tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun produksi; dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
13 Penyimpanan
Penyimpanan  tuna  loin  beku  dalam  gudang  beku  cold  storage  dengan suhu  maksimal  -25
o
C  dengan  fluktuasi  suhu  ±2
o
C.  Penataan  produk dalam  gudang  beku  diatur  sedemikian  supa  sehingga  memungkinkan
sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan
The  International  Organization  for  Standarization  9000:2000  ISO 9000:2000  mendefinisikan  mutu  sebagai  derajat  dari  serangkaian  karakteristik
produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam bidang perikanan mutu identik dengan kesegaran ikan. Kesegaran ikan berkaitan
dengan  semua  total  karakteristik  produk  yang  baru  dipanen  dengan  ciri  tidak rusak,  tidak  menunjukkan  tanda  pembusukan,  tetap  memiliki  sifat  karakteristik
spesies  hidup  baik  dalam  bentuk  utuh,  fillet  atau  potongan  Bremner  dan Sakaguchi  2000.  Bahan  baku  yang  baik  dan  sesuai  dengan  Standar  Nasional
Indonesia  SNI  01-4104.2-2006  harus  memiliki  karakteristik  kesegaran  secara organoleptik seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01-4104.2-2006
Indikator Karakteristik
Rupa Bersih
Kenampakan Mata cerah, cemerlang
Bau Segar
Tekstur Elastis, padat dan kompak
Sumber: Badan Standardisasi Nasional 2006
Untuk  mempertahankan  mutu  ikan  segar,  bahan  baku  harus  secepatnya diolah.  Apabila  terpaksa  harus  menunggu  proses  lanjutan  maka  ikan  harus
disimpan  dengan  penyimpanan  dingin  atau  penampungan  dengan  suhu  produk maksimal 5
o
C, saniter dan higienis SNI 01-2729.3-2006.
Kemunduran  mutu  ikan  didasarkan  tiga  mekanisme  yaitu  proses  autolisis oleh  enzim,  oksidasi,  dan  pertumbuhan  mikroba  Ghaly  et  al.  2010.  Perubahan
utama yang terjadi pada kemunduran mutu ikan adalah kerusakan dari protein dan lemak  Mahmoud  et  al.  2006.  Huss  1995  menyatakan  bahwa  pada  penurunan
kualitas  ikan  selama  penyimpanan,  pembusukan  periode  penyimpanan  awal didominasi  oleh  proses  autolisis  dan  digantikan  oleh  perubahan  akibat  aktivitas
bakteri pada periode selanjutnya. Menurut Haard 1992 pada daging ikan terdapat beberapa enzim protease seperti katepsin, tripsin, kemotripsin, dan peptidase yang
bekerja  pada  otot  selama  postmortem.  Perubahan  pada  daging  ikan  sebagai  hasil reaksi ini dapat menguntungkan kondisi untuk perkembangbiakan bakteri.
Setelah ikan mati, pasokan oksigen ke jaringan otot akan terganggu karena darah  tidak  lagi  dipompa  oleh  jantung  dan  tidak  disirkulasikan  melalui  insang.
Karena  tidak  ada  oksigen  yang  tersedia  untuk  respirasi  normal,  produksi  energi dari  nutrisi  sangat  dibatasi.  Glikogen  karbohidrat  yang  disimpan  atau  lemak
akan  teroksidasi  oleh  enzim  pada  jaringan  dalam  serangkaian  reaksi  yang akhirnya  menghasilkan  karbon  dioksida  CO
2
,  air  dan  senyawa  kaya  energi organik  adenosin  trifosfat  ATP.  Jenis  respirasi  berlangsung  dalam  dua  tahap:
secara  anaerob  dan  aerob  yang  tergantung  pada  kandungan  oksigen  O
2
yang tersedia dalam sistem peredaran darah Huss 1995.
Autolisis  pada  prinsipnya  adalah  reaksi  enzimatik,  yang  berlangsung  di jaringan ikan. Enzim dan reaksi kimia dalam otot ikan yang terkait tidak langsung
terhenti setelah kematian ikan. Kelanjutan aktivitas enzim memulai proses lainnya seperti rigor mortis, yang merupakan dasar untuk pembusukan autolisis pada ikan
Huss  1995.  Tahap  rigor  mortis  pada  ikan  ditandai  dengan  penurunan  pH dikarenakan pemecahan glikogen menjadi asam laktat Green 2011.
Degradasi  nukleotida  pada  daging  ikan  setelah  mati  telah  diteliti  selama puluhan  tahun  dan  dianggap  sebagai  salah  satu  indeks  utama  untuk  menilai
kesegaran ikan. Setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous yang  menyebabkan  pembentukan  berturut-turut  adenosin-5-difosfat  ADP,
adenosin-5-monophosphate  AMP,  inosin-5-monophosphate  IMP,  inosin  Ino atau  HxR  dan  hipoksantin  Hx  yang  degradasi  ke  xanthine  X  dan  uric  acid
U. Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
IMP  dominan  terakumulasi  dalam  otot  ikan.  Reaksi  ini  diyakini  sebagai  proses autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang
terdapat  pada  daging  ikan  sedangkan  perubahan  IMP  menjadi  Ino  dan  HX dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri Surette et al. 1988.
Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati dan  selama  proses  autolisis  akan  terbentuk  histamin  dari  hasil  dekarboksilasi
histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25
o
C Keer et al. 2002. Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan sendiri,  namun  sebagian  besar  enzim  tersebut  dihasilkan  oleh  mikroba  yang
terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi Keer  et  al.  2002.  Kimata  1961  pada  mulanya  menduga  bahwa  pembentukan
histamin  disebabkan  karena  proses  autolisis,  namun  ternyata  peranan  proses autolisis  terhadap  pembentukan  histamin  sangat  kecil  dan  diabaikan  jumlahnya,
jika  dibandingkan  jumlah  histamin  yang  terbentuk  karena  proses  dekarboksilasi oleh bakteri.
Bakteri  pembentuk  histamin  kebanyakan  dari  famili  Enterobacteriaceae yang  jenisnya  sangat  banyak,  namun  yang  paling  berperan  dalam  dekarboksilasi
histidin  adalah  Morganella  morganii,  Klebsiella  pneumonia,  dan  Hafnia  alvei. Bakteri  ini  dapat  ditemukan  pada  hampir  semua  jenis  ikan,  kemungkinan  besar
hasil  kontaminasi  pasca  panen.  Bakteri  penghasil  histamin  ini  tumbuh  baik  pada suhu 10
o
C, tetapi dapat juga tumbuh pada 5
o
C. Oleh karena itu, Food and Drug Administration  FDA  menetapkan  bahwa  batas  kritis  suhu  untuk  pertumbuhan
histamin  adalah  4,4
o
C.  Bakteri  penghasil  histamin  ini  memproduksi  enzim dekarboksilase  yang  akan  mengubah  histidin  bebas  pada  daging  ikan  menjadi
histamin  dan  amin  biogenik  lain  seperti  putresin  dari  ornitin,  kadaverin  dari lisin,  dan  spermidin  dan  spermin  dari  arginin  Lehane  dan  Olley  2000.
Toksisitas  histamin  bertambah  ketika  ada  amin  biogenik  lain  yang  ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin Rossi et al. 2002.
2.2 Traceability