IMP  dominan  terakumulasi  dalam  otot  ikan.  Reaksi  ini  diyakini  sebagai  proses autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang
terdapat  pada  daging  ikan  sedangkan  perubahan  IMP  menjadi  Ino  dan  HX dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri Surette et al. 1988.
Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati dan  selama  proses  autolisis  akan  terbentuk  histamin  dari  hasil  dekarboksilasi
histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25
o
C Keer et al. 2002. Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan sendiri,  namun  sebagian  besar  enzim  tersebut  dihasilkan  oleh  mikroba  yang
terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi Keer  et  al.  2002.  Kimata  1961  pada  mulanya  menduga  bahwa  pembentukan
histamin  disebabkan  karena  proses  autolisis,  namun  ternyata  peranan  proses autolisis  terhadap  pembentukan  histamin  sangat  kecil  dan  diabaikan  jumlahnya,
jika  dibandingkan  jumlah  histamin  yang  terbentuk  karena  proses  dekarboksilasi oleh bakteri.
Bakteri  pembentuk  histamin  kebanyakan  dari  famili  Enterobacteriaceae yang  jenisnya  sangat  banyak,  namun  yang  paling  berperan  dalam  dekarboksilasi
histidin  adalah  Morganella  morganii,  Klebsiella  pneumonia,  dan  Hafnia  alvei. Bakteri  ini  dapat  ditemukan  pada  hampir  semua  jenis  ikan,  kemungkinan  besar
hasil  kontaminasi  pasca  panen.  Bakteri  penghasil  histamin  ini  tumbuh  baik  pada suhu 10
o
C, tetapi dapat juga tumbuh pada 5
o
C. Oleh karena itu, Food and Drug Administration  FDA  menetapkan  bahwa  batas  kritis  suhu  untuk  pertumbuhan
histamin  adalah  4,4
o
C.  Bakteri  penghasil  histamin  ini  memproduksi  enzim dekarboksilase  yang  akan  mengubah  histidin  bebas  pada  daging  ikan  menjadi
histamin  dan  amin  biogenik  lain  seperti  putresin  dari  ornitin,  kadaverin  dari lisin,  dan  spermidin  dan  spermin  dari  arginin  Lehane  dan  Olley  2000.
Toksisitas  histamin  bertambah  ketika  ada  amin  biogenik  lain  yang  ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin Rossi et al. 2002.
2.2 Traceability
Codex  Alimentarius  CACGL  60-2006  menyatakan  bahwa  traceability adalah  kemampuan  untuk  mengikuti  pergerakan  dari  makanan  selama  tahap
proses produksi dan distribusi. The International Organization for Standarization
9000:2000  ISO  9000:2000  mendefinisikan  traceability  sebagai  kemampuan untuk  menelusuri  sejarah,  aplikasi,  atau  lokasi  dari  hal  dibawah  pertimbangan,
dan  catatan  yang  dapat  menghubungkan  produk  dengan  asal  bahan  dan  sejarah proses  produk,  serta  distribusi  produk.  General  Food  Law  Regulation  1782002
Uni  Eropa  pada  artikel  3  nomor  15  mendefinisikan  traceability  sebagai kemampuan menelusuri  makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan
atau pakan, dalam setiap tahap proses produksi dan distribusi. Masalah  keamanan  pangan  pada  masa  perdagangan  global  saat  ini  telah
memaksa  timbulnya  regulasi  mengenai  traceability  Senneset  dan  Foras  2007. Berbagai regulasi tentang sistem jaminan keamanan pangan dan traceability telah
tersedia  di  berbagai  negara.  Uni  Eropa  General  Food  Law  Regulation  EC  178, klausul  18  telah  diberlakukan  mulai  tanggal  1  Januari  2005.  Regulasi  ini
mencakup  elemen  penting  seperti  aturan  traceability  dan  penarikan  produk berbahaya  Recall  Procedures  yang  terdapat  di  pasaran.  Aturan  ini  menyatakan
bahwa  traceability  didefinisikan  sebagai  kemampuan  untuk  menelusuri  produk, pakan,  bahan  yang  digunakan  untuk  konsumsi  melalui  semua  tahapan  produksi,
pengolahan dan distribusi produk Official Journal of the European Communities 2002.  Amerika  sejak  peristiwa  11  September  telah  pula  mengeluarkan  The  US
Public  Health  Security  and  Bioterrorism  Preparedness  and  Response  Act  pada tahun  2002.  Regulasi  ini  memberikan  kekuasaan  bagi  FDA  Food  and  Drugs
Administration  melakukan  perlindungan  terhadap  keamanan  pangan  nasional dengan  melakukan  berbagai  langkah,  salah  satu  diantaranya  adalah  pembuatan
dan  pemeliharaan  rekaman  record  keeping  untuk  kepentingan  traceability Thakur dan Hurburgh 2009.
ISO  22005  2007  sebagai  ketentuan  standar  yang  dipakai  secara  luas  di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal
harus  mampu  mengidentifikasi  siapa  pemasoknya  dan  kepada  siapa  produk tersebut  didistribusikan,  dalam prinsip satu  langkah ke depan  one step forward
dan  satu  langkah  ke  belakang  one  step  backward.  ISO  22000  2005  juga menyebutkan  bahwa  setiap  organisasi  atau  industri  harus  membuat  dan
melaksanakan  sistem  traceability  yang  dapat  mengidentifikasi  unit  produk  dan
kode  batch  produk  yang  menghubungkan  rekaman  bahan  baku,  proses  dan distribusi.
Penerapan traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui beberapa  tahap,  yakni  analisis  sistem,  asesmen  traceability,  prosedur  penarikan
produk,  dan  dokumentasi  dan  perekaman  Derrick  dan  Dillon  2004.  Berikut adalah penjelasan tiap-tiap tahapan:
A. Analisis sistem Analisis  sistem  merupakan  langkah  pertama  dalam  mengembangkan
sistem  traceability  yaitu  melakukan  analisis  prosedur-prosedur  yang  ada  dalam industri  pengolahan  ikan  untuk  menetapkan  elemen  apa  yang  telah  ada  dan  dan
memastikan  langkah  kunci  dalam  pengembangan  sistem  telah  teridentifikasi. Secara  umum  menganalisis  sistem  produksi  yang  diterapkan  perusahaan  sebagai
langkah kunci dalam penerapan sistem traceability. Analisis tersebut Derrick dan Dillon 2004 terdiri atas:
1  Membuat tim manajemen Tindakan awal dalam pengembangan sistem traceability adalah membuat tim
manajemen.  Penting  bagi  perusahaan  menunjuk  seseorang  yang  memiliki kemampuan  untuk  memimpin  tim,  memiliki  pengetahuan  mengenai
traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi. 2  Membuat diagram tahapan proses produksi.
Tahapan proses produksi yang dimaksud dimulai dari tahap pengadaan bahan baku raw material hingga pemuatan produk akhir di dalam kontainer.
3  Membuat prosedur identifikasi Prosedur  identifikasi  disusun  berpatokan  pada  diagram  alir  proses  produksi
yang  telah  dibuat.  Pembuatan  prosedur  identifikasi  bertujuan  untuk menentukan  format  alat-alat  dokumentasi  serta  menetukan  pihak-pihak  yang
bertanggung jawab terhadap rekaman tersebut. 4  Melakukan perekaman pada setiap tahapan proses produksi.
Perekaman  pada  tiap  tahap  proses  bertujuan  mengidentifikasi  dan  merekam setiap hal yang berhubungan dengan produk baik pekerja, lingkungan, bahan
tambahan pada produk, dan hal-hal lain yang diperlukan.
5  Verifikasi Verifikasi  merupakan  bagian  penting  dalam  sistem  perekaman  terutama
sebagai alat konfirmasi dengan manajemen tingkat atas. B. Asesmen traceability
Asesmen traceability
merupakan sebuah
kegiatan menentukan
kemampuan  suatu  prosedur  dan  perekaman  mendukung  penerapan  sistem traceability  di  unit  pengolahan.  Asesmen  traceability  di  unit  pengolahan
dilakukan dengan menggunakan traceability decision tree. Traceability  decission  tree  diawali  dengan  menjawab  pertanyaan  pada
masing-masing proses produksi secara berurutan Derrick dan Dillon 2004 yang meliputi :
1  Identifikasi  prosedur dan rekaman perusahaan  yang menyangkut  traceability. Apabila  dokumen  dalam  tiap  proses  yang  dibutuhkan  untuk  menjamin
traceability tidak ada, maka prosedur harus dimodifikasi. 2  Identifikasi  apakah  kode  pengenal  batch  yang  dicatat  berdasarkan  hubungan
data proses dengan masing-masing batch. 3  Identifikasi apakah kode pengenal batch dipindahkan dengan produk ke tahap
selanjutnya. Apabila  jawaban  semua  pertanyaan  tersebut  adalah  tidak,  maka  perlu
dilakukan  perubahan  rekaman  atau  prosedur  untuk  memperbaiki  pelaksanaan traceabiliy  selama  di  dalam  industri.  Diagram  alir  metode  traceability  decision
tree dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Skema traceability decision tree Derrick dan Dillon 2004. C. Prosedur penarikan produk recall
Prosedur  penarikan  produk  recall  akan  terlihat  manfaatnya  pada  saat suatu  produk  diketahui  mengandung  bahaya  oleh  pihak  yang  bersangkutan  yaitu
penjual  atau  pembeli.  Jika  demikian,  maka  produk  akan  ditarik  dari  peredaran maupun  dari  tahapan  proses  produksinya.  Adapun  prosedur  recall  produk  terdiri
atas: 1  Membuat tim manajemen recall produk
2  Membuat file produk yang dikomplain 3  Mencatat pihak yang melaporkan komplain
4  Menelusuri rantai produk 5  Menelusuri rekaman persediaan dan distribusi produk
6  Membuat tata cara penarikan produk yang memungkinkan 7  Mencatat penarikan produk
8  Evaluasi dan merancang penarikan produk yang lebih efektif 9  Uji coba rencana penarikan
Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?
Q1
Lanjut ke tahap selanjutnya Apakah rekaman diperlukan untuk
menelusuri produk ? Q1a
Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini
Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk
kode batch
Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk
kode batch Apakah kode batch diikutsertakan
dalam rekaman ? Q2
Apakah kode batch pada produk diikutsertakan pada tahapan
proses selanjutnya ? Q3
ya ya
tidak
tidak
tidak tidak
ya
ya
D. Dokumentasi dan perekaman Setelah  semua  tahapan  penerapan  sistem  traceability  dilakukan,  kegiatan
selanjutnya  adalah  mendokumentasikan  serangkaian  kegiatan  yang  telah dilakukan  sebagai  arsip  apabila  kelak  dibutuhkan  perusahaan.  Rekaman  mutu
mewakili  bukti  bahwa  prosedur  mutu  yang  diharuskan  telah  diterapkan  pada produk  dan  jasa  yang  ditentukan.  Rekaman  harus  dalam  keadaan  sah,  mudah
diidentifikasi,  dan  mudah  ditemukan.  Pembentukan  divisi  pada  perusahaan  yang spesifik menangani masalah traceability sangat direkomendasikan.
2.3 Sistem Informasi