dengan keadilan, sementara itu pihak yang memperoleh banyak ikan sebagai efek dari regulasi merupakan sebuah keluaran yang terkait dengan kriteria keadilan
distributif. Seberapa cepat dan sering para pelanggar terdeteksi, ditangkap dan dihukum adalah peubah proses yang terkait dengan efisiensi dan efektivitas.
Kemudian, bagaimana pelanggar diperlakukan, dan bagaimana hukum ditegakan secara konsisten adalah peubah proses yang terkait dengan keadilan prosedural
Kuperan dan Sutinen, 1998.
2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu
Keputusan nelayan dalam melakukan tindakan legal atau illegal telah menarik cukup banyak perhatian para ahli ekonomi, baik melalui penelitian
empiris maupun konseptual. Kebanyakan para ahli ekonomi tersebut mengembangkan pemikirannya dari model yang dikenal dengan model dasar
pencegahan deterrence model, dan sebagian lagi mengembangkannya dari principle
-agent model. Kemudian, sejauh penelusuran literatur di Indonesia, penelitian mengenai respon nelayan terhadap regulasi perikanan nampaknya
masih langka. Penelitian terkait penangkapan ikan secara illegal di Indonesia nampak berkembang di Irian Jaya dan Sulawesi, meski secara disipliner tidak
terkait dengan model dasar pencegahan yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi sebelumnya.
Dalam literatur yang telah terpilih, artikel Kuperan dan Sutinen 1998 tampak menjadi pelopor yang membuka studi mengenai tingkat kepatuhan
nelayan terhadap regulasi perikanan. Model penelitiannya diperluas oleh para ahli ekonomi berikutnya, seperti Charles et al.1999, Nielsen dan Mathiasen 1998,
Schmidt 2005, Sumaila dan Keith 2006, Shaw dan Sutinen 2006, Arnason
2007, Eggert dan Lokina 2008, Akpalu 2009, King dan Sutinen 2009, dan Girvan 2009.
Terdapat dua hal yang menjadi subyek perhatian para ahli ekonomi tersebut, yaitu insentif nelayan untuk mematuhi aturan perikanan dan model dasar
pencegahan. Kuperan dan Sutinen 1998, Sumaila dan Keith 2006 serta Eggert dan Lokina 2008 mengidentifikasi tiga macam kelompok nelayan di dalam
merespon aturan perikanan, yaitu nelayan patuh non-violator, nelayan moderat opportunistic atau alternating dan nelayan kronis atau pelanggar mapan
persistent violator. Sintesa dari ulasan hasil penelitian tersebut menampilkan beberapa insentif
ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi keputusan nelayan diantara tindakan legal dan illegal. Insentif ekonominya mencakup hasil tangkapan per
unit upaya catch per unit effort, CPUE, harga ikan dan implikasi biaya penangkapan ikan dari tindakan legal dan illegal. Sementara itu, insentif non
ekonominya mencakup legitimasi, pengawasan dan penegakan, denda atas tindakan illegal, pertimbangan moral nelayan, dan lingkungan sosial nelayan.
Terdapat materi yang menarik untuk didiskusikan, yaitu hasil penelitian Kuperan dan Sutinen 1998 dengan Eggert dan Lokina 2008. Keduanya
mengaplikasikan pendekatan ekonometrika untuk menjelaskan peluang nelayan untuk melanggar atau mematuhi peraturan perikanan. Kuperan dan Sutinen 1998
mengestimasi peluang tersebut dengan model probit dan tobit untuk mengestimasi peluang nelayan untuk melanggar atau mematuhi aturan perikanan, sedangkan
Eggert dan Lokina 2008 menggunakan model ordered probit untuk mengestimasi peluang nelayan mejadi pelanggar mapan, pelanggar oportunis dan
patuh. Keduanya menggunakan jumlah bulan melaut untuk mengidentifikasi tindakan legal dan illegal. Obyek penelitian yang mereka kaji berbeda. Kuperan
dan Sutinen mengambil obyek penelitian dari nelayan Peninsular-Malaysia, sedangkan Eggert dan Lokina 2008 mengambil obyek penelitian dari nelayan di
Danau Victoria. Variabel yang mereka gunakan untuk merepresentasikan insentif ekonomi
adalah harapan CPUE, dan keduanya memberikan simpulan yang serupa bahwa perbedaan harapan CPUE dari tindakan legal dan illegal signifikan mempengaruhi
peluang nelayan untuk memilih kedua tindakan tersebut. Harapan CPUE dari tindakan illegal yang lebih besar dari CPUE tindakan legal, dapat memperbesar
peluang nelayan untuk memilih tindakan illegal. Perbedaannya terletak pada variabel signifikansi legitimasi.
Hasil penelitian kedua tim peneliti tersebut menampilkan suatu perdebatan pada aspek legitimasi aturan perikanan. Hasil estimasi Kuperan dan Sutinen
1998 menampilkan bahwa variabel legitimasi tidak signifikan mempengaruhi pilihan nelayan, sedangkan temuan Eggert dan Lokina 2008 menampilkan
sebaliknya. Dengan perkataan lain, variabel legitimasi tidak menjadi insentif bagi nelayan menurut analisis Kuperan dan Sutinen 1998. Variabel legitimasi yang
mereka gunakan menghimpun beberapa sub variabel. Sub variabel legitimasi yang serupa diantara keduanya adalah kelayakan hukuman terhadap nelayan yang
melanggar dan tingkat penegakan aturan perikanan yang dilakukan aparat. Kuperan dan Sutinen 1998 memberikan dua klarifikasi. Pertama, terdapat
kesalahan dalam teori legitimasi, dan harus dimodifikasi, karena pilihan tindakan legal
dan illegal oleh nelayan hanya dimotivasi oleh sesuatu yang nyata, dan
kedua , terdapat kelemahan dalam pengukuran variabel legitimasi yang mereka
gunakan. Insentif ekonomi yang muncul dari implikasi harga ikan dan biaya dari
tindakan legal dan illegal muncul dari hasil studi konseptual Charles et al.1999 dan Sumaila dan Keith 2006. Keduanya menggunakan analisa statika komparatif
untuk membuktikan efek variabel tersebut terhadap pilihan nelayan diantara tindakan legal dan illegal.
Secara konseptual, model pencegahan yang digunakan Kuperan dan Sutinen dikembangkan oleh Charles et al.1999, Sumaila dan Keith 2006,
Arnason 2007, Eggert dan Lokina 2008, Akpalu 2009, dan Girvan 2009 untuk menangkap fenomena aktual yang lebih kompleks. Charles et al.1999
memandang bahwa perilaku mikroekonomi nelayan perlu dibedakan menurut jenis regulasi yang dihadapinya, yaitu regulasi input dan output. Regulasi input
merupakan aturan yang mencegah nelayan dari penggunaan alat tangkap destruktif yang dinilai illegal. Sedangkan regulasi output merupakan aturan yang
mencegah nelayan dari kelebihan hasil tangkapan atas kuota penangkapan yang dimilikinya. Melalui pendekatan matematika ekonomi, Charles et al.1999 dapat
mengidentifikasi bahwa dalam menghadapi regulasi input perikanan, terdapat beberapa faktor yang berpotensi mendorong nelayan untuk melanggar regulasi
alat tangkap illegal, yaitu harga ikan, upaya penegakan, biaya pengadaan input illegal
dan biaya yang timbul dari kegiatan penghindaran avoidance terhadap upaya penegakan regulasi. Proposisinya menyatakan bahwa tingginya harga ikan
dapat mendorong nelayan untuk tidak mematuhi regulasi input. Sedangkan, tingginya upaya penegakan dapat menimbulkan tingginya biaya penghindaran,
sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan nelayan, begitupun halnya dengan perubahan dalam biaya pengadaan input illegal.
Sumaila dan Keith 2006 menangkap bahwa faktor moral dan sosial tidak dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan nelayan di dalam memilih kegiatan
legal dan illegal. Longgarnya pertimbangan moral dan sosial dalam pengambilan
keputusan menimbulkan konsekuensi kehilangan moral, dan munculnya sanksi atau tekanan secara sosial. Pendekatan matematika ekonomi yang mereka
mengemukakan bahwa faktor moral dan sosial menjadi pembobot atau moderasi terhadap pertimbangan manfaat marjinal dari penggunaan alat tangkap illegal.
Proposisi yang muncul adalah meskipun manfaat marjinal dari alat tangkap illegal dinilai besar dari biaya marjinalnya, tapi bila nelayan menaruh bobot yang lebih
besar pada resiko kehilangan moral dan sanksi sosial, maka mereka akan cenderung mematuhi regulasi perikanan. Karena itu, dapat juga dicatat bahwa
ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan disebabkan oleh rendahnya pertimbangan moral dan pendirian sosial. Sumaila dan Keith 2006
mengaplikasikan pendekatan tersebut untuk mengkaji faktor ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perikanan illegal secara global, yaitu di Australia, Chili,
Rusia, Argentina, Jepang, Meksiko, Mauritius, Kanada dan Uruguay. Mereka melihat bahwa manfaat ekonomi dari perikanan illegal cukup signifikan
memotivasi nelayan untuk melakukan tindakan illegal. Arnason 2007 kemudian memperluas model Charles et al.1999 dengan
mempertimbangkan unsur stokastik yang melekat dalam regulasi output. Alasannya adalah terdapat perbedaan sikap terhadap resiko diantara nelayan, dan
fungsi keuntungan nelayan tidak dapat diketahui dengan sempurna karena sifat
variabilitas harga ikan. Fokus gagasannya adalah pada aspek upaya penegakan yang optimal. Di bawah unsur ketidakpastian, tingkat penegakan regulasi
perikanan akan lebih tinggi dibandingkan di bawah kondisi yang tidak mempertimbangkan unsur ketidakpastian, dan harapan manfaat sosialnya akan
lebih tinggi juga.
Kontras dengan Eggert dan Lokina 2008, Akpalu 2009 lebih fokus
kepada faktor yang menimbulkan nelayan menjadi pelanggar kronis. Secara konseptual proposisinya menyatakan bahwa untuk mendorong tingkat kepatuhan
nelayan terhadap regulasi mata jaring legal, syaratnya adalah hukuman optimal bagi pelanggar harus ditetapkan lebih tinggi pada rejim open akses teregulasi
dibandingkan rejim manajemen atau pengelolaan. Rejim pengelolaan yang dimaksud adalah masyarakat nelayan memiliki hak teritorial tertentu, sedangkan
rejim open akses teregulasi adalah aturan yang membolehkan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah manapun sepanjang regulasi ukuran mata jala
dipatuhi. Girvan 2009 kemudian mengoreksi asumsi dibalik model dasar
pencegahan. Pekerjaan tersebut ia lakukan untuk mengembangkan model ekonomi pencegahan yang ia pandang lebih realistik. Menurutnya, asumsi yang
digunakan oleh Becker 1968, dan ahli ekonomi yang mengikutinya adalah meningkatnya peluang tertangkap dan kerugian akibat tertangkap dapat meredam
tindak kejahatan. Girvan 2009 menginternalisasikan peranan kendali sosial social control, kendala struktural misalnya kemiskinan, dan keragaman sub-
budaya dan sub kelompok masyarakat.
Girvan 2009 mempertimbangkan pengaruh reputasi tindak kejahatan sub kelompok ke dalam model dasar pencegahan. Dengan memasukan sub kelompok
individu, status sub kelompoknya, dan pengaruh reputasi tersebut terhadap penegakan hukum kriminal, ia menjelaskan bagaimana keragaman reputasional
menunjang pencegahan kriminal yang mengubah efektivitas dan efisiensi beragam alternatif hukuman kejahatan serta memprediksi bagaimana tingkat hukuman
tertentu akan menghasilkan konsentrasi ekternalitas negatif terkait kejahatan dan hukuman pada anggota sub kelompok rendah. Ia telah menunjukkan bahwa model
pencegahan yang diperluas ini membuka tambahan alternatif strategi pencegahan yang dapat dicapai masyarakat secara optimal.
Meskipun perluasan model pencegahan tersebut diklaimnya lebih prediktif, tapi belum ditemukan peneliti yang mengaplikasikannya melalui
penelitian empiris, termasuk Girvan 2009 sendiri. Beberapa variabel yang sulit untuk dikuantifisir dalam model konseptualnnya adalah mengenai keragaman sub-
budaya dan sub-kelompok masyarakat. Secara empiris, model pencegahan telah digunakan juga oleh King dan
Sutinen 2009, Nielsen dan Mathiasen 1998, dan Schmidt 2005. King dan Sutinen 2009 melakukan penelitian empiris dengan menggunakan model
pencegahan. Lebih dari itu, mereka coba membuat indek Illegal Fishing Deterrence
IFD. Obyek penelitiannya adalah nelayan yang bekerja di Northeast Ground Fishery
. IFDnya diduga sebesar 0,21 artinya tingkat harapan keuntungan dari penangkapan ikan secara illegal, lima kali lebih tinggi dari harapan biayanya.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling
besar kekuatannya untuk mendorong ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan.
Nielsen dan Mathiasen 1998 menggunakan metode survey untuk mengkaji lima aspek dari nelayan, yaitu struktur industri, pengendalian dan
penegakan regulasi, isi regulasi, norma dan moral nelayan, dan prosedur pembuatan regulasi perikanan. Mereka juga menemukan bahwa struktur industri
merupakan faktor penting dalam hal kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan. Struktur industri tersebut mencakup manfaat ekonomi, kemampuan
armada, komposisi armada, demografi, dan penyebaran demografi nelayan. Metode survey yang sama digunakan Schmidt 2005. Ia menemukan
bahwa aspek manfaat-biaya menjadi faktor yang dominan bagi tingkat kepatuhan nelayan. Faktor lain yang mendorong ketidakpatuhan mencakup tingginya hasil
tangkapan dari kegiatan illegal dibandingkan dengan penangkapan ikan legal, tidak adanya pembeda antara harga ikan hasil tangkapan legal dengan illegal,
kapal IUU dapat mengurangi biaya bahan bakar, pajak, pekerja, monitoring- surveilance
-controlling, registrasi, reparasi dan pemeliharaan, perlengkapan keamanan, penipuan, moral, asuransi, dan tindakan penghindaran, dan rendahnya
biaya investasi kapal. Saw dan Sutinen 2006 mengkaji persepsi nelayan terhadap manajemen
perikanan, penegakan dan kepatuhan di perikanan demersal Northsea, yaitu armada di Atlantik Utara antara Inggris dan Skandinavia. Mereka menggunakan
kerangka pemikiran legitimasi prosedural yang dikemukakan oleh Tyler 1990. Kerangka ini digunakan juga oleh Kuperan dan Sutinen 1998. Teknik survey
mereka gunakan untuk menjelaskan perspektif nelayan terhadap efektivitas dan
keadilan manajemen perikanan. Lebih dari itu mereka juga menggali informasi mengenai pengembangan dan sosialisasi regulasi perikanan, regulasi konservasi
khusus, metode penegakan dan perspektifnya terhadap kepatuhan pada regulasi perikanan yang disertai alasannya. Hasil penelitiannya memberikan informasi
bahwa pengelola perikanan dapat meningkatkan kepatuhan nelayan dengan cara mengembangkan rasa keadilan, efisiensi dan efektivitas rencana pengelolaan dan
hasil akhir dari regulasi. Berbeda dengan para ahli ekonomi lainnya, Vestergaard 2000 dan Bailey
2007 menjelaskan masalah ketidakpatuhan nelayan dari kerangka kerja principle-agent
. Vestergaard 2000 melakukan kajian mengenai illegal landing di Timur Laut. Illegal landing adalah jumlah tangkapan nelayan yang melebihi kuota
yang dijual melalu saluran illegal. Nelayan di Timur Laut bekerja di bawah sistem kuota hasil tangkapan, tapi terdapat indikasi bahwa hasil tangkapan aktual secara
keseluruhan lebih besar dari jumlah hasil tangkapan yang ditetapkan untuk mengantisipasi menurunnya stok ikan sebagai akibat dari kelebihan penangkapan.
Kegiatan pengamatan terhadap hasil tangkapan oleh regulator terlihat sulit untuk diamati. Karena itu Vestergaard 2000 memandang masalah illegal landing
sebagai masalah moral hazard, yaitu tindakan agen, dalam hal ini adalah nelayan, yang tidak bisa diamati oleh pihak principal atau pengelola perikanan.
Vestergaard 2000 membangun model matematika ekonomi, dan melakukan simulasi model untuk menemukan alternatif kebijakan ekonomi dalam
meredam illegal landing. Hasilnya mempromosikan skema insentif dengan instrument subsidi dan pajak. Bila stok ikan aktual lebih besar dari stok optimal,
maka nelayan akan memperoleh subsidi yang sepadan dengan perbedaan stok
tersebut dikalikan dengan tingkat subsidi variabel individual. Sebaliknya, bila stok ikan aktual lebih kecil dari stok optimal, maka nelayan akan dikenakan pajak yang
sepadan dengan perbedaan jumlah stok tersebut dikalikan dengan tingkat pajak variabel ditambah denda tetap. Skema insentif tersebut dapat membuat semua
hasil tangkapan individu menjadi teramati dan pendugaan ukuran stok menjadi lebih tepat.
Kemudian, Bailey 2007 mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Raja Ampat-Irian Jaya dengan nelayan. Dimana
DKP setempat memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas untuk mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan
nelayan sebagai agen yang mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Model empiris yang dibangun Bailey 2007 termasuk ke dalam model optimisasi.
Asumsinya, nelayan harus memutuskan upaya sepanjang waktu, dengan menggunakan cara legal dan illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih atau
diskonto rente ekonomi sepanjang waktu. Mencermati hasil analisa Bailey 2007 terhadap hasil simulasi modelnya, terungkap bahwa pengawasan monitoring dan
penegakan enforcement serta denda atas illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun tingginya denda atas illegal fishing, tanpa
pengawasan yang mempertinggi peluang terdeteksinya tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing tersebut yang mengancam
tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari. Selain di Irian Jaya, kepulauan Sulawesi juga telah mengundang beberapa
penelitian. Hasil temuan Soede et al.1999 di Indonesia dapat menambah ilustrasi mengenai dampak dan biaya-manfaat ekonomi dari blast fishing. Blast fishing
adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Obyek studinya adalah rumahtangga nelayan skala individu yang menggunakan bahan
peledak bom di Sulawesi Tenggara. Hasil analisa biaya-manfaat menunjukkan bahwa setelah 20 tahun operasi blast fishing, di daerah yang memiliki potensi
pariwisata dan perlindungan pantai yang tinggi, kerugiannya diduga sebesar US 306 800 per kilometer persegi terumbu karang. Sedangkan di daerah yang
memiliki potensi pariwisata dan perlindungan pantai terendah kerugiannya diduga sebesar US 33 900 per kilometer persegi terumbu karang. Peubah biaya
dikuantifisir melalui hilangnya fungsi perlindungan pantai, hilangnya manfaat pariwisata dan hilangnya manfaat perikanan yang ramah lingkungan. Biaya
ekonomi bagi masyarakat diduga empat kali lebih tinggi dari manfaat blast fishing secara privat di daerah yang memiliki potensi pariwisata dan perlindungan pantai
yang tinggi. Mukhtar 2008
1
Berdasarkan hasil identifikasi secara perorangan terhadap pembom aktif dan non aktif, tersusun beberapa alasan utama kegiatan illegal fishing di
melakukan penelitian bersama dengan Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai mengenai illegal fishing di Waworini Sulawesi
Tenggara. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap responden masyarakat biasa, nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas,
dan pemerintah kelurahan, ditemukan 2 dua komponen kegiatan illegal fishing di Kelurahan Langara Laut, yaitu : menggunakan bahan peledak dan bahan kimia
seperti bom dengan bahan berupa pupuk cap matahari, beruang, obor, bius kalium cianida dan tuba akar tuba, dan pelanggaran administrasi.
1
Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan, PPNS Perikanan.
Kelurahan Langara Laut dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun bius dan tuba. Pertama, adanya pelaku bom dari pihak luar. Pelaku bom dari pihak
luar sangat berpengaruh terhadap nelayan lokal seperti: nelayan Pulau Cempedak, Desa Mekar, Bajo Indah, dan Saponda. Nelayan lokal mengikuti cara demikian,
walaupun mereka memahami bahwa kegiatan sangat beresiko ancaman jiwa akibat bom dan mendapat hukuman jika tertangkap oleh petugas. Kedua, adanya
pengedar bahan baku yang masuk di Kelurahan Langara Laut. Ketiga, adanya pengedar bahan baku berupa pupuk dari luar daerah Kabupaten Buton, sangat
besar pengaruhnya terhadap aktivitas illegal fishing. Informasi awal tertangkapnya pelaku pengedar ini adalah atas laporan kelompok masyarakat pengawas. Dari
kasus ini, menunjukkan bahwa secara nurani, penduduk lokal sudah tidak senang atau siap membantu pemerintah dalam pengawasan terhadap kelestarian
lingkungan perairan. Keempat, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Terakhir
, mereka merasakan bahwa mereka dianggap sebagai golongan minoritas yang terabaikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 14
2.1. Faktor Ekonomi dan Non Ekonomi dibalik Illegal Fishing .......................... 15
2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu ............................................................. 20
Ganbar 1. Determinan Kepatuhan Nelayan terhadap Aturan Perikanan
............................ 16
III. KERANGKA KONSEPTUAL