Kebijakan Pajak atas Asuransi Kesehatan dan Asuransi Jiwa Di Indonesia.
4.1. Kebijakan Pajak atas Asuransi Kesehatan dan Asuransi Jiwa Di Indonesia.
Pada saat karyawan menerima gaji setiap bulan, diantara penghasilan gaji tersebut ada yang disisihkan atau pisahkan untuk masa pensiun. Sebagian lain untuk berjaga-jaga jika ada musibah yang tidak diharapkan dan membutuhkan biaya, seperti sakit atau kecelakaan. Penghasilan yang disisihkan tersebut akan dibayarkan ke perusahaan asuransi. Tetapi khusus pensiunan, karyawan bisa memberikannya ke lembaga Dana Pensiun atau perusahaan asuransi. Jika karyawan memberikannya ke lembaga Dana Pensiun yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, maka disebut iuran pensiun dan boleh dibiayakan atau dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan jika karyawan membayar ke perusahaan asuransi, maka tidak boleh dibiayakan.
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh, pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dibiayakan. Artinya, penghasilan yang diterima oleh WPOP (termasuk penghasilan yang disisihkan untuk membayar premi asuransi) harus dikenakan PPh OP. Sebaliknya, jika karyawan menerima manfaat dari perusahaan asuransi kesehatan maka bukan termasuk
penghasilan. Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh mengatakan bahwa pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa dikecualikan dari objek pajak. Seolah-olah karyawan mengatakan bahwa atas penghasilan yang karyawan terima dan disisihkan ke perusahaan asuransi sudah dikenakan pajak sebelum diberikan ke perusahaan asuransi sehingga saat kembali dari perusahaan asuransi (diterima manfaat asuransi) maka tidak boleh dikenakan pajak lagi .
Jika premi asuransi tersebut merupakan beban majikan atau dibayar oleh pemberi kerja maka premi asuransi tersebut menjadi penghasilan bagi pegawai. Di Lampiran PER-31/PJ/2009 lebih jelas diatur: Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek: - Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); - Premi Jaminan Kematian (JK), dan; - Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehataan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai.
Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi: - premi asuransi kesehatan; - asuransi kecelakaan kerja; - asuransi jiwa; - asuransi dwiguna, dan; - asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya.
Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. Menurut Pasal 20 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek:
(1) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Iuran Jaminan Kematian, dan Iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha. (2) Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 mengatur lebih lanjut besaran iuran sosial ini: [a] Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ditanggung pengusaha: - Kelompok I : 0,24%dari upah sebulan; - Kelompok II : 0,54% dari upah sebulan; - Kelompok III : 0,89% dari upah sebulan; - Kelompok IV : 1,27% dari upah sebulan; - Kelompok V : 1,74% dari upah sebulan; [b] Jaminan Hari Tua. - Sebesar 3,7% dari upah sebulan ditanggung pengusaha - Sebesar 2% dari upah sebulan ditanggung tenaga kerja [c] Jaminan Kematian (JK), sebesar 0,30 % dari upah sebulan ditanggung pengusaha. [d] Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) ditanggung pengusaha: - sebesar 6 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga; - 3 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga.
Walaupun namanya iuran, karena menurut Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1992 bahwa program jaminan sosial tenaga kerja pengelolaannya dapat dilakukan dengan mekanisme asuransi. Karena itu PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja bisa disebut perusahaan asuransi. Sehingga istilah "iuran" diatas bisa juga disebut "premi".
Berdasarkan ketentuan diatas maka, atas premi yang dibayarkan kepada PT Jamsostek yang merupakan tanggung jawab pengusaha (pemberi kerja) merupakan penghasilan bagi pegawai. Sebaliknya, bagi pengusaha yang membayarkan akan menjadi biaya. Khusus iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari upah sebulan merupakan tanggungan tenaga kerja (pegawai) dan dapat dibiayakan (mengurani penghasilan bruto). Halaman 1 Lampiran PER-31/PJ/2009 diantaranya menyebutkan: jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan;
- biaya jabatan, serta; - iuran pensiu; - iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau; - Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan
melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek. Berapa sebenarnya yang ditanggung pengusaha (pemberi kerja).
Kalau lihat persentase diatas maka karyawan bisa menjumlahkan total persentase dari upah sebulan.
- Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), sebesar 1,74% ( kelompok V ); - Iuran Jaminan Hari Tua, sebesar 3,7%; - Premi Jaminan Kematian (JK) sebesar 0,3%;
- Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehataan (JPK) sebesar 6% ( sudah berkeluarga ) Total yang ditanggung pengusaha 11,74% dari upah sebulan. Karena premi yang
dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan, maka atas premi ini tentu wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja. Artinya persentasenya akan berkurang sebesar 11,74% dikurangi PPh Pasal 21. Padahal jumlah yang harus diterima oleh PT Jamsostek tidak boleh berkurang dari 11,74%. Bagaimana kebijakan pajak atas penerapan skema pajak penghasilan tersebut. PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja dengan metode gross-up . PPh Pasal 21 yang ditanggung tersebut harusnya termasuk PPh Pasal 21 atas premi Jamsostek yang ditanggung oleh pengusaha.