Skema Pajak Penghasilan di Indonesia atas asuransi.
4.3. Skema Pajak Penghasilan di Indonesia atas asuransi.
Salah satu kewajiban perusahaan atau pemberi kerja adalah memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas gaji dan penghasilan lainnya yang mereka bayarkan kepada pegawai atau karyawannya. Dalam hal ini ada pilihan bagi para pemberi kerja tersebut, memotong langsung dari gaji karyawan atau membantu karyawan dan pegawainya dengan cara menanggung PPh Pasal 21 yang terutang. Tinggal pilih, mana yang menguntungkan.
Dalam kacamata UU PPh, menanggung PPh tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan memberikan tunjangan pajak (Tunjangan PPh) seperti layaknya memberikan tunjangan transport, tunjangan makan, tunjangan jabatan, dan lain sebagainya atau dengan cara kedua yaitu menanggung PPh tanpa memberikan tunjangan pajak.
Jika dilihat secara kasat mata, kedua cara ini sebenarnya sama saja karena PPh Pasal 21 yang terutang tidak dibebankan kepada karyawan (tidak dipotong dari gaji atau penghasilan karyawan) melainkan ditanggung sendiri oleh perusahaan atau pemberi kerja. Tetapi jika dilihat dari sisi UU dan ketentuan peraturan PPh, masing-masing mendapat perlakuan perpajakan yang berbeda.
4.3.1. Tunjangan PPh dan Efeknya di PPh Pemberi Kerja.
Cara menanggung PPh Pasal 21 yang pertama adalah dengan seolah-olah memberikan tunjangan pajak (Tunjangan PPh) kepada karyawan seperti layaknya memberikan Tunjangan Transport, Tunjangan Makan, Tunjangan Jabatan, dan tunjangan lainnya. Dengan cara ini, PPh Pasal 21 yang sebenarnya ditanggung oleh perusahaan pemberi kerja dimasukkan terlebih dahulu ke dalam unsur gaji dan tunjangan kepada karyawan saat penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan (Tunjangan PPh Pasal 21 ikut dihitung PPh Pasal 21-nya). Jadi seolah-olah karyawan menerima uang Tunjangan PPh tadi terlebih dahulu dan dihitung pula PPh Pasal 21-nya, baru kemudian dipotong kembali oleh perusahaan pemberi kerja.
Besarnya Tunjangan PPh dapat disesuaikan dengan kebijakan perusahaan pemberi kerja masing-masing. Perusahaan atau pemberi kerja bisa saja menerapkan kebijakan untuk memberikan tunjangan pajak sebesar 100% dari jumlah PPh Pasal 21 yang terutang. Kebijakan ini lebih dikenal dengan istilah gross-up .
Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja (Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh). Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja (Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh). Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk
4.3.2. PPh Ditanggung & Efeknya di PPh Pemberi Kerja.
Cara menanggung PPh Pasal 21 yang kedua (menanggung PPh tanpa memberikan tunjangan pajak) dalam istilah peraturan pajak disebut dengan PPh Ditanggung Pemberi Kerja. Dengan cara ini, PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji karyawan dibayar sendiri oleh pemberi kerja dan PPh Pasal 21 yang dibayar (ditanggung) oleh si pemberi kerja itu tidak dimasukkan sebagai unsur penghasilan karyawan.
Sebagai contoh, misalkan Budi bekerja sebagai pegawai di PT XYZ dengan gaji Rp 5.000.000,-. Seandainya dari gaji tersebut PPh Pasal 21 yang terutang sebesar Rp 250.000,- dan PPh Pasal 21 tersebut ditanggung oleh PT XYZ, maka gaji yang diterima Budi adalah Rp 5.000.000,-.
PPh Pasal 21 sebesar Rp 250.000,- yang ditanggung oleh PT XYZ dalam contoh di atas, tidak dimasukkan sebagai tunjangan (penghasilan) bagi Budi saat penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan. Ini dikarenakan menurut Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, pajak atas gaji Budi yang tidak dipotong dari gaji melainkan ditanggung sendiri oleh PT XYZ tersebut dikategorikan sebagai imbalan dalam bentuk kenikmatan (fasilitas) atau yang biasa karyawan sebut dengan benefit in kind .
Sebagai konsekuensinya, PT XYZ juga tidak boleh membiayakan PPh Pasal 21 yang ditanggung tadi dalam SPT Tahunan PPh Badannya. Sebab biaya-biaya yang berupa imbalan atau penggantian dalam bentuk kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.
Kebijakan tentang pajak penghasilan yang dikenakan terhadap manfaat asuransi jiwa sebenarnya telah diatur dan ditulis jelas dalam pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 t entang pajak penghasilan yang menyatakan bahwaμ “Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa bukan merupakan sebagai objek pa jak”. Dan didalam undang-undang ini sudah tampak jelas jenis-jenis asuransi mana saja yang dapat dijadikan sebagai objek pajak.
Pada saat pembayaran premi asuransi dilakukan oleh orang pribadi dan premi yang dibayarkan sepenuhnya ditanggung oleh orang pribadi tersebut, atas premi asuransi sebagai biaya pengenaan pajak penghasilan atas premi asuransi yang dibayarkan orang pribadi tersebut tercermin dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahankeempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1λ83 tentang pajak penghasilan yang menyebutkan bahwa “Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dariperusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa bukan merupakan objek pajak.
Apabila dikemudian hari orang pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka orang pribadi tersebut tidak lagi dikenakan pajak penghasilan (PPh)”. Selain itu,
ketentuan tersebut bagi perusahaan asur ansi dapat dijadikan sebagai nilai tambah dan keuntungan untuk menjual produk-produk mereka kepada para masyarakat. Hal tersebut juga selaras dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak ketentuan tersebut bagi perusahaan asur ansi dapat dijadikan sebagai nilai tambah dan keuntungan untuk menjual produk-produk mereka kepada para masyarakat. Hal tersebut juga selaras dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
Penghasilan Kena Pajak”. Dalam pasal tersebut sudah jelas terlihat bahwa premi asuransi telah dikenakan pajak, yaitu tidak diperkenankannya premi asuransi sebagai biaya, sehingga premi asuransi tersebut telah masuk dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dan dikenakan tarif progresif. Apabila dikemudian hari orang pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka orang pribadi tersebut tidak lagi dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Hal ini juga telah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Oleh untuk itu, menurut penulis kebijakan perpajakan tersebut dalamPasal 4 ayat (3) huruf (e) UU Pajak Penghasilan (PPh) sudah tepat dan sesuai, karena sesuai dan selaras dengan Pasal
9 ayat (1) huruf (d) UU Pajak Penghasilan (PP Pada pelaksanaan di lapangan, perlakuan Pajak Penghasilan terhadap manfaat asuransi jiwa telah diatur lebih lanjut dalan ketentuan pelaksanaannya berupa Edaran Direktur Jenderal Pajak, yaitu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa “Pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang, maka selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan, diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga tabungan atau bunga deposito”.
Jika dilihat dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 tersebut, ini berarti pembayaran manfaat asuransi jiwa dikenakan pajak bersifat final, yang pada saat ini tarifnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yaitu pajak final sebesar dua puluh persen (20%).
Apabila dilakukan perbandingan antara Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa tidak termasuk objek pajak dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila pembayaran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun atau kurang, maka selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan, diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga tanggungan atau bunga deposito.
Terlihat dari perbandingan antara dua (2) ketentuanperpajakan tersebut diatas akan terlihat penerapan yang berlawanan, dimana Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi bukan merupakan objek pajak yang artinya tidak dikenakan pajak, sedangkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal
23 Juli 1997 menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi jiwa berupa manfaat tabungan dikenakan pajak bersifat final. Salah satu faktor yang penting agar pemotongan pajak dapat terlaksana dengan baik adalah tanpa adanya hambatan, yaitu harus bersifat sederhana dan jelas. Terdapat adanya keterbatasan ketentuan yang terdapat di dalam keputusan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 hanyalah berisi ketentuan mengenai objek apa saja yang terkena pajak penghasilan tetapi tidak ada kejelasan mengenai teknis pelaksanaannya.
Sebagai akibat dari ketidakjelasan teknis pelaksanaan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 sehingga menimbulkan kebingungan, hal ini dapat terlihat pada saat menentukan jenis pemotongan pajak atas manfaat asuransi jiwa yang dibayarkan kepada orang pribadi maka dalam pelaksanaan pemotongan pajaknya tidak dapat diseragamkan jenis pemotongan pajaknya.
Didalam perkembangannya terdapat beberapa pendapat dalam menentukan jenis pemotongan pajaknya. Ada yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk ke dalam PPh Pasal 21 Final dengan alasan bahwa si penerima manfaat asuransi jiwa adalah orang pribadi. Adapula yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk kedalam PPh Pasal 23 Final dengan alasan bahwa ketentuan dari Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut menetapkan pembayaran manfaat asuransi jiwa tersebut dipersamakan dengan bunga deposito dan bunga tabungan. Dan juga adapula yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk ke PPh final Pasal 4 ayat(2) karena sifat pemotongnya yang bersifat final. Sebaiknya dalam ketentuan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 dijelaskan jenis pemotongan pajaknya yang sesuai ketentuan di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut yang mempersamakan dengan pajak final bunga deposito dan juga bunga tabungan.
Tidak adanya sarana administrasi yang jelas dan pasti untuk melakukan pemotongan dan pelaporan hutang pajaknya menjadi keterbatasan lain di dalam pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan atas pembayaran manfaat asuransi jiwa. Seperti Bukti Pemotongan PPh Final dan Surat Pemberitahuan, maka dalam pelaksanaannya masing-masing perusahaan asuransi jiwa menggunakan Bukti Pemotongan dan Surat Pemberitahuan yang ada, tetapi berbeda-beda jenis pemotongannya. Formulir bukti pemotongan pajak maupun surat pemberitahuan untuk melaporkan pajak terutang yang telah ada belum mengakomodasi jenis pemotongan pajak yang dimaksud didalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yaitu manfaat asuransi jiwa.
Dilihat dalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan terhadap jangka waktu penutupan asuransi, yaitu jika penutupan asuransi jiwa yang mengandung unsur tabungan yang pembayran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang maka pembayaran manfaat asuransi jiwanya yang tersebut dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang maka pembayaaran manfaat asuransi jiwanya akan dikenakan pajak final seperti bunga tabungan atau deposito. Sedangkan apabila penutupan asuransinya yang mengandung unsur tabungan yang pembayaran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu lebih dari tiga (3) tahun, maka menurut surat edaran tersebut tidak dikenakan pajak. Yang apabila tidak dikenakan pajak, berarti maka sesuai dengan ketentuan pasal 4ayat (3) huruf (e) Undang-undang
Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
Kemudian didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 memperlihatkan bahwa perlakuan pajak penghasilan terhadap manfaat asuransi jiwa tidak memperlihatkan ketidaknetralitasan suatu aturan perpajakan. Berdasar prinsip asas kenetralitasan me ngatakan bahwa pajak haruslah terbebas dari distorsi, baik distorsi produksi, dis torsi konsumsi, dan distorsi faktor- faktor lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak boleh mempengaruhi pilihan para masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak mempengaruhi pilihan-pilihan para produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 dibuat dan ditetapkan untuk memotong pajak penghasilan atas manfaat asuransi jiwa berupa manfaat tabungan tidak sesuai dengan prinsip kepastian dalam pemungutan pajaknya, karena tidak mempunyai kepastian hukum yang melandasinya. Selain itu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1999 tidak mempunyai kepastian mengenai objek pajak yang dimaksud ketentuan ini, sebenarnya manfaat asuransi jiwa yang diterima oleh pemegang polis adalah murni merupakan penggantian atau santunan atas terjadinya resiko yang dialami oleh pemegang polis yang telah tertulis dan dinyatakan dalam suatu perjanjian polis. Sehingga pengertian penggantian atau santunan tidak sama dengan penghasilan atau bunga tabungan.
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan yang telah disajikan maka terdapat beberapa point yang perlu diperhatikan sebagai berikut, yang pertama adalah Pengenaan Pajak penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 36 Tahun Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah sesuai.
Yang kedua adalah Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 isinya tidak saling mendukung dengan mekanisme yang dianut oleh Undang-undang itu sendiri. Yang ketiga adalah Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu Pajak Penghasilan atas manfaat asuransi jiwa hanya dikenakan pada pembayaran yang dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang. Lalu bertentangan dengan prinsip netralitas, yaitu masyarakat disudutkan pada pilihan produk asuransi yang berjangka waktu lebih dari tiga (3) tahun. Dan juga tidak sesuai dengan prinsip kepastian dikarenakan tidak mempunyai atau tidak dilandasi dengan undang-undang atau peraturan yang tingkat derajatnya diatasnya, tidak mempunyai kepastian tentang objek pajaknya, dan tidak mempunyai kepastian tentang cara pemungutan atau pemotongan pajak. Dan yang keempat adalah Tidak terdapat kejelasan yang jelas mengenai pemotongan pajak asuransi jiwa, apakah pemotongan tersebut masuk kedalam PPh 21, PPh 23 atau PPh Final Pasal 4 ayat 2.
Terdapat sembilan keuntungan Asuransi Karyawan bagi Perusahaan adalah :
1. Manajemen Anggaran Keuangan Perusahaan Makin Mudah.
2. Pergantian ( Turn-Over ) Karyawan Makin Sedikit.
3. Memperkuat Daya Tarik bagi seseorang yang ingin bergabung dengan perusahaan yang anda Pimpin..
4. Meningkatkan Loyalitas dan Motivasi Kerja Karyawan.
5. Meningkatkan Produktifitas Karyawan.
6. Mengurangi Biaya Administrasi. Biaya-biaya administrasi pengelolaan Program Kesejahteraan Karyawan seperti perlindungan kesehatan, perlindungan jiwa, perlindungan kecelakaan dan program dana pensiun, akan dapat dihemat dengan cukup signifikan, karena semua sudah ditangani oleh Perusahaan Asuransi.
7. Dap at menjadi Program “ Rewards & Punishment ” bagi karyawan.
8. Dapat Menghemat Pajak dengan “ Tax Planning ”. Program ini merupakan salah satu bentuk dari “ Tax P lanning ” yang legal secara hukum dalam melakukan efisiensi dan penghematan pembayaran pajak, sehingga secara keseluruhan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan karyawan. Penatausahaan dalam Akuntansi Biaya Manfaat Pensiun dapat mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 24. PSAK No. 24 tersebut intinya mengatur tentang kapan biaya manfaat pensiun harus diakui sebagai beban, berapa jumlahnya dan informasi apa yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan pemberi kerja sehubungan dengan program pensiun.
9. Perusahaan telah mengikuti dan menaati 5 peraturan hukum yang berlaku. Lima aturan yang dirujuk adalah:
a) Undang-undang No. 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun. .
b) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
c) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
d) PP No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
e) Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
4.2.3. Perencanaan Pajak atas Auransi bagi Karyawan . Seperti telah diuraikan di atas, antara Tunjangan PPh Pasal 21 dengan PPh Pasal
21 Ditanggung mendapat perlakuan ( treatment ) perpajakan yang berbeda, baik dari sisi penghitungan PPh Pasal 21 maupun PPh Pemberi Kerja. Tunjangan PPh Pasal 21 merupakan objek PPh Pasal 21 yang harus ditambahkan ke dalam penghasilan karyawan saat penghitungan PPh Pasal 21. Perlakuannya sama seperti tunjangan- tunjangan lainnya seperti Tunjangan Transport, Tunjangan Makan, Tunjangan Jabatan atau lainnya. Namun di sisi PPh Pemberi Kerja, Tunjangan PPh Pasal 21 ini dapat dibiayakan ( deductible expense ) sehingga akan mengurangi penghasilan bruto dan otomatis akan mengurangi PPh Pemberi Kerja.
PPh Pasal 21 Ditanggung, di sisi lain, bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan tidak perlu dimasukkan ke dalam tunjangan atau penghasilan karyawan pada saat menghitung PPh Pasal 21. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, perusahaan atau PPh Pasal 21 Ditanggung, di sisi lain, bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan tidak perlu dimasukkan ke dalam tunjangan atau penghasilan karyawan pada saat menghitung PPh Pasal 21. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, perusahaan atau
Perlu diingatkan bahwa ketentuan mengenai deductible maupun non deductible expense tersebut di atas tidak berlaku bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final. Artinya, jika perusahaan atau pemberi kerja merupakan Wajib Pajak yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, kebijakan apapun yang dipilih, memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau tidak, maka kebijakan itu tetap non-deductible expense . Sebab bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, biaya apapun yang dikeluarkan tidak lagi diperhitungkan dalam penghitungan PPh atas penghasilan usahanya.
Contoh perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya dikenakan PPh bersifat final misalnya: perusahaan konstruksi, perusahaan persewaan tanah/bangunan, perusahaan pelayaran dalam negeri, dan beberapa perusahaan lain yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Dengan memperhatikan treatment perpajakan atas kedua kebijakan tersebut, sebenarnya perusahaan atau pemberi kerja bisa melakukan tax planning sederhana untuk menghemat atau meminimalisir pembayaran pajak, baik PPh Pasal 21 maupun PPh Badan/Pemberi Kerja.
4.2.3.1.Tanpa Kompensasi Kerugian.
Misalkan, PT XYZ memperoleh omset Rp 500.000.000,- dengan total biaya sebesar Rp 350.000.000,-. Katakanlah PT XYZ memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetor PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- maka dalam hal ini PT XYZ dapat memilih apakah PPh Pasal 21 tersebut akan ditanggung perusahaan dengan cara memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 atau tidak. Atau dengan kata lain, apakah PT XYZ ingin agar PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- itu dibiayakan juga atau tidak.
Jika PT XYZ ingin agar PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- tersebut juga bisa dibiayakan, maka PT XYZ dapat memberikan Tunjangan PPh Pasal 21. Dengan demikian, total biaya usaha menjadi Rp 375.000.000,- (Rp 350.000.000,- + Rp 25.000.000,-) dan laba neto usaha turun menjadi Rp 125.000.000,-. Sehingga PPh Badan yang harus dibayar adalah Rp 125.000.000,- x 12,5% = Rp 15.625.000,-.
Akan tetapi, karena memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- maka atas Tunjangan PPh Pasal 21 tersebut juga harus diperhitungkan dan disetorkan PPh Pasal 21. Dengan asumsi bahwa atas Rp 25.000.000,- dikenakan tarif rata-rata 5%, maka tambahan PPh Pasal 21 yang harus disetor adalah 5% x Rp 25.000.000,- = Rp 1.250.000,-. Dengan demikian, total pajak yang harus dibayar oleh PT XYZ adalah = PPh Badan (Rp 15.625.000,-) ditambah dengan PPh Pasal 21 (Rp 25.000.000,- + Rp 1.250.000,-) atau Rp 41. 875.000,-
Apabila PT XYZ memilih tidak memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 (artinya PPh Pasal 21 yang semula Rp 25.000.000,- ditanggung sendiri tanpa memberikan tunjangan pajak), maka PPh Badan menjadi = Rp 500.000.000,- (-) Rp 350.000.000,- (x) 12,5% = Rp 18. 750.000,-. Sedangkan PPh Pasal 21 yang harus disetor tetap sebesar Rp 25.000.000,- sehingga total pajak yang harus dibayar PT XYZ ke Kas Negara adalah Rp 18.750.000,- (+) Rp 25.000.000,- = Rp 43.750.000,-.
Jadi dengan analisa angka-angka tersebut, jelas kelihatan bahwa bagi PT XYZ memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 akan lebih menghemat pajak yang harus dibayar ke negara.
4.2.3.2.Ada Hak Kompensasi Kerugian.
Bagaimana jika PT XYZ masih memiliki hak kompensasi kerugian fiskal tahun- tahun sebelumnya. Apakah kebijakan memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 masih tetap menguntungkan (menghemat pajak). Dalam kondisi di mana jumlah kompensasi kerugian fiskal tersebut masih lebih besar dari pada penghasilan neto tahun berjalan, sehingga PPh Badan masih nihil, maka kebijakan menanggung PPh Pasal 21 tanpa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 merupakan alternatif yang menguntungkan. Sebab dengan demikian tidak ada tambahan PPh Pasal 21 yang harus dipotong atau disetor ke kas negara.
Misalkan dalam contoh sebelumnya PT XYZ memiliki kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp 200.000.000,-. Jika PT XYZ memilih tidak memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti total biaya usaha tetap Rp 350.000.000,- dan laba usaha tetap Rp 150.000.000,-. Karena kompensasi rugi tahun sebelumnya (Rp 200.000.000,-) masih lebih besar dari pada laba usaha (Rp 150.000.000,-), berarti PPh Badan PT XYZ masih Rp 0,-. Dan karena PPh Pasal 21 ditanggung tanpa memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti PPh Pasal 21 yang harus disetor tetap Rp 25.000.000,-.
Tetapi jika PT XYZ memutuskan untuk memberikan tunjangan PPh Pasal 21, maka akan ada tambahan PPh Pasal 21 yang harus disetor yaitu Rp 1.250.000,- (Rp 25.000.000,- x 5%) sehingga total PPh Pasal 21 yang harus disetor Rp 26.250.000,-. Sementara di PPh Badan masih tetap nihil (Rp 0) karena laba usaha masih lebih kecil jumlahnya dari pada kompensasi kerugian.
Sesuai ketentuan UU PPh no.36 tahun 2008 pasal 6 dan 9, mengenai premi asuransi disebutkan: Pasal 6 (1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk: a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain: 6. premi asuransi;
Pasal 9 (1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
Premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja untuk karyawan dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan ( deductible expenses ). Dalam hal ini, premi asuransi tersebut dihitung sebagai tambahan penghasilan bagi karyawan yang dikenakan pajak penghasilan PPh pasal 21. Tarif PPh pasal 21 antara 5% s/d 30%, sedangkan tarif PPh Badan 25%. Secara angka, beban pajaknya jadi kecil, biaya premi mengurangi pajak penghasilan badan. Tentu saja biaya premi yang dialokasi sebagai penghasilan karyawan adalah nilai gross termasuk pajak ( gross up ). Bandingkan bila tidak ada transaksi premi asuransi tersebut, maka pajak penghasilan badan akan bertambah sebesar 25% dari nilai premi asuransi.
Sementara untuk klaim asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi, pembayarannya tidak dipotong pajak alias bebas pajak karena bukan merupakan obyek pajak. Hal ini sesuai ketentuan UU PPh no. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU PPh Nomor. 36 tahun 2008 pasal 4 ayat 3(e) mengenai …..yang dikecualikan dari objek pajak adalah: ….pembayaran dari
perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Ketentuan ini juga berlaku untuk penarikan dana asuransi yang ada unsur tabungannya, dengan catatan penarikan dilakukan setelah polis berumur di atas 3 tahun. Pada dasarnya, program gabungan asuransi dan investasi dalam satu paket yaitu menawarkan asuransi untuk perlindungan jiwa atas berbagai resiko seperti sakit kritis dan meninggal lebih awal. Oleh karena itu menentukan nilai uang pertanggungan (UP) pada polis asuransi menjadi hal yang amat penting, dengan pertimbangan bahwa UP ini akan menjadi solusi keuangan tertanggung di saat keadaan kritis. Sisi investasinya dilihat sebagai manfaat lebih dari program untuk kebutuhan perencanaan keuangan pemegang polis/tertanggung dalam jangka panjang.
Secara kas, membayar premi asuransi akan menjadi tambahan biaya bagi pemberi kerja/perusahaan, namun secara netto bebannya akan kecil karena biaya ini diperhitungkan kembali sebagai pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Hal terpenting, pemberi kerja maupun karyawan merasa aman karena terproteksi dengan asuransi jiwa.
Manfaat lebihnya, khusus untuk pemberi kerja individu dalam bentuk firma, persekutuan, adanya unsur investasi, Jenis asuransi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengelola dana pensiun individu. Dalam jangka panjang bila dananya ditarik akan bebas pajak, sementara kalau bunga tabungan/deposito akan dikenakan pajak 20% atau imbal hasil reksadana/obligasi yang saat ini masih dikenakan pajak 5%.