Analisis Semiotik Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”

(1)

TJOKROAMINOTO”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Egy Giana Setyaningsih

NIM : 1111051000141

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016 M


(2)

(3)

(4)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Juli 2016


(5)

iii Egy Giana Setyaningsih

1111051000141

Analisis Semiotik Nilai-Nilai NasionAalisme Dalam Film “Guru Bangsa

Tjokroaminoto”

Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” adalah salah satu film tokoh pahlawan nasional yang jejaknya hampir hilang di mata anak-anak bangsa. Ia adalah salah seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat, dan juga berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Semaoen, Kartosoewiryo dan Musso. Berbagai konflik yang muncul dari film ini, akhirnya memberikan aspek penandaan makna, salah satunya yaitu penandaan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto.

Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film „Guru Bangsa Tjokroaminoto’ menurut teori Roland Barthes? Bagaimana sikap nasionalisme yang tergambar dalam film „Guru Bangsa Tjokroaminoto’?

Dalam hal ini, penulis menggunakan teori analisis semiotik model Roland Barthes dengan pemaknaan dua tahap seperti denotasi dan konotasi yang nantinya akan menghasilkan mitos. Pengumpulan data dilakukan melalui intensive interview atau dengan melalui wawancara mendalam dengan produser film, melakukan observasi ke kantor MSH Films, menyelidiki benda-benda tertulis, seperti melihat beberapa buku mengenai sosok Tjokroaminoto yang kemudian mencari tanda nilai-nilai nasionalisme serta makna denotasi, konotasi dan juga mitos yang tersirat di dalamnya.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivis yang mana lebih menekankan pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan teknik sampling, yang mana teknik sampling disini adalah purposive sampling yang mana dirasa sesuai oleh penulis dengan teknik tersebut.

Hasil yang diperoleh penulis terkait penandaan nilai-nilai nasionalisme pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film ini, yaitu seperti memperjuangkan keadilan, keberanian, pengabdian, serta ketabahan, yang sudah melekat dalam dirinya semenjak ia remaja bahkan sebelum itu atas dasar agama Islam, sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negara pada tokoh Tjokroaminoto. Makna denotasinya, sosok Tjokroaminoto yang berasal dari keturunan priyai pangreh praja namun walaupun begitu ia tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda. Makna konotasinya, Semua itu dikarenakan jiwa nasionalisme dalam dirinya timbul dari semenjak ia remaja. Mitosnya, semua itu termasuk dari sikap profesionalitas untuk mensejahterakan rakyatnya dan memegang teguh amanatnya yang diberikan kepadanya sebagai seorang pemimpin.


(6)

iv

Bismillahirrahmaanirrahim

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT pemilik alam semesta, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat beserta salam, semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliyyah menuju era digital seperti saat ini. Semoga kita semua menjadi ummatnya yang taat dan mendapatkan syafaatnya sampai akhir zaman. Amin Yaa Rabbal Alamiin.

Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT, dan alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, MA, selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Dan Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, juga selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak memberikan waktu, motivasi, serta do’a kepada penulis.

2. Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Drs. Masran, MA., dan Sekretaris Prodi Fita Fathurokhmah, M.Si, yang sudah membantu atas berjalannya skripsi, juga Rachmat Baihaky, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.


(7)

v

4. Segenap karyawan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orangtuaku tercinta, Bpk. Tugino dan Ibu Siti Nuraeni yang sudah memberikan motivasi yang tidak ada hentinya kepada penulis berupa do’a, moril dan materil, beserta adikku Deny Ahmad Gusti yang juga sudah memberikan motivasinya untuk penulis. Dan seluruh keluarga besar beserta sanak saudara penulis yang juga telah membantu atas berjalannya skripsi.

6. Sutradara, Produser khususnya kak Nayaka Untara beserta Kru dan staff Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto salah satunya yaitu ustadz Willy selaku cicit dari Tjokroaminoto, Bpk. Aji Dedi Mulawarman selaku penulis buku Jang Oetama, seluruh staff Dewan Pengurus Pusat Sarekat Islam ( DPP SI ) khususnya Bpk. Asep, seluruh staff Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia ( PB PMI ) khususnya Bpk. Evick Budianto selaku Wakil Sekjend, dan Bpk H. Muclis Zamzami Can, Annadwi, MA selaku ketua 1 PB PMI.

7. Para Sahabat juga teman-teman KPI E angkatan 2011: Siti A’malina, Laily Rahmawati, Ira Asri beserta suami, Salma,Tria Malida, Suci Kurnia Kasih, Naziah Ismi Aulia, Rifka O, Devi, Wulantari, Putri Rizki, Fatma H, Putri A, Budi, Marthoni, Rizki A. Rosman, Egie Permadi, Asep .A, A. Affandi, Wisnu, Widya R, Devi P.

8. M. Rizki Arif, Sihabuddin dan yang telah menemani dan meminjamkan leptopnya untuk membantu penulis menyusun skripsi BAB demi BAB.


(8)

vi

10. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Banten ( HMB ) angkatan 2011, Keluarga besar Radio Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( 107,9 RDK fm UIN JKT ) angkatan 2012 khususnya, teman-teman KKN Ricks 2014, teman-teman Himpunan Keluarga Besar Alumni Daarul Falah ( Hikada ) khususnya angkatan 019 yang selalu memberikan arahan terbaik untuk penulis, seluruh staff dan anggota Baitul Maal Hidayatullah Jakarta ( BMH ) yang telah memberikan penulis beasiswa selama hampir 2 tahun dan sama-sama telah berusaha menjadi tim yang profesional, serta tidak lupa pula Keluarga Besar Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE UIN Jakarta) dan beserta seluruh donatur yang telah memberikan motivasinya dalam bentuk pelatihan-pelatihan kepemimpinan juga sejumlah dana beasiswa kepada penulis selama setahun terakhir, sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai akhir.

Dan tentunya semua pihak yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu di dalam lembaran ini. Semoga bantuan yang telah kalian berikan kepada penulis bisa dibalas suatu saat nanti oleh sang Maha Pemberi Balasan, Allah SWT.

Jazaakumullahu Khairan. Amin.

Jakarta, 29 Juli 2016


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian... 8

2. Pendekatan Penelitian... 9

3. Metode... 9

4. Obyek Dan Subyek Penelitian... 10

5. Teknik Dan Pengumpulan Data ... 10

6. Teknik Analsis Data ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Semiotika ... 15

B. Teori Roland Barthes ... 16

1. Makna Denotatif ... 18

2. Makna Konotatif ... 19

3. Makna Mitos ... 21

C. Pengertian Film ... 24

1. Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film ... 26

2. Unsur-Unsur Dalam Film ... 28

D. Pengertian Guru ... 31

1. Tugas Profesional ... 32

2. Tugas Manusiawi ... 32

3. Tugas kemasyarakatan ... 32

E. Pengertian Nasionalisme ... 34

BAB III GAMBARAN UMUM FILM “GURU BANGSA : TJOKROAMINOTO” A. Lahirnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota ... 42

B. Gelar “Guru Bangsa” Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ... 43

C. Sinopsis Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ... 45

D. Penghargaan Film... 46


(10)

viii BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”

1. Fase Tjokro Remaja

Scene 1... 62 2. Fase Tjokro Beranjak Remaja

Scene 2... 66

Scene 3... 66 3. Fase Tjokro Pertengahan Dewasa

Scene 4... 69

Scene 5... 72

Scene 6... 73 B. Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Film “Guru Bangsa

Tjokroaminoto”. ... 62 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN


(11)

ix

Tabel 2 Silsilah Keluarga Tjokro... 40

Tabel 3 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 1... 63

Tabel 4 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 2... 66

Tabel 5 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 3... 66

Tabel 6 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 4... 70

Tabel 7 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 5... 72


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak akhir tahun „90an, sineas-sineas dalam negeri mulai bermunculan dengan kemampuan produksi film yang berkualitas dan dapat diterima sangat baik oleh masyarakat lokal maupun non lokal khususnya di Indonesia sendiri, sebut saja seperti Garin Nugraha. Film-film yang sudah diproduksi olehnya bisa dikatakan sukses dalam penjualannya. Diantara film-film terakhir yang dirilis pada tahun 2015 lalu, yang paling banyak menarik minat masyarakat adalah film yang bernuansa nasionalime, yaitu “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Film ini menceritakan tentang salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu “H.O.S Tjokroaminoto” karya Garin Nugraha, dan bisa dikatakan film ini cukup banyak mendapatkan simpatik dan pujian dari masyarakat. Sampai pada akhirnya film ini pun dapat memenangkan banyak piala award, yaitu terpilih sebagai “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) 20151, pemenang piala Maya 2015, kemudian menjadi pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 20152, dan yang terakhir mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI

1

Daftar Pemenang Festival Film Bandung”, Artikel diakses pada tanggal 13 Septenber 2015 pkl. 05.30 wib. http://bintang.com/read/daftar-pemenang-festival-film-bandung-2015

2

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto Menjadi Pemenang Festival Film Indonesia”, Artikel diakses

pada tanggal 23/11/2015 pkl. 21.10 wib. http://showbiz.liputan6.com/read/2373307/daftar-pemenang-festival-film-indonesia-2015


(13)

(Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)3.

Beberapa film nasionalisme yang ditayangkan di Indonesia biasanya menceritakan tentang perjalanan seorang tokoh yang berjuang ketika kemerdekaan atau pasca kemerdekaan. Film ini adalah satu-satunya yang menggambarkan tentang perjuangan seorang tokoh besar yang sering disebut-sebut sebagai “Guru Bangsa”, yang memperjuangkan hak hidup rakyat, wilayah dan negaranya serta menjadi mentor untuk para pejuang muda yang nantinya menjadi peletak dasar negara Indonesia, dengan landasan perjuangannya yaitu agama Islam juga untuk mengusir penjajah, jauh sebelum kemerdekaan.

Tokoh seorang Tjokroaminoto sendiri mungkin sudah sering kita dengar namanya di dalam buku sejarah dulu ketika duduk di bangku sekolah tingkat dasar dan menengah. Tak banyak orang yang tahu dan bahkan tidak mau tahu, bagaimana sebenarnya kehidupan seorang tokoh nomor satu ini yang hidup jauh sebelum kemerdekaan di kota Yogyakarta. Ia mampu memperjuangkan hak hidup rakyat Jawa, wilayah bahkan negaranya atas pemikiran dan sikapnya yang nasionalis serta agamis. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan, ketika ia menjadi salah satu narasumber dalam sebuah program talkshow “Mata Najwa”, ia mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto adalah salah satu figur yang menyengat dan siapapun yang tersengat itu, sengatannya positif”4. Karna itulah Tjokroaminoto mampu menyengat para muridnya yang juga sempat menjadi salah satu bagian dari tokoh kemerdekaan RI, sebut saja seperti Soekarno, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo. Sehingga, Tjokroaminoto

3

Penghargaan Usmar Ismal Award : Film Guru Bangsa Tjokroaminoto”, Artikel diakses pada

tanggal 25 Maret 2016 pkl. 17.00 wib. http://berita.suaramerdeka.com/entertainment/usmar-ismail-awards-2016-7-film-dan-unsur-unsur-unggulan-uia-2016/

4

Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto”, dalam Program Mata Najwa edisi 8 April 2015 pkl.20.00 wib.


(14)

dijuluki sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota” serta“Guru Bangsa”, yaitu guru dari beberapa pemuda hebat yang telah menjadi tokoh-tokoh besar Indonesia dengan berbagai ideologi yang berbeda.

Film ini merupakan biopik dari salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu HOS Tjokroaminoto. Setelah keluar dari sistem tanam paksa di akhir tahun 1800-an, Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang memengaruhi kehidupan rakyatnya. Ia menjadi satu-satunya orang yang paling diharapkan untuk menjadi pemimpin dan menjadi peletak identitas bangsa. Bagaimana seorang Tjokroaminoto menghadapi berbagai rangkaian tragedi yang mengatasnamakan “Hijrah”, serta bagaimana sepak terjang Tjokroaminoto tidak hanya sebagai politikus yang mana ia menerapkan politik non cooperatif di dalam Sarekat Islam yang ia pimpin terhadap pemerintahan Belanda dan orang-orang yang tidak sepaham dengannya, tetapi juga sebagai seorang seniman. Di dalamnya juga mengandung banyak nilai-nilai nasionalisme, dan banyak hal yang bisa masyarakat temukan dalam film tersebut, antara lain nilai-nilai ajaran agama Islam, unsur sejarah, hubungan sosial dan budaya, juga tentunya pendidikan.

Menurut salah satu pemain sekaligus sutradara dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, Christine Hakim mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan karena sosok Tjokroaminoto yang saat ini sudah mulai dilupakan bahkan nyaris tak dikenal oleh generasi muda masa kini. Padahal menurut aktor “Pasir Berbisik” itu, Tjokroaminoto adalah seorang guru bagi tokoh-tokoh Indonesia yang berperan dalam meraih kemerdekaan bangsa. Ia juga mengatakan bahwa, tokoh-tokoh muda yang merupakan agent of change (agen perubahan), tak banyak tahu soal siapa HOS Tjokroaminoto dan ia berharap semoga jalan cerita film ini bisa


(15)

menjadi inspirasi bagi para generasi muda saat ini5.

Tidak sedikit masyarakat saat ini khususnya pelajar, justru lebih menikmati pelajaran sejarahnya jika dibuatkan menjadi sebuah gambar yang hidup atau sebuah film, karena di saat itulah penonton akan menikmati dan berimajinasi tentang film tersebut dengan gambaran yang jelas, walaupun setiap gambar yang disajikan belum tentu semuanya dapat dianggap benar jika dibandingkan dengan membaca buku sejarahnya, yang tentunya akan membuat para pembacanya akan merasa kantuk dan juga bosan.

Film bergenre drama-biopik ini mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan seperti pelajar, mahasiswa, dan juga guru yang ditunjukkan langsung dengan menyelenggarakan nonton bareng (NOBAR) di beberapa sekolah dari berbagai daerah serta Pameran Tingkat Nasional, seperti pada awal sampai akhir bulan Mei 2015 lalu di Museum Pahlawan Nasional Jakarta. Apresiasi positif juga didapat dari sebagian tokoh-tokoh besar di Indonesia. Tak terkecuali, Wakil Presiden Indonesia (Wapres) M. Jusuf Kalla mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto pemimpin bangsa yang hebat. Hal ini karena sosok Tjokroaminoto yang dapat memberikan nilai positif, karena itu film biopik ini mampu memberikan nilai-nilai tauladan dari sosok Tjokroaminoto kepada masyarakat Indonesia”6.

Semua ini dapat menjadi tolak ukur awal bahwa, film Guru Bangsa Tjokroaminoto dapat menjangkau banyak segmen sosial sehingga ia memiliki potensi besar untuk memengaruhi khalayaknya, karena hakikat makna film sendiri

5

Pemeran Film Tjokroaminoto Komentar Mengenai Industri Perfilman Indonesia,” Edisi 24 April 2015 Artikel diakses Pada Hari Jum’at, Tgl 24 April 2015 Pkl. 19.02 Wib Dari Http://M.Wowkeren.Com/Berita/Tampil/0069115.Html

6

Film Guru Bangsa Tjkroaminoto Dipuji Wapres Jusuf Kalla”,

Http://Lifestyle.Sindonews.Com/Read/992949/158/Film-Guru-Bangsa-Tjokroaminoto-Dipuji-Wapres-Jusuf-Kalla-1429761450 Artikel diakses Pada Tanggal 2 Mei 2015 Pkl. 13.40


(16)

adalah selain berfungsi sebagai hiburan, juga perpanjangan dari pemikiran dan ideologi pembuatnya. Selain itu, film juga memiliki kelebihan dalam memengaruhi penontonnya, seperti menimbulkan emosi penonton, sehingga penonton seakan-akan terlibat dalam film tersebut, dan lain sebagainya7. Maka dari itu, film ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi dari sosok guru bangsa Tjokroaminoto terhadap masyarakat yang menontonnya, dan juga bisa memberikan gambaran keadaan pulau jawa yang dijajah oleh kolonial Belanda pada saat itu khususnya kota Yogyakarta.

Dari latar belakang tersebut, penulis memutuskan untuk memahami penandaan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto lebih mendalam dengan melakukan kajian analisis semiotik, yaitu menggunakan teori Roland Barthes yang mana mengkaji tentang makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film “Guru Bangsa

Tjokroaminoto”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberikan arahan yang tepat dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah dengan mengambil beberapa potongan adegan dan teks yang berhubungan dengan sikap nasionalisme dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ khususnya pada alur cerita di tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, alur cerita pada tiga tahun tersebut dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya,

7

Elita Primasari Hananta, “Konten Kekearasan Dalam Film Indonesia Anak Terlaris Tahun 200


(17)

fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya, yaitu ketika ia remaja hingga beranjak dewasa.

Berdasarkan batasan diatas, maka penulis merumuskan permasalahannya yaitu sebagai berikut :

1) Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ menurut teori semiotika Roland Barthes?

2) Bagaimana penandaan nilai-nilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah agar penulis dapat mengetahui nilai-nilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto, yang mencakup dalam sejarah, serta pendidikan dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes, yaitu menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi serta mitos.

2. Manfaat penelitian a) Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada seluruh mahasiswa/i ilmu komunikasi dalam mengkaji semiotika, khususnya kepada penulis tentang kajian semiotika dalam film, yang mana dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes.


(18)

b) Kegunaan praktis

Agar dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan evaluasi kelebihan dan kekurangan film yang telah dibuat sebelumnya, sehingga untuk kedepannya dapat membuat serta menghasilkan banyak film-film yang lebih berkualitas tanpa harus menyinggung golongan atau kelompok-kelompok tertentu.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan semiotika, sehingga skripsi ini bisa menjadi pelengkap dari tulisan-tulisan sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut antara lain :

Skripsi “Penerapan sikap politik Non Cooperatif H.O.S Cokroaminoto dalam Sarekat Islam (1912-1934 M)” disusun oleh Titik Arum Ahadiyati mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014.

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu sama-sama meneliti pahlawan nasional Indonesia, HOS Tjokroaminoto. Namun dalam penelitian terdahulu hanya menekankan pada sikap politik non cooperatifnya saja dalam organisasi Sarekat Islam yang ia pimpin pada tahun 1912. Sedangkan dalam penelitian ini berobjektifkan film biopik terbaru HOS Tjokroaminoto yang dirilis pada tahun 2015 lalu, dan lebih menekankan pada nilai-nilai sikap nasionalismenya saja dengan menggunakan semiotik Roland Barthes.

Skripsi “Representasi Tjokroaminoto Dalam Cover Dan Suplemen Majalah Berita Tempo Edisi Kemerdekaan” disusun oleh Irvan Wiradinata mahasiswa Universitas Padjajaran pada tahun 2012.


(19)

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu sama-sama meneliti tokoh Tjokroaminoto dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes. Namun dalam penelitian yang terdahulu hanya menekankan pada makna yang terkandung dalam karikatur tokoh Tjokroaminoto pada sampul dari majalah Tempo. Sedangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada nilai nasionalismenya saja yang tergambar dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang penulis terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan penulis terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana penulis memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian8.

Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma kontruktivis ini lebih menekankan pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus. Paradigma ini memandang komunikasi sebagai suatu proses produksi dan pertukaran makna. Dua hal yang menjadi karakteristik penting dari paradigma ini adalah politik pemaknaan dan proses seseorang membuat gambaran tentang realitas dan komunikasi sebagai sebuah kegiatan yang dinamis9. Dengan paradigma ini, penulis ingin mengetahui bagaimana nilai-nilai nasionalisme

8

Pengertian Paradigma Penelitian Kualitatif, http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/pengertian-masalah-variabel-paradigma-penelitian/ Artikel Diakses Pada Tanggal 22 September 2016 pkl. 20.00 wib

9


(20)

yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditunjukkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, mencakup deskripsi dalam konteks yang mendetail disertai catatan hasil wawancara mendalam, serta hasil analisis dokumen.

Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik sampling, yang mana teknik sampling disini adalah

purposive sampling. Jenis penelitian ini menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya10. Adapun pertimbangan penelitian sampel bukan berdasarkan pada aspek keterwakilan populasi di dalam sampel. Pertimbangannya lebih pada kemampuan sampel (informan) untuk memasok informasi selengkap mungkin kepada penulis.

3. Metode

Dalam hal ini, untuk mengkaji tanda nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu pada teori Roland Barthes, dimana penulis merasa sesuai dengan bentuk penelitian ini. Dengan

10

Basrowi Sudikin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif mikro, (Surabaya : Penerbit Insan Cendikia, 2002)h.32


(21)

pemaknaan dua tahap seperti konotasi, denotasi yang nantinya akan menghasilkan mitos yang digunakan oleh Roland Barthes dalam teori semiotiknya. Ia menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Dengan demikian makna dalam tataran mitos dapat diungkap sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen mitosnya.

Penulis akan mengidentifikasi enam scene sajayang berkaitan dengan rumusan masalah yang ingin diteliti. Tidak semua scene dalam film ini diteliti, dikarenakan agar analisis yang ada, sesuai dengan fokus penelitian. Dari enam scene tersebut, penulis menemukan penandaan sikap nasionalisme yang terkandung dalam film, khususnya pada alur cerita tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, pada tiga tahun tersebut dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya, fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya, yaitu fase ketika Tjokro remaja sampai ia beranjak dewasa. 4. Objek Dan Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“, dan objeknya adalah potongan-potongan gambar (scene)

atau visual beserta teksnya yang terdapat dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ juga yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.


(22)

5. Teknik Pengumpulan Data 1) Observasi

Observasi adalah Cara atau metode penghimpunan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Difokuskan sebagai upaya penulis mengumpulkan data dan informasi dengan mengoptimalkan pengamatan penulis. Observasi dilakukan dengan mengunjungi kantor production house

MSH Films di jakarta.

2) Wawancara Mendalam

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah intensive-interview atau wawancara mendalam dari satu responden bergulir ke responden lain yang memenuhi kriteria sampai mengalami titik jenuh. Tehnik pengambilan data pada penelitian ini melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan dan tulisan kepada informan. Penulis mewawancarai pihak yang mengetahui film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, yaitu salah satunya adalah produser film tersebut.

3) Dokumentasi

Teknik pengumpulan data sekunder dimana penulis menyelidiki benda-benda tertulis, seperti melihat beberapa buku mengenai sosok Tjokroaminoto yang kemudian menganalisis tiap scene-scene dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.


(23)

Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, dan penulis mengamati langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrument penelitiannya adalah11

:

a) Data primer (data yang diperoleh langsung dari sumbernya), berupa dokumen elektronik seperti Softcopy film “Guru Bangsa

Tjokroaminoto“ dengan teks bahasa Indonesia.

b) Data sekunder (data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya), berupa dokumen tertulis, yaitu seperti resensi film ”Guru Bangsa Tjokroaminoto“ baik dari majalah, artikel di internet, jurnal komunikasi, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisa yang diperoleh melalui proses observasi langsung terhadap obyek yang diteliti untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan studi pustaka yang tidak memungkinkan untuk menggunakan pengukuran secara numerik atau analisis kuantitatif12

.

Langkah langkah dalam teknik analisis data adalah : 1) Reduksi Data.

Reduksi data adalah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan

11

Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, ( Bandung : Alfabeta, 2010), h. 19.

12

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktek, (Jakarta : Bumi Aksara, 2013), hal. 143


(24)

mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab, supaya dapat disederhanakan dan akhirnya dapat dipahami dengan mudah juga untuk memastikan bahwa data yang diolah masuk dalam cakupan penelitian13.

2) Penyajian Data.

Dalam penelitian ini, penulis mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang lazim digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk teks naratif.

3) Penarikan Kesimpulan.

Setelah data-data terangkum dan dijabarkan, penulis akan membuat kesimpulan yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membaginya menjadi 5 (lima) bab, dan masing-masing bab akan dibagi-bagi menjadi sub-sub bab, yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan dibahas dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

13


(25)

BAB II Tinjauan Teoritis.

Terdiri dari definisi dan konsep semiotika, penjelasan tentang teori Roland Barthes yang terdiri dari makna konotasi, denotasi dan mitos, definisi dan konsep film serta unsur-unsur dasarnya, pengertian guru, juga definisi dan konsep nasionalisme.

BAB III Gambaran Umum Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“.

Berisi tentang lahirnya sang “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, Gelar “Guru Bangsa” dalam film, sinopsis film, penghargaan film, profil tentang sutradara & karya-karyanya beserta pemeran dan kru dalam film.

BAB IV Hasil Penelitian

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang terdiri dari makna denotasi, konotasi dan mitos dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, dan nilai-nilai nasionalisme dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.

BAB V Penutup.

Pada bab ini, berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan tentang hasil penelitian yang sudah diteliti.


(26)

15

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Semiotika

Istilah manakah yang lebih disukai, semiotika atau semiologi;

semiotics/semiology? Yang jelas kata semiotika disamping kata semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiology, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja. Satu satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di eropa, sedangkan semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa inggris1

.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified)2

. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

1

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet-1, 2003), h. 12.

2

Sarjinah Zamzamah, Semiotika dalam Berhala, dalam Tonil-Kajian Sastra, Teater dan Sinema


(27)

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, dalam hal mana objek-objek itu berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda3

.

Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Tanda pada saat itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain4. Manfaat semiotika itu sangat besar melampaui sekedar penjelasan tentang suatu bahasa. Menurut Alo Liliweri dalam bukunya menyatakan bahwa semiotika menjadi sangat penting untuk dipelajari karena sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai makna seperti model pakaian, teks atau suara iklan, genre budaya populer di TV dan film, tampilan musik, wacana politik, hingga segala bentuk tulisan dan pidato5.

B. Teori Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic dan semiology saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen penerapan srukturalisme dan semiotika pada studi sastra6

. Roland Barthes merupakan orang yang pertama kali menyusun model sistematis untuk menganalisa negosiasi dan gagasan makna interaktif7

.

3

Paul Cobley dan Litza Jansz, “Mengenal SemiotikaFor Beginner”, (Bandung : Mizan, 2002) h.21

4

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009) h.11

5

Alo Liliweri, komunikasi : Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana, 2011) h. 346

6

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet-1, h. 63 7


(28)

Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah protestan di Cherbourgh dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang meninggal di sebuah pertempuran di laut utara, sebelum usia Barthes genap mencapai satu tahun. Kemudian ia diasuh oleh ibu, kakek dan neneknya. Ketika ia didera penyakit TBC antara tahun 1943 – 1947, masa-masa istirahatnya ia gunakan untuk banyak membaca banyak hal. Sampai akhirnya ia menerbitkan sebuah artikel tentang Andre Guide. Setahun kemudian, ia kembali ke paris dan masuk universitas sarbonne dengan mengambil studi bahasa latin, sastra perancis dan klasik (Yunani dan Romawi).

Barthes telah menulis banyak buku, diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Buku Barthes lain yang banyak mendapat sorotan adalah Mythologies (mitologi-mitologi).

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka setiap pesan DKV merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna).

Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya


(29)

berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.

1. Makna Denotatif

Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif bukanlah sesuatu yang bisa dipastikan dengan tepat. Makna ini adalah generalisasi8

. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia makna ini berkaitan dengan konotasi, yaitu bermakna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif9

.

Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda10

. Dengan demikian, jika kita memperhatikan sebuah objek misalnya tokoh pahlawan nasional yaitu Tjokroaminoto, maka makna denotasi yang terkandung adalah “seorang pria jawa yang selalu memakai belangkon / peci (kopiah) berwarna hitam, baju beskap (yaitu baju jas pendek, berleher tinggi, berlengan panjang, kancingnya diatas dan disisi sebelah kiri)11

, sarung bermotif batik, serta memiliki bentuk kumis yang panjang dan agak sedikit melengkung”.

8

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto

“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.43

9

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 611

10

Eriyanto, “Laki-Laki Sebagai Korban Dalam Perkawinan Poligami : Analisis Semiotika Film

Ayat-Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo,” Jurnal Ilmu Komunikasi vol.1 No.1 (Juli 2013) : hal. 94

11

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h.149


(30)

Pada tahapan ini hanya informasi data saja yang disampaikan, karena makna denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu, tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut12

.

Penanda dan petanda pada tingkat denotasi ini kemudian menjadi satu dan membentuk penanda tersendiri yang kemudian dimaknai pada tingkat kedua yaitu konotasi. Barthes pun menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Berikut penjelasannya tentang konotasi.

2. Makna Konotatif

Kata konotasi berasal dari bahasa latin yaitu connotare, “menjadi tanda” dan

mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional13

.

Konotasi juga bisa diartikan sebagai mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks-teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni. Dan tentu saja, semua teks dan genre media massa didasarkan atas konotasi, karena semuanya dirancang untuk membangkitkan makna yang signifikan secara budaya14

. Konotasi itu cukup kuat karena membangkitkan perasaan dan persepsi tentang segala sesuatu. Seperti yang dikemukakan oleh filsuf Amerika Serikat, Susanne Langer di dalam karangannya yang diterbitkan pada tahun 1948, menyatakan bahwa “bentuk-bentuk artistik memiliki kekuatan

12

Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurut-Barthes.html/m=1

13

Arthur Asa Berger, Teknik-Teknik Analisis Media, Diterjemahkan Oleh Setio Budi HH (Yogyakarta : Percetakan Universitas Atma Jaya, 2000) hal. 31

14

Sherman Zein, "Kajian Etnografi Dalam Mengungkapkan Simbol Budaya Dan Maknanya di masyarakat", Journal of Advanced Communication Exposure Vol.1, No.1, Februari 2011. h 148


(31)

tertentu karena kita “merasa” bahwa mereka memiliki banyak hal yang bisa dikatakan kepada kita, jauh lebih banyak daripada yang kelihatan pertama kali secara sekilas”15

.

Konotasi adalah pengembangan segi petanda oleh pemakai tanda sesuai sudut pandangnya. Makna konotatif akan sedikit berbeda dengan makna denotatif dan akan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat didalam pembungkusnya tentang makna yang terkandung didalamnya, kemudian dihubungkan dengan kebudayaan dan gambaran yang akan dipancarkan serta akibat yang akan ditimbulkan, dan lain sebagainya16

. Makna tersebut jika dihubungkan dengan tokoh Tjokroaminoto diatas, maka tentunya akan dihubungkan dengan kebudayaan jawa, karena tokoh Tjokroaminoto sendiri berasal dari tanah jawa.

Misalnya seperti, tokoh ini menggambarkan sosok yang terlihat gagah berani, pintar, juga cerdik. Walaupun ia seorang yang lahir dari keturunan priyai jawa yang lekat dengan kesantunan, namun ia tetap tegas menanggapi segala permasalahan yang ada. Ia tetap terlihat seperti priyai jawa pada umumnya namun agak sedikit terlihat menyamai tampilan dirinya dengan tampilan penjajah Belanda seperti, mengenakan baju beskap dipadukan dengan sarung yang bermotif batik juga tampilan bentuk kumisnya yang panjang dan sedikit melengkung, inilah bentuk perlawanannya terhadap penjajah yang terlihat jelas dari tampilan fashion statement nya yaitu pakaian yang ia kenakan pada masa itu. Ia berani melawan dan mampu memberontak para penjajah Belanda dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdik. Nama partai nya memang sarekat islam,

15

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung : Rosdakarya, 2006) hal. 95

16

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,


(32)

namun Tjokroaminoto sendiri tidak pernah memakai sorban seperti kebanyakan ummat muslim lainnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang muslim, contoh salah satunya yaitu pangeran Diponegoro, orang-orang sekitarnya pun memakai sorban, namun ia tetap memakai peci (kopiah). Ini juga merupakan bentuk nasionalisme yang tergambar dari sosok Tjokroaminoto.

1. Makna Mitos

Seperti yang dikatakan oleh Barthes, tema-tema yang ada di dalam berbagai dongeng paling awal yang dimiliki manusia dikenal dengan nama mitos, terus merasuk ke dalam dan menjadi sumber informasi kegiatan pendongengan di dalam budaya pop17

. Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tetapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang pohon tersebut18

. Artinya, ketika seseorang menjelaskan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon mempunyai makna yang luas, psikologi, sakral, pelestarian dan sebagainya. Dalam artian, pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang

17

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto

“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.55

18

A.V. Zoest, Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. (Jakarta: Yayasan Sumber Agung).


(33)

mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada objek murni.

Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda (signified), dan petanda (signified), dan kemudian bertautan kembali dengan istilah sign. Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan penanda dan petanda, bunga dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah tanda. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, dapat dilihat bagan di bawah ini :

1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda)

3. Sign (tanda)

Kajian mitos yang paling populer di abad ke-20 adalah kajian yang dilakukan oleh akademisi Amerika Joseph Campbell (1904-1987). Dalam bukunya yang sangat laris, Campbell menggabungkan pandangan psikologi jungian dan linguistik untuk memformulakan suatu teori umum mengenai asal – usul, pengembangan, dan kesatuan seluruh budaya manusia. Jika seseorang mendengar guntur di langit, dan dia kurang memahami akan “guntur”, maka guntur dapat dijelaskan sebagai suara dewa yang sedang marah; jika hujan, maka hal tersebut dapat dijelaskan sebagai air mata dewa dan sebagainya. Suatu mitos adalah penceritaan akan peristiwa-peristiwa semacam itu19

.

19

Marcel Danesi, Pesan, Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Komunikasi, (Yogyakarta : Jalasutra, 2012), h. 173


(34)

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, a historis, dan irasional, tetapi tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speak

(tipe wicara atau gaya bicara) seseorang, dan digunakan seseorang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos memiliki empat ciri

20

:

a) Distorsif, hubungan antara form dan konsep bersifat distorsif dan deformatif. konsep mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.

b) Intensional, mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. c) Statement of facts, mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita

menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.

d) Motivasional, menurut Barthes bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.

Jika konotasi sudah menguasai masyarakat maka akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian sehari-hari menjadi “wajar”, padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang mantap di tengah masyarakat21

. Jika dihubungkan dengan tokoh Tjokroaminoto diatas adalah julukannya yang

20

Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurut-Barthes.html/m=1

21

Renata Pertiwi Isadi, “Bushido Pada Perempuan Jepang : Memaknai Nilai-Nilai Bushido pada Perempuan jepang dalam Film Rurouni Kenshin,” Communication V, no. 2 (Oktober 2014) : hal. 89


(35)

diberikan oleh rakyat jawa pada masa itu yaitu „raja jawa tanpa mahkota’, sampai akhirnya terdengar hingga ke pelosok-pelosok kota. Sebutan tersebut bermula dari konotasi yang beredar kuat sehingga menguasai ideologi masyarakat jawa pada masa itu kemudian menjadi mitos, yaitu anggapan masyarakat yang memandang tokoh Tjokroaminoto terlihat sangat gagah, pemberani juga cerdik melawan penjajah Belanda dengan ideologi-ideologinya. Hanya Tjokro yang berani melawan dan memberontak Belanda hingga masyarakat merasa dilindungi dan diayomi oleh sosok pahlawan di tanah jawa yaitu Tjokro. Sampai akhirnya ia dapat mencetak murid-murid yang bernyali besar dan menjadi tokoh-tokoh besar Indonesia dengan berbagai ideologi hebat yang berbeda seperti Soekarno, Semaoen, Musso dan Kartosoewiryo sehingga masyarakat menyebutnya dengan gelar „Raja jawa tanpa mahkota’. Ini semua berasal dari sikap nasionalismenya yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya.

C. Pengertian Film

Secara harfiah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia makna film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop) atau lakon (cerita) gambar hidup22

.

Film sebagai karya seni sering diartikan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Dalam hal ini unsur seni yang terdapat dan menunjang sebuah karya film adalah: seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik. Kemudian ditambah lagi dengan seni pantomin dan novel.

22 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 330


(36)

Kesemuannya merupakan pemahaman dari sebuah karya film yang terpadu dan biasa kita lihat.

Foto bergerak pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadeward Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Muybridge mengambil serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang tersambung pada kamera shutter. Prosedur Muybridge mempengaruhi para penemu di pelbagai Negara dalam mengembangkan peralatan perekam citra bergerak. Salah satu dari mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas Lumiere (1862-1954) dan saudara laki lakinya Louis Jean Lumiere (1864-1948) memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris.

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat penanda film merupakan cermin kehidupan metaforis23

.

Tiga kategori utama film adalah film fitur, film dokumentasi, dan film animasi yang secara umum dikenal sebagai film kartun. Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap pra produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh.

1. Film dokumenter merupakan film non fiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan,

23

Suwarno, "Representasi Makna Visual Poster Film Religius (Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa), Jurnal CommunicationV, No.2, Oktober 2014.


(37)

langsung pada kamera atau pewawancara. Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur.

2. Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dengan serangkaian gambar benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan story board, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita24

.

1. Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film

Ada beberapa elemen dasar dari sebuah produksi program televisi, disamping sebuah teamwork sudah pasti ada perangkat system yang tidak bisa ditinggalkan seperti tata kamera, tata cahaya/lighting, tata suara/audio. Switching

dan editing, video tape recording, special effects dan lain lain25

. Teknik Dasar Pengambilan Gambar

a. ELS (Extreme long shoot)

Shot tipe ini mengambil gambar objek sangat jauh sehingga kadang objek terlihat kurang jelas. Teknik ini bertujuan untuk menunjukkan lingkungan sekitar objek dan dirancang untuk menujukkan dimana tempat tindakan diambil26

.

24

Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto

“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal. 134

25

Ciptono Setyobudi, Teknologi Broadcasting Tv, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012), Edisi 2.

26

Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto

“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002), hal.31.


(38)

b. VLS (Very long shoot)

Shot tipe ini untuk mengambil lebih dekat dengan lingkungan sekitar objek, teknik ini juga bisa memfokuskan pada satu objek seperti berada dalam jendela.

c. LS (Long shoot)

Shot tipe ini mengambil objek dalam bingkai yang penuh dari gambar kaki objek dan juga mengambil pada bagian kepala hampir pada bagian atas frame. Teknik ini agak sulit untuk dikerjakan karena dari awal sampai akhir harus selalu mengikuti pergerakan objek.

d. Full Shoot

Shot tipe ini diambil lebih padat, sehingga frame terisi objek dengan terlihat keseluruhan badannya, akan tetapi lebih padat.

e. Medium Shoot

Pengambilan gambar dengan tipe shot ini bertujuan untuk menunjukkan objek lebih detail dan juga bisa menunjukkan emosi yang ditampilkan oleh objek. Teknik ini banyak digunakan pada penyampaian berita televisi pada presenter, wartawan yang akan mewawancarai sehingga objek dengan leluasa mengeluarkan ekspresinya, gerak tangan, wajah dan lain lain.

f. Medium Close Up

Shot tipe ini mengambil gambar dari dada sampai atas kepala untuk menunjukkan ekspresi lebih jelas.

g. Close Up


(39)

Teknik ini lebih menonjolkan ekspresi wajah dari objek. Close up juga dapat digunakan sebagai teknik cut-in, dengan teknik ini penonton dapat menggambarkan atau merasakan pribadi sang objek.

Extreme Close Up.

Pengambilan gambar tipe ini sangat dekat sekali, hanya menampilkan bagian tertentu pada tubuh objek.

2. Unsur-Unsur Dalam Film

Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antara lain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film)27

.

a) Produser

Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi

27

“Sejarah Film” Artikel diakses pada hari kamis, tanggal 23 april 2015, pkl 09.15 WIB.


(40)

film28

.

b) Sutradara

Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario kedalam aktivitas produksi.

c) Penulis Skenario

Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.

d) Penata Kamera (Kameramen)

Penata kamera atau yang popular juga dengan sebutan cameraman

adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film. Karena itu, seorang

28


(41)

penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin departemen kamera.

e) Penata Artistik

Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum suatu cerita divisualisasikan kedalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tatarias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.

f) Penata Musik

Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film.

g) Editor

Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas


(42)

atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar.

h) Pengisi dan Penata Suara

Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata suara bertanggungjawab memimpin departemen suara.

i) Bintang Film (Pemeran)

Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama) dan pemeran pembantu (figuran).

D. Pengertian Guru

Pengertian guru menurut para ahli adalah merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh seseorang tanpa memiliki keahlian seorang guru. Untuk menjadi seorang guru, diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi seorang guru yang harus menguasai seluk


(43)

beluk pendidikan tentang belajar mengajar dan juga mengajar dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dikembangkan melalui masa pendidikan tersebut.

Guru juga merupakan unsur penting dalam keseluruhan sistem pendidikan. Oleh karena itu, peranan dan kedudukan guru dalam meningkatkan mutu kualitas anak didik perlu diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Dalam pendidikan, guru mempunyai tugas pokok yang dapat dilaksanakan, sebagai berikut29

: 1. Tugas Profesional

Tugas profesional ialah tugas yang berhubungan dengan profesinya. Tugas profesional ini meliputi tugas mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan hidup, atau meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan.

2. Tugas Manusiawi

Tugas manusiawi yaitu tugas sebagai manusia. Dalam hal ini, baik guru matapelajaran IPA-Biologi maupun guru mata pelajaran lainnya bertugas mewujudkan dirinya untuk merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. Selain itu, transformasi diri terhadap kenyataan di kelas atau di masyarakat perlu dibiasakan, sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru.

29

Muhtar, Pedoman Bimbingan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (jakarta : PGK & PTK Dep.Dikbud, 1992).


(44)

3. Tugas kemasyarakatan

Tugas kemasyarakatan ialah guru sebagai anggota masyarakat dan warga negara seharusnya berfungsi sebagai pencipta masa depan dan penggerak kemampuan. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penentu yang tidak mungkin dapat digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu terlebih-lebih pada masa kini.

Di samping ketiga tugas pokok guru tersebut, guru juga berperan sebagai: a) Fasilitator perkembangan siswa

b) Agen pembaharuan

c) Pengelola kegiatan proses belajar mengajar d) Pengganti orangtua di sekolah.

Guru selalu memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan akhlak buruk. Oleh karena itu, guru mempunyai kedudukan dalam agama islam. Dalam ajaran islam pendidik disamakan ulama yang sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Allah SWT berfirman : “... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah : 11)30.

Tjokroaminoto sendiri adalah seorang guru, yaitu guru dari para pendiri bangsa. Hanya saja, perannya sebagai guru sangatlah istimewa, karena Tjokro bukan hanya mengajar, tetapi ia pun mendidik, menginspirasi dan yang lebih jauh lagi yaitu menggerakkan, karena ia adalah seorang pendidik yang lengkap.

30


(45)

Pendidikanlah yang diutamakan oleh Tjokro, karena ia melihat efek nyata pada dirinya dan pada orang-orang yang bergerak bersamanya, bahwa mereka memiliki wawasan yang jauh lebih luas, ketajaman dalam membaca masalah, memiliki terobosan-terobosan, termasuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa. Tjokro menyadari bahwa keterdidikan itu bukan semata-mata untuk membuat seseorang itu meraih cita-citanya atau hidup mandiri, tetapi baginya pendidikan sebagai instrumen untuk pergerakan. Sampai pada akhirnya ia mewajibkan bersekolah hingga berumur 15 tahun kepada seluruh rakyat jawa yang memang pada masa itu anak-anak masih belajar dua tahun, karena baginya pendidikan dapat menghapus ketidakadilan, dan ketimpangan dapat dipahami lebih luas. Dalam artian, anak-anak yang terdidik ini dapat melakukannya tidak dengan kekerasan melainkan dengan ide-ide / ideologi-ideologi yang modern, sampai akhirnya mereka dapat meraih kesejahteraan.

E. Pengertian Nasionalisme

Definisi kerja nasionalisme menurut Smith dalam bukunya tentang nasionalisme yang sudah diterjemahi oleh Frans adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial31

.

Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasanya di daerahnya. Namun baru pada akhir

31

Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta : Erlangga, 2002) hal.11


(46)

abad ke-18M nasionalisme diartikan dengan kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum32

.

Kata nasional dalam nasionalisme, berasal dari kata “nation” atau bangsa,

yakni kumpulan manusia yang terikat oleh kesamaan budaya, wilayah, dan sejarah. Sedangkan menurut pengertian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; atau dengan kata lain suatu kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu, semangat kebangsaan33

.

Nasionalisme di Indonesia diawali dengan timbulnya upaya-upaya pencarian jati diri masyarakat untuk memotivasi perlawanan terhadap bangsa asing. Ciri-ciri nasionalisme sebagai berikut :

1. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa 2. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional

3. Tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat. 4. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional

5. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penyebab tumbuhnya nasionalisme :

1. Adanya tekanan penderitaan yang terus menuju, sehingga rakyat

32

Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta : Erlangga, cet-4, 1984) h.11

33

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN 9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 1.200


(47)

Indonesia harus bangkit melewati penjajah

2. Adanya rasa nasib sepenanggungan yang hidup dalam cengkeraman penjajah, sehingga tumbuh semangat bersatu membentuk negara

3. Adanya rasa kesadaran nasional harga diri, menyebabkan kehendak untuk memiliki tanah air dan hak menentukan nasib sendiri.

Para kritikus beranggapan bahwa nasionalisme lebih dari pada sekedar ideologi politik. Nasionalisme juga merupakan suatu bentuk budaya dan „agama’. Namun demikian, semua varian sependapat untuk sama-sama untuk memandang bangsa sebagai suatu bentuk „budaya politik’, yang terbuka secara prinsip bagi semua anggota komunitas atau semua warga negara dari „negara nasional’34

. Kata nasionalisme disini, semakin lama semakin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi. Meskipun nasionalisme sendiri adalah gejala zaman modern, namun beberapa watak nasionalisme sudah lama berkembang dalam zaman-zaman terdahulu35

. Akar-akar nasionalisme tumbuh di atas tanah yang sama dengan peradaban barat, yaitu dari bangsa-bangsa ibrani dan yunani purba. Kedua bangsa ini mempunyai kesadaran yang tegas, bahwa mereka itu berbeda dari bangsa-bangsa yang lainnya.

Seperti yang sudah diketahui bahwa nasionalisme menuntut penemuan kembali dan pemulihan identitas budaya bangsa yang unik, ini berarti nasionalisme menuntut agar orang kembali pada akarnya yang otentik di dalam komunitas budaya historis yang menghuni tanah air leluhurnya. Sebagai suatu

34

Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta : Erlangga,2002) hal.42

35

Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta : Erlangga, cet-4, 1984) h. 14


(48)

bentuk budaya, bangsa dari kaum nasionalis tersebut adalah bangsa yang anggotanya sadar akan kesatuan budaya dan sejarah nasional mereka. Mereka juga mengabdikan diri untuk menggali individualitas nasional mereka di dalam bahasa, adat istiadat, seni dan alam daerah mereka melalui pendidikan dan institusi-institusi nasional.

Ciri-ciri sikap nasionalisme adalah :

a. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa b. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional

c. Tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat d. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional

e. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terkait dengan makna nasionalisme dalam pembahasan kali ini, “Raja Jawa Tanpa Mahkota” begitulah julukan untuk HOS Tjokroaminoto yang memang sejak dini sudah memiliki rasa nasionalisme yang cukup tinggi diantara pemuda-pemuda lain yang hidup di tanah jawa ketika Belanda menjajah pada saat itu. Tjokroaminoto adalah salah satu anak dari seorang priyai jawa. Pada saat itu, seorang priyai pangkat terendah pun dapat menjadi orang yang sangat berkuasa di wilayahnya sendiri. Jika ia lewat, berjongkoklah para petani sambil menyembah, apa yang mereka lakukan itu adalah salah satu tanda tunduk dan hormatnya kepada priyai36

. Berikut ini adalah susunan keresidenan pemerintahan jawa :

36

Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia, 1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu,2003), cet-1, h. 2


(49)

Setelah tahun 1900 muncul kelompok yang dinamakan “Priyai Baru

kebanyakan mereka adalah orang muda dari kalangan pangreh praja yang telah memanfaatkan kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan barat lanjutan. Masa itulah periode politik etis, ketika orang mencurahkan perhatiannya kepada “pembangunan” jasmani dan rohani penduduk pribumi. Kaum muda ini sering tidak puas dengan sikap merendah pemerintah elit pemerintahan jawa. Mereka tak ingin mengikuti jejak orangtua mereka. Pendidikan menawarkan kepada mereka kemungkinan baru. Kemudian para “Priyai Baru” ini memperoleh pekerjaan dan status sosial berkat pendidikan yang dinikmatinya, seperti salah satunya adalah HOS Tjokroaminoto. Kelompok Priyai Baru inilah yang merupakan sumber utama nasionalisme37

.

37

Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia, 1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu2003), h. 3

Amtenar Belanda

Residen

Regent (Bupati)

Patih (Pembantu Bupati)

Wedana (Kepala Distrik)


(50)

Menurut Tjokro, Nasionalisme bukan cara untuk bersepakatnya menjadi satu bangsa sehingga mengakibatkan Islam tidak mendapatkan ruang secara konsisten sebagai agama, jadi jika mendefinisikan nation state sebagai bagian yang terpisah dengan agama islam maka Nasionalisme seperti itu ia anggap telah menyalahi substansi nasionalisme sekaligus melampaui makna nasionalisme itu sendiri. Apalagi yang lebih fatal menurut beliau adalah perilaku seseorang yang mengaku dirinya islam dan berjiwa nasionalis tetapi tidak merefleksikan perilaku islam di forum-forum publik, seperti tidak mau menjalankan kebiasaan mengucap salam ala muslim, apalagi bersikap netral terhadap islam, ia anggap sebagai muslim yang sesat38

. Bagi beliau, nasionalisme di Indonesia juga bukan membangkitkan nasionalisme terlebih dahulu kemudian jika sudah merdeka pengaturan pemerintahan berdasarkan islam.

Pemikirannya ini ia tulis dalam koran Fadjar Asia edisi 24 mei 1924 yaitu :

Di Indonesia sendiri, yang saat ini rakyatnya sedang memulai dan belajar serta membangkitkan jiwa nasionalisme, terlihat pula tanda akan menggiring nasionalisme menuju arah yang tidak benar. Beberapa saudara kita yang mengaku dirinya mslim berkata : “sekarang kami hendak menjadi nasionalis terlebih dahulu. Apabila negeri ini sudah merdeka, maka kami akan berusaha mengatur pemerintahan berdasarkan islam”. Jelas sekali hal tersebut merupakan perasaan nasionalisme sesaat dalam pandanga islam! Adapula saudara kita yang mengaku beragama islam, tetapi apabila mereka hendak berbicara di vergadering-vergadering, tidak suka mengucap ”salam” menurut adat kebiasaan muslim. Danapabila di vergadering mereka mendengar ucapan salam dari seorang pembicara muslim, mereka tidak menjawabnya. Padahal sebagaimana telah jelas dalam Al-Qur’an surat An-Nisa:86 Allah ta’ala memerintahkan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”. Ada pula beberapa saudara yang mengaku beragama islam tetapi dalam ber-Nasionalisme mereka bersikap “neutral” terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam!). sungguh tersesatlah nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai seorang muslim39

.

38

Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama : Jejak Perjuangan HOS. Tjokroaminoto, (Yogyakarta : Galang Pustaka, 2015), h.37

39


(51)

Sifat nasionalisme dalam diri seorang Tjokroaminoto tampak jelas terlihat ketika ia selesai menunaikan ibadah haji tahun 1926, beliau tidak lagi menggunakan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Gelar “Raden Mas” baginya merupakan hak yang biasa saja, tidak begitu penting. Bahkan bagi beliau, status sosial “haji” lebih menunjukkan universalitas dan kemusliman sekaligus simbol/bentuk perlawanan dirinya terhadap dominasi Belanda saat itu.

Berdasarkan kritik terhadap nasionalisme turki dan praktik nasionalisme yang sesat jalan di Indonesia itulah maka kemudian Tjokro memberikan definisi serta penjelasan bagaimana sebenarnya nasionalisme. Nasionalisme yang lahir dari jiwa patriotisme, sifat mencintai negeri bagi seorang muslim adalah haruslah merujuk kepada nabi Muhammad saw, karena menurut beliau patriot dan nasionalis terbesar sepanjang sejarah umat manusia adalah nabi Muhammad saw.

Kecintaan terhadap tempat kelahiran menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial, begitu pula cinta terhadap tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw ketika ia diusir dari Makkah oleh orang-orang Quraisy: Telah menceritakan pada kami Qutaibah, telah menceritakan pada kami al-Laits dari Uqail dari az-Zuhri, dari Abu Salamah dari Abdullah bin Adi bin Hamra’ berkata:

”Aku melihat Rasulullah saw berdiri di atas al-Hazwarah sembari bersabda: Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah benar-benar sebaik-baik bumi Allah dan juga merupakan bumi-Nya yang paling Dia cintai. Seandainya saja aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan pergi (meninggalkanmu)” (HR at-Tirmidzi, no: 3860).


(52)

Secara naluriah, seseorang akan merasa berat meniggalkan kampung halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal ini kiranya yang dialami oleh Rasulullah saw dan para sahabat ketika Allah memerintahkan mereka untuk Hijrah ke Madinah, karena masyarakat Makkah ketika itu menolak ajaran Nabi saw. Namun rasa berat hati itu luluh saat berhadapan dengan perintah Allah. Mereka lebih memilih ridha Allah daripada sekedar memenuhi keinginan diri. Betapapun demikian, rasa cinta mereka kepada Makkah belum bisa terlupakan oleh para Sahabat ketika awal-awal hijrah, terbukti banyak dari sahabat yang mengalami demam Madinah.


(1)

TRANSKRIP WAWANCARA

Nama Pewawancara : Egy Giana Setyaningsih

Nim : 1111051000141

Waktu : 7 Juni 2016

Tempat : MSH Films, Graha CIMB Niaga Jakarta

Saya : Apa yang melatar belakangi anda (kak Nayaka Untara) sebagai salah satu produser untuk menggarap film ini?

Naya : Kekhawatiran sebagai generasi penerus yang sudah kurang mengenal identitas bangsa dan penghargaan terhadap para pahlawan terutama seorang pahlawan bernama H.O.S. Tjokroaminoto yang selama hidupnya mendedikasikan untuk menjadikan negeri yang dulu bernama Hindia Belanda memiliki pemerintahan sendiri. Film ini diprakarsai oleh Yayasan Keluarga Besar H.O.S. Tjokroaminoto sebagai sumbangsih untuk masyarakat Indonesia untuk lebih mengenalkan siapa sosok Tjokroaminoto yang menjadi guru para pendiri bangsa ini, yang salah satunya adalah Soekarno.

Saya : Mengapa film ini diberi judul “Guru Bangsa : Tjokroaminoto”?

Naya : Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mengilhami tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Semaun, Koesno (Soekarno), Kartosuwiryo dan lain-lain, sehingga menurut kami pantas bahwa film ini diberi judul Guru Bangsa Tjokroaminoto.


(2)

Saya : Kriteria seperti apa saja untuk pemilihan pemainnya? Dan khususnya untuk menjadi sosok Tjokroaminoto, kenapa harus diperankan oleh Reza Rahadian?

Naya : Dalam dunia perfilman terutama seni peran, pemilihan pemain merupakan salah satu unsur terpenting. Dan film Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah sebuah film sejarah yang mengharuskan pemeran tokoh sejarah diperankan semirip mungkin dengan aslinya. Tantangan terbesar adalah menentukan pemeran Tjokroaminoto sendiri karena bukti audio dan visualnya sangat minim bahkan hampir tidak ada, sehingga pemilihan Reza Rahadian sebagai salah satu aktor terbaik saat ini menjadi pilihan yang sangat tepat. Reza mampu beradaptasi dengan cepat dalam mendalami karakter Tjokroaminoto dan meyakinkan kami para produser, sutradara dan pihak keluarga.

Saya : Apa pendapat anda sendiri (kak Nayaka Untara) tentang sosok Tjokroaminoto?

Naya : Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin seperti Tjokroaminoto yang mampu menggerakkan masyarakat untuk berkembang mengikuti jaman tanpa mengubah identitas dirinya. Menjadi pemimpin yang dicintai rakyat sekaligus ditakuti dan disegani oleh lawan-lawan politiknya tanpa harus dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam berideologi.


(3)

Saya : Menurut anda, bagian scene mana yang tersulit untuk dijadikan angle? Naya : Sejak awal, memfilmkan tokoh Tjokrominoto di era 1890-1920an sangat

sulit. Dimulai dengan riset yang tersebar, penulisan scenario dan penentuan sudut pandang, pemilihan sutradara, tim produksi dan pemain, membuat kostum dan membangun set (Hotel Oranje, Trem, Rumah Peneleh, dsb) sampai men-sosialisasi-kan tokoh Tjokroaminoto dan filmnya karena keterbatasan informasi masyarakat terutama generasi muda terhadap tokoh Tjokroaminoto.

Saya : Dalam film ini, siapakah sosok Bagong dan Stella? Apakah mereka ini ada nyatanya dalam kehidupan Tjokroaminoto sendiri? Atau hanya sebagai hiasan belaka / hiburan dalam film saja ?

Naya : Bagong dan Stella adalah tokoh fiktif yang kami ciptakan sebagai representatif penonton untuk menceritakan peristiwa lain di era tersebut. Bagong, tokoh pewayangan yang diciptakan agar penonton dekat dengan budaya ketimuran. Stella, tokoh Indo-Belanda yang selalu memberikan informasi mengenai kejadian-kejadian dibelahan dunia lain dan juga sebagai refleksi bahwa banyak masyarakat sekarang yang memiliki dualisme kebudayaan.

Saya : Dari analisis saya, film ini diproduseri oleh beberapa orang. Nah, bagaimana cara menyatukan pemikiran dari beberapa produser ini?

Naya : Film ini sangat besar sehingga membutuhkan banyak orang yang terlibat. Banyaknya produser dalam film ini mempunyai tugas dan tanggung jawab


(4)

masing-masing. Produksi, marketing, sejarah dan cerita adalah salah satu tugas dari produser-produser tersebut.

Saya : Kenapa dalam film ini, tidak ditampilkan kedua orangtua dari sosok Tjokroaminoto? Kenapa hanya kedua orangtua dari Soeharsikin yang lebih menonjol dalam film ini?

Naya : Film adalah sebuah karya yang memiliki durasi sehingga tidak mungkin semua tokoh yang pernah bersinggungan dengan Tjokroaminoto dapat kami masukkan kedalam film. Tidak banyaknya kedua orangtua Tjokroaminoto tampil didalam film ini karena keterbatasan data riset mengenai mereka sehingga kami menghindari untuk tidak menampilakannya dalam porsi yang lebih banyak.

Saya : Dimana saja pemilihan lokasi syuting untuk pembuatan film ini?

Naya : Ambarawa, Semarang dan Jogjakarta. Terbanyak adalah Jogjakarta karena kami membangun studio set disebuah lahan milik Universitas Gajah Mada Jogjakarta.

Saya : Sudah berapa film yang sudah diproduksi oleh MSH Films?

Naya : Baru film ini yang sudah diproduksi oleh MSH Films, ini pun atas permintaan dari Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto kemudian bekerjasama dengan Picklock Films dan Alhamdulillah berjalan dengan lancar dan sukses.


(5)

Saya : Apa harapan anda dari film ini untuk para penonton?

Naya : Harapan kami bahwa penonton dapat mengenal siapa sosok Tjokroaminoto dan seperti apa Indonesia pra kemerdekaan. Selain itu kami mengharapkan bahwa penonton mendapat sesuatu yang berharga dan bermanfaat untuk mereka aplikasikan dikehidupan sehari-hari.

Saya : Kira-kira, kapan film ini akan keluar dalam bentuk Digital Video Disc

(DVD) di pasaran?

Naya : Insha Allah film Guru Bangsa Tjokroaminoto dapat kami rilis dalam bentuk DVD di tahun 2016. Aamiin.


(6)

Foto Bersama Salah Satu Produser Film Guru Bangsa Tjokroaminoto ( Nayaka Untara)