Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013

(1)

PRODUKTIF DI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

Nama: Muhammad Aandi Ihram

NIM 109101000087

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M/1434 H


(2)

(3)

ii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087

Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013

xix + 101 halaman, 18 tabel, 2 bagan,5 lampiran

ABSTRAK

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. WHO dalam

Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TB Paru, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Pada tahun 2012 Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita.

Tujuan penelitian ini diketahuinya hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan kejadian TB paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross sectional study, jumlah sampel 65 responden dan teknik pengambilan sampel adalah Simple random sampling. Data diperoleh dari data rekam medis puskesmas pada bulan April-Juni 2013, data kuesioner (data responden), pengukuran IMT (timbangan & Microtoice), pengukuran ventilasi dengan meteran dan suhu dengan Thermohygrometer. Analisis uji statistik menggunakan uji Chi-square dengan derajat kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil penelitian dari 65 responden di Puskesmas Pondok Pucung diperoleh 23 orang (35,4%) yang mengalami kejadian TB. Faktor yang memiliki hubungan secara statistik terhadap kejadian TB paru adalah variabel status gizi (p= 0,001), kepadatan hunian (p= 0,001) dan ventilasi rumah (p= 0,014). Sedangkan faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah jenis kelamin (0,602), pendidikan (0,116), pengetahuan (0,729) dan suhu ruangan (0,417).

Disarankan perlu dilakukan upaya peningkatan penjaringan terhadap penderita tuberkulosis paru, peningkatan perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat pada saat membangun rumah dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kata Kunci: Kejadian TB Paru, Tingkat Sirkulasi Oksigen, Karakteristik Individu.


(4)

iii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087

Association Oxygen Circulation Level and Individual Characteristics with Lung Tuberculosis in Productive Age Period at Puskesmas Pondok Pucung 2013

xix + 101 pages, 18 tables, 2 chart , 5 attachments

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis caused by mycobacterium tuberculosis. WHO in Annual Report on Global TB Control 2003 states that there are 22 countries categorial as high burden countries of Lung Tuberculosis included Indonesian. Indonesia is the country with the highest tuberculosis patients 5th in the world after India, China, South Africa and Nigeria. In 2012 the Puskesmas Pondok Pucung has the highest Pulmonary TB cases in the province of South Tangerang taker 769 patients.

The purpose of this research knowing association oxygen circulation level and individual characteristics with lung Tuberculosis in productive age period at Puskesmas Pondok Pucung. The time study was conducted in May-August 2013. This type of research is a observational study with cross-sectional design, the number of samples of 65 respondents and the sampling technique was simple random sampling. Data obtained from the data clinic medical record in April-June 2013, questionnaires (data respondents), IMT measurements with (weigher and microtoice), ventilation measurements with meteran and temperature with thermohygrometer. Statistical analysis using Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.

The results, from 65 respondents at Puskesmas Pondok Pucung obtained 23 peoples (35.4%) having lung tuberculosis incidence. Factors that have statistical association for lung Tuberculosis incidence is variable nutrition status (p= 0,001), density residents (p= 0,001), and house ventilation (p= 0,014). While other factors not have statistical association is gender (0,602), education (0,116), knowladge (0,729), and temperatue room (0,417).

Purposed to promoting for health housing, incidence lung tuberculosis, case finding of lung tuberculosis, improving house environmental health with house owners who will renovate their houses are recommended to build a basic of house will sanitation aspects and follow the healthy life behaviour.

Keywords: Lung Tuberculosis, Oxygen Circulation levels, Individual characteristics.


(5)

(6)

(7)

vi

CURICULUM VITAE

PERSONAL IDENTITY

Full Name : MUHAMMAD AANDI IHRAM

Place / Date of Birth : KURUNGAN JIWA, 23 NOVEMBER 1991

Sex : MALE

Religion : MOSLEM

Address :

JL. PURI INTAN NO.52 KELURAHAN PISANGAN-CIPUTAT-TANGERANG SELATAN / JL. SEI SAHANG RT/RW 59/14 NO. 5281 KELURAHAN LOROK PAKJO - KOTA PALEMBANG

Citizenship : INDONESIAN

Phone Number : Mobile : +6281927792154 Home :

Email Address : i_aand@yahoo.co.id

FORMAL EDUCATION (starting from the most recent)

Year

Name of Institution Location Faculty/Majoring Result

In Out

2009 2013

ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

BANTEN

PUBLIC HEALTH / ENVIRONMENTAL

HEALTH

2006 2009

ISLAMIC SENIOR HIGH SCHOOL PRIMARY 3

PALEMBANG

PALEMBANG IPA Graduated

2003 2006

ISLAMIC JUNIOR HIGH SCHOOL PRIMARY 2

PALEMBANG

PALEMBANG - Graduated

1997 2003 ELEMENTARY SCHOOL


(8)

vii

ORGANIZATION EXPERIENCES

Year Organization / Events

2012 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Geothermal Garut 2012 Participant in environment health safety field study at PT. Petrocina Bojonegoro

2011 Committee of learning practice field in eastern Pamulang clinic

2011 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Balikpapan

2011 Mahesa Institude and ABLE “ English Course”

2011 Committee of seminar earth day at Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-2012 Member Of Environmental health student association Islamic State University Syarif Hidayatullah

Jakarta

2010-2012 Member Of Environmental Health Student Association Indonesia

2010 Committee Of Ceremonial 5th Anniversary Of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty (AS-SHOF) 2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty Sum-Sel (SJD-SS)

Work experience

Position Year Organizer / Institution

HEALTH, SAFETY AND ENVIRONMENTHAL (HSE) OFFICER 2012 PT. PROTON

COMMITTEE OF CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY (CSR) 2012

PT. YAMA ENGINEERING AND ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

JOB PRACTICE IN ENVIRONMENT AND HUMANITY PROGRAM


(9)

viii

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan yang terang penuh Cahaya Ilahi.

Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan.

Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusuna skripsi ini, penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya saat ini yang selalu senantiasa mengiringi kehidupan saya.

2. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan semangat, doa, dan motifasi yang tiada henti serta mencurahkan seluruh kasih sayangnya.


(10)

ix

memberikan semangat, doa dan motifasi yang tiada henti untuk saya.

4. Bidadari-bidadari kecilku tersayang (Raden Fahza Fauziah dan Syifa Haura Firoza) yang selalu memberi senyuman dan semangat yang luar biasa.

5. Bapak Prof. Dr. Dr. Hc. MK. Tadjudin, Spd. And. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembimbing sekaligus pembina peminatan kesehatan lingkungan yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini. 8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing yang telah

memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini.

9. Bapak Ahmad Ghozali selaku TU Program Studi Kesehatan Masyarakat yang selalu sabar dan membantu dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan. 10.Ibu Umi Lutfi selaku pemegang program TB Paru di Puskesmas Pondok

Pucung yang begitu luar biasa membantu baik dilapangan ataupun memberikan masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(11)

x

inspirasi dalam penyelesaian Skripsi ini.

12.Teman-teman seperjuangan mahasiswa yang tergabung dalam beasiswa Santri Jadi Dokter Sumatera-Selatan khususnya angkatan 2009 semangat dan sukses untuk kita semua. Amin

13.Teman-teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat angkatan 2009, Khususnya Peminatan Kesehatan Lingkungan (Udin, Rudi, Yudi, Ersa, Morris, Agung, Maya, Nisa, Reni, Yeni, Risma, Tari, Nita, Ratna, Cita, Dila, Ami, Imah, Zia, Rahmayuni) semangat dan sukses untuk kita semua. Amin.

14.Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam menyelesaikan laporan magang ini.

Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal

baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.

Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam untuk skripsi ini demi kemajuan dimasa yang akan datang.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, September 2013


(12)

xi

Hal

LEMBAR PERNYATAAN... i

ABSTRAK... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

RIWAYAT HIDUP... v

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GRAFIK... xi

DAFTAR BAGAN... xi

DAFTAR TABEL………... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 7

1.3 Pertanyaan Penelitian………. 7

1.4 Tujuan Penelitian... 8

1.4.1 Tujuan Umum... 8

1.4.2 Tujuan Khusus... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Bagi Masyarakat... 9

1.3.2 Bagi Instanasi Terkait... 9

1.3.3 Bagi Peneliti... 9


(13)

xii

2.1 Penyakit Tuberkulosis... 11

2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis... 11

2.1.2 Bakteri Tuberkulosis Paru... 11

2.1.3 Cara Penularan Penyakit TB Paru………... 11

2.1.4 Gejala dan Tanda………..……... 13

2.1.5 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru………... 15

2.1.6 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru……….…. 17

2.1.7 Klasifikasi Penyakit……….………... 17

2.1.8 Tipe Penderita……….………… 18

2.1.9 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 19

2.1.10 Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 21

2.1.11 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 23

2.1.12 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 24

2.1.13 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru ... 28 2.1.14 Rumah Sehat dan Persyaratannya... 44

2.1.15 Landasan Teori... 50

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep... 51

3.2 Definisi Operasional... 52


(14)

xiii

4.2 Lokasi dan Waktu……….. 56

4.3 Populasi dan Sampel... 56

4.3.1 Populasi... 56

4.3.2 Sampel... 56

4.3.3 Perhitungan Sampel………... 58

4.4 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data………... 60

4.4.1 Pengumpulan Data... 60

4.4.2 Instrument Penelitian………... 60

4.4.3 Pengolahan Data……… 62

4.4.4 Analisis Data……….. 63

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 64

5.2 Analisi Univariat... 64

5.2.1 Gambaran Kejadian TB Paru... 64

5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin... 65

5.2.3 Gambaran Pendidikan... 66

5.2.4 Gambaran Status Gizi... 67

5.2.5 Gambaran Pengetahuan... 67

5.2.6 Gambaran Kepadatan Hunian... 68

5.2.7 Gambaran Ventilasi Rumah... 69

5.2.8 Gambaran Suhu... 70


(15)

xiv

5.3.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru... 73

5.3.4 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru... 74

5.3.5 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru.. 75

5.3.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru... 76

5.3.7 Hubungan Suhu dengan Kejadian TB Paru... 77

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian... 79

6.2 Gambaran Kejadian TB Paru... 80

6.3 Karakterisitik Individu... 81

6.3.1 Jenis Kelamin... 81

6.3.2 Pendidikan... 83

6.3.3 Status Gizi... 85

6.3.4 Pengetahuan... 87

6.4 Tingkat Sirkulasi Oksigen... 90

6.4.1 Kepadatan Hunian... 90

6.4.2 Venitilasi Rumah... 93

6.4.3 Suhu Ruangan... 96

BAB VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan... 99

7.2 Saran... 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

(17)

xvi

Nomor Tabel Hal

2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT... 25 2.2 Kategori Ambang Batas Index Massa Tubuh untuk

Indonesia……….

34

4.1 Perhitungan Sampel... 59

5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

65

5.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

65

5.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

66

5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Gizi di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

67

5.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

68

5.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepadatan Hunian di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

68

5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Ventilasi Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

69

5.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Suhu di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013


(18)

xvii

Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

5.10 Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

72

5.11 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

73

5.12 Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

74

5.13 Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

75

5.14 Analisis Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

76

5.15 Analisis Hubungan antara Suhu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013


(19)

xviii

Nomor Grafik Hal


(20)

xix

Nomor Bagan Hal

2.1 Kerangka Teori Penelitian... 50 3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 51


(21)

1 1.1.Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menurut sistem kesehatan nasional adalah tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk yang ditandai dengan bertempat tinggal di lingkungan bersih dan berprilaku sehat. Pada masyarakat mampu untuk untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010).

Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan kesehatan dilakukan melalui upaya pelayanan kesehatan yang diarahkan pada program-program seperti ditegaskan dalam undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992 Bab V pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal diselenggarakan melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (PP RI, 2000).

Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah, bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal, hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya


(22)

dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir seluruh Puskesmas di Indonesia. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Prabu, 2008).

Penyakit tuberkulosis paru atau yang lebih popular dengan nama TBC yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu penyakit menular yang menyebabkan kematian. Satu orang penderita TB paru dengan status Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain dalam 1 tahun. TB paru akan menular ketika orang tersebut batuk, bersin, berbicara atau meludah (droplet nuclei) (Depkes RI, 2008).

Pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah kebawah, jumlah kasus TB paru semakin meningkat. Sehingga pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB paru sebagai kedaruratan dunia (global emergency). WHO memperkirakan jumlah paling besar dari kasus TB paru ditahun 2005 ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu 34% dari insiden kasus global atau sekitar 8,8 juta penderita dan 1,6 diantaranya mengalami kematian dimana hampir 80% kematian terjadi pada kelompok usia produktif. Sehingga penyakit ini memberikan dampak yang serius terhadap perkembangan ekonomi negara tersebut (WHO, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan 9 (Sembilan) juta orang penduduk dunia setiap tahunnya menderita TBC. Diperkirakan 95% penderita TBC berada dinegara berkembang . selain itu ditemukan 8 juta kasus baru TBC setiap tahunnya (Depkes RI, 2007).


(23)

Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Tuberkulosis merupakan kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2010 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 289 per 100.000 penduduk Data Riskesdas tahun 2010, tingkat kejadian penyakit tuberkulosis yang berusia >15 tahun di Provinsi Banten sebesar 7.536 orang (4,2%). Data dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2012) Proporsi BTA positif diantara suspek (5-15%) di Tangerang Selatan tahun 2011 sebesar 10%, sedangkan triwulan 1 tahun 2012 sebesar 12% (Kemenkes RI, 2012).

Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).

Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia dengan mengkonsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ tubuh berfungsi secara optimal. Dalam


(24)

keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang. Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara .Faktor yang berperan terhadap tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen dalam udara yang telah bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan penyakit TBC. Karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen (Farochi, 2012).

Menurut Ahmadi (2005) Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status gizi,) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi alamiah, suhu dan kelembaban).

Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peningkatan kasus

tuberculosis dapat dipengaruhi oleh faktor demografi (kepadatan penduduk dan faktor sosial ekonomi), faktor kualitas lingkungan fisik perumahan, faktor


(25)

kependudukan (karakteristik Individu, perilaku, kemiskinan) dan faktor karakteristik bakteri. Resiko terjadinya penularan tuberculosis TB paru dipengaruhi oleh keadaan rumah yang padat huni sebesar 3,2 kali dibandingkan dengan yang tidak padat penghuni, risiko tersebut sama besarnya dengan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat (Karminingsih, 2002).

Penelitian kasus kontak yang dilakukan Chandra Wibowo dkk (2004) di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber kontak BTA (+) secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya TB Paru 36,5 kali lebih besar. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan. Begitu juga dengan kondisi sirkulasi didalam rumah beberapa faktor yang mempengaruhi adalah terdiri dari kepadatan hunian, ventilasi dan suhu.

Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan Tahun 2012 didapatkan kasus TB parusebanyak 3.545 jiwa. Berikut grafik jumlah kasus TB paru pada 25 puskesmas perawatan Dinas Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel, 2012).


(26)

Grafik 1.1

Jumlah Kasus TB Parudi Wilayah Tangerang Selatan 2012

Sumber : Dinkes Tangerang Selatan 2012

Berdasarkan grafik di atas diperoleh Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di Wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita. Berdasarkan data di atas peneliti memilih Puskesmas Pondok Pucung sebagai tempat penelitian. Selain dari data tersebut, data laporan bulanan yang dimiliki oleh Puskesmas Pondok Pucung mengenai kasus TB Parudari bulan Januari-Desember 2012 terjadi peningkatan setiap bulannya, peningkatan yang signifikan terjadi di 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Oktober sebanyak 121 penderita, november 90 penderita, dan desember 110 penderita.

Berdasarkan uraian dan tren perkembangan penyakit TB ParudiWilayah Pondok Pucung Tangerang Selatan maka peneliti tertarik ingin melihat hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karkteristik individu dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan 2013.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900


(27)

1.2.Rumusan Masalah

Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara.

Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan tahun 2012, Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan memiliki kasus terbesar pada kasus TB Parudibandingkan dengan Puskesmas Perawatan lainnya di Wilayah Tangerang Selatan tahun 2012 yaitu sebesar 796 penderita.

Faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang apabila dalam udara tersebut telah kurang dan bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan penyakit TBC karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen.


(28)

1.3.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

2. Bagaimana gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

3. Apakah ada hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

4. Apakah ada hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 ?

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan, status gizi dan pengetahuan) pada penduduk di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.


(29)

2. Mengetahui gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013. 3. Mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan dan pengetahuan) dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

4. Mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang lingkungan fisik rumah dan karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB Paru sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus TB Paru di Wilayah Pd. Pucung.

1.5.2. Bagi Instansi terkait

Memberikan masukan bagi Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatandalam perencanaan peningkatan penyuluhan, konseling tentang TB Paru sebagai upaya pencegahan resiko terjadinya penyakit.

1.5.3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat berguna bagi peneliti dan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lain.


(30)

1.6.Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross sectional study. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni tahun 2013.


(31)

11 2.1.Penyakit Tuberkulosis

2.1.1. Defenisi Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis dan ditularkan melalui udara pada saat pasien TB batuk atau bersin (PPTI, 2010).

2.1.2. Bakteri Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 1-4 micron dan tebal 0,3-0,6 micron. Sifat khusus bakteri ini tahan terhadap asam, oleh karena itu sering disebut Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, bakteri ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008).

2.1.3. Cara Penularan Penyakit TB Paru

Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak

(droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang


(32)

mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Penularan umum nya terjadi di dalam ruangan, dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Penilaian risiko TB setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. Jika ARTI sebesar 1%, berarti terdapat 10 orang diantara 1000 orang yang terinfeksi setiap taunnya. Nilai ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3% (Depkes RI, 2007).


(33)

2.1.4. Tanda dan Gejala Penyakit TB Paru

Menurut Achmadi (2004) secara umum komposisi dari sampah di setiap kota bahkan negara hampir sama, yaitu :

TB paru sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang aimtomatik. Gambaran klinis TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : gejala respiratorik dan gejala sistemik. 1. Gejala respiratorik, meliputi :

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk bisa berlangsung terus

menerus selama ≥ 3 minggu. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan. Hal ini sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak ataupun sputum.

b. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.


(34)

c. Dahak

Dahak awalnya bersifat nukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen (mengandung lendir dan nanah) sehingga warnanya kuning atau kuning hijau sampai purulen (hanya nanah saja) dan kemudian berubah menjadi kental dan berbau busuk karena adanya infeksi anaerob. d. Sesak napas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.

e. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi :

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza.Biasanya disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan.Hilang timbul dan makin lama makin panjang seranganya sedang masa bebas serangan makin pendek.


(35)

b. Keringat dingin dimalam hari

Bukanlah gejala pasti untuk penyakit tuberkulosis paru dan umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. Keringat dingin ini terjadi meskipun tanpa kegiatan.

c. Anoreksia dan penurunan berat badan

Keduanya merupakan manifestasi dari keracunan sistemik yang timbul karena produk bakteri atau adanya jaringan yang rusak. (toksemia), yang biasanya timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila fase progresif.

d. Malaise (rasa lesu)

Hal ini bersifat berkepanjangan/kronik, disertai rasa tidak fit, tidak enak badan, lemah, lesu pegal-pegal dan mudah lelah.

2.1.5. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

Diagnosis TB paru dilakukan dengan wawancara keluahan pasien, pemeriksaan pada pasien (anamnesis), pemeriksaan dahak mikroskopis di laboratorium, pemeriksaan rontgen dada.

1. Diagnosis TB paru pada orang dewasa (Depkes RI, 2008)

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila setidaknya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.


(36)

2. Diagnosis TB paru pada anak (Depkes RI, 2008)

Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis apabila : a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB

paru BTA positif.

b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari).

c. Terjadi gejala umum TBC

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk

mendukung diagnosis „TB paru BTA positif.

- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. - Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat

yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan


(37)

pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

2.1.6. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case

dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala samaharus diperiksa dahaknya (Depkes RI, 2008).

2.1.7. Klasifikasi Penyakit

Tuberkulosis dibagi berdasarkan organ tubuh yang terkena yaitu : 1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, (tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis paru BTA (+)

- Sekuarang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

- Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto


(38)

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum penderita buruk.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : (Depkes RI, 2008)

a. TBC ekstra paru ringan b. TBC ekstra paru berat

2.1.8. Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : (Amin, 2006)

1. Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT (obat anti tuberkulosis) atau sudah perrnah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB paru dan telah dinyatakan sembuh atau


(39)

pengobatan lengakap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindahan

Pindahan adalah penderita TB paru yang sedang mendapatkan pengobatan dari tempat lain, kemudian pindah berobat ke tempat tertentu. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (Form TB 09).

4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out) Adalah penderita TB paru yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) setelah putus berobat 2 bulan atau lebih.

5. Gagal

a. Adalah penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. b. Adalah penderita BTA (-) rontgen positif yang menjadi

BTA(+) pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 6. Lain-lain

Semua penderitang lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (penderita yang masih BTA (+) setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2.

2.1.9. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium


(40)

tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular.

Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet.

Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi di mungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya (Ruswanto, 2010).

Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu;


(41)

b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman tuberkulosis.

c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini.

2.1.10. Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru

1. Infeksi Primer

Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui inti droplet. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru, saluran linfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan


(42)

perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persistent atau

dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan selama 6 bulan.12

2. Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis Paru) :

Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

3. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut : a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksibronchial.

c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.


(43)

d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya.

f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

2.1.11. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah : (Depkes RI, 2002)

1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain:

a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.

b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.

c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.

e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.


(44)

2. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru:

a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang bergizi.

b. Tidur dan istirahat yang cukup

c. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.

d. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya.

e. Imunisasi BCG pada bayi.

f. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu. g. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular.

2.1.12. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru 1. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kumanterhadap OAT (Depkes RI, 2006).


(45)

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)

Harian 3x Semingu

Isoniazid (H) Bakterisid 5

(4-6)

10 (8-12)

Rifampicn (R) Bakterisid 10

(8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

(20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15

(12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

(15-20)

30 (20-35)

2. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut :

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT

– KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.


(46)

Tahap awal (intensif)

- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis diIndonesia:

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

- Kategori Anak: 2HRZ/4HR

b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),


(47)

sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

c. Paket Kombipak.

Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB : 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan

resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.


(48)

2.1.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis

Paru

Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.

Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :

1. Agent

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari family Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo


(49)

Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering.

Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis

hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.

Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur


(50)

dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C.

2. Host

Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman

Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui

droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).

Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup.

Menurut Luciana (2011) TB paru berisiko pada seseorang dengan karakteristik tertentu, seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan kontak dengan penderita.

a. Umur

Umur berperan dalam kejadian TB. Resiko untuk mendapatkan penyakit TB tinggi di umur awal seseorang dengan puncak pada kelompok usia dewasa dan menurun kembali ketika usia tua. Di Indonesia 75% penderita TB paru adalah kelompok usia 15-50 tahun. Kelompok usia 15-50 tahun masuk dalam penduduk usia produktif, dimana seseorang yang termasuk dalam usia produktif banyak melakukan kegiatan


(51)

seperti bekerja, belajar, ataupun kegiatan lainnya. Seseorang yang melakukan banyak aktivitas akan sering berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Interaksi tersebut dapat memungkinkan terjadinya penularan TB paru. Penderita TB paru BTA (+) dengan mudah dapat menularkan kuman TB kepada lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan orang lain terinfeksi kuman TB (Depkes RI, 2002).

b. Jenis kelamin

Penderita TB di afrika mayoritas menyerang laki-laki. Dari hasil laporan WHO di Amerika Serikat tahun 1993-1998 diketahui bahwa penderita TB lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan (Supriyano, 2003). Penderita TB yang mayoritas terjadi pada pria dapat dipengaruhi oleh pola aktivitas di luar rumah dan kebiasaan merokok berkaitan dengan peningkatan kejadian TB, sedangkan aktivitas di luar rumah yang tinggi dapat menyebabkan seseorang tertular kuman TB oleh penderita TB paru BTA (+). Akan tetapi angka kematian akibat tuberkulosis pada kelompok umur 15-50 tahun di Negara maju lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan laki-laki.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha yang sengaja (terencana, terkontrol, dengan sadar dan dengan cara yang sistematis) diberikan pada anak didik oleh pendidik agar individunya yang


(52)

potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu. Dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat diketahui bentuk pendidikan yang diberikan, sasaran pendidikan, sifat pelaksaan pendidikan, tujuan pendidikan. Proses pendidikan berlangsung dalam suatu lingkungan atau tempat pendidkan berlangsung. Pendidikan dapat berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat. System pendidikan sekolah yang diterapkan di Indonesia adalah pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah menegah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), perguruan tinggi (Nasution, 2004).

Pendidkan seseorang mempengaruhi pengetahuan dan pandangan seseorang. Kelompok masyarakat dengan tingkat pendidkan rendah umumnya adalah kelompok masyarakat dengan status ekonomi rendah. Kelompok masyarakat tersebut sulit untuk menyerap informasi, tidak terkecuali informasi mengenai kesehatan. Selain itu kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah juga tidak mampu mencukupi gizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Supriyadi, 2003; Abebe et al, 2010).

d. Status Gizi

Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI) merupakan indikator untuk memantau status gizi pada kelompok umur >18 tahun. Status gizi seseorang akan mempegaruhi risiko tertular TB. Seseorang dengan status gizi buruk, bahkan


(53)

mengalami malnturisi, menyebabkan penurunan fungsi paru, perubahan analisis gas dalam darah, dan produktivitas kerja. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. Selain itu, status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan infeksi kuman TB (Fatimah, 2008).

IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Buku Praktis Ahli Gizi, 2003).Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :

IMT = Berat badan (kg)


(54)

Tabel 2.2 Klasifikasi Index Masa Tubuh (IMT) Dewasa Menurut Kemenkes RI

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat Badan

Kekurangan berat badan tingkat ringan

< 17,0 17,0 - 18,5

Normal >18,5 - 25,0

Gemuk Kelebihan Berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat

>25,0 - 27,0 >27,0

Sumber : Kemenkes RI, 2003

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten Zalmi di Puskesmas Padang Pasir tahun 2008 menyebutkan bahwa proporsi responden dengan keadaan status gizi kurang pada kelompok kasus adalah 96,8%, sedangkan pada kelompok kontrol 28,1% (Teten Zalmi, 2008).

Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elvina Karyadi (2002) dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengidap TB Paru sebagian besar menderita gizi kurang (IMT<18, 5kg/m2).

e. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dari perilaku. Faktor predisposisi adalah faktor yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku (Green, 2005 dalam Astrine 2012). Pengetahuan tentang tuberkulosis merupakan dasar tindakan pencegahan dan pengobatan. Ketidaktahuan masyarakat menghalangi tindakan pencegahan TB paru. Dengan pengetahuan yang meningkat, masyarakat akan semakin


(55)

mengerti tentang tindakan pencegahan sehingga tingkat kejadian TB paru dapat diminimalisasikan.

Pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang dan akhirnya akan menyebabkan orang tersebut berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan dibagi kedalam 6 tingkat (Notoatmodjo, 2005), yaitu :

a. Tahu : sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami : memahami objek bukan sekedar tahu, bukan hanya sekedar menyebutkan, tapi orang tersebt harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui.

c. Aplikasi : apabila orang yang sudah memahami objek

yang dimaksud dapat menggunakan atau

mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain.

d. Analisis : kemampuan menjabarkan dan memisahkan lalu mencari hubungan antar komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis : kemampuan untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.


(56)

f. Edukasi : kemampuan untuk memberikan justifikasi atau penilaian terhadap objek tertentu.

Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis (Kemenkes RI, 2011).

f. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang dimaksud disini adalah untuk mengetahui tinggi rendahnya mobilitas seseorang, sehingga mempengaruhi dia untuk terpapar kuman TBC. Semakin tinggi mobilitas seseorang, semakin banyak orang yang kontak dengan dia. Bila diantaranya ada yang menderita TBC dan kebetulan kontak yang dilakukan cukup sering dan lama, maka risiko penularan akan semakin tinggi. Selain itu pekerjaan juga menunjukan aktifitas yang dilakukan seseorang, apakah mempengaruhi daya tahannya atau tidak. Pekerjaan juga bisa menggambarkan pendapatan yang dihasilkan sehingga bisa dilihat keadaan sosial ekonominya.


(57)

g. Kontak dengan Penderita

Kontak dengan sumber penular merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru. Kontak erat adalah tinggal bersama dalam rumah yang sama atau frekuensi sering bertemu antara kontak dengan sumber penular (WHO, 2006). Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja, makin meningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberi kemungkinan infeksi lebih besar pada kontak (Akbar, 2010).

Berdasarkan penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007) didapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kontak dengan penderita yang tinggal serumah dengan kejadian TB paru. Temuan ini sesuai dengan penelitin sebelumnya dimana kontak dengan penderita TB paru yang tinggal serumah berisiko 41,8 kali dari pada yang tidak kontak. Kontak serumah merupakan ancaman yang sangat serius bagi anggota keluarga lainnya untuk menderita penyakit TB, karena itu merupakan sumber penularan intensif yang berada disekitar kehidupan sehari-hari anggota keluarga lainnya (Ernawati, 2011).


(58)

3. Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi; sosial, budaya (adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakkan mikro dan lokal) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit.

Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Tingkat sirkulasi oksigenmerupakan faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi untuk terjadinya penyakit TB paru. Sirkulasi Oksigen adalah proses perputaranoksigen yang diperlukan oleh unsur tertentu untuk mengatur sistem yang ada pada unsur tersebut .Oksigen (O2) atau zat asam sangat diperlukan makhluk hidup. Oksigen adalah unsur kimia yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, tidak terbakar tapi dapat membantu pembakaran (Oksidator).Oksigen merupakan unsur paling melimpah ketiga di alam semesta berdasarkan massa dan unsur paling melimpah di kerak Bumi. Gas oksigen diatomik mengisi 20,9% volume atmosfer bumi. Manusia


(59)

membutuhkan asupan oksigen secara terus-menerus untuk proses respirasi sel, dan membuang kelebihan karbondioksida sebagai limbah beracun produk dari proses tersebut (Farochi, 2012).

Menurut teori Maslow oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia atau kebutuhan fisiologis dimana kebutuhan fisiologis sangat mendasar, paling kuat dan paling jelas diantara sekian kebutuhan lain untuk mempetahankan hidup. Manusia akan menekan kebutuhannya sedemikian rupa agar kebutuhan fisiologis (dasar) nya tercukupi. Dengan mengkonsumsi oksigen yang cukup akan membuat organ tubuh berfungsi secara optimal (Noverima, 2012). Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang (Farochi, 2012).

Udara disekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah kurang dan bercampur dengan partikel atau gas berbahaya dan bercampur dengan bakteri patogen yang apabila terhirup dapat berbahaya bagi kesehatan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang media penularannya melalui transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen.


(60)

Adapun faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen di dalam rumah yaitu :

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya (Ruswanto, 2010).

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan Cross infection (infeksi silang). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan kepadatan cukup tinggi,


(61)

maka penularan penyakit melalui udara ataupun“droplet” akan lebih cepat terjadi (Rianda, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanropie dkk (1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, di mana bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi seperti TB Paru, maka akan mudah menular kepada anggota keluarga lain (Suyono, 2005).

b. Ventilasi Rumah

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen,


(62)

karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% (Depkes RI, 2001 ).

Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari dan sinar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.

829/MenKes/SK/VII/1999 bahwa ventilasi yang baik adalah 10% dari lantai rumah. Adrial (2006) yang menyebutkan bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi kurang dari 10% luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk


(63)

terjadi TB paru dengan BTA positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% dari luas lantai rumah.

Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan penghuninya. Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan aka terhirup oleh orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet

dapat dikurangi. Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru. (Depkes, 2002).

c. Suhu

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 – 34 ºC. 2). Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan.


(64)

Oksigen merupakan merupakan salah satu gas yang terlarut. Kadar oksigen yang terlarut tergantung pada suhu dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil.Peningkatan temperatur sebesar 1 oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan temperatur menggambarkan bahwa semakin tinggi temperatur, kelarutan oksigen semakin berkurang (Boyd, 1988).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapatsuatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosismerupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapiakan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Depkes RI, 2006).

2.1.14. Rumah Sehat dan Persyaratannya

Pengertian rumah sehat menurut Permenkes No 829/1999 adalah kondisifisik, kimia, biologi di dalam rumah, lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan


(65)

yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Keman, 2005).

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai be rikut :

1. Lokasi

a. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya.

b. Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang.

c. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan.

2. Kualitas udara

Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :

a. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi.

b. Debu dengan diameter kurang dari 10 µg maksimum 150 µg/m3. c. Gas SO2 maksimum 0,10 ppm.


(66)

3. Kebisingan dan getaran

a. Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A b. Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik .

4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman a. Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg b. Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg c. Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg d. Kandungan Benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg 5. Prasarana dan sarana lingkungan

a. Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan.

b. Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit.

c. Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata.

d. Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan.

e. Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan.

f. Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan.


(67)

g. Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya.

h. Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya.

i. Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.

6. Vektor penyakit

a. Indeks lalat harus memenuhi syarat. b. Indeks jentik nyamuk dibawah 5%. 7. Penghijauan

Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam.

Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut : 1. Bahan bangunan

a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, an tara lain : debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan.

b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.


(68)

2. Komponen dan penataan ruangan

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.

c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir. e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara

a. Suhu udara nyaman antara 18 – 30 oC. b. Kelembaban udara 40 – 70 %.

c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam.

d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni. e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam. f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3. 5. Ventilasi Luas


(69)

6. Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalamrumah.

7. Penyediaan air

a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari.

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

8. Sarana penyimpanan makanan

Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan Limbah

a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

10.Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.


(70)

2.1.15. Landasan Teori

Mengacu dari tinjauan teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TB paru Host, Agent, dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode Prepatogenesis maupun Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan “Segitiga

Epidemiologi TBC.”

Bagan 2.1

Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Teori Jhon Gordon, Ahmadi 2010

Host:

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

- Status Gizi

- Pengetahuan tentang TB Paru

Agent:

Mycobacterium tuberculosis

Environment :

- Kepadatan hunian

- Ventilasi

- Suhu


(1)

NO NAMA UMUR JENIS KELAMIN STATUS TB PARU

258 NIA 36 P TIDAK

259 NURDIN 21 L TIDAK

260 DAROH 50 P TIDAK

261 ADITYA 34 L TIDAK

262 CICIH 33 P TIDAK

263 YAYAT 23 L TIDAK

264 MIRA 29 P TIDAK

265 SOMIH 37 P TIDAK

266 EBET 37 P TIDAK

267 WATI 23 P YA

268 SAIDUN 49 P YA

269 KAMIL 28 L TIDAK

270 ASEHU 35 L TIDAK

271 KODAN 40 L TIDAK

272 INNAH 40 P YA

273 SELLY 22 P YA

274 LINDA 17 P TIDAK

275 YUNIDAH 29 P TIDAK

276 ISAH 44 P YA

277 FARRAZ 45 P TIDAK

278 HARINA 36 P YA

279 ROMI PERMADI 34 L TIDAK

280 ENI 20 P TIDAK

281 NIRI 56 P TIDAK

282 JAYA 52 L TIDAK

283 UMI 43 P YA

284 RATNA 30 P TIDAK

285 NIA 22 P TIDAK

286 YADI 33 L YA

287 LAMINAH 46 P YA

288 SUNANDAR 27 L TIDAK

289 EDISON 26 L YA

290 SITI AISYAH 34 P YA

291 SATI 60 P TIDAK

292 AYU 26 P TIDAK

293 LISNA 26 P TIDAK


(2)

NO NAMA UMUR JENIS KELAMIN STATUS TB PARU

295 JORASIAH 50 P TIDAK

296 NAWIYAH 39 P YA

297 RINI 26 P TIDAK

298 FANDI 51 L TIDAK

299 AMANAH 42 P TIDAK

300 MARYAMIH 44 P YA

301 NARYATI 18 P TIDAK

302 HERLINAH 36 P YA

303 SRI 19 P TIDAK

304 SAPIIH 32 P TIDAK

305 MULYATI 30 P YA

306 KOYOM 50 P TIDAK

307 SANDI 34 P TIDAK

308 DANISIH 39 P TIDAK

309 YUSUF 30 L YA

310 RAMLAN 45 L TIDAK

311 HELMI 27 P TIDAK

312 SISKA 37 P TIDAK

313 DINA 22 P TIDAK

314 IRA 21 P TIDAK

315 RINA 37 P TIDAK

316 ROHANI 60 P YA

317 NAWI 52 P YA

318 YORDAN 42 L TIDAK

319 DORI 60 P TIDAK

320 ROSDIANA 49 P TIDAK

321 DEWI S 33 P TIDAK

322 AYU NILAWATI 26 P TIDAK

323 AAN 40 L TIDAK

324 USUP 49 L TIDAK

325 YANI 27 P TIDAK

326 MAIMUNAH 16 P TIDAK

327 JAMRONI 35 L TIDAK

328 FENTI 23 P TIDAK

329 MULYADI 24 L TIDAK

330 DWI SULRIANA 19 P TIDAK


(3)

NO NAMA UMUR JENIS KELAMIN STATUS TB PARU

332 ALFIAH 17 P TIDAK

333 ROFIQOH 33 P TIDAK

334 FITRI 22 P YA

335 SUKIRNO 47 L TIDAK

336 YANTO 31 L YA

337 RODIYAH 29 P YA

338 SAEFUL 19 L TIDAK

339 KARYATI 20 P YA

340 ABDUL KHODIR 24 L TIDAK

341 MARIAH 32 P TIDAK

342 SUGINEM 33 P YA

343 LILIS 30 P TIDAK

344 SUDARMA 25 L TIDAK

345 DIDI 38 P TIDAK

346 SUSANTI 25 P TIDAK

347 RIKA 36 P YA

348 SULIMIN 45 L TIDAK

349 SAODAH 43 P TIDAK

350 EEL LESTARI 21 P TIDAK


(4)

DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER

Foto pada saat proses wawancara


(5)

Foto pada saat pengukuran


(6)

Foto Kondisi Rumah Responden


Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

2 70 160

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 6 129

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU PENGELOLA PROGRAM TB PUSKESMAS DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TB Hubungan Antara Karakteristik Individu Pengelola Program Tb Puskesmas Dengan Penemuan Kasus Tb Di Kabupaten Boyolali.

1 3 16

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN PRAKTIK PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU (STUDI PADA PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS TAMBAK AJI SEMARANG 2008-2010) - UDiNus Repository

0 0 2

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 3 16

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 4 2

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

4 7 9

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

3 10 23

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 1 3

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 31