1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia new global food safety, saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan
teknis dalam perdagangan bebas technical barrier to trade -TBT Wallace et al. 2011. Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and
phytosanytary SPS, telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan, keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi
pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan dunia global food trading juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya
hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya Caswell 2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011. Perubahan ini
memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena
mengkonsumsi bahan pangan foodborne disease. Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya
keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini.
Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data, bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus
diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang batas 10 mg100 gram daging atau 100 ppm EC 2007. Food and Drugs
Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13 kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna
selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas FDA 2009. Selanjutnya Emborg et al. 2005 menyampaikan bahwa histamin saat ini
merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 semua kasus keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini.
Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak spoiled atau terkontaminasi
bakteri. U mumnya kadar histamin telah melebihi ≥50 mg100 g Lehane dan
Olley 2000. Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25
o
C Keer et al. 2002. Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae,
umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan Olley 2000 menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 gkg
pada ikan herring sampai 15 gkg pada tuna. Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi
histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. 2009 tentang
kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum
25
o
C dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20
o
C, sedangkan Lehane dan Olley 2000 menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat
menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10
o
C adalah family Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp.
dan Raoultella spp. Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak highly
perishable, ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik
Keer et al. 2002. Kajian Guizaini et al. 2005 pada yellowfin tuna menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0
o
C selama 17 hari, memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA 5 mg100 g
dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8
o
C selama 4 hari dan 40
o
C selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara
baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses
produksi hilir perdagangan retail atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi. Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang
disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang
ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut traceability system Raspor 2005. Kajian McMeekin 2006 menunjukkan bahwa
perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk
pangan dari pasar recall procedures, terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly
2010 juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali
suatu produk yang diidentifikasi tidak aman. Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa
timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa EC No. 178,
artikel 18 telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan
penarikan produk berbahaya recall procedures yang terdapat di pasaran. ISO 22005 2007 sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di
dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk
tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan one step forward dan satu langkah ke belakang one step backward. ISO 22000 2005 juga
menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan
kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi. Namun, Folinas et al. 2006 menyampaikan bahwa dalam
implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas
memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah efisien untuk produk mereka.
Folinas et al. 2006 selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis, efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan
mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk. Kajian Larsen 2003 memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode
pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian
Senneset et al. 2007 juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem
traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas.
Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen 2003 memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti
distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang repacking beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau
organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan
informasi, Larsen 2003 menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan standar
traceability, misalnya
yang tercantum
dalam tracefish
http:www.tracefish.org. Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem
elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi chain traceability yang ada. Selanjutnya Folinas et al. 2007 menyampaikan bahwa
standar tracefish menggunakan basis bahasa XML extensible markup language, untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem
traceability secara elektronik electronic exchange antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua
standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil budidaya farmed fish distribution chain dan ikan hasil tangkapan captured fish
distribution chain. Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia
menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran traceability bagi para pelaku usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19MEN2010 Bab II pasal 3 huruf C KKP 2010. Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan
sistem traceability. Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi
untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan
dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna
Indonesia di dunia.
1.2 Tujuan