yang baik bagi perkembangan kuman patogen. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 10 dari
luas lantai Simbolon, 2007.
6.3.3 Suhu
Suhu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah temperatur dalam ruangan tempat responden sering menghabiskan waktunya, yang diukur secara
langsung menggunakan alat pengukur suhu dengan pengukuran sewaktu. Suhu dikelompokan atas dua kategorik yaitu tidak memenuhi syarat dan memenuhi
syarat. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang suhu ruangan memenuhi syarat lebih banyak 67,7 dibandingkan dengan responden yang
suhu ruangan nya tidak memenuhi syarat 32,3. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara keadaan suhu ruangan rumah
dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami oleh responden yang suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat yaitu
sebesar 42,9. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 31,8 responden yang memiliki suhu ruangan yang memenuhi syarat. Hasil uji statistik
menunjukkan p value sebesar 0,417 yang artinya tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian TB paru.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fatimah 2008 yang menyatakan suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian TB
paru dimana seseorang yang tinggal di dalam rumah dengan suhu udara tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,674 kali lebih besar untuk menderitaTB
Paru dibanding seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu memenuhi syarat.
Serta penelitian yag dilakukan Ruswanto 2010 menunjukkan bahwa suhu ruangan dalam rumah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru dan berisiko 2,93 kali lebih besar pada suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat dibandingkan rumah dengan suhu ruangan
memenuhi syarat. Meskipun pada penelitian ini suhu tidak memiliki hubungan dengan
kejadian TB Paru, suhu tetap memiliki peran dalam penularan TB Paru. Menurut Gould dan Brooker 2003, bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentang
suhu yang disukai, tetapi pada rentang suhu ini terdapat suatu suhu optimum yang memungkinkan mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa
merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40º C,
tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 – 37 º C.
Menurut peneliti, tidak adanya hubungan suhu dengan kejadian TB Paru dikarenakan terjadi homogenitas atau proporsi kejadian TB paru antara suhu
memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat memiliki sebaran yang hampir sama. Selain itu peneliti berpendapat bahwa jumlah responden yang memiliki
suhu memenuhi syarat lebih banyak dibandingkan yang tidak memenuhi syarat dikarenakan pada saat melakukan pengukuran kondisi cuaca dilapangan sedang
musim hujan sehingga mempengaruhi kecepatan angin yang dapat berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Asumsi lain dari peneliti tidak adanya hubungan dari
variabel suhu dikarenakan pengkuruan dilakukan tanpa berpatokan dengan waktu dan hanya dilakukan satu kali pengukuran sehingga hasil pengukuran yang
didapat bisa jadi tidak valid atau homogen. Sedangkan menurut teori pengukuran yang baik tidak hanya dilakukan hanya satu kali pengukuran atau sewaktu,
karena suhu di pagi hari berbeda dengan suhu pada siang hari dan juga pada malam hari.
Menurut Subaid 2002 Faktor meteorologis yang memegang peran dalam proses peningkatan atau penurunan suhu adalah faktor angin kecepatan
dan arah, turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula faktor- faktor meteorologi sekunder yang mempengaruhinya, antara lain hujan, kabut
dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorology mempengaruhi konsentrasi suhu pada suatu lingkungan tertentu.
98
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Gambaran kejadian TB paru di Puskesmas Pondok Pucung-Tagerang Selatan tahun 2013, didapatkan dari 65 responden penelitian yang mengalami kejadian TB paru
sebanyak 23 orang 35,4 sedangkan 42 orang 64,6 tidak mengalami kejadian TB Paru.
2. Gambaran karakteristik individu Jenis kelamin, pendidikan, status gizi, dan pengetahuan pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung adalah
sebagai berikut : a. Responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak 39 orang 60 dari
pada laki-laki yang hanya 26 orang 40. b. Responden yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak 39 orang 60 dari
pada pendidikan tinggi yang hanya 26 orang 40. c. Status Gizi responden yang memiliki status gizi kurus 25 orang 38,5, status
gizi normal 36 orang 55,4 dan status gizi gemuk 4 orang 6,2. d. Responden yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak 39 orang 60
dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 26 orang 40.