mengkambinghiamkan kesalahan pada atasan atau rekan kerja, berkompetisi untuk hal-hal yang tidak menguntungkan, dan lain sebagainya.
Terakhir, kuadran keempat adalah agresi pribadi atau personal aggression, yaitu mengandung pengertian penyimpangan perilaku kerja
karyawan yang dinilai serius karena dapat membahayakan pribadi individu lainnya dalam organisasi, dan juga dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku
dalam cara yang agresif atau menciptakan permusuhan terhadap anggota organisasi lainnya. Contoh penyimpangan perilaku kerja karyawan dalam hal
ini adalah melakukan pelecehan seksual, pelecehan verbal, mencuri barang- barang milik atasan atau rekan kerja, mengancam atasan atau rekan kerja, dan
lain sebagainya.
3. Kategori Perilaku Kerja Kontraproduktif
Gruys dalam Anderson, Ones, Sinangil, Viswesvaran, 2001 mengemukakan 11 kategori dari perilaku kerja kontraproduktif. 11 kategori
perilaku kerja kontraproduktif ini merupakan gambaran dari perilaku yang masuk ke dalam perilaku kerja kontraproduktif:
a. Pencurian dan perilaku yang terkait theft and related behavior yaitu
pencurian uang tunai atau barang milik perusahaanorganisasi, memberikan pelayanan atau barang tanpa seijin organisasiperusahaanm
dan penyalahgunaan diskon karyawan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Merusak barang
destruction of property yaitu merusak atau
mengahancurkan barang-barang milik perusahaanorganisasi serta sabotase produksi dari organisasiperusahaan.
c. Menyalahgunakan
informasi misuse
of information
yaitu mengungkapkan atau menyebarkan rahasia organisasiperusahaan serta
memalsukan informasi mengenai organisasiperusahaan. d.
Menyalahgunakan waktu dan sumber daya misuse of time and resources yaitu membuang-buang waktu, memalsukan jam kerja, dan melakukan
pekerjaan pribadi di waktu bekerja. e.
Perilaku tidak aman yang membahayakan organisasiperusahaan unsafe behavior seperti gagal mengikuti atau gagal mempelajari prosedur yang
benar. f.
Tingkat kehadiran yang rendah pool attendance seperti absen atau datang terlambat tanpa alasan yang jelas serta menyalahgunakan ijin
sakit. g.
Rendahnya kualitas kerja poor quality work seperti dengan sengaja bekerja secara lambat atau melakukan suatu pekerjaan dengan tidak rapi.
h. Penggunaan alkohol alcohol use seperti meminum alkohol pada saat
bekerja atau darang ke kantor dalam keadaan mabuk akibat penggunaan alkohol.
i. Penggunaan obat-obat terlarang
drug use
seperti memiliki, menggunakan, dan menjual obat-obatan di tempat kerja.
j. Berbicara kasar inappropriate verbal actions seperti berdebat dengan
pelanggan atau secara lisan melecehkan teman kerja. k.
Kekerasan fisik inapprovite physical actions seperti menyerang sesama teman kerja dan melakukan pelecehan seksual kepada sesama pekerja.
4. Faktor Penyebab Perilaku Kerja Kontraproduktif
Vardi dkk dalam Kanten Ulker 2013 mengemukakan ada dua faktor penyebab perilaku kontraproduktif yaitu faktor individu dan faktor
organisasi. Faktor individu yakni kesadaran, efektivitas negatif, keramahan, filsafat moral, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, senioritas, status
perkawinan, dan kecerdasan emosi. Faktor organisasi yakni : keadilan organisasi, dukungan organisasi yang dirasakan, tekanan sosial untuk
menyesuaikan diri, sikap negatif dan untrusting dari manajer rekan kerja, perselisihan dengan tujuan organisasi dan harapan, ambiguitas tentang
pekerjaan, gaya manajemen, iklim etika organisasi, iklim organisasi.
C. Dinamika Hubungan Antara Keadilan Distributif dan Perilaku Kerja Kontraproduktif
Landy dan Conte 2010 menyatakan bahwa keadilan distributif didefinisikan sebagai keadilan yang dirasakan dari alokasi hasil atau imbalan kepada anggota
organisasi. Menurut Greenberg dan Colquitt dalam Nurfianti Handoyo, 2013 ketika outcome dialokasikan, individu sering membuat penilaian apakah hasil
yang diterima adil atau tidak. Penilaian ini disebut sebagai penilaian keadilan distributif, karena hal ini merupakan sebuah assesment tentang bagaimana
sumber daya didistribusikan atau dialokasikan kepada individu. Cropanzo, Bowen dan Gililand dalam Usmani Jamal, 2013 membagi keadilan distributif
kedalam tiga komponen, yaitu : kewajaran equity, persamaan equality, dan kebutuhan need. Kewajaran yaitu menghargai karyawan berdasarkan
kontribusinya, persamaan yaitu memberikan kompensasi kepada setiap karyawan yang secara garis besar sama, dan kebutuhan yaitu menyediakan benefit
berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang. Keadilan distributif berfokus pada persepsi seseorang tentang adil atau
tidaknya outcome atau hasil yang mereka terima Handi Suhariandi dalam Febriani Nurtjahjanti, 2006. Menurut Cowherd dan Levine dalam Pareke,
Bachri Astuti, 2003 pada saat individu mempersepsikan bahwa rasio masukan-masukan yang mereka berikan terhadap imbalan yang mereka terima
adalah seimbang, maka mereka akan merasakan adanya kewajaran equity. Pada saat individu mempersepsikan bahwa rasio masukan-masukan yang mereka
berikan terhadap imbalan yang mereka terima tidak seimbang, maka mereka akan merasakan adanya ketidakwajaran.
Keadilan distributif mempunyai pengaruh terhadap anggota organisasi. Menurut Raza, Rana, Qadir dan Rana, 2013 keadilan distributif memiliki
dampak terhadap komitmen organisasi. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
setiap kali ada penggunaan adil keadilan distributif maka karyawan akan lebih berkomitmen untuk organisasi.
Menurut Rifai, Begley, dan Pillai dalam Hasmarini Yuniawan, 2008 yang menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan kerja. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Hasmarini dan Yuniawan 2008 menyatakan bahwa keadilan distributif
berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti semakin karyawan merasa keadilan atas pengalokasian imbalan di perusahaan kepada para
karyawannya maka akan semakin puas mereka atas pekerjaan mereka, begitu sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramamoorthy, Flood dan Pareke yang menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh positif dan signifikan
terhadap komitmen afektif dalam Hasmarini Yuniawan 2008. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hasmarini dan Yuniawan 2008
dimana hasil tersebut menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh terhadap komitmen
afektif. Hal ini berarti bahwa jika karyawan merasa adil terhadap pengalokasian imbalan pada perusahaan, maka mereka akan cenderung setia pada perusahaan
karena telah memiliki keterkaitan emosional dengan perusahaan dan merasa bahwa perusahaan tersebut sesuai dengan nilai dan tujuan mereka.
Skarlicki dan Folger dalam Pareke, 2002 menemukan bahwa ketidakadilan dalam pendistribusian hasil-hasil organisasi akan mendorong karyawan untuk
melakukan tindakan-tindakan balas dendam retaliatory behavior, seperti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI