dekomposisi atau pun bioremediasi dapat dimanfaatkan untuk mengatasi pencemaran bahan organik. Untuk itu diperlukan pengujian atau pengukuran terhadap kemampuan mikrofungi dalam menurunkan kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tahu. Hasil dari pengujian tersebut dapat bersifat positif, yakni mikrofungi dapat menurunkan konsentrasi bahan organik dalam air limbah, atau sebaliknya. Bila tidak dapat menurunkan konsentrasi bahan organik, maka diperlukan pengkajian atau evaluasi kembali terhadap kondisi bahan organik pada air limbah tersebut atau isolat mikrofungi yang digunakan (Gambar 1).

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis mikrofungi dari Telaga Warna serta menjelaskan kemampuan mikrofungi isolat Telaga Warna dalam memanfaatkan bahan organik yang berasal dari limbah cair tahu.

1.4. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis isolat mikrofungi dari Telaga Warna yang efektif dalam mengolah limbah bahan organik, serta mengembangkan potensi mikrofungi sebagai agen bioremediasi.


(20)

(21)

1.5. Hipotesis

Mikrofungi dengan jenis yang berbeda akan melakukan dekomposisi bahan organik dengan kemampuan yang berbeda-beda. Hal tersebut terkait dengan waktu yang diperlukan oleh mikrofungi itu sendiri dalam mendekomposisi bahan organik.


(22)

2.1. Mikrofungi

2.1.1. Taksonomi mikrofungi

Fungi digolongkan ke dalam kelompok dunia ketiga oleh E. Haeckel yaitu kelompok protista, yang merupakan kelompok selain hewan dan tumbuhan. Fungi (kapang) merupakan organisme yang sebagian termasuk fotosintetik dan sebagian lagi nonfotosintetik; beberapa dapat menyerupai tumbuhan, beberapa serupa dengan hewan, dan beberapa sama-sama mempunyai sifat yang khusus bagi kedua dunia tumbuhan dan hewan (Buss 1983; Buchalo et al. 1998). Ciri-ciri organisme yang dikelompokkan ke dalam kingdom fungi adalah eukariotik, tidak memiliki klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung khitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya dan mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluker ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, serta melakukan reproduksi seksual dan atau aseksual (Trinci dan Cutter 1986; Brock et al. 1994; Gandjar et al. 2006).

Taksonomi fungi pada saat ini didasarkan pada morfologi dan pola perkembangan dari struktur reproduksi seksual yang dihubungkan dengan struktur biokimia dan molekulnya, termasuk pada analisis rDNA. Deacon (1997) dan Alexopoulos et al.(1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam kelompok sebagai berikut:

1. Filum Chitridiomycota

Kelompok ini ada pada habitat akuatik dan tanah, memiliki jenis parasit ataupun saprofit. Anggota dari filum ini dikenal dengan sebutan chytrid. Banyak anggota fungi ini yang tidak memiliki miselium; thallus (tubuh) tereduksi menjadi sebuah single globular structure yang dapat masuk ke dalam inangnya atau pada substrat. Single globular structure adalah sistem

rhizoid (struktur yang mirip dengan akar) yang tidak beraturan. Beberapa

chytrid merupakan endobiotik; hidup di dalam inangnya. Sementara yang epibiotik memproduksi organ reproduksi pada permukaan inangnya atau pada bahan organik yang mati. Filum ini, pada habitat akuatik memiliki empat ordo yang penting, yaitu:


(23)

a. Ordo Chytridiales b. Ordo Blastocladiales c. Ordo Spizellomycetales d. Ordo Monoblepharidales 2. Filum Zygomycota

Memiliki dua kelas yang mewakili lingkungan perairan tawar, yaitu Zygomycetes dan Trichomycetes. Zygomycetes bersifat kosmopolitan dan dapat menggunakan substrat dengan spektrum yang luas (Gandjar et a/.

2006).

3. Filum Ascomycota(fungi tingkat tinggi)

Karakter dari filum ini adalah memiliki miselium yang bersepta dan ascocarp

(tubuh buah seksual; suatu struktur reproduksi seksual yang menghasilkan askus) dengan bentuk multiselular. Fungi jenis ini jarang ditemukan di perairan tawar.

4. Filum Basidiomycota

Sama halnya dengan filum Ascomycota, kapang dari kelompok Basidiomycota jarang ditemukan di lingkungan akuatik tawar. Bila ditemukan, ada pada kayu dan bahan organik yang ada di dalam atau di sekitar sungai.

5. Deuteromycota

Menurut Manoharachary et al. (2005), kelompok ini disebut juga anamorf,

fungi imperfect, fungi konidial, fungi mitosporik, atau fungi aseksual. Banyak spesies yang dimasukkan ke dalam deuteromycota, namun setelah ditemukan fase seksualnya (teleomorf) dimasukkan ke dalam Ascomycota atau Basidiomycota. Deuteromycota merupakan kelompok yang khusus bagi spesies cendawan dengan fase seksual yang belum diketahui.

2.1.2. Morfologi mikrofungi

Bagian penting tubuh mikrofungi adalah hifa. Hifa adalah suatu struktur fungus berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang tersebut membentuk suatu jala yang umumnya berwarna putih, dan disebut sebagai miselium (Davidson et al. 1996). Hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh


(24)

suatu dinding yang kuat. Morfologi mikrofungi dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan morfologi hifa secara mikroskopis, hifa dapat dibedakan menjadi: a. Aseptat atau senositik

Hifa seperti ini tidak mempunyai septum, sehingga memiliki banyak inti. b. Monositik

Sekat membagi hifa menjadi ruang-ruang atau sel-sel berisi nukleus tunggal. Pada setiap septum terdapat pori di tengah-tengah yang memungkinkan terjadinya perpindahan nukleus dan sitoplasma dari satu ruang ke ruang yang lain (Trinci dan Cutter, 1986).

a b

Gambar 2. Morfologi mikrofungi Penicilium Viridicatum a: sketsa tubuh mikrofungi (Gandjar, 1999),

b: miselium(www.3phase.com)

2.1.3. Pertumbuhan dan reproduksi mikrofungi 2.1.3.1. Pertumbuhan

Fase pertumbuhan dapat diketahui melalui perubahan luas daerah di bawah kurva pertumbuhan atau disebut dengan area under the kinetic curve

(AUKC). Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme ini tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya. Berdasarkan laju pertumbuhannya, maka Meletiadis (2001) membagi fase pertumbuhan fungi menjadi lima, yaitu fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase akselerasi (first transition period), fase log

(log phase), fase penurunan (second transition period atau declining phase), dan fase stasioner (stationer phase). Kurva pertumbuhan fungi dapat dilihat pada Gambar 3.

hifa konidia


(25)

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Mikrofungi

(a). fase pertumbuhan lambat, (b) fase akselerasi, (c) fase log, (d) fase penurunan,

(e) fase stasioner (sumber: Meletiadis et al. 2001)

Fase pertama adalah fase lag. Pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan sel. Pengamatan secara mikroskopik yang dilakukan oleh Meletiadis (2001) menunjukkan bahwa pada fase ini sedang terjadi persiapan pembelahan sel atau pun persiapan pertumbuhan spora dan konidia. Fase ini dicirikan oleh perubahan (Δr) AUKC yang kurang dari 5%.

Pembelahan sel akan diikuti oleh persipan perpanjangan hifa, dan hal ini menunjukkan terjadinya fase akselerasi atau dapat juga disebut first transition period (Reinhardt 1892 in Trinci dan Cutter 1986). Fase ini dapat dilihat melalui peningkatan ΔrAUKC hingga 30%. Pada tahap ini, persiapan perpanjangan hifa sulit ditentukan karena tidak hanya tergantung pada jumlah sel yang diinokulasikan, tetapi juga tergantung pada karakteristik metaboliknya, seperti umur dan keadaan fisiologisnya, serta tergantung juga pada jenis nutrien dalam medianya (Quoreshp et al. 1995). Fase pertumbuhan lambat yang lama menunjukkan adanya bahan-bahan beracun dan substrat bersifat melawan, kurang inokulasi, atau pre-kultur tidak sesuai (sel mati inaktif).

Perpanjangan hifa akan terjadi setelah fase akselerasi, yaitu pada fase log. Fase log memiliki kurva pertumbuhan dengan kemiringan (slope) yang maksimal (Meletiadis 2001), sehingga laju pertumbuhan spesifik pada fase ini merupakan nilai maksimum. Laju pertumbuhan eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien.


(26)

Akhir dari fase log (eksponensial) diikuti oleh periode pertumbuhan linier sebelum berangsur-angsur ke fase stasioner. Pertumbuhan linier disebut juga sebagai fase penurunan (second transition period atau declining phase). Fase penurunan di dalam kultur disebabkan oleh habisnya atau terbatasnya beberapa nutrien dan terdapatnya akumulasi sisa produk. Selama periode transisi, slope

kurva pertumbuhan fungi mengalami perubahan yang cepat dan ΔrAUKC yang tinggi bila dibandingkan fase-fase lainnya. Kemiringan pada periode transisi ke dua berkurang secara terus menerus, dan bila dilihat dari ΔrAUKC nilainya mencapai 70% (Meletiadis et al. 2001).

Setelah fase penurunan, fungi akan mengalami fase stasioner, dengan ΔrAUKC kurang dari 70% dari nilai maksimal ΔrAUKC (Meletiadis et al. 2001). Pada fase ini fungi akan mulai rusak, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan fungi telah berhenti atau disebut fase stasioner (Quoreshp et al. 1995; Leung dan Wu 2007).

2.1.3.2. Reproduksi

Fungi yang sudah dewasa akan membentuk struktur-struktur untuk melakukan reproduksi agar spesiesnya menyebar dan tidak punah (Gandjar et al. 2006). Ketika kondisi buruk, pembentukan jaringan secara vegetatif (pembelahan, penguncupan) akan berkurang bahkan tidak akan dilakukan, dan spora akan terbentuk. Spora ini dapat bertahan pada lingkungan yang buruk (Lyon et al. 1943).

Secara alamiah mikrofungi berkembang biak dengan berbagai cara, baik secara aseksual dengan atau tanpa pembentukan spora, maupun secara seksual dengan peleburan nukleus dari dua sel induknya. Spora aseksual, yang berfungsi untuk menyebarkan spesies, dibentuk dalam jumlah besar (Gilman 1945). Ada beberapa tipe spora aseksual, di antaranya:

a. Konidiospora atau konidium

Konidium dibentuk di ujung atau di sisi suatu hifa. Konidium yang kecil dan bersel satu disebut mikrokonidium. Konidium yang besar dan bersel banyak dinamakan makrokonidium.

b. Sporangiospora


(27)

(sporangium) yang terdapat di ujung hifa khusus. Aplanospora ialah sporangiospora nonmotil. Zoospora ialah sporangiospora yang motil. Motilitasnya disebabkan oleh adanya flagelum.

c. Oidium atau artrospora

Spora bersel satu yang terbentuk karena terputusnya sel-sel hifa d. Klamidiospora

Spora bersel satu yang berdinding tebal, sangat resisten terhadap keadaan buruk, terbentuk dari sel-sel hifa somatik

e. Blastospora

Tunas atau kuncup pada sei-sel khamir

Spora seksual yang dihasilkan dari peleburan dua nukleus, lebih jarang terbentuk. Jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan spora aseksual, hanya terbentuk dalam keadaan tertentu (Gilman 1945). Ada beberapa tipe spora seksual, yaitu:

a. Askospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk dalam kantung yang (askus). Biasanya terdapat delapan askospora di dalam setiap askus. Contoh fungi yang menghasilkan aksospora adalah filum Ascomycota (Buchalo et al. 1998).

b. Basidiospora, adalah spora bersel satu yang terbentuk di atas struktur berbentuk gada yang dinamakan basidium. Contoh fungi yang menghasilkan spora tipe ini adalah fungi yang berasal dari filum Basidiomycota (Gilman 1945).

c. Zigospora, adalah spora besar berdinding tebal yang terbentuk apabila ujung-ujung dua hifa yang secara seksual serasi, disebut juga gametangia, dan pada beberapa fungi, spora ini melebur. Zygospora terbentuk pada fungi tingkat rendah, yaitu filum Zygomycota (Gandjar et al. 2006).

d. Oospora, adalah spora yang terbentuk di dalam struktur betina khusus yang disebut ooginium. Pembuahan telur atau oosfer oleh gamet jantan yang terbentuk di dalam anteredium menghasilkan oospora. Dalam setiap oogonium terdapat satu atau beberapa oosfer. Oospora terdapat pada fungi tingkat rendah dari filum Chitridiomycota dihasilkan oospora (Gilman 1945).

Suatu fungi tunggal dapat membentuk spora aseksual dan seksual dengan beberapa cara pada waktu yang berlainan dan dalam keadaan yang berbeda.


(28)

Struktur serta metode pembentukan spora-spora tersebut cukup konstan atau tidak berubah (Pelczar dan Chan 1986).

2.1.4. Metabolisme (absorbsi nutrien) pada mikrofungi

Faktor paling penting yang berhubungan dengan aktivitas fungi adalah nutrien. Nutrien akan digunakan sebagai energi melalui proses metabolisme, sehingga organisme dapat melaksanakan fungsi hidupnya. Metabolisme adalah seluruh proses kimia di dalam organisme hidup untuk memperoleh dan menggunakan energi (Voet dan Voet 1995 in Gandjar et al. 2006). Ketika sel melakukan metabolisme, nutrien akan diubah ke dalam bentuk materi sel, energi, dan produk buangan (Bilgrami dan Verma 1994 in Gandjar et al. 2006). Proses tersebut akan menyebabkan organisme tumbuh dan berkembang. Proses metabolisme pada fungi meliputi dua fungsi utama yaitu, fungsi anabolisme (asimilasi/bioenergi) dan katabolisme (disimilasi/biosintesis). Dalam fungsi anabolisme nutrien diubah menjadi komponen struktural dan fungsional oleh mikroorganisme. Dalam fungsi katabolisme energi kimia diambil dari nutrien untuk menghasilkan energi yang akan digunakan dalam reaksi anabolisme. Proses anabolisme tergantung pada katabolisme, tidak hanya pada energi yang dalam bentuk ATP, NADH, dan NADPH, tapi juga produksi senyawa intermediate bagi berlangsungnya proses biosintesis makromolekul dari struktur hifa (Trinci dan Cutter 1986; Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006).

Pada proses katabolisme, nutrien berfungsi sebagai sumber energi atau penerima elektron. Proses ini bersifat eksergonik atau eksotermik dengan energi yang dihasilkan berbentuk energi kimia dan bukan energi panas. Hal tersebut terjadi karena sel tidak dapat menggunakan energi panas, melainkan Adenosin-trifosfat (ATP). ATP diperlukan untuk aktivitas sel, misalnya untuk perkembangbiakan, pembentukan spora, pergerakan, biosintesa, dan sebagainya (Ayres 1986 in Gandjar et al. 2006).

Proses anabolisme sebagai salah satu kegiatan dalam metabolisme, memerlukan sumber energi yang didapat dari proses katabolisme. Selama proses katabolisme berlangsung, produk yang dihasilkan tidak hanya energi bagi berlangsungnya anabolisme, melainkan juga senyawa yang akan menjadi bahan dasar bagi proses anabolisme seperti gula-fosfat, asam piruvat, asam asetat, asam


(29)

oksalasetat, asam suksinat, dan sebagainya. Reaksi anabolisme pada dasarnya terbagi ke dalam beberapa proses, diantaranya: asimilasi nitrogen dan sulfat, sintesis mikromolekul (sintesis asam amino), serta sintesis makromolekul (sintesis DNA, RNA, dan protein) (Trinci dan Cutter 1986).

Secara umum fungi memerlukan nutrien dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, kalium, magnesium, natrium, kalsium, nutrien mikro (besi, mangan, kobalt, molibdenum), dan vitamin. Fungi adalah organisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon anorganik. Senyawa karbon organik yang dapat dimanfaatkan fungi untuk membuat materi sel baru dapat berupa molekul sederhana seperti gula sederhana, asam organik, gula terikat alkohol, polimer rantai pendek dan rantai panjang yang mengandung karbon (Gadd 1988; Ayres 1986 in Gandjar 2006). Beda halnya dengan karbon, nitrogen dimanfaatkan oleh fungi dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Fungi lebih menyukai nitrogen dalam bentuk organik. Nitrogen organik yang dapat dimanfaatkan oleh fungi adalah dalam bentuk protein (Lyon et al. 1952). Menurut Gunderson (1967); Guest dan Smith (2007), senyawa nitrogen anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi adalah dalam bentuk ammonium (NH4 -N); nitrat (NO3); dan nitrit (NO2). Nitrit dapat dimanfaatkan oleh mikrofungi dalam kondisi yang tidak asam. Selain itu, fungi diketahui dapat menghidrolisis senyawa-senyawa toksik yang sulit diuraikan menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana, sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme itu sendiri atau lainnya (Quoreshp et al. 1995).

2.2. Karakteristik tahu dan limbah cair tahu 2.2.1. Karakteristik tahu

Tahu merupakan bahan makanan yang terbuat dari kedelai yang mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Menurut Soedarma dan Sediaoetma (1977) in Dhahiyat (1990) di dalam 100 gram kedelai yang merupakan bahan tahu, terkandung 35 gram protein, 18 gram lemak, dan 10 gram karbohidrat; sedangkan dalam 100 gram tahu terdapat 7,8 gram protein, 4,6 gram lemak, dan 1,6 gram karbohidrat.

Pengolahan kedelai menjadi tahu umumnya dilakukan secara tradisional, yaitu melalui proses penggumpalan (pengendapan) protein susu kedelai. Bahan


(30)

penggumpal yang lazim digunakan ialah batu tahu (CaSO4) atau cioko, asam cuka (CH3COOH), dan MgSO4 (Pusbangtepa 1989). Proses pengolahan tahu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tahu

(Sumber: Nuraida 1985; Pusbangtepa 1989 in Sylvi 2001)

Pencetakan/Pengerasan Pencucian Kedelai

Perendaman

Penggilingan

Pemasakan

Penyaringan

Pemotongan Penggumpalan

Perendaman Tahu

Air matang/air bersih

Air dingin (12-24 jam) Air hangat 55 oC (1-2

Air hangat (9:1)

100oC (7-14 menit)

Tahu Air hangat 80 oC Air

Ampas tahu

Whey

Whey


(31)

2.2.2. Karakteristik limbah cair tahu

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu atau pun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair. Pada Gambar 4 terlihat adanya hasil sampingan dari proses pembuatan tahu yaitu whey. Whey adalah limbah cair yang dihasilkan dari proses penggumpalan dan pencetakan pada pembuatan tahu. Sebagian pabrik tahu ada yang menggunakan sebagian kecil whey sebagai biang. Selain whey, limbah cair tahu dapat berupa sisa air tahu yang tidak menggumpal atau berupa potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan (Dhahiyat 1990). Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan 1,5 - 2 m3 limbah cair. Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair pada umumnya langsung dibuang ke lingkungan sekitar. Limbah cair bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk.

Padatan tersuspensi maupun terlarut yang terdapat pada limbah cair tersebut dapat menjadi media untuk tumbuhnya agen penyakit. Air limbah dapat meresap ke dalam tanah yang dekat dengan sumur, sehingga air sumur itu tidak layak dimanfaatkan lagi. Begitu pula bila limbah dialirkan ke sungai, maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan penyakit, seperti gatal dan diare (Nurhasan dan Pramudyanto 1991). Pencemaran akibat limbah akan berdampak negatif pada lingkungan di sekitarnya.

Air buangan industri tahu memiliki karaktersitik fisika dan kimia yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pemahaman tentang karakteristik limbah tahu merupakan hal yang penting untuk mengetahui tingkat pencemaran serta penanggulangannya. Selain itu juga untuk menentukan cara pengolahan yang tepat serta memudahkan penentuan parameter yang akan dianalisis. Berhubungan dengan hal tersebut, Bapedalda Provinsi Jawa Timur menetapkan baku mutu limbah cair untuk usaha pembuatan tahu sesuai dengan keputusan Gubernur No.45/2002 (Tabel 2).


(32)

Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Tahu

Sumber: Nurhasan (1987) in Sylvi (2001)

Tabel 2. Baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya (Keputusan Gubernur No.45 Tahun 2002)

No. Parameter Satuan

Golongan Baku Mutu Limbah Cair

I II III IV

A Fisika

1 Temperatur 0C 35 38 40 45

2 Zat padat terlarut mg/liter 1500 2000 4000 5000

3 Zat padat tersuspensi mg/liter 100 200 200 500

B Kimia

1 pH 6 – 9 6 - 9 6 - 9 6 - 9

2 Ammoniak Bebas (NH3-N) mg/liter 0,5 1 5 20

3 Nitrat (NO3-N) mg/liter 10 20 30 50

4 Nitrit (NO3N) mg/liter 0.06 1 3 5

5 BOD5 mg/liter 30 50 150 300

6 COD mg/liter 80 100 300 600

Sumber: BPLHD Surabaya in jukungkami.files.wordpress.com (2008)

2.3. Parameter kualitas air 2.3.1. Parameter fisika a. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mengontrol dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh fungi. Kondisi temperatur yang rendah dapat menghambat metabolisme fungi sehingga memperlambat laju dekomposisi bahan organik yang ada di perairan (Lindblom dan Tranvik 2003).

Karakteristik Hasil Pengukuran

Suhu

Padatan terendap Padatan tersuspensi Padatan total Warna

Amonia-Nitrogen Nitrit-Nitrogen Nitrat-Nitrogen pH

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) Kebutuhan oksigen kimia (COD)

37 - 45oC 175 - 190 mg/l 635 - 660 mg/l 810 - 850 mg/l 2225 - 2250 Pt.co 23,3 - 23,5 mg/l 3,5 - 4,0 mg/l 32 - 40 mg/l 4 - 6

6000 - 8000 mg/l 7500 - 14000 mg/l


(33)

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme dipengaruhi pula oleh suhu. Fungi termasuk organisme termofilik yang dapat tumbuh pada suhu lebih dari 550C. Salah satu contoh, Mucor pusillus, dapat tumbuh dengan suhu minimum 21-23, suhu optimum 45-50, dan suhu maksimum 50-58. Mikroorganisme seperti fungi dapat tumbuh dalam kisaran suhu yang luas. Bagi kebanyakan spesies saprofitik berkisar 22 sampai 30°C, sedangkan untuk spesies patogenik mempunyai suhu optimum lebih tinggi, biasanya mencapai 30-37°C (Sigee 2004).

b. TSS, TDS, dan kekeruhan

Berdasarkan ukuran padatannya yang terdapat di perairan dapat diklasifikasikan menjadi: padatan terlarut (< 10-6 mm), koloid (10-6 sampai 10-3 mm), dan padatan tersuspensi (> 10-3 mm). Total Suspendid Solid adalah padatan yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi 2003). Total Dissolved Solid adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter pori 0,45

μm (Rao, 1992 in Effendi 2003). TDS biasanya disebabkan oleh adanya bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Air buangan atau limbah, selain banyak mengandung padatan tersuspensi, juga mengandung bahan-bahan yang bersifat koloid, misalnya protein (Yusuf 2001).

Kekeruhan merupakan sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air, yang dapat diukur dengan turbidimeter. Dengan demikian kekeruhan (optical density) dari media fungi dapat digunakan untuk memperkirakan laju pertumbuhan mikrofungi. Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhannya juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Meletiadis et al. 2001; Effendi 2003).

2.3.2. Parameter kimia a. Dissolved Oxygen (DO)

Keberadaan oksigen menentukan proses dekomposisi bahan organik yang ada di peraiaran. Rendahnya oksigen terlarut dapat memperlambat berjalannya


(34)

dekomposisi, serta dapat menghasilkan senyawa-senyawa sampingan, seperti CH4,CO2,N2, dan H2S. Keadaan ini dapat disebut sebagai anaerob (Lindblom dan Tranvik 2003; Pagliuso et al. 2002). Menurut Gray (2004), oksigen terlarut kurang dari 2 mg/l menyebabkan keadaan anaerob.

Burges dan Fenton (1953) in Panseseko (1967), menyebutkan bahwa fungi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan keberadaan oksigen. Kelompok pertama adalah kelompok fungi yang dapat hidup pada kondisi aerobik; kelompok kedua adalah kelompok fungi yang memiliki toleransi terhadap karbondioksida dan sebagian anaerobik; sedangkan kelompok ketiga adalah mikrofungi yang dapat hidup baik pada kondisi aerob maupun anaerob.

c. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD limbah adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam satu liter limbah secara kimiawi. Nilai COD yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran oleh zat-zat organik yang tinggi (Suhardi, 1991 in Yusuf, 2001). Zat organik dalam limbah dibedakan menjadi dua, yaitu yang mudah didegradasi oleh mikroba, dan yang sulit didegradasi oleh mikroba. Parameter COD menunjukkan oksidasi bahan organik, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003).

Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga, dan industri. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan nilai COD pada perairan yang tercemar dapat mencapai lebih dari 200 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 in Effendi 2003).

d. Nilai pH

Nilai pH mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam limbah, dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen. pH mempengaruhi pertumbuhan mikrofungi melalui proses-proses yang terjadi di dalam sel, salah satunya adalah aktivitas enzim (Busa et al., 1986 in Robson et al. 1996).

Pada umumnya, mikroba dapat tumbuh pada lingkungan yang asam hingga sangat alkalin (pH 0 - 12), yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu acidophil (pH 0 – 5,5); neutrophil (pH 5,5 – 8,5); dan alkalophil (pH 8,5 – 12). Fungi dapat


(35)

tergolong ke dalam kelompok acidophil dan neutrophil, namun biasanya fungi lebih menyukai pH rendah atau dalam kondisi asam, yaitu antara 4 – 6 (Sigee 2004).

e. Amonia nitrogen

Sumber amonia di perairan dapat berasal dari pemecahan nitrogen organik, dapat berupa protein atau pun urea. Nitrogen organik terikat pada unsur pokok sel makhluk hidup, seperti protein. Fungi dan mikroorganisme lainnya mentransformasi bahan organik tersebut menjadi nitrogen anorganik, yaitu amonia, nitrit, nitrat, dan gas nitrogen (Lyon et al. 1943). Proses perubahan nitrogen organik menjadi amonia ini dikenal dengan amonifikasi. Hal ini ditunjukkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut (Effendi 2003):

N organik + O2 NH3-N + O2 N02 -N + O2 N03-N (1) Amonifikasi nitrifikasi

Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+). Amonia (NH3) beserta garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air, sedangkan amonium (NH4+) adalah bentuk transisinya. Amonia bebas yang tidak dapat terionisasi bersifat toksik terhadap organisme aquatik. Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksik bagi beberapa biota air (Sawyer dan McCarty, 1978 in Effendi 2003). Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan run off (Effendi 2003).

f. Nitrat nitrogen dan nitrit nitrogen

Nitrat (N03) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami, dan sangat mudah larut dalam air. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempuma senyawa nitrogen di perairan, dan nitrit merupakan hasil antara dari reduksi ammonia menjadi nitrat (Gundersen 1967). Nitrit, sebagai hasil antara, memiliki sifat tidak stabil dan mudah berubah dalam bentuk lainnya (Sedlak 1991 in


(36)

Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (persamaan 1). Nitrifikasi merupakan proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi 2003). Pada kondisi anaerob, nitrat dapat berubah menjadi nitrit atau nitrogen dalam bentuk gas (N2), yang biasa dikenal dengan istilah denitrifikasi. Perubahan nitrat menjadi nitrogen menurut Gray (2004), dapat dilihat pada persamaan (2) berikut ini:

(2)

Salah satu mikroorganisme yang dapat melakukan nitrifikasi adalah mikrofungi. Mikrofungi memiliki kemampuan untuk memanfaatkan oksigen terlarut dalam kondisi aerob, namun dapat juga menggunakan nitrat sebagai penerima elektron dalam respirasi ketika oksigen terlarut menjadi faktor pembatas (Sigee 2004).

Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 0,2 mgl/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan (Davis dan Cornwell 1991 in

Effendi 2003).

g. Nitrogen total

Nitrogen total Kjeldahl adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan ammonia pada air limbah (Davis and Cornell, 1991 in Effendi 2000). Nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik yaitu N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat terlarut, dan nitrogen organik yang berbentuk partikulat dan tidak terlarut dalam air (Mackereth et al. 1989 in Effendi 2000).

2.4. Proses pengolahan limbah secara biologi

Pengolahan limbah dengan cara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba. Proses biologi yang dilakukan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan-bahan organik diaplikasikan untuk membersihkan lingkungan yang tercemar dari polutan. Hal ini dapat diistilahkan sebagai bioremediasi (Hamman 2004). Tujuan dari bioremediasi itu sendiri adalah untuk

NO3 NO2 NO N2O N2

reductase reductase reductase reductase


(37)

mereduksi polutan menjadi senyawa yang tidak toksik atau mereduksi hingga taraf / konsentrasi yang diperbolehkan (Gray 2004).

Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan dalam sistem pengolahan biologis ini adalah mikrofungi. Penggunaan mikrofungi dalam bioremediasi dikenal dengan istilah mycoremediation (Hamman 2004).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya oleh Van Leeuwen (2004), menggunakan mikrofungi untuk mengolah limbah cair, dengan cara melewatkan mikrofungi yang ditempatkan pada suatu tempat yang memiliki

screen. Screen tersebut memiliki ukuran pori yang kecil (100 μm), yang bertujuan agar bakteri dapat ikut terbuang saat limbah dialirkan, namun mikrofungi tetap berada di dalam wadah tersebut. Skema screen pada reaktor untuk mengolah limbah menggunakan mikrofungi, dapat dilihat pada Gambar 5. Pertumbuhan mikrofungi dapat dikontrol dengan melakukan pemanenan. Biomassa mikrofungi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai stok inokulan untuk pengolahan limbah berikutnya dan dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman.


(38)

Fungi mendegradasi bahan-bahan organik dengan mentransformasi karbon dan nitrogen ke jaringan fungi itu sendiri dalam proporsi yang lebih banyak daripada mikroorganisme lainnya. Selain itu, hasil sampingan berupa karbondioksida dan ammonium relatif lebih sedikit. 50% substansi yang didekomposisi oleh fungi digunakan untuk pembentukan jaringan (Lyon et al. 1943), sehingga pemulihan lingkungan oleh mikroorganisme ini dianggap sebagai strategi potensial (Frankenberger dan Losi 1996; Gadd 1992 in Gandjar et al. 2006).


(39)

3.1. Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan dalam dua rangkaian, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi pengambilan sampel mikrofungi dari perairan Telaga Warna, pengisolasian, kultivasi, dan identifikasi mikrofungi. Tahap kedua berupa penentuan konsentrasi limbah tahu yang akan digunakan untuk media mikrofungi pada penelitian utama. Penelitian utama merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari pengujian jenis-jenis mikrofungi pada konsentrasi limbah hasil penelitian pendahuluan. Dalam penelitian utama ini juga dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air serta persentase penutupan mikrofungi.

Pengambilan contoh tersebut dilakukan pada bulan Juli 2006 yang mewakili musim kemarau dan bulan Februari 2007 yang mewakili musim hujan. Penelitian pendahuluan dan utama dilakukan pada Mei 2007 di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Penelitian pendahuluan 3.2.1. Tahap pertama

3.2.1.1. Pengambilan sampel mikrofungi dari Telaga Warna

Pengambilan sampel mikrofungi dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengambil langsung dari air, serasah, daun, batu, ataupun ranting yang terdapat di perairan Telaga Warna. Sampel tersebut diambil atau dikerik menggunakan jarum ose, kemudian digoreskan pada media agar yang telah diperkaya nutrien. Nutrien yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar/PDA (Lampiran 1).

3.2.1.2. Isolasi mikrofungi

Isolat mikrofungi yang telah diambil dari perairan Telaga Warna tersebut diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu kamar. Biakan mikrofungi yang tumbuh dalam media agar masih heterogen. Biakan ini kemudian diisolasi dan diinkubasi kembali dalam suhu kamar selama 2-5 hari untuk mendapatkan biakan tunggal (homogen). Biakan tunggal tersebut diidentifikasi secara makroskopis dan


(40)

mikroskopis.

3.2.1.3. Identifikasi mikrofungi

Identifikasi mikrofungi bertujuan untuk mengetahui biodiversitas atau keanekaragaman hayati mikrofungi di perairan Telaga Warna. Identifikasi dilakukan melalui beberapa tahapan berikut.

a. Pembuatan slide kultur

Bagian bawah dalam cawan petri diberi alas kertas saring. Batang gelas berbentuk U diletakkan di atas kertas saring, kemudian diletakkan gelas objek dan gelas penutupnya di atasnya, lalu disterilisasi di autoclave pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm selama ± 15 menit. Setelah dingin, di atas gelas objek diberi setetes media PDA steril. Kemudian, secara aseptis, menggunakan jarum ose, mikrofungi target diinokulasi pada permukaan agar yang sudah membeku. Kemudian ditutup dengan gelas penutup. Di bagian kertas saring diteteskan 7-10 ml gliserol 10% steril, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 3-5 hari.

b. Pengamatan

Untuk menentukan jenis mikrofungi, struktur mikrofungi yang tumbuh diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10. Mikrofungi diidentifikasi dengan menggunakan beberapa acuan, seperti Gandjar et al. (1999), Fassatiova (1986), dan Gilman (1945).

3.2.1.4. Penyiapan stok mikrofungi

Mikrofungi homogen yang telah diidentifikasi, ditumbuhkan kembali pada cawan petri dengan media PDA yang disimpan sebagai stok. Stok mikrofungi tersebut disimpan pada suhu kamar, yang berikutnya dapat digunakan sebagai mikrofungi uji.

3.2.2. Tahap kedua

3.2.2.1. Penyiapan mikrofungi uji

PDA yang telah ditumbuhi mikrofungi tertentu (dalam hal ini adalah Penicillium rugulosum, Penicillium viridicatum, Acremonium strictum, Cephalosphorium acremonium, dan Abisidia spinosa) dipotong menjadi


(41)

sembilan bagian (8,72 cm2). Masing-masing bagian PDA tersebut dimasukkan ke dalam limbah cair tahu.

3.2.2.2. Treatment limbah

Limbah tahu yang akan digunakan disaring dan diberi penyinaran UV terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan menggunakan saringan dengan ukuran pori 30 μm untuk menghilangkan kotoran besar. Penyinaran UV dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme yang ada pada limbah dengan panjang gelombang 250-270 nm selama 30 menit (Lampiran 2).

3.2.2.3. Penentuan konsentrasi limbah

Penentuan konsentrasi limbah perlu dilakukan untuk melihat viabilitas atau kelangsungan hidup biakan mikrofungi pada media limbah. Masing-masing jenis mikrofungi uji yang telah dipotong, dimasukkan ke dalam wadah yang berisi limbah cair tahu dengan konsentrasi yang berbeda. Pada tahap penentuan konsentrasi limbah, konsentrasi uji yang digunakan adalah 75% (perlakuan A), 50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C). Pengencer yang digunakan adalah akuades. Konsentrasi tersebut akan dibandingkan dengan kontrol, yang berupa 100% limbah (perlakuan D), dan masing-masing perlakuan mendapatkan tiga kali pengulangan.

Viabilitas inokulan mikrofungi uji akan dilihat selama enam hari, dengan asumsi pertumbuhan mikrofungi sudah mencapai fase log, bahkan mencapai fase stasioner selama rentang waktu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Meletiadis (2004), mikrofungi dengan pertumbuhan yang lambat dapat mencapai fase log dalam waktu 72 jam atau tiga hari masa pertumbuhannya.

3.3. Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan setelah didapatkan konsentrasi limbah yang sesuai untuk viabilitas inokulan mikrofungi. Pada tahap ini, pada limbah dengan konsentrasi terpilih tersebut dimasukkan mikrofungi uji dengan jenis yang berbeda-beda (selanjutnya disebut sebagai perlakuan). Limbah cair tahu dengan mikrofungi uji ditempatkan pada stoples kaca (2,5 l). Kemudian dilakukan pengukuran kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah tersebut serta


(42)

pencatatan pertumbuhan mikrofungi uji pada hari ke- 0; 1; 2; 3; 4; 5; 6. Pada penelitian ini, masing-masing perlakuan mendapatkan tiga kali ulangan.

3.4. Metode pengumpulan data 3.4.1. Analisis parameter kualitas air

Keberadaan kandungan bahan organik dalam air limbah digambarkan melalui hasil pengukuran COD (Lampiran 3) serta N organik. Nilai N organik dihitung melalui selisih antara nilai N total dengan penjumlahan nilai NH3-N, NO3-N, dan NO2-N. Selain pengukuran bahan organik, dilakukan juga pengukuran DO, pH, kekeruhan, TDS, suhu, serta penentuan persentase penutupan untuk melihat pertumbuhan mikrofungi.

3.4.2. Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah

Analisis persentase perubahan nilai karakteristik limbah dimaksudkan untuk melihat perubahan nilai limbah yang diukur setiap hari. Hasil perubahan nilai karakteristik limbah dalam persen ditentukan dengan menggunakan rumus (Purwati, 1985 in Sukaton, 2007) :

Persentase perubahan nilai karakteristik limbah = a

b -a

x 100 %

dengan :

a = Nilai pengamatan pada hari pertama b = Nilai pengamatan pada hari terakhir

3.5. Analisis statistik

3.5.1. Penelitian pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan, untuk melihat pengaruh perbandingan konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikrofungi, digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rumus umum sebagai berikut:

Yij = µ + i + ij

Yij : Laju penurunan bahan organik pada konsentrasi ke-i, pada ulangan ke-k : Rata-rata laju penurunan bahan organik

τi : Pengaruh konsentrasi ke-i, i = 1, 2, 3, 4


(43)

Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel konsentrasi terhadap pertumbuhan mikrofungi, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Hipotesis yang digunakan adalah :

HO : µ i = 0

(Faktor konsentrasi tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi) H1 : µ i≠ 0

(Faktor waktu ada pengaruhnya pada pertumbuhan mikrofungi)

Tabel 3. Tabel sidik ragam RAL Sunber

keragaman

Derajat bebas Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah (KT)

F hitung F tabel 5% *) Perlakuan

Galat Total

v1 = i-1

v2 = (ki-1)-(i-1) ki-1

JKP JKG JKT

KTH = JKP/v1 KTG = JKG/v2

KTH/KTG F(v1, v2)

Dikutip dari Mattjik dan Sumertajaya (2000)

*) Keterangan: - i adalah total perlakuan

- k adalah total ulangan untuk semua perlakuan

- Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0diterima - Bila F hitung > F 5 % ada perbedaan nyata; H1 diterima

3.5.2. Penelitian utama

a. Pengaruh waktu terhadap penurunan bahan organik

Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan juga pada penelitian utama untuk melihat keragaman konsentrasi bahan organik antarwaktu pada masing-masing jenis mikrofungi yang diujikan. Rumus umum yang digunakan adalah

Yij = µ + τi + ij

Yij : Laju penurunan bahan organik pada waktu ke-i, pada ulangan ke-k µ : Rata-rata laju penurunan bahan organik

τi : Pengaruh waktu ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5, 6


(44)

Untuk melihat pengaruh keragaman dari variabel waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik, dalam penelitian ini dilakukan uji satu arah anova/Analisis of Variance (Tabel 3). Secara umum hipotesis yang digunakan adalah

H0 : µ i = 0 H1 : µ i≠ 0

Hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada limbah cair tahu dengan jenis mikrofungi tertentu, waktu memberikan pengaruh yang sama terhadap rata-rata laju penurunan konsentrasi bahan organik (H0). Atau minimal ada satu perlakuan waktu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rata-rata laju penurunan konsentrasi bahan organik (H1).

b. Pengaruh jenis mikrofungi terhadap penurunan bahan organik

Untuk melihat jenis mikrofungi yang memberikan pengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik, digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam waktu. Rumus umum yang digunakan adalah

Yijk = µ + αi + ij + ωk + jk + αωik + ijk Yijk : Laju penurunan bahan organik

µ : Rata-rata laju penurunan bahan organik

αi : Pengaruh jenis mikrofungi ke-i, i = 1, 2, 3, 4, 5 ij : Komponen acak perlakuan

ωk : Pengaruh waktu ke-k, k = 1, 2, 3, 4, 5, 6 jk : Komponen acak waktu

αωik : Pengaruh interaksi dari mikrofungi ke-i dan waktu ke-k ijk : Komponen acak interaksi waktu dan perlakuan

Uji yang digunakan pada tahap ini adalah MANOVA/Multivariate Analisis of Variance (Tabel 4) dan Profil Plot (grafik rata-rata nilai tengah). Beberapa hipotesis yang diuji adalah pengaruh faktor jenis mikrofungi, waktu, serta interaksi antara faktor jenis mikrofungi dan waktu, dengan bentuk hipotesis sebagai berikut:


(45)

a. HO : Tidak ada pengaruh dari waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

H1 : Ada pengaruh dari waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

b. HO : Tidak ada pengaruh dari faktor jenis mikrofungi terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

H1 : Ada pengaruh dari dari faktor jenis mikrofungi terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

c. HO : Tidak ada pengaruh dari interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu pada penurunan konsentrasi bahan organik

H1 : Ada pengaruh dari Interaksi faktor jenis mikrofungi dan waktu terhadap penurunan konsentrasi bahan organik

Tabel 4. Tabel sidik ragam RAL dalam waktu

Sunber keragaman Derajat bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah (KT)

F hitung F tabel

5% perlakuan jenis (a)

waktu (b) jenis*waktu Galat jenis (a) Galat waktu (b) Total

a-1 b-1 (a-1)(b-1) a(r-1) (ab-b)(r-1) abr-1

JKA JKB JKAB JKG (a) JKG (b) JKT

KTA KTB KTI KTG (b) KTG (b) JKT

KTA/KTG (a)

KTAI/KTG (b)

F(v1, v2)

Sumber modifikasi dari Mattjik dan Sumertajaya (2000)

Keterangan: - i adalah total perlakuan

- r adalah total ulangan untuk semua perlajuan

- Bila F hitung < F 5 % tidak ada perbedaan nyata; H0diterima - Bila F hitung > F 5 % ada perbedaan nyata; H1 diterima


(46)

4.1. Hasil

4.1.1. Penelitian pendahuluan

4.1.1.1. Biodiversitas mikrofungi akuatik dari Telaga Warna

Jenis mikrofungi akuatik yang ditemukan dari perairan Telaga Warna merupakan fungi jenis kapang. Sebelas spesies mikrofungi ditemukan pada musim kemarau dan 15 spesies pada musim hujan. Kapang yang ditemukan pada musim kemarau adalah Mucor hiemalis, Mucor plumbeus, Mucor substilissimus, Abisidia spinosa, Aspergillus niger, Aspergillus conicus, Penicillium viridicatum, Penicillium rugulosum, Trichoderma koningii, Acremonium strictum, dan Cephalosporium acremonium. Yang ditemukan pada musim hujan adalah Mucor rouxianus, Mucor ramannianus, Mucor genevensis, Mucor jansseni, Mucor pussilus, Rhizopus cohnii, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Penicillium rugulosum, Cephalosporium acremonium, Penicillium citrinum, Penicillium urticae, Penicillium spinulosum, Aspergillus amstelodami, dan Monilia humicola.

Deacon (1997) dan Alexopoulos et al. (1996) in Sigee (2005) membagi fungi dalam filum Chitrdiomycota, Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deuteromycota. Isolat mikrofungi yang didapat dari perairan Telaga Warna termasuk ke dalam filum Zygomycota dan Deuteromycota (Tabel 5). Karakteristik visual mikrofungi yang ditemukan di Perairan Telaga dapat dilihat pada Lampiran 4.

Jenis-jenis kapang tersebut, sebagian memiliki dampak yang negatif bagi kesehatan, seperti Aspergillus conicus yang memiliki pertumbuhan sangat cepat. Spora Aspergillus mudah sekali terbawa udara sehingga mudah terhirup oleh manusia dan dapat mengganggu kesehatan, diantaranya mengganggu sistem kekebalan tubuh, dan sistem syaraf (Kuhn dan Ghannoum 2003). Oleh karena itu, mikroorganisme uji yang digunakan dalam peneltian ini adalah Penicillium rugulosum, Penicillium viridicatum, Acremonium strictum, Cephalosphorium acremonium, dan Abisidia spinosa. Mikrofungi uji yang digunakan, sebelumnya telah diujikan untuk mendegradasi minyak (Widiyanti 2007), dan dapat digunakan untuk mengolah air limbah (Guest dan Smith 2007). Selain itu, mikrofungi juga


(47)

mampu menghasilkan metabolit yang dapat dimanfaatkan untuk bioleaching; serta menghasilkan antifungal yang digunakan dalam bidang farmasi (Breen 1995; Kisielowskadan Kasińska-Pilut 2005).

Tabel 5. Pengelompokan jenis-jenis mikrofungi akuatik yang terdapat di Danau Telaga Warna

a. Deacon (1997) dan Alexopoulos et.al.(1996) in Sigee (2005) b. Fassatiová (1986) dan Gilman (1945)

4.1.1.2. Penentuan konsentrasi limbah

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi limbah yang tepat bagi kelangsungan hidup mikrofungi. Konsentrasi uji yang digunakan adalah 75% (perlakuan A), 50% (perlakuan B), dan 25% limbah (perlakuan C). Konsentrasi tersebut dibandingkan dengan kontrol, yang berupa 100% limbah (perlakuan D).

Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata semua limbah dengan konsentrasi yang diujikan dapat mendukung viabilitas inokulan mikrofungi. Hal

Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Zygomycotaa Zygomycetesb Mucoralesb Mucoraceaeb

Mucorb

M. hiemalis M. plumbeus M. ramannianus M.

substilissimus M. rouxianus M. genevensis M. jansseni M. pussilus Rhizopusb

R. stolonifer R. oryzae R. cohnii

Abisidiab A.spinosa

Deuteromycotaa Monilialesb

Aspergillusb

A. amstelodami A. niger A. conicus

Penicilliumb

P. rugulosum P. viridicatum P. spinulosum P. citrinum P. urticae Trichodermab T.koningii

Acremoniumb A. strictum

Cephalosporiumb C. acremonium


(48)

ini dicirikan dengan keberadaan inokulan yang tetap bertahan di permukaan media. Selain itu, mikrofungi uji mampu tumbuh pada media uji tersebut.

Mikrofungi yang diujikan adalah Abisidia spinosa (AS); Cephalosphorium acremonium (CA) dan Penicillium rugulosum (PR). Mikrofungi uji tersebut mengalami pertumbuhan hingga hari keempat. Berdasarkan persentase penutupan pada tiap perlakuan limbah, pertumbuhan mikrofungi uji tersebut berbeda. Pertumbuhan mikrofungi tertinggi didapatkan pada perlakuan A, berturut-turut diikuti oleh perlakuan D, B, dan C. Persentase penutupan mikrofungi pada hari keempat dapat dilihat pada Lampiran 5.

Lambatnya pertumbuhan mikrofungi pada perlakuan D diduga karena tingginya konsentrasi bahan organik, sehingga mikrofungi sulit untuk mendekomposisi bahan organik yang ada dalam waktu singkat. Di samping itu, mikroorganisme uji dapat mengalami pertumbuhan yang lambat apabila media hidup kurang sesuai untuk pertumbuhannya, seperti pada perlakuan B dan C. Hal ini diduga karena berkurangnya konsentrasi bahan organik akibat pengenceran yang lebih dari 25%.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi limbah mempengaruhi pertumbuhan mikrofungi (p < 0,05) (Lampiran 6). Hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata persentase penutupan masing-masing jenis mikrofungi pada masing-masing konsentrasi limbah yang berbeda.

Untuk menentukan konsentrasi yang berbeda nyata dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey. Hasil analisis lanjut terhadap pertumbuhan mikrofungi jenis AS dan CA yang ditumbuhkan pada perlakuan A dan D berbeda dari yang ditumbuhkan pada perlakuan C dan B. Pertumbuhan mikrofungi jenis PR berbeda pada semua perlakuan limbah.

Karena pada perlakuan A (75% limbah) terdapat pertumbuhan satu jenis mikrofungi yang relatif tinggi, maka untuk penelitian utama digunakan konsentrasi limbah 75%. Selain itu, berdasarkan hasil yang didapat secara visual, pada konsentrasi tersebut didapatkan pertumbuhan mikrofungi yang tercepat.


(49)

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000

4.1.2. Penelitian utama

Kemampuan mikrofungi uji (Abisidia spinosa, Cephalosphorium acremonium, Acremonium strictum, Penicillium rugulosum, dan Penicillium viridicatum) dalam mendekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air yang menggambarkan kandungan bahan organik dan penurunannya selama waktu penelitian. Disamping itu juga dapat dilihat pengaruh dari keberadaan bahan organik terhadap pertumbuhan mikrofungi tersebut. Berikut hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air yang digunakan serta pertumbuhan mikrofungi yang diamati.

4.1.2.1. COD (Chemical Oxygen Demand)

Keberadaan bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu dapat diketahui melalui Chemical Oxygen Demand (COD). Hasil pengukuran konsentrasi COD serta persentase penurunannya pada berbagai jenis mikrofungi serta kontrol disajikan pada Lampiran 7. Perubahan konsentrasi COD antar waktu pada masing-masing media (limbah cair tahu) dengan inokulan mikrofungi dan tanpa inokulan mikrofungi diuraikan sebagai berikut.

A. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Abisidia spinosa (AS) Rata-rata konsentrasi COD antar waktu pada media dengan mikrofungi jenis AS berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Konsentrasi COD pada media dengan inokulan AS berkisar 1925-7000mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H5 dan tertinggi pada H1 (Gambar 6).

Gambar 6. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Abisidia spinosa


(50)

B. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Cephalosphorium acremonium (CA)

Pada media dengan mikrofungi jenis CA, rata-rata konsentrasi COD antar waktu menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan inokulan CA berkisar 1300-7500 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H1 (Gambar 7).

Gambar 7. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Cephalosphorium acremonium

C. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Acremonium strictum (ACST)

Rata-rata konsentrasi COD pada media dengan inokulan ACST berkisar 1100-4800 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H4 dan tertinggi pada H0 (Gambar 8). Pada media dengan mikrofungi jenis ACST, rata-rata konsentrasi COD menunjukkan perbedaan antar waktu (p < 0,05) (Lampiran 8).

D. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Penicillium rugulosum (PR)

Konsentrasi COD tertinggi pada media dengan inokulan PR tertinggi terjadi pada pada H0, yaitu 4800mg/l. Sedangkan konsentrasi COD terendah terjadi pada H4, yaitu 1200 mg/l (Gambar 9). Pada media dengan mikrofungi jenis PR, rata-rata konsentrasi COD antar waktu berbeda (p < 0,05) (Lampiran 8).

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000


(51)

Gambar 8. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Acremonium strictum

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000

Gambar 9. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium rugulosum

E. Konsentrasi COD pada media dengan inokulan Penicillium viridicatum (PV)

Rata-rata konsentrasi COD antar waktu pada media dengan mikrofungi jenis AS pun menunjukkan perberbedaan yang nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Konsentrasi COD pada media dengan inokulan AS memiliki kisaran antara 1000-4800 mg/l, dengan konsentrasi terendah terjadi pada H6 dan tertinggi pada H1 (Gambar 10).

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000


(52)

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000

Gambar 10. Rata-rata konsentrasi COD pada limbah cair tahu dengan mikrofungi Penicillium viridicatum

F. Konsentrasi COD pada media tanpa inokulan mikrofungi (kontrol)

Secara temporal konsentrasi COD pada kontrol sama halnya dengan konsentrasi COD pada media dengan inokulan mikrofungi, yaitu berbeda nyata (p < 0,05) (Lampiran 8). Kisaran rata-rata konsentrasi COD pada media tanpa inokulan mikrofungi yaitu 1300-8000 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi pada H2, sedangkan konsentrasi COD terendah terjadi pada H4 (Gambar 11).

Hari

ke-0 1 2 3 4 5 6

R

a

ta

-r

a

ta

C

O

D

(

m

g

/

l)

0 2000 4000 6000 8000 10000


(53)

G. Perbandingan kemampuan antar jenis mikrofungi dalam menurunkan konsentrasi COD

Nilai COD untuk semua perlakuan pada awal penanaman inokulan (H0) adalah 4800 mg/l. Setelah diberi inokulan mikrofungi dengan jenis yang berbeda, ternyata tidak semuanya memberikan penurunan kadar bahan organik pada limbah secara langsung.

Penurunan konsentrasi COD tercepat setelah H0 dicapai oleh media dengan inokulan ACST, PR, dan PV. Nilai COD menurun hingga hari kedua pengamatan (H2), yaitu 47,92% untuk media dengan ACST, 63,54% untuk media dengan PR, dan 73,96% untuk media dengan PV. Namun pada hari berikutnya (H3), keberadaan bahan organik pada limbah tahu yang diberi inokulan tersebut cenderung menaik, dan mengalami fluktuasi hingga akhir pengamatan. Konsentrasi COD pada perlakuan ACST, PR, PV mulai dari H3 hingga H6 berkisar antara 1000-3600 mg/l.

Hal yang berbeda ditemukan pada media yang diberi inokulan AS, CA, serta media tanpa inokulan mikrofungi (K). Pada perlakuan tersebut, konsentrasi COD setelah H0 mengalami kenaikan menjadi 7000 mg/l bagi perlakuan AS; 7500 mg/l untuk perlakuan CA, dan 5000 mg/l untuk kontrol (K). Kenaikan yang terjadi pada H1 tersebut tetap berlangsung hingga H2 bagi perlakuan K, menjadi 8000 mg/l. Penurunan nilai COD untuk K terjadi pada H3, sedangkan untuk AS dan CA terjadi pada H2. Penurunan yang terjadi pada AS dan K menunjukkan nilai yang relatif lebih besar daripada H0 yaitu 5933,3 dan 6250 mg/l, sehingga persentase penurunannya dari H0 adalah sebesar -30,2 dan -23,6 %. Sementara itu, CA menunjukkan penurunan yang tajam dari hari sebelumnya (H1) menjadi 3100 mg/l, atau terjadi penurunan sebesar 35,4 % dari H0. Nilai COD untuk AS, CA, dan K kembali berfluktuasi pada hari berikutnya (H4) hingga akhir pengamatan (H6). Kenaikan dan penurunan rata-rata konsentrasi COD selama enam hari pada masing-masing media yang diberi inokulan mikrofungi dan tanpa inokulan, dapat dilihat pada Gambar 12.

Hasil analisis statistik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perbedaan waktu, jenis-jenis mikrofungi, serta interaksinya mempengaruhi kandungan bahan oganik pada limbah tahu (p < 0,05). Hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata


(1)

Mauchly's Test of Sphericityb

Measure: norganik

.000 90.534 20 .000 .234 .365 .167 Within Subjects Effect

hari

Mauchly's W

Approx.

Chi-Square df Sig.

Greenhous

e-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Epsilona

Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent variables is proportional to an identity matrix.

May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.

a.

Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari b.

Lampiran 13. Hasil analisis statistik pengaruh jenis mikrofungi terhadap

penurunan N organik

a

.

Within-Subjects Factors

b.

Between-Subjects Factors

Measure: N organik

hari

Dependent Variable

1 T0

2 T1

3 T2

4 T3

5 T4

6 T5

7 T6

Multivariate Testsc

.999 1496.702a 6.000 7.000 .000 .999

.001 1496.702a 6.000 7.000 .000 .999 1282.888 1496.702a 6.000 7.000 .000 .999

1282.888 1496.702a 6.000 7.000 .000 .999

4.814 47.347 30.000 55.000 .000 .963 .000 275.939 30.000 30.000 .000 .989 1362.072 245.173 30.000 27.000 .000 .996 873.730 1601.838b 6.000 11.000 .000 .999 Pillai's Trace

Wilks' Lambda Hotelling's Trace Roy's Largest Root Pillai's Trace Wilks' Lambda Hotelling's Trace Roy's Largest Root Effect

hari

hari * jenis

Value F Hypothesis df Error df Sig.

Partial Eta Squared

Exact statistic a.

The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. b.

Design: Intercept+jenis Within Subjects Design: hari c.

Jenis N

ACST 3

AS 3

CA 3

K 3

PR 3


(2)

Lampiran 13. (lanjutan)

Tests of Within-Subjects Effects

Measure: norganik

29536.118 6 4922.686 382.370 .000 .970 29536.118 1.401 21075.674 382.370 .000 .970 29536.118 2.191 13478.156 382.370 .000 .970 29536.118 1.000 29536.118 382.370 .000 .970 30947.948 30 1031.598 80.130 .000 .971 30947.948 7.007 4416.619 80.130 .000 .971 30947.948 10.957 2824.483 80.130 .000 .971 30947.948 5.000 6189.590 80.130 .000 .971

926.938 72 12.874 926.938 16.817 55.119 926.938 26.297 35.249 926.938 12.000 77.245 Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Sphericity Assumed Greenhouse-Geisser Huynh-Feldt Lower-bound Source hari

hari * jenis

Error(hari)

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Partial Eta Squared

Tests of Within-Subjects Contrasts

Measure: norganik

26167.551 1 26167.551 4407.331 .000 .997

17.383 1 17.383 1.840 .200 .133

2161.873 1 2161.873 113.698 .000 .905

113.499 1 113.499 47.272 .000 .798

333.456 1 333.456 14.607 .002 .549

742.356 1 742.356 42.142 .000 .778

1594.854 5 318.971 53.723 .000 .957

4801.539 5 960.308 101.632 .000 .977

8731.886 5 1746.377 91.846 .000 .975

3858.949 5 771.790 321.444 .000 .993

6209.358 5 1241.872 54.401 .000 .958

5751.362 5 1150.272 65.299 .000 .965

71.247 12 5.937

113.387 12 9.449

228.170 12 19.014

28.812 12 2.401

273.937 12 22.828

211.385 12 17.615

hari Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Linear Quadratic Cubic Order 4 Order 5 Order 6 Source hari

hari * jenis

Error(hari)

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Partial Eta Squared

Measure: N organik , Transformed Variable: Average

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Intercept 176897.369 1 176897.369 15289.489 .000

jenis 15660.638 5 3132.128 270.714 .000


(3)

Lampiran 13. (lanjutan)

Multiple Comparisons

Measure: norganik Tukey HSD

-21.4043* 1.04971 .000 -24.9302 -17.8784 -22.9705* 1.04971 .000 -26.4964 -19.4446 -18.7829* 1.04971 .000 -22.3088 -15.2570 4.3036* 1.04971 .014 .7777 7.8295 -1.8874 1.04971 .501 -5.4133 1.6385 21.4043* 1.04971 .000 17.8784 24.9302 -1.5662 1.04971 .675 -5.0921 1.9597 2.6214 1.04971 .199 -.9045 6.1473 25.7079* 1.04971 .000 22.1820 29.2338 19.5169* 1.04971 .000 15.9910 23.0428 22.9705* 1.04971 .000 19.4446 26.4964 1.5662 1.04971 .675 -1.9597 5.0921 4.1876* 1.04971 .017 .6617 7.7135 27.2740* 1.04971 .000 23.7482 30.7999 21.0831* 1.04971 .000 17.5572 24.6090 18.7829* 1.04971 .000 15.2570 22.3088 -2.6214 1.04971 .199 -6.1473 .9045 -4.1876* 1.04971 .017 -7.7135 -.6617 23.0864* 1.04971 .000 19.5605 26.6123 16.8955* 1.04971 .000 13.3696 20.4214 -4.3036* 1.04971 .014 -7.8295 -.7777 -25.7079* 1.04971 .000 -29.2338 -22.1820 -27.2740* 1.04971 .000 -30.7999 -23.7482 -23.0864* 1.04971 .000 -26.6123 -19.5605 -6.1910* 1.04971 .001 -9.7168 -2.6651 1.8874 1.04971 .501 -1.6385 5.4133 -19.5169* 1.04971 .000 -23.0428 -15.9910 -21.0831* 1.04971 .000 -24.6090 -17.5572 -16.8955* 1.04971 .000 -20.4214 -13.3696 6.1910* 1.04971 .001 2.6651 9.7168 (J) jenis AS CA K PR PV ACST CA K PR PV ACST AS K PR PV ACST AS CA PR PV ACST AS CA K PV ACST AS CA K PR (I) jenis ACST AS CA K PR PV Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.

Tukey HSD

jenis N

Subset

1 2 3 4

PR 3 23,0421

ACST 3 27,3457

PV 3 29,2331

K 3 46,1286

AS 3 48,7500 48,7500

CA 3 50,3162


(4)

Lampiran 14. Nilai rata-rata N anorganik pada limbah cair tahu.

Ammonia

Hari

ke- AS CA ACST PR PV

K

0

1,33 1,33

1,33

1,33

1,33 1,33

1 1,02

1,35

6,12

5,92

2,98

10,69

2

3,91 0,54

1,70

1,67

0,54 1,68

3

3,10 3,35

1,10

0,64

4,63 1,74

4

3,30 1,48

0,64

0,53

1,31 0,79

5

4,56 2,90

5,24

3,38

6,88 4,34

6

4,28 2,79

1,60

4,10

5,92 1,26

Nitrat

Hari

ke- AS CA ACST PR PV

K

0

3,57 3,57

3,57

3,57

3,57 3,57

1

0,79 0,99

2,78

2,71

1,45 7,10

2

2,28 0,14

0,57

1,22

0,72 3,55

3

1,58 1,42

0,82

0,35

1,62 1,14

4

2,69 1,07

1,02

0,85

0,47 0,24

5

2,51 2,95

4,69

2,28

4,23 1,99

6

0,37 0,18

0,12

0,50

0,28 0,12

Nitrit

Hari

ke- AS CA ACST PR PV

K

0

0,04 0,04

0,04

0,04

0,04 0,04

1

0,04 0,24

0,98

0,04

0,07 0,42

2

0,13 0,11

0,01

0,01

0,11 0,05

3

0,23 0,12

0,08

0,03

0,20 0,19

4

0,02 0,30

0,03

0,08

0,01 0,05

5

0,02 0,19

0,02

0,18

0,34 0,11


(5)

(6)

Lampiran 16. Nilai rata-rata pH dan oksigen terlarut pada limbah mcair tahu

a.

Nilai rata-rata pH

Hari ke

pH

AS CA

ACST

PR PV K

0 3,40

3,40

3,40

3,40

3,40

3,40

1 3,73

3,75

3,71

3,69

3,72

3,72

2 3,72

3,78

3,71

3,78

3,72

3,77

3 3,77

3,99

3,83

3,91

3,75

3,83

4 3,80

3,92

4,07

4,06

4,07

4,13

5 3,82

3,71

3,68

3,85

3,72

3,76

6 4,35

4,35

4,40

3,96

4,38

3,96

b.

Nilai rata-rata kelarutan oksigen (DO)

Hari ke

Nilai rata-rata DO (mg/l)

AS CA

ACST

PR PV K

0 0,20

0,20

0,20

0,20

0,20

0,20

1 0,33

0,20

0,23

0,20

0,19

0,17

2 0,17

0,17

0,21

0,18

0,18

0,16

3 0,16

0,16

0,20

0,16

0,17

0,16

4 0,16

0,16

0,17

0,12

0,17

0,15

5 0,10

0,12

0,15

0,10

0,11

0,11