Penggunaan beragam jenis alat tangkap legal ATL dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut tentu merupakan hasil pertimbangan
dari berbagai faktor. ATL dan ATI, masing-masing memiliki manfaat ekonomi yang berbeda bagi nelayan, yang tercermin melalui keuntungan ekonominya. Oleh
karena itu penelitian empiris yang penting dilakukan adalah menganalisis keuntungan dan penggunaan ATL dan ATI, sehingga dapat memberikan informasi
yang bermanfaat untuk perumusan kebijakan kelestarian sumber daya perikanan, seperti diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004.
1.2. Rumusan Masalah
Dari aspek teknologi, industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu didominasi oleh nelayan pengguna perahu motor tempel. Pengguna motor tempel
tercatat sebanyak 5 628 unit atau 93 persen, sedangkan nelayan pengguna perahu motor tempel dan kapal motor masing-masing sebanyak 80 unit dan 320 unit
BPS Provinsi Jawa Barat, 2009. Daya jangkau motor tempel yang hampir seragam menimbulkan tingginya persaingan dalam industri penangkapan ikan,
yang kemudian dapat membuka peluang digunakannya alat tangkap terlarang. Ragam alat tangkap beserta unit, jumlah produksi dan trip penggunaannya
di Kabupaten Indramayu ditampilkan pada Tabel 2. Rata-rata produksi pada tabel tersebut adalah rasio dari jumlah produksi terhadap jumlah unit alat, sehingga
dapat diartikan sebagai rata-rata tonase hasil tangkapan per unit alat tangkap. Pada tahun 2009, total unit alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Indramayu
tercatat sebanyak 7 243 unit. Jumlahnya menurun 23 persen dari tahun 2008. Penurunan tersebut terjadi karena tidak digunakannya lagi alat pancing tonda dan
jaring insang tiga lapis sejak tahun 2008.
Tabel 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rata-Rata Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007
Jenis Alat Tangkap
Keterangan Tahun
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Pukat Dogol mini trawl
Jumlah unit 205
205 205
205 138
138 Produksi ton
10 878 9 224
5 779 7 393
13 448 4 334
Rata-Rata ton 53
45 28
36 97
31 Jaring
Insang Lingkar
Jumlah unit 1 465
1 465 1 465
68 68
Produksi ton 354
1 121 3 049
1 934 789
Rata-Rata ton 0.2
1 2
28 12
Jaring Insang
Klitik Jumlah unit
870 870
870 870
334 334
Produksi ton 6 982
4 772 7 190
5 845 7 560
16 645 Rata-Rata ton
8 5
8 7
50 Jaring
Insang Tiga Lapis
Jumlah unit 294
294 294
294 Produksi ton
717 699
345 4 362
Rata-Rata ton 2
2 1
15 Pukat
Payang Jumlah unit
1 281 1 281
1 281 1 281
942 942
Produksi ton 10 546
9 945 10 591
12 242 14 834
17 557 Rata-Rata ton
8 8
8 10
16 19
Pukat pantai Jumlah unit
288 288
288 288
1173 1173
Produksi ton 8 306
9 984 13 786
15 116 17 149
13 032 Rata-Rata ton
29 35
48 52
15 11
Pukat Cincin Jumlah unit
156 156
156 156
187 187
Produksi ton 12 550
10 630 13 374
14 500 13 356
12 513 Rata-Rata ton
80 68
86 93
71 67
Jaring Insang
Hanyut Jumlah unit
2 091 2 091
2 091 2 091
2 861 35
Produksi ton 11 230
9 083 13 556
14 802 14 026
14 546 Rata-Rata ton
5 4
6 7
5 415
Jaring Insang Tetap
Jumlah unit 222
222 222
138 206
Produksi ton 2327
896 971
341 Rata-Rata ton
10 4
4 2
Pancing tonda
Jumlah unit 24
94 94
Produksi ton 415
442 382
Rata-Rata ton 17
5 4
Pancing lainnya
Jumlah unit 332
332 332
332 143
919 Produksi ton
3 258 9 336
3 477 946
1 682 3 586
Rata-Rata ton 10
28 10
3 12
4 Sero
Jumlah unit 80
180 180
180 78
78 Produksi ton
1 885 353
391 1 459
1 675 1 159
Rata-Rata ton 24
2 2
8 21
15 Alat
Tangkap Illegal
Jumlah unit 1 369
2 834 2 834
2 834 540
540 Produksi ton
18 577 15 049
14 435 20 649
22 942 21 768
Rata-Rata ton 14
5 5
7 42
40 Alat
Tangkap Legal
Jumlah unit 4 252
4 644 4 644
4 550 5 522
3 540 Produksi ton
48 190 52 100
56 453 60 036
63 063 62 393
Rata-Rata ton 11
11 12
13 11
18 Alat Tangkap Illegal persen
24 38
38 38
9 13
Alat Tangkap Legal persen 76
62 62
62 91
87
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah kembali
Keterangan :
Dilarang oleh Perda 142006 Pasal 1. Dilarang oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.08Men2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang gill net di Zona Ekonomi Eksklusif ZEE Indonesia
Pada tabel tersebut ditampilkan juga empat jenis alat tangkap yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat.
Empat jenis alat tangkap tersebut ditampilkan pada keempat urutan pertama yang dibubuhkan tanda bintang, yaitu pukat dogol mini trawl, jaring insang lingkar,
jaring insang klitik, dan jaring insang tiga lapis. Menurut Dahuri 2003, trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar laut.
Apabila pengoperasiannya dilakukan secara intensif, maka tingkat kerusakan habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
badai gelombang. Pengoperasian pukat harimau dengan lebar mulut pukat 20 meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak
dasar laut seluas 1 km. Jaring insang lingkar dapat menutup seluruh lapisan air dari permukaan
hingga ke dasar perairan. Begitupun halnya dengan jaring insang tiga lapis yang dioperasikan dengan cara menarik di dasar perairan untuk membentuk lingkaran
dari kapal yang dijangkarkan Direktorat Jendral P2SDKP, 2009. Cara kerja alat tangkap demikian dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup
tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Di dasar yang berpasir atau berlumpur dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang Dirjen KP3K, 2006. Jaring insang klitik layak secara keuangan, tapi bukan opsi untuk
digunakan. Malanesia et al.2008 membandingkan empat belas jenis alat tangkap dari sisi dampak lingkungan dan kelayakan finansial. Hasilnya menunjukkan
bahwa secara finansial jaring insang klitik memiliki kelayakan yang tinggi, namun
jaring tersebut memiliki dampak negatif yang lebih besar terhadap ekosistem dibandingkan alat tangkap lainnya.
Harapan kemampuan alat tangkap terlarang untuk memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi menjadi insentif bagi sebagian nelayan.
Indikasinya dapat dikaji dari perbandingan produksi setiap jenis alat tangkap. Pada Tabel 2, tampak adanya penurunan jumlah unit ATL dan ATI.
Perbedaannya, penurunan jumlah unit ATI sejak tahun 2008 dan 2009 diikuti oleh penurunan rata-rata produksinya, yang secara berurutan 42 ton dan 40 ton per unit
ATI, sebaliknya penurunan jumlah unit ATL pada periode yang sama diikuti oleh kenaikan rata-rata produksinya, yang secara berurutan sebesar 11 ton dan 18 ton.
Secara agregat, sejak tahun 2008, rata-rata produksi per unit ATI lebih besar dari ATL, tapi tidak tercermin secara individual. Misalnya, pada tahun 2009
rata-rata produksi per unit pukat dogol sebesar 31 ton lebih rendah dari rata-rata produksi per unit pukat cincin sebesar 67 ton. Bahkan meskipun terdapat
penurunan jumlah unit alat tangkap jaring insang hanyut pada tahun 2009, tapi kemampuan produksinya masih meningkat dari tahun 2008, sehingga rata-rata
produksi per unitnya meningkat drastis. Kemudian, yang menimbulkan pertanyaan, mengapa jaring insang tiga lapis sebagai bagian dari ATI tidak
digunakan lagi sejak tahun 2008, dan pada jenis ATL, jaring insang tetap tidak digunakan lagi sejak tahun 2007. Data statistik tersebut menampilkan keterangan
bahwa dalam industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu terdapat pergeseran pilihan penggunaan jenis alat tangkap.
Data produksi aggregatif tidak memberikan informasi yang jelas mengenai harapan keuntungan dari alat tangkap terlarang. Seperti dipahami, bahwa setiap
jenis alat tangkap memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda-beda. Setiap jenis alat tangkap memiliki jenis ikan target yang mungkin berbeda satu sama
lain, dan dari perbedaan tersebut akan menentukan perbedaan tingkat penerimaan. Tingkat penerimaan juga dapat berbeda terkait perbedaan lokasi dan lembaga
transaksinya. Begitupun halnya dengan perbedaan pada struktur biayanya, sehingga keduanya dapat menghasilkan tingkat keuntungan ekonomi yang
berbeda – beda. Pengamatan demikian membuka pertanyaan penelitian mengenai berapa besar keuntungan ekonomi dari alat tangkap legal dan illegal ? dan apakah
terdapat perbedaan keuntungan yang berarti diantara keduanya, sehingga pada tahun 2009 sekitar 13 persen nelayan masih menggunakan ATI ?
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 13 persen ATI, dan 87 persen ATL. Proporsi dua kategori alat tangkap tersebut mengalami perubahan
sejak tahun 2007. Indikasi demikian memotivasi munculnya pertanyaan mengenai faktor apa saja yang dapat mendorong dan meredam nelayan untuk menggunakan
ATI dan ATL ? kemudian bagaimana prospeknya di Kabupaten Indramayu, apakah peluang nelayan untuk menggunakan alat tangkap legal akan lebih besar
dibandingkan peluang untuk menggunakan alat tangkap terlarang ? Pertanyaan terakhir tampak bersifat dikotomi dan memerlukan koreksi
lebih lanjut. Keperluan tersebut muncul karena dalam satu tahun nelayan menghadapi empat musim. Menurut Mulyadi 2005, dalam dunia kenelayanan
dikenal empat musim, yaitu musim barat dari September hingga Desember, musim utara dari Desember hingga maret, musim timur dari Maret hingga
Juni, dan musim selatan dari Juni hingga september. Perbedaan musim tersebut membuka kemungkinan dilakukannya diversifikasi penggunaan alat tangkap oleh
nelayan. Informasi demikian dikemukakan oleh hasil temuan Nurasa 2005 di Desa Ilir Kabupaten Indramayu.
Informasi diversifikasi penggunaan alat tangkap tersebut membuka beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, terdapat nelayan yang sepanjang
musim menggunakan ATI. Kedua, terdapat kemungkinan nelayan yang sepanjang musim melakukan ATI dan ATL secara bergantian. Kemungkinan ketiga, terdapat
nelayan yang sepanjang musim menggunakan ATL. Dengan demikian, pertanyaan penelitian yang lebih sederhana adalah faktor apa saja yang mempengaruhi
peluang nelayan untuk menggunakan ATI secara tetap maupun bergantian dan peluang menggunakan ATL secara tetap ?
1.3. Tujuan Penelitian