Analisis keuntungan dan peluang penggunaan alat tangkap legal dan ilegal di kabupaten Indramayu

(1)

ABSTRACT

YUHKA SUNDAYA. Analysis of Profits and Probabilities

Nearly half the supply of sea fish commodity in West Java province comes from Indramayu district, but its resource sustainability is threatened by destructive fishing gear. These problems have prompted the government to establish the type of fishing gear regulations, so it appears the group of legal fishing gear (LFG) and illegal fishing gear (IFG) in the fishing industry. The purpose of this thesis research is to estimate and test the difference's profits from the use of LFG and IFG, and estimate the factors that affect fishing

The Use of Legal and Illegal Fishing Gear at District Indramayu. Under the Direction of YUSMAN SYAUKAT and DEDI BUDIMAN HAKIM.

probabilities to be IFG users persistently and alternately and LFG users persistently. The research objective is achieved by using primary data obtained through a survey. The difference's profits from IFG and LFG were tested with nonparametric statistical methods, and an ordered logit econometric approach used to meet the last objectives. The results are concluded, (1) the profits from using IFG greater than 113 560 rupiahs from LFG on boat size under 5 gear tonnage (GT), contrary to the boat size 60-10 GT, the profit from using LFG greater than 197 900 rupiahs from IFG, (2) there are significant differences between IFG and LFG profits in the fishermen who conduct transactions on fish auction (FA) and use the boat size below 5 GT, and the fishermen who make transactions outside of FA and using a boat sized 60-10 GT, and third, fishing probabilities to use IFG persistently and alternately and LFG users persistently are influenced by the profit per trip IFG, the type of market (FA or outside FA), off-fishing income, education level, and level of enforcement of fisheries regulations. The increase in IFG profits, off-fishing incomes and levels of enforcement of fisheries regulations can increase the probabilities of the use of IFG persistently and alternately. Conversely, education level and the transaction in the FA can reduce the probabilities of the use of IFG, otherwise increase the probabilities of the use of LFG

Keywords: Profit, probabilities of IFG users persistently, probabilities of IFG alternately, probabilities of LFG users persistently.


(2)

YUHKA SUNDAYA. Analisis Keuntungan dan Peluang Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Illegal di Kabupaten Indramayu. (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua Komidi Pembimbing dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Hampir separuh pasokan komoditi ikan laut di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu, namun prospek kelestarian sumber daya kelautan dan perikanannya terancam oleh penggunaan alat tangkap destruktif. Penggunaannya telah merusak ekosistem yang menopang pertumbuhan sumber daya ikan yang berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi nelayan. Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat telah menetapkan peraturan yang mengatur penggunaan jenis alat tangkap, sehingga muncul dua pilihan umum alat tangkap, yaitu alat tangkap legal (ATL) dan illegal (ATI). Di Kabupaten Indramayu terdapat indikasi bahwa 38 unit alat tangkap dalam industri perikanannya termasuk kategori illegal.

Penggunaan ATL dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut bisa muncul dari berbagai faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tiga tujuan. Pertama, mengestimasi tingkat keuntungan ATL dan ATI, kedua, menguji perbedaan tingkat keuntungan ATL dan ATI, dan ketiga, mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna ATI secara tetap, dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap di Kabupaten Indramayu.

Penelitian tesis ini disusun ke dalam delapan tubuh tulisan. Bab I menyajikan latar belakang dilakukannya penelitian tesis, pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.

Bab II menampilkan dua materi yang membantu fokus penelitian, yaitu teori yang menjelaskan mengenai faktor ekonomi dan non ekonomi dari tindakan illegal fishing, dan rangkain studi mengenai ekonomi illegal fishing. Sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas ekonomi illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Pengalaman penelitian pada rangkaian studi tersebut telah membantu penulis di dalam menyusun kerangka konsptual dan metode penelitian.

Bab III menyajikan kerangka konseptual penelitian. Di dalamnya menampilkan model dasar ekonomi illegal fishing, dan bagian kedua menampilkan perluasannya. Model dasar untuk memahami perilaku mikroekonomi nelayan dalam memilih tindakan legal dan illegal diadaptasi dari Charles et al.(1999) dan perluasannya dipahami dari Sumaila dan Keith (2006). Hipotesis penelitian disusun berdasarkan model ekonomi illegal fishing tersebut.

Bab IV menyajikan metode penelitian. Di dalamnya mencakup informasi lokasi dan waktu penelitian, data penelitian, sampel penelitian, metode analisis, validasi model ekonometrika dan skenario simulasi model. Obyek penelitian ini adalah nelayan pemilik di Kabupaten Indramayu, dan dengan menggunakan


(3)

tingkat kesalahan sebesar 10 persen, terdapat 91 sampel nelayan pemilik yang diamati. Dimana 46 nelayan adalah nelayan pengguna ATL, dan 45 unit adalah nelayan pengguna ATI. Terdapat tiga metode analisis yang digunakan untuk memenuhi tujuan penelitian, yaitu metode matematik untuk mengestimasi keuntungan ATL dan ATI, metode statistik nonparametrik untuk menguji perbedaan keuntungan, dan metode ekonometrika ordered logit untuk memenuhi tujuan penelitian ketiga.

Bab V menampilkan informasi hasil survey dan penelaahan data sekunder mengenai tingkat penggunaan ATL dan ATI serta kondisi umum sektor perikanan laut di Kabupaten Indramayu. Uraian pada bagian pertama menyajikan informasi mengenai banyaknya nelayan sampel yang termasuk ke dalam kategori pengguna ATI secara tetap dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap. Informasinya diangkat dari data primer hasil survey dan dilengkapi dengan pertimbangan nelayan untuk menggunakan ATL dan ATI. Selanjutnya, pada bab ini dikemukakan juga gambaran kondisi sektor perikanan laut yang mencakup uraian mengenai perkembangan dan sebaran produksi serta teknologi penangkapan ikan, kelembagaan pasar ikan serta upaya pengawasan dan pengendalian industri perikanan di Kabupaten Indramayu.

Bab 6 menampilkan hasil estimasi dan pengujian perbedaan keuntungan ATL dan ATI. Hasil estimasi keuntungan nelayan pemilik yang menggunakan ATL dan ATI menyimpulkan tiga informasi. Pertama, pada perahu dengan ukuran di bawah 5 gear tonnage (GT), keuntungan dari penggunaan per trip ATI lebih besar 113 560 rupiah dari keuntungan ATL, sebaliknya pada perahu berukuran 6 – 10 GT, keuntungan ATL lebih tinggi 197 900 dibandingkan keuntungan ATI. Kedua, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 82 870 rupiah dari pengguna alat tangkap legal. Ketiga, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 113 000 rupiah dari pengguna ATL. Keempat, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih rendah 247 740 rupiah dari pengguna ATL. Kelima, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATL lebih tinggi 3 250 rupiah dari pengguna ATI. Selanjutnya, ditampilkan hasil pengujian bahwa perbedaan keuntungan yang nyata secara statistik terjadi pada kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, serta kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI.

Bab VII menampilkan hasil estimasi dan simulasi model ekonometrika ordered logit. Hasil estimasi model menyimpulkan bahwa peluang nelayan untuk menggunakan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang nelayan pengguna ATL dipengaruhi oleh keuntungan per trip ATI, jenis pasar (TPI dan luar TPI), pendapatan off-fishing, tingkat pendidikan, dan tingkat penegakan aturan perikanan. Kenaikan pada keuntungan per trip ATI, pendapatan off-fishing dan tingkat ketegasan penegakan aturan perikanan dapat meningkatkan peluang penggunaan ATI, baik secara tetap dan bergantian. Namun, ketika nelayan


(4)

bergantian, dan sebaliknya dapat meningkatkan peluang penggunaan ATL secara tetap. Siimulasi model dilakukan dengan dua skenario. Skenario pertama adalah mengestimasi dampak perubahan keuntungan ATI terhadap peluang penggunaan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang penggunaan ATL secara tetap ketika nelayan mengakses fasilitas TPI, sedangkan skenario simulasi kedua mengestimasi dampak tersebut ketika nelayan tidak mengakses fasilitas TPI. Hasilnya dapat digunakan untuk merumuskan gagasan bahwa peluang penggunaan ATI akan tertutup apabila penggunaan per trip ATI menghasilkan kerugian sekurang-kurangnya 5 juta rupiah.

Hasil pembahasan pada Bab VI dan VII disimpulkan pada Bab VIII, dan ditambah dengan saran hasil penelitian. Secara disipliner diperlukan penelitian lanjutan dengan terlebih dahulu menyajikan kerangka konseptual yang membingkai perilaku miroekonomi nelayan di bawah regulasi input dan output perikanan yang bekerja secara simultan. Faktanya, nelayan merespon peraturan input dan output perikanan. Transaksi komoditi ikan direstriksi, dan hanya boleh dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ke depan diperlukan kerangka pemikiran yang menganalisis perilaku mikroekonomi nelayan dengan menginternalisasikan kedua jenis peraturan tersebut secara simultan agar dapat menyusun proposisi yang cukup tajam untuk diuji secara empiris. Kemudian, dari sisi kebijakan, pertama, kebijakan subsidi ATL lengkap dengan alat bantunya telah dipertimbangan dapat mengurangi peluang penggunaan ATI. Dasar pemikiran kebijakan subsidi adalah mengantisipasi biaya sosial yang timbula dari penggunaan ATI. Kedua, diperlukan agenda pembangunan untuk memperluas dan mengoptimalkan peranan TPI bagi nelayan, dimana disamping dapat meningkatkan posisi tawar nelayan dan pembentukan harga secara bersaing, TPI juga memiliki fungsi kesejahteraan bagi nelayan melalui dana sosial dan jaminan keselamatan yang disisihkan dari retribusi di TPI, serta memiliki fungsi yang melekat dengan pengawasan perikanan. Terakhir, peluang penggunaan ATI dapat dicegah dengan melakukan persuasi kepada nelayan untuk menyamakan tujuan Pemerintah Daerah dalam melestarikan sumber daya laut dengan nelayan sebagai penggunanya. Saran terakhir merupakan pendekatan untuk meningkatkan pertimbangan moral pada nelayan pemilik.

Kata Kunci : Keuntungan, Peluang Pengguna ATI Tetap, Peluang Pengguna ATI Bergantian, Peluang Pengguna ATL tetap


(5)

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN

ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL

DI KABUPATEN INDRAMAYU

TESIS

YUHKA SUNDAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL DI KABUPATEN INDRAMAYU

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

Yuhka Sundaya NRP A151040101


(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL DI KABUPATEN INDRAMAYU

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

Yuhka Sundaya NRP A151040101


(8)

YUHKA SUNDAYA. Analysis of Profits and Probabilities

Nearly half the supply of sea fish commodity in West Java province comes from Indramayu district, but its resource sustainability is threatened by destructive fishing gear. These problems have prompted the government to establish the type of fishing gear regulations, so it appears the group of legal fishing gear (LFG) and illegal fishing gear (IFG) in the fishing industry. The purpose of this thesis research is to estimate and test the difference's profits from the use of LFG and IFG, and estimate the factors that affect fishing

The Use of Legal and Illegal Fishing Gear at District Indramayu. Under the Direction of YUSMAN SYAUKAT and DEDI BUDIMAN HAKIM.

probabilities to be IFG users persistently and alternately and LFG users persistently. The research objective is achieved by using primary data obtained through a survey. The difference's profits from IFG and LFG were tested with nonparametric statistical methods, and an ordered logit econometric approach used to meet the last objectives. The results are concluded, (1) the profits from using IFG greater than 113 560 rupiahs from LFG on boat size under 5 gear tonnage (GT), contrary to the boat size 60-10 GT, the profit from using LFG greater than 197 900 rupiahs from IFG, (2) there are significant differences between IFG and LFG profits in the fishermen who conduct transactions on fish auction (FA) and use the boat size below 5 GT, and the fishermen who make transactions outside of FA and using a boat sized 60-10 GT, and third, fishing probabilities to use IFG persistently and alternately and LFG users persistently are influenced by the profit per trip IFG, the type of market (FA or outside FA), off-fishing income, education level, and level of enforcement of fisheries regulations. The increase in IFG profits, off-fishing incomes and levels of enforcement of fisheries regulations can increase the probabilities of the use of IFG persistently and alternately. Conversely, education level and the transaction in the FA can reduce the probabilities of the use of IFG, otherwise increase the probabilities of the use of LFG

Keywords: Profit, probabilities of IFG users persistently, probabilities of IFG alternately, probabilities of LFG users persistently.


(9)

RINGKASAN

YUHKA SUNDAYA. Analisis Keuntungan dan Peluang Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Illegal di Kabupaten Indramayu. (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua Komidi Pembimbing dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Hampir separuh pasokan komoditi ikan laut di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu, namun prospek kelestarian sumber daya kelautan dan perikanannya terancam oleh penggunaan alat tangkap destruktif. Penggunaannya telah merusak ekosistem yang menopang pertumbuhan sumber daya ikan yang berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi nelayan. Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat telah menetapkan peraturan yang mengatur penggunaan jenis alat tangkap, sehingga muncul dua pilihan umum alat tangkap, yaitu alat tangkap legal (ATL) dan illegal (ATI). Di Kabupaten Indramayu terdapat indikasi bahwa 38 unit alat tangkap dalam industri perikanannya termasuk kategori illegal.

Penggunaan ATL dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut bisa muncul dari berbagai faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tiga tujuan. Pertama, mengestimasi tingkat keuntungan ATL dan ATI, kedua, menguji perbedaan tingkat keuntungan ATL dan ATI, dan ketiga, mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna ATI secara tetap, dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap di Kabupaten Indramayu.

Penelitian tesis ini disusun ke dalam delapan tubuh tulisan. Bab I menyajikan latar belakang dilakukannya penelitian tesis, pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.

Bab II menampilkan dua materi yang membantu fokus penelitian, yaitu teori yang menjelaskan mengenai faktor ekonomi dan non ekonomi dari tindakan illegal fishing, dan rangkain studi mengenai ekonomi illegal fishing. Sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas ekonomi illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Pengalaman penelitian pada rangkaian studi tersebut telah membantu penulis di dalam menyusun kerangka konsptual dan metode penelitian.

Bab III menyajikan kerangka konseptual penelitian. Di dalamnya menampilkan model dasar ekonomi illegal fishing, dan bagian kedua menampilkan perluasannya. Model dasar untuk memahami perilaku mikroekonomi nelayan dalam memilih tindakan legal dan illegal diadaptasi dari Charles et al.(1999) dan perluasannya dipahami dari Sumaila dan Keith (2006). Hipotesis penelitian disusun berdasarkan model ekonomi illegal fishing tersebut.

Bab IV menyajikan metode penelitian. Di dalamnya mencakup informasi lokasi dan waktu penelitian, data penelitian, sampel penelitian, metode analisis, validasi model ekonometrika dan skenario simulasi model. Obyek penelitian ini adalah nelayan pemilik di Kabupaten Indramayu, dan dengan menggunakan


(10)

memenuhi tujuan penelitian, yaitu metode matematik untuk mengestimasi keuntungan ATL dan ATI, metode statistik nonparametrik untuk menguji perbedaan keuntungan, dan metode ekonometrika ordered logit untuk memenuhi tujuan penelitian ketiga.

Bab V menampilkan informasi hasil survey dan penelaahan data sekunder mengenai tingkat penggunaan ATL dan ATI serta kondisi umum sektor perikanan laut di Kabupaten Indramayu. Uraian pada bagian pertama menyajikan informasi mengenai banyaknya nelayan sampel yang termasuk ke dalam kategori pengguna ATI secara tetap dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap. Informasinya diangkat dari data primer hasil survey dan dilengkapi dengan pertimbangan nelayan untuk menggunakan ATL dan ATI. Selanjutnya, pada bab ini dikemukakan juga gambaran kondisi sektor perikanan laut yang mencakup uraian mengenai perkembangan dan sebaran produksi serta teknologi penangkapan ikan, kelembagaan pasar ikan serta upaya pengawasan dan pengendalian industri perikanan di Kabupaten Indramayu.

Bab 6 menampilkan hasil estimasi dan pengujian perbedaan keuntungan ATL dan ATI. Hasil estimasi keuntungan nelayan pemilik yang menggunakan ATL dan ATI menyimpulkan tiga informasi. Pertama, pada perahu dengan ukuran di bawah 5 gear tonnage (GT), keuntungan dari penggunaan per trip ATI lebih besar 113 560 rupiah dari keuntungan ATL, sebaliknya pada perahu berukuran 6 – 10 GT, keuntungan ATL lebih tinggi 197 900 dibandingkan keuntungan ATI. Kedua, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 82 870 rupiah dari pengguna alat tangkap legal. Ketiga, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 113 000 rupiah dari pengguna ATL. Keempat, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih rendah 247 740 rupiah dari pengguna ATL. Kelima, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATL lebih tinggi 3 250 rupiah dari pengguna ATI. Selanjutnya, ditampilkan hasil pengujian bahwa perbedaan keuntungan yang nyata secara statistik terjadi pada kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, serta kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI.

Bab VII menampilkan hasil estimasi dan simulasi model ekonometrika ordered logit. Hasil estimasi model menyimpulkan bahwa peluang nelayan untuk menggunakan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang nelayan pengguna ATL dipengaruhi oleh keuntungan per trip ATI, jenis pasar (TPI dan luar TPI), pendapatan off-fishing, tingkat pendidikan, dan tingkat penegakan aturan perikanan. Kenaikan pada keuntungan per trip ATI, pendapatan off-fishing dan tingkat ketegasan penegakan aturan perikanan dapat meningkatkan peluang penggunaan ATI, baik secara tetap dan bergantian. Namun, ketika nelayan


(11)

pemilik melakukan transaksi di TPI dan terdapat kenaikan tingkat pendidikan nelayan pemilik (sebagai proksi dari pertimbangan moral), maka keadaan tersebut berpotensi untuk mengurangi peluang penggunaan ATI secara tetap dan bergantian, dan sebaliknya dapat meningkatkan peluang penggunaan ATL secara tetap. Siimulasi model dilakukan dengan dua skenario. Skenario pertama adalah mengestimasi dampak perubahan keuntungan ATI terhadap peluang penggunaan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang penggunaan ATL secara tetap ketika nelayan mengakses fasilitas TPI, sedangkan skenario simulasi kedua mengestimasi dampak tersebut ketika nelayan tidak mengakses fasilitas TPI. Hasilnya dapat digunakan untuk merumuskan gagasan bahwa peluang penggunaan ATI akan tertutup apabila penggunaan per trip ATI menghasilkan kerugian sekurang-kurangnya 5 juta rupiah.

Hasil pembahasan pada Bab VI dan VII disimpulkan pada Bab VIII, dan ditambah dengan saran hasil penelitian. Secara disipliner diperlukan penelitian lanjutan dengan terlebih dahulu menyajikan kerangka konseptual yang membingkai perilaku miroekonomi nelayan di bawah regulasi input dan output perikanan yang bekerja secara simultan. Faktanya, nelayan merespon peraturan input dan output perikanan. Transaksi komoditi ikan direstriksi, dan hanya boleh dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ke depan diperlukan kerangka pemikiran yang menganalisis perilaku mikroekonomi nelayan dengan menginternalisasikan kedua jenis peraturan tersebut secara simultan agar dapat menyusun proposisi yang cukup tajam untuk diuji secara empiris. Kemudian, dari sisi kebijakan, pertama, kebijakan subsidi ATL lengkap dengan alat bantunya telah dipertimbangan dapat mengurangi peluang penggunaan ATI. Dasar pemikiran kebijakan subsidi adalah mengantisipasi biaya sosial yang timbula dari penggunaan ATI. Kedua, diperlukan agenda pembangunan untuk memperluas dan mengoptimalkan peranan TPI bagi nelayan, dimana disamping dapat meningkatkan posisi tawar nelayan dan pembentukan harga secara bersaing, TPI juga memiliki fungsi kesejahteraan bagi nelayan melalui dana sosial dan jaminan keselamatan yang disisihkan dari retribusi di TPI, serta memiliki fungsi yang melekat dengan pengawasan perikanan. Terakhir, peluang penggunaan ATI dapat dicegah dengan melakukan persuasi kepada nelayan untuk menyamakan tujuan Pemerintah Daerah dalam melestarikan sumber daya laut dengan nelayan sebagai penggunanya. Saran terakhir merupakan pendekatan untuk meningkatkan pertimbangan moral pada nelayan pemilik.

Kata Kunci : Keuntungan, Peluang Pengguna ATI Tetap, Peluang Pengguna ATI Bergantian, Peluang Pengguna ATL tetap


(12)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(13)

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN

ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL

DI KABUPATEN INDRAMAYU

Bolak Balik

YUHKA SUNDAYA

Tesis

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(14)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Wakil Program Studi dan Pimpinan Sidang : Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS


(15)

Judul : Analisis Keuntungan dan Peluang Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Illegal di Kabupaten Indramayu

Nama : Yuhka Sundaya NRP : A151040101

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Ketua Anggota

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr


(16)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis, yang menjadi syarat dalam penyelesaian studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian tesis ini tidak luput dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, koreksi dan motivasi hingga tesis ini diselesaikan.

2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar juga memberikan arahan, koreksi dan motivasi hingga tesis ini diselesaikan.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan sebagai dosen di Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) yang telah membantu penyelesaian studi dan memberikan referensi yang menunjang penulis untuk menggali ilmu pengetahuan lebih dalam.

4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS yang telah memberikan koreksi pada saat ujian tesis, sehingga penulis dapat memperbaikinya sebagaimana diharapkan.

5. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS sebagai wakil program studi pada saat ujian tesis dan telah memberikan koreksi sehingga penulis dapat memperbaikinya sebagaimana diharapkan.

6. Dr. Atih Rohaeti Dariah, SE., M.Si yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor, teman diskusi dan bantuan materiil serta non materiil bagi penulis.

7. Mansyur Mulyakusumah, SE., MA (almarhum) yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor.

8. Noffita Dwi Restu Putri dan Shinta Tahannifia, istri dan putri yang telah dengan sabar menemani proses penelitian dan menulis, serta keikhlasannya


(17)

atas alokasi waktu bagi penulis untuk menempuh studi di Institut Pertanian Bogor.

9. Orang Tua dan Adik yang telah memberikan do’a dan dorongan atas penyelesaian tesis ini.

10. Adi Hadianto, SP., M.Si yang selalu memotivasi, teman diskusi, dan dalam proses kolokium hingga ujian tesis telah membantu tempat tinggal bagi penulis.

11. Bapak Deden, PPNS SDKP Kabupaten Indramayu dan Bapak Alimin sebagai Kepala SATKER SDKP Kejawanan Cirebon yang telah membantu proses pengumpulan data penelitian.

12. Keluarga Bapak Dadang yang memberikan tempat tinggal selama penulis melakukan survey di Kabupaten Indramayu.

13. Rubi Garniwan dan Yani Suryani sebagai staff sekretariat EPN yang selalu memberikan informasi berharga terkait dengan jadwal penyelesaian tesis dan acuan gaya selingkung tesis.

14. Teguh Aji Santoso dan Wira yang memberikan bantuan kendaraan dan curahan waktunya dalam kegiatan survey.

15. Handian Purwawangsa, Iwan Hermawan, Aristo Erdward, Herni Kartikawati atas diskusi dan motivasinya, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian tesis.

Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas khususnya kalangan perguruan tinggi sebagai referensi dalam melakukan penelitian.

Bogor, Juli 2011


(18)

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 24 Mei 1976 dari pasangan Sukisno dan Yeyet Mintarsih yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Noffita Dwi Restu Putri, SE pada Mei 2003, dan alhamdulillah telah dikaruniai seorang putri bernama Shinta Tahannifia yang saat ini tengah belajar di kelas 1 Pendidikan Sekolah Dasar.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1988 dari SDN I Bojongloa, Bandung. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1991 dari SMP Bina Dharma II, Bandung. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1994 dari SMUN I Buah Batu (sekarang SMUN 25), Bandung. Gelar Sarjana Ekonomi diperoleh pada tahun 2000 pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Bandung (UNISBA). Sejak SMA, penulis telah mencurahkan sebagian sumber daya waktu untuk aktif pada organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, kemahasiswaan, alumni dan profesi, antara lain Ketua Karang Taruna, Ketua Bidang PTKP HMI Koordinator Komisariat UNISBA, Anggota Majelis Mahasiswa UNISBA, Sekretaris Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi UNISBA, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ikatan Alumni UNISBA, Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Komisariat UNISBA.

Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2001 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Ekonomi UNISBA.


(19)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Faktor Ekonomi dan Non Ekonomi dibalik Illegal Fishing .. 15

2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu ... 20

III. KERANGKA KONSEPTUAL ... 32

3.1. Model Dasar Ekonomi Illegal Fishing ... 32

3.2. Pengembangan Model Dasar Ekonomi Illegal Fishing ... 38

3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Alat Tangkap Legal dan Illegal : Kerangka dan Hipotesis ... 42

IV. METODE PENELITIAN ... 47

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

4.2. Data Penelitian ... 48

4.3. Sampel Penelitian ... 49

4.4. Metode Analisis ... 52

4.4.1. Metode Pendugaan Keuntungan Usaha Perikanan .... 52

4.4.2. Metode Pengujian Beda Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 54

4.4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika ... 58

4.4.4. Validasi Model Ekonometrika ... 66


(20)

ii

5.1. Klasifikasi Jenis dan Tingkat Penggunaan Alat Tangkap

Legal dan Illegal : Hasil Temuan Survey ... 69

5.2. Produksi Ikan dan Teknologi Penangkapan Ikan ... 71

5.3. Kelembagaan Pasar Ikan ... 78

5.4. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Industri Perikanan .... 85

VI. PERBEDAAN KEUNTUNGAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL ... 95

6.1. Hasil Estimasi Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal 95

6.2. Signifikansi Perbedaan Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 103

VII. PELUANG NELAYAN PENGGUNA ALAT TANGKAP ILLEGAL TETAP DAN BERGANTIAN SERTA PENGGUNA ALAT TANGKAP LEGAL TETAP DI KABUPATEN INDRAMAYU ... 108

7.1. Validitas Hasil Pendugaan Model ... 108

7.2. Faktor yang Mempengaruhi Peluang Nelayan Pengguna Tetap dan Bergantian Alat Tangkap Illegal dan Pengguna Tetap Alat Tangkap Legal : Odds Ratio dan Efek Marjinal .. 111

7.3. Hasil Simulasi Model ... 122

7.4. Kebijakan untuk Meredam Penggunaan Alat Tangkap Illegal ... 127

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 132

8.1. Simpulan ... 132

8.2. Saran ... 133

8.2.1. Prospek Penelitian Selanjutnya ... 134

8.2.2. Saran Kebijakan ... 135


(21)

iii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi

Jawa Barat Tahun 1991 – 2008 ... 1

2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007 ... 5

3. Sebaran Sampel Penelitian ... 50

4. Jumlah Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal Menurut Ukuran Gear Tonnage ... 70

5. Klasifikasi Frekuensi Penggunaan Alat Tangkap Illegal ... 70

6. Pertimbangan Menggunakan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 71

7. Sebaran Nelayan di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 – 2009... 73

8. Proporsi Bagi Hasil Nelayan Pemilik dengan ABK Hasil Survey di Kabupaten Indramayu ... 74

9. Sebaran Jumlah dan Nilai Produksi Ikan Laut di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 – 2009 ... 75

10. Sebaran Kapal Perikanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2009 ... 77

11. Sebaran dan Perkembangan Jenis Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 - 2009... 78

12. Klasifikasi Jumlah Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal Menurut Jenis Pasar Ikan ... 79

13. Faktor-Faktor yang Menghindari Pilihan Nelayan terhadap TPI : Hasil Survey ... 80

14. Kepemilikan Izin Usaha Perikanan (IUP) ... 86

15. Hasil Operasi Rutin Pengawasan SDKP ... 87

16. Hasil Operasi Terpadu Pengawasan SDKP... 89

17. Tingkat Penegakan terhadap Peraturan Alat ... 90


(22)

iv

21. Popularitas Kelompok Pengawas Masyarakat (POKWASMAS) ... 93 22. Keterlibatan pada Kelompok Pengawas Masyarakat ... 93 23. Frekuensi Laporan Kelompok Pengawas Masyarakat ... 94 24. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan

Ukuran Perahu di Bawah 5 GT ... 96 25. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan

Ukuran Perahu 6 – 10 GT ... 98 26. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan

Ukuran Perahu di Bawah 5 GT Menurut Jenis Pasar ... 101 27. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan

Ukuran Perahu 6 – 10 GT dari Tempat Pelelangan Ikan ... 102 28. Nilai Statistik SF Peubah Keuntungan Nelayan Menurut

Klasifikasi Jenis Pasar, Gear Tonnage dan Tipe Alat Tangkap... 105 29. Nilai Statistik Kruskal-Wallis Test ... 106 30. Hasil Pendugaan Model Ekonometrika Ordered Logit ... 109 31. Odds Ratio Model Ekonometrika Ordered Logit... 112 32. Efek Marjinal Model Ekonometrika Ordered Logit ... 118


(23)

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Determinan Kepatuhan Nelayan terhadap Aturan Perikanan ... 16 2. Kerangka Pilihan Alat Tangkap Legal dan Illegal Bagi

Nelayan Pemilik ... 43 3. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ... 48 4. Faktor yang Mempengaruhi Peluang Pengguna ATI Tetap dan

Bergantian serta Pengguna ATL Tetap di Kabupaten

Indramayu ... 59 5. Kecamatan yang Memiliki Pantai di Kabupaten Indramayu .... 72 6. Perkembangan Jumlah dan Nilai Produksi di Kabupaten

Indramayu Tahun 2009 ... 76 7. Mekanisme Pasar Lelang Komoditi Ikan di Kabupaten

Indramayu ... 83 8. Sebaran TPI di Kabupaten Indramayu ... 85 9. Dampak Perubahan Keuntungan ATI pada TPI dan Luar TPI

terhadap Peluang Pengguna Alat Tangkap Illegal Tetap dan


(24)

vi

Nomor Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 143 2. Daftar Singkatan Istilah... 146 3. Data Penelitian ... 148 4. Hasil Uji Perbedaan Keuntungan Alat Tangkap Legal dan

Illegal ... 156 5. Output Hasil Estimasi dan Validasi Model Ekonometrika ... 158


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Indramayu merupakan daerah penghasil ikan laut paling besar di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan produksi ikan laut dari tahun 1991 hingga 2008 yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa lebih dari separuh pasokan produksi ikan di Jawa Barat bersumber dari Kabupaten Indramayu. Peran penting sektor perikanan Kabupaten Indramayu tersebut harus dipertahankan agar kebutuhan konsumsi dan produksi berbasis komoditi ikan di masa mendatang dapat terpenuhi. Menurut Dahuri (2003), keanekaragaman hayati di kawasan pesisir dan lautan berperan untuk menunjang kegiatan bioindustri, seperti industri pangan, sandang, papan, pendidikan, farmasi dan kosmetika, energi, komunikasi atau informasi, keamanan (defense), dan pariwisata. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya perikanan harus dilakukan secara lestari supaya mampu menunjang kegiatan ekonomi dan sosial lainnya.

Tabel 1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa Barat Tahun 1991 – 2008

Ribu Ton Kabupaten 1991 1995 2000 2005 2006 2007 2008 Sukabumi 4.5 7.7 4.4 9.8 9.3 9.0 8.9 Cirebon 16.7 15.9 17.0 40.6 38.7 21.0 35.5 Indramayu 49.2 60.2 61.9 67.3 72.3 80.7 94.8 Subang 10.1 14.0 13.6 17.5 16.6 17.9 18.0 Karawang 9.3 9.7 11.4 11.2 2.2 2.4 7.1 Provinsi

Jawa Barat 97.7 114.7 116.6 155.3 149.5 141.5 176.4

Sumber : Statistik Jawa Barat dalam Angka, Tahun 2000 – 2009

Arah pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari telah menjadi amanat undang-undang dan bagian rencana strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Mengacu pada Pasal 6 ayat 1


(26)

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 (UU 31/2004) tentang Perikanan, pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.1

1

UU 31/2004 dirubah dengan UU 45/2009. UU 31/2004 dipandang belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Namun demikian, Pasal 6 Ayat 1 dalam undang-undang sebelumnya tidak mengalami perubahan.

Kemudian dalam Rencana Strategis Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)2010 – 2014 telah ditetapkan strategi bahwa dalam rangka mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, salah satu upayanya adalah membebaskan Indonesia dari kegiatan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan.

Kerusakan terhadap sumberdaya perikanan dapat ditimbulkan oleh adanya penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan atau destruktif. Praktek perikanan destruktif adalah kegiatan penangkapan dan budidaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya (Nikijuluw, 2008). Penggunaan trawl, misalnya, dapat mengeruk benda apapun yang ada di dasar laut. Penggunaannya dapat menghasilkan by catch atau jenis ikan di luar target tangkapan yang berjumlah besar, bahkan bisa merusak ekosistem, seperti rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat ikan untuk berkembang biak. Oleh karena itu, langkah antisipatif dan preventif terhadap penggunaan alat tangkap destruktif memiliki arti penting dalam menciptakan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.


(27)

3

Langkah preventif telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu. Industri penangkapan ikan di Kabupaten Indramayu telah diatur oleh dua jenis

Peraturan Daerah. Pertama, Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005 (Perda 16/2005) tentang Usaha Perikanan, dan kedua, Perda Nomor 14 Tahun

2006 (Perda 14/2006) tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan Penataan Fungsi Pulau Biawak, Gosong dan Pulau Candikian. Mengacu pada Perda tersebut, penggunaan alat tangkap terlarang akan dikenakan denda dan hukuman penjara. Dua resiko yang harus dihadapi oleh nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Keberadaan Perda tersebut menunjukkan bahwa secara yuridis formal industri perikanan tidak sepenuhnya bersifat akses terbuka (open access). Setiap usaha perikanan, termasuk nelayan perorangan harus memiliki izin usaha yang dibuktikan dengan dimilikinya Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Melalui proses perizinan tersebut, sejak awal Pemerintah Daerah dapat melakukan seleksi penggunaan alat tangkap.

Namun sejak tahun 2002 ditemukan penggunaan alat tangkap yang telah menimbulkan konflik pada masyarakat nelayan. Pada tahun 2002 muncul konflik horisontal pada masyarakat nelayan akibat sebagian kelompok nelayan menggunakan minitrawl.2

2

Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Jabar & Banten, Senin19 September 2002.

Kemudian, pada tahun 2003, Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak akibat penggunaan bahan peledak. Hasil survey Nurasa (2005) di Desa Ilir, mencatat bahwa 11 persen nelayan menggunakan trawl. Kemudian hasil survey


(28)

Dariah et al.(2007) mencatat sekitar 40 persen nelayan di Desa Cangkring menggunakan mini trawl.

Pada tahun 2008, sebagian nelayan Indramayu mendesak pemerintah, khususnya Tentara Nasional Indonesa Angkatan Laut (TNI AL), untuk segera melakukan penertiban trawl karena sangat merugikan nelayan tersebut.3 Selanjutnya, pada tahun 2009, pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Fajar Blanakan melaporkan bahwa desakan ekonomi membuat sebagian nelayan menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jaring arad dan pukat harimau masih banyak dipakai nelayan karena dinilai menguntungkan, padahal penggunaannya dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut. Kemudian, KUD Nelayan Mina Bahari melaporkan data bahwa sekitar 400 perahu dari total 800 perahu memakai jaring arad.4

3

Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Jawa Barat, Selasa 27 Februari 2008 4

Harian Umum Kompas, Kamis 19 Februari 2009

Laporan tersebut menunjukkan gejala bahwa sebagian nelayan tampak mengabaikan ancaman sosial dan pidana. Bercermin pada kejadian tahun 2002 dan 2008, nelayan pengguna alat tangkap destruktif akan menghadapi aksi protes dari nelayan lain, dan bila tertangkap akan diancam dengan hukuman pidana berdasarkan Perda 16/2005 dan Perda 14/2006. Namun demikian, laporan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kedua ancaman tersebut seolah tidak menjadi cermin bagi nelayan lain untuk menghindari penggunaan alat tangkap illegal

(ATI) yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan laut, dan menjadi sinyal bahwa motif keuntungan ekonomi mendorong sebagian nelayan untuk mengabaikan aturan alat tangkap. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian nelayan lain tampak mentaati peraturan alat tangkap yang berlaku.


(29)

5

Penggunaan beragam jenis alat tangkap legal (ATL) dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut tentu merupakan hasil pertimbangan dari berbagai faktor. ATL dan ATI, masing-masing memiliki manfaat ekonomi yang berbeda bagi nelayan, yang tercermin melalui keuntungan ekonominya. Oleh karena itu penelitian empiris yang penting dilakukan adalah menganalisis keuntungan dan penggunaan ATL dan ATI, sehingga dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk perumusan kebijakan kelestarian sumber daya perikanan, seperti diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004.

1.2. Rumusan Masalah

Dari aspek teknologi, industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu didominasi oleh nelayan pengguna perahu motor tempel. Pengguna motor tempel tercatat sebanyak 5 628 unit atau 93 persen, sedangkan nelayan pengguna perahu motor tempel dan kapal motor masing-masing sebanyak 80 unit dan 320 unit (BPS Provinsi Jawa Barat, 2009). Daya jangkau motor tempel yang hampir seragam menimbulkan tingginya persaingan dalam industri penangkapan ikan, yang kemudian dapat membuka peluang digunakannya alat tangkap terlarang.

Ragam alat tangkap beserta unit, jumlah produksi dan trip penggunaannya di Kabupaten Indramayu ditampilkan pada Tabel 2. Rata-rata produksi pada tabel tersebut adalah rasio dari jumlah produksi terhadap jumlah unit alat, sehingga dapat diartikan sebagai rata-rata tonase hasil tangkapan per unit alat tangkap. Pada tahun 2009, total unit alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Indramayu tercatat sebanyak 7 243 unit. Jumlahnya menurun 23 persen dari tahun 2008. Penurunan tersebut terjadi karena tidak digunakannya lagi alat pancing tonda dan jaring insang tiga lapis sejak tahun 2008.


(30)

Tabel 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rata-Rata Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007

Jenis Alat

Tangkap Keterangan

Tahun

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pukat Dogol

(mini trawl) *

Jumlah (unit) 205 205 205 205 138 138 Produksi (ton) 10 878 9 224 5 779 7 393 13 448 4 334 Rata-Rata (ton) 53 45 28 36 97 31 Jaring

Insang Lingkar**

Jumlah (unit) 0 1 465 1 465 1 465 68 68 Produksi (ton) 0 354 1 121 3 049 1 934 789 Rata-Rata (ton) 0 0.2 1 2 28 12 Jaring

Insang Klitik**

Jumlah (unit) 870 870 870 870 334 334 Produksi (ton) 6 982 4 772 7 190 5 845 7 560 16 645 Rata-Rata (ton) 8 5 8 7 50 Jaring

Insang Tiga Lapis**

Jumlah (unit) 294 294 294 294 0 0 Produksi (ton) 717 699 345 4 362 0 0 Rata-Rata (ton) 2 2 1 15 0 0 Pukat

Payang

Jumlah (unit) 1 281 1 281 1 281 1 281 942 942 Produksi (ton) 10 546 9 945 10 591 12 242 14 834 17 557 Rata-Rata (ton) 8 8 8 10 16 19 Pukat pantai

Jumlah (unit) 288 288 288 288 1173 1173 Produksi (ton) 8 306 9 984 13 786 15 116 17 149 13 032 Rata-Rata (ton) 29 35 48 52 15 11 Pukat Cincin

Jumlah (unit) 156 156 156 156 187 187 Produksi (ton) 12 550 10 630 13 374 14 500 13 356 12 513 Rata-Rata (ton) 80 68 86 93 71 67 Jaring

Insang Hanyut

Jumlah (unit) 2 091 2 091 2 091 2 091 2 861 35 Produksi (ton) 11 230 9 083 13 556 14 802 14 026 14 546 Rata-Rata (ton) 5 4 6 7 5 415 Jaring

Insang Tetap

Jumlah (unit) 0 222 222 222 138 206 Produksi (ton) 0 2327 896 971 341 0 Rata-Rata (ton) 0 10 4 4 2 0 Pancing

tonda

Jumlah (unit) 24 94 94 0 0 0 Produksi (ton) 415 442 382 0 0 0 Rata-Rata (ton) 17 5 4 0 0 0 Pancing

lainnya

Jumlah (unit) 332 332 332 332 143 919 Produksi (ton) 3 258 9 336 3 477 946 1 682 3 586 Rata-Rata (ton) 10 28 10 3 12 4 Sero

Jumlah (unit) 80 180 180 180 78 78 Produksi (ton) 1 885 353 391 1 459 1 675 1 159 Rata-Rata (ton) 24 2 2 8 21 15 Alat

Tangkap

Illegal

Jumlah (unit) 1 369 2 834 2 834 2 834 540 540 Produksi (ton) 18 577 15 049 14 435 20 649 22 942 21 768 Rata-Rata (ton) 14 5 5 7 42 40 Alat

Tangkap

Legal

Jumlah (unit) 4 252 4 644 4 644 4 550 5 522 3 540 Produksi (ton) 48 190 52 100 56 453 60 036 63 063 62 393 Rata-Rata (ton) 11 11 12 13 11 18 Alat Tangkap Illegal (persen) 24 38 38 38 9 13 Alat Tangkap Legal (persen) 76 62 62 62 91 87

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah kembali Keterangan : * Dilarang oleh Perda 14/2006 Pasal 1.

** Dilarang oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia


(31)

7

Pada tabel tersebut ditampilkan juga empat jenis alat tangkap yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat. Empat jenis alat tangkap tersebut ditampilkan pada keempat urutan pertama yang dibubuhkan tanda bintang, yaitu pukat dogol (mini trawl), jaring insang lingkar, jaring insang klitik, dan jaring insang tiga lapis.

Menurut Dahuri (2003), trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar laut. Apabila pengoperasiannya dilakukan secara intensif, maka tingkat kerusakan habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh badai gelombang. Pengoperasian pukat harimau dengan lebar mulut pukat 20 meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak dasar laut seluas 1 km.

Jaring insang lingkar dapat menutup seluruh lapisan air dari permukaan hingga ke dasar perairan. Begitupun halnya dengan jaring insang tiga lapis yang dioperasikan dengan cara menarik di dasar perairan untuk membentuk lingkaran dari kapal yang dijangkarkan (Direktorat Jendral P2SDKP, 2009). Cara kerja alat tangkap demikian dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Di dasar yang berpasir atau berlumpur dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang (Dirjen KP3K, 2006).

Jaring insang klitik layak secara keuangan, tapi bukan opsi untuk digunakan. Malanesia et al.(2008) membandingkan empat belas jenis alat tangkap dari sisi dampak lingkungan dan kelayakan finansial. Hasilnya menunjukkan bahwa secara finansial jaring insang klitik memiliki kelayakan yang tinggi, namun


(32)

jaring tersebut memiliki dampak negatif yang lebih besar terhadap ekosistem dibandingkan alat tangkap lainnya.

Harapan kemampuan alat tangkap terlarang untuk memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi menjadi insentif bagi sebagian nelayan. Indikasinya dapat dikaji dari perbandingan produksi setiap jenis alat tangkap. Pada Tabel 2, tampak adanya penurunan jumlah unit ATL dan ATI. Perbedaannya, penurunan jumlah unit ATI sejak tahun 2008 dan 2009 diikuti oleh penurunan rata-rata produksinya, yang secara berurutan 42 ton dan 40 ton per unit ATI, sebaliknya penurunan jumlah unit ATL pada periode yang sama diikuti oleh kenaikan rata-rata produksinya, yang secara berurutan sebesar 11 ton dan 18 ton.

Secara agregat, sejak tahun 2008, rata-rata produksi per unit ATI lebih besar dari ATL, tapi tidak tercermin secara individual. Misalnya, pada tahun 2009 rata-rata produksi per unit pukat dogol sebesar 31 ton lebih rendah dari rata-rata produksi per unit pukat cincin sebesar 67 ton. Bahkan meskipun terdapat penurunan jumlah unit alat tangkap jaring insang hanyut pada tahun 2009, tapi kemampuan produksinya masih meningkat dari tahun 2008, sehingga rata-rata produksi per unitnya meningkat drastis. Kemudian, yang menimbulkan pertanyaan, mengapa jaring insang tiga lapis sebagai bagian dari ATI tidak digunakan lagi sejak tahun 2008, dan pada jenis ATL, jaring insang tetap tidak digunakan lagi sejak tahun 2007. Data statistik tersebut menampilkan keterangan bahwa dalam industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu terdapat pergeseran pilihan penggunaan jenis alat tangkap.

Data produksi aggregatif tidak memberikan informasi yang jelas mengenai harapan keuntungan dari alat tangkap terlarang. Seperti dipahami, bahwa setiap


(33)

9

jenis alat tangkap memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda-beda. Setiap jenis alat tangkap memiliki jenis ikan target yang mungkin berbeda satu sama lain, dan dari perbedaan tersebut akan menentukan perbedaan tingkat penerimaan. Tingkat penerimaan juga dapat berbeda terkait perbedaan lokasi dan lembaga transaksinya. Begitupun halnya dengan perbedaan pada struktur biayanya, sehingga keduanya dapat menghasilkan tingkat keuntungan ekonomi yang berbeda – beda. Pengamatan demikian membuka pertanyaan penelitian mengenai berapa besar keuntungan ekonomi dari alat tangkap legal dan illegal ? dan apakah terdapat perbedaan keuntungan yang berarti diantara keduanya, sehingga pada tahun 2009 sekitar 13 persen nelayan masih menggunakan ATI ?

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 13 persen ATI, dan 87 persen ATL. Proporsi dua kategori alat tangkap tersebut mengalami perubahan sejak tahun 2007. Indikasi demikian memotivasi munculnya pertanyaan mengenai faktor apa saja yang dapat mendorong dan meredam nelayan untuk menggunakan ATI dan ATL ? kemudian bagaimana prospeknya di Kabupaten Indramayu, apakah peluang nelayan untuk menggunakan alat tangkap legal akan lebih besar dibandingkan peluang untuk menggunakan alat tangkap terlarang ?

Pertanyaan terakhir tampak bersifat dikotomi dan memerlukan koreksi lebih lanjut. Keperluan tersebut muncul karena dalam satu tahun nelayan menghadapi empat musim. Menurut Mulyadi (2005), dalam dunia kenelayanan dikenal empat musim, yaitu musim barat (dari September hingga Desember), musim utara (dari Desember hingga maret), musim timur (dari Maret hingga Juni), dan musim selatan (dari Juni hingga september). Perbedaan musim tersebut membuka kemungkinan dilakukannya diversifikasi penggunaan alat tangkap oleh


(34)

nelayan. Informasi demikian dikemukakan oleh hasil temuan Nurasa (2005) di Desa Ilir Kabupaten Indramayu.

Informasi diversifikasi penggunaan alat tangkap tersebut membuka beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, terdapat nelayan yang sepanjang musim menggunakan ATI. Kedua, terdapat kemungkinan nelayan yang sepanjang musim melakukan ATI dan ATL secara bergantian. Kemungkinan ketiga, terdapat nelayan yang sepanjang musim menggunakan ATL. Dengan demikian, pertanyaan penelitian yang lebih sederhana adalah faktor apa saja yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menggunakan ATI secara tetap maupun bergantian dan peluang menggunakan ATL secara tetap ?

1.3. Tujuan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang muncul pada rumusan masalah dapat dijelaskan dengan melakukan penelitian empiris yang diarahkan untuk :

1. Mengestimasi tingkat keuntungan alat tangkap legal dan illegal di Kabupaten Indramayu.

2. Menguji perbedaan tingkat keuntungan alat tangkap legal dan illegal di Kabupaten Indramayu.

3. Mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna alat tangkap illegal secara tetap maupun bergantian dan pengguna alat tangkap legal secara tetap di Kabupaten Indramayu.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan disipliner dan praktis. Secara disipliner, penelitian ini diharapkan memberikan tambahan


(35)

11

contoh empiris mengenai studi ekonomi illegal fishing atau penangkapan ikan secara tidak syah. Belajar dari Nikijuluw (2008) dan hasil studi literatur, tampak bahwa studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan di Indonesia masih sedikit ditemukan.

Secara praktis, hasil akhir penelitian ini diharapkan memiliki potensi untuk menjadi acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu di dalam menyusun strategi kebijakan menuju pembangunan perikanan yang lestari. Hasil penelusuran literatur menunjukkan bahwa informasi empiris mengenai implikasi ekonomi terhadap pilihan alat tangkap legal dan illegal masih sulit ditemukan di Kabupaten Indramayu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Obyek yang akan menjadi kajian empiris penelitian ini adalah perikanan di Kabupaten Indramayu. Indramayu terletak di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat yang berhadapan langsung dengan sebahagian Laut Jawa. Obyek perikanan tersebut menjadi dasar untuk menentukan kerangka sampel atau contoh penelitian.

Unit analisis penelitian ini adalah nelayan pemilik. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki asset perikanan seperti alat tangkap dan perahu. Nelayan pemilik mempekerjakan nelayan anak buah kapal (ABK). Nelayan pemilik dipertimbangkan sebagai unit yang memutuskan untuk memilih jenis alat tangkap.

Penelitian ini mengembangkan kerangka kerja ekonomi illegalfishing atau dikenal juga dengan istilah model pencegahan (detterence models). Secara umum, frase illegal fishing tersebut diartikan sebagai tindakan nelayan yang tidak mempertimbangkan regulasi atau peraturan input dan output perikanan. Pengertian ini disintesa dari beberapa sumber pustaka mengenai ekonomi illegal


(36)

fishing. Secara spesifik, penelitian ini dibatasi pada regulasi alat tangkap sebagai input perikanan.

Belajar dari hasil penelitian terdahulu, kajian mengenai respon nelayan terhadap regulasi perikanan dibantu oleh pendekatan ekonometrik dan optimisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik dan ekonometrik. Pendekatan statistik dilakukan untuk menguji perbedaan keuntungan, dan pendekatan ekonometrika ordered logit yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna alat tangkap illegal

secara tetap maupun bergantian dan pengguna alat tangkap legal secara tetap. Pengertian illegal hanya digunakan untuk menunjukkan ketidaksesuaian jenis alat tangkap aktual yang digunakan nelayan dengan ketentuan dalam Pasal 1 Perda 14/2006, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Menggali informasi jenis alat tangkap yang digunakan nelayan pemilik berdasarkan penurutuannya menghadapi peluang benar atau salah. Lebih dari itu, nelayan pemilik ditemui di rumahnya, sehingga dengan batasan waktu menyulitkan untuk melihat jenis alatnya secara fisik. Untuk mengurangi peluang kesalahan tersebut, informasi mengenai jenis alat tangkap dilengkapi dengan informasi mengenai cara kerja alat tangkap yang digali dengan wawancara. Cara kerja alat tangkap tersebut menjadi pertimbangan untuk mengelompokkan jenis ATI dan ATL yang digunakan nelayan pemilik. Secara sederhana, cara kerja alat tangkap yang menyapu bagian dasar laut dikelompokkan sebagai ATI, dan yang tidak menyapu bagian dasar dikelompokkan sebagai ATL.


(37)

13

Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah per trip, kecuali frekuensi penggunaan setiap jenis alat tangkap. Data yang digunakan untuk mengestimasi keuntungan setiap jenis alat tangkap adalah data hasil tangkapan dan harga ikan, serta volume penggunaan beragam input penangkapan ikan beserta harga pembeliannya. Data tersebut memiliki periode per trip, sehingga tidak menangkap adanya variasi perubahan musim. Sementara itu, data frekuensi penggunaan alat tangkap memiliki periode bulanan, dan data penelitian selebihnya terdiri dari data kualitatif yang terkait dengan penilaian nelayan terhadap penegakan peraturan perikanan di Kabupaten Indramayu.

Basis perbedaan keuntungan ATI dan ATL menggunakan kesamaan gear tonnage (GT) perahu. Hasil pengamatan menglompokkan dua ukuran GT, yaitu di bawah 5 GT dan 6 – 10 GT. Kriteria lain untuk melengkapi basis perbedaan keuntungan adalah kesamaan perahu. Namun semua nelayan pemilik yang dijadikan sampel menggunakan perahu motor tempel (PTM), sehingga semuanya identik.

Selanjutnya, diasumsikan bahwa dalam masyarakat nelayan terdapat perilaku hubungan saling mempengaruhi dalam hal pengambilan keputusan ekonomi nelayan. Misalnya, penggunaan suatu jenis alat tangkap nelayan pemilik mempertimbangkan manfaat ekonomi yang diperoleh dari alat tangkap tersebut yang diperoleh nelayan pemilik lain. Perilaku ini dapat disebut perilaku highliner illusion. Menurut Fauzi (2005) highliner illusion adalah nelayan atau kelompok nelayan yang memiliki kelebihan keterampilan dan modal sehingga cenderung memperoleh pendapatan lebih tinggi dari nelayan umumnya, dan mereka menjadi acuan bagi nelayan kebanyakan.


(38)

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

Tabel :

1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa Barat Tahun 1991 – 2008 ... 1 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007 ... 5


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dilihat dari kegiatannya, penggunaan alat tangkap illegal oleh nelayan merupakan bagian dari isu perikanan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU). Menurut Nikijuluw (2008), batasan dan definisi perikanan IUU secara internasional merujuk pada International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU). IPOA-IUU diprakarsai dan disponsori oleh Food and Agricultural Organization (FAO) dalam konteks implementasi FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries. Di dalamnya terdapat rencana aksi masyarakat internasional. Dimana salah satu rencana aksinya adalah mencegah, mengatasi, dan mengurangi perikanan IUU. Dokumen IPOA-IUU sendiri diterima secara konsensus oleh seluruh peserta sidang Commitee on Fisheries (COFA) ke-24 yang dilakukan di Roma, Italia, pada 23 Juni 2001.

Penelitian ini mengacu pada tema illegal fishing. Terdapat beberapa definisi illegal fishing menurut ahli ekonomi perikanan. Nikijuluw (2008) dan Bailey (2007) mengartikan illegal fishing sebagai penangkapan ikan yang dilakukan dengan melanggar peraturan yang ada. Menurut Drammeh (2000) praktek illegal fishing mencakup penggunaan alat peledak, racun, gear penangkaan ikan yang destruktif (jaring dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil). Sementara itu, Charles et al.(1999) memandang bahwa illegal fishing merupakan hasil dari kegagalan regulasi perikanan. Mereka membuat klasifikasi illegal fishing yaitu dalam aspek input dan output. Illegal fishing dalam aspek input adalah nelayan yang menggunakan input penangkapan ikan yang tidak


(40)

sesuai dengan peraturan. Sedangkan dalam aspek output adalah nelayan yang menangkap ikan melebihi kuota yang dimiliki setiap nelayan.

Keputusan nelayan untuk memilih penggunaan alat tangkap legal dan illegal merupakan bagian dari lapangan studi ekonomi kegiatan illegal. Dalam bidang perikanan dikenal dengan teori ekonomi illegal fishing, yang dapat menjelaskan sebab-sebab dilakukannya kegiatan penangkapan ikan yang melanggar aturan atau illegal. Teori tersebut juga menjelaskan pendekatan ekonomi untuk mencegah (deterrence) penangkapan ikan secara tidak sah (illegal), sehingga dikenal juga dengan model pencegahan (detterence models). Teori ini disajikan pada bagian awal bab ini.

Penelitian mengenai respon nelayan terhadap aturan perikanan dengan menggunakan pendekatan ekonomi bukan suatu pekerjaan yang baru. Berdasarkan hasil penelusuran literatur terhadap hasil penelitian sebelumnya, sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Dari hasil penelusuran tersebut dapat dipetik pengalaman para ahli ekonomi di dalam mengaplikasikan pendekatan ekonomi, dan dapat dibangun sebuah diskusi insentif dibalik tindakan illegal fishing. Hasil penelusuran literatur ini disajikan pada bagian dua.

2.1. FaktorEkonomi dan Non Ekonomi dibalik Illegal Fishing

Teori yang menjelaskan nelayan untuk memilih tindakan dengan mempertimbangkan regulasi perikanan tertentu dapat dipelajari dari Nikijuluw


(41)

16

(2008), Kuperan dan Sutinen (1998) dan Bekcer (1968). Pilihan tindakan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu ekonomi, pelaksanaan penegakan hukum, obligasi moral dan tekanan sosial. Hubungan tersebut dikerangka pada Gambar 1.

Sumber : diadaptasi dari Nikijuluw (2008)

Gambar 1. Determinan Kepatuhan Nelayan terhadap Aturan Perikanan Pilihan tindakan nelayan yang sesuai dengan regulasi perikanan disebut dengan kepatuhan atau tindakannya legal. Sebaliknya, apabila pilihan tindakannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka disebut dengan tindakan illegal. Ragam tingkat kepatuhan nelayan terhadap aturan perikanan, sekurang-kurangnya dibingkai oleh tiga faktor, yaitu unsur penegakan hukum, keuntungan ekonomi dari kegiatan perikanan legal dan illegal, dan kewajiban moral serta tekanan sosial.

Kepatuhan Nelayan Terhadap Aturan Perikanan Penegakan Hukum Keuntungan Tindakan

Legal/Illegal Obligasi Moral dan Tekanan Sosial Deteksi

Sanksi

Legitimasi Pengembangan

Moral dan Nilai-Nilai Individu

Sanksi Hasil

Keadilan Keadilan

Efisiensi Keefektifan


(42)

Menurut Hess (2008), penegakan hukum atau law enforcement secara umum mengacu pada suatu sistem dimana anggota masyarakat bertindak secara terorganisir untuk mematuhi hukum dengan menemukan dan menghukum orang yang melanggar aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Istilah penegakan hukum mencakup kesatuan antara pengawasan, penyelidikan hingga penahanan

pelanggar hukum. Reiff (2005), yang mengacu pada pemikiran John Stuart Mill (1859), memandang bahwa penegakan hukum muncul dari ide

pengendalian terhadap tindakan manusia. Pengendalian bagaimana yang seharusnya diberikan dan bagaimana pengendalikan tersebut ditegakan atau dikuatkan (enforce) ? Pertanyaan tersebut membuka diskusi yang kemudian mendorong Reiff (2005) untuk memperjelas konsep penegakan hukum. Menurut Reiff (2005) kata penegakkan mengacu pada kemampuan untuk membebankan sejumlah penghukuman atau memberikan kompensasi terkait pelanggaran terhadap hak, norma, konvensi, ekspektasi, atau kebutuhan. Ia membagi enam kategori instrumen penegakan hukum untuk melakukan pengendalian, yaitu : (1) ancaman atau menggunakan kekuatan fisik, (2) sanksi, (3) sarana

penegakan hukum atau legal remedies, (4) kekuatan stratejik, (5) penghukuman (condemnation) dan penyesalan moral, dan (6) kritik sosial dan manfaat kerjasama sosial.

Ketiga poin pertama memiliki implikasi finansial, sedangkan ketiga poin sisanya adalah bentuk instrumen yang bersifal horisontal dalam masyarakat. Ancaman atau penggunaan kekuatan fisik merupakan instrumen langsung untuk menegakan pengendalian, dan menjadi metode penting untuk menegakan hukum serta dapat mencegah pelanggaran. Sanksi adalah penalti yang digunakan sebagai


(43)

18

insentif untuk mematuhi hukum. Sarana penegakan hukum mengacu pada institusi yang ditugaskan negara untuk menyelidiki hingga membebankan sanksi bagi pelanggar.

Insentif ekonomi muncul dari harapan keuntungan (expected profit) yang dapat diperoleh dari tindakan melanggar regulasi perikanan. Harapan keuntungan tersebut merupakan selisih antara harapan penerimaan (expected revenue) dengan harapan biaya (expected costs). Nelayan akan cenderung melakukan tindakan illegal bila harapan keuntungannya positif, yaitu dalam kondisi dimana harapan penerimaannya lebih besar dari harapan biaya. Sebaliknya, nelayan akan cenderung mematuhi regulasi perikanan tertentu bila harapan keuntungannya negatif, yaitu bila harapan penerimaannya lebih rendah dari harapan biaya. Besarnya harapan biaya tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan sanksi yang lebih besar bagi nelayan yang melanggar regulasi (Nikijuluw, 2008).

Obligasi moral individu dan tekanan sosial yang diterima nelayan menentukan perilakunya terhadap aturan yang berlaku. Obligasi moral ditentukan oleh pengembangan moral dan nilai-nilai individu yang dianut. Obligasi moral ini sangat subyektif sifatnya dan bervariasi antar individu. Pengetahuan, pengalaman, pendidikan, ketaatan agama, keadilan, kejujuran, pementingan diri, pementingan kelompok, kebersamaan, nilai-nilai keberlanjutan lingkungan, dan keutamaan pemerataan merupakan peubah yang menentukan kepatuhan seseorang terhadap hukum. Dalam kaitan itu, seorang nelayan akan memiliki pandangan tertentu jika dia menghadapi sesama nelayan lain yang mematuhi atau melanggar hukum. Nelayan bisa melanggar atau mematuhi hukum sesuai lingkungannya. Namun, dia pun bisa berbeda tindakan dengan masyarakatnya (Nikijuluw, 2008).


(44)

Upaya untuk mengkuantifisir obligasi moral dan nilai sosial seseorang terhadap pelaksanaan hukum cukup sulit. Untuk kasus perikanan illegal di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, Kuperan et al.(1997) menggunakan peubah pendidikan, pengalaman, dan tekanan sosial untuk mewakili peubah obligasi moral dan nilai sosial (Nikijuluw, 2008).

Menurut Nikijuluw (2008), jika seorang nelayan tinggal dan hidup di antara masyarakat yang melanggar atau mematuhi hukum, dia akan menerima tekanan yang mungkin sama atau berbeda dengan obligasi sosialnya. Pada umumnya, nelayan akan mengorbankan obligasi sosial karena tekanan lingkungan sosial. Namun, tidak dipungkiri bahwa di tengah lingkungan yang demikian, masih ada nelayan yang memiliki nilai kebenaran dan patuh terhadap norma hukum sehingga berbeda dengan lingkungannya.

Kepatuhan terhadap hukum atau regulasi juga dipengaruhi oleh tanggapan individu terhadap legitimasi dan aparat penegak hukumnya. Legitimasi adalah penilaian normatif individu mengenai kepantasan tindakan aparat penegak hukum untuk membatasi perilakunya. Kepatuhan akan tinggi bila individu menaruh tingkat legitimasi yang tinggi terhadap aparat penegak hukum. Mengutip dari Tyler (1990), Kuperan dan Sutinen (1998) menekankan peubah hasil dan proses. Peubah hasil adalah peubah yang terkait dengan hasil akhir sebuah regulasi yang memiliki dua kriteria : tidak terkait langsung dengan keadilan, dan terkait langsung dengan keadilan distributif. Peubah proses juga memiliki dua kriteria : efisiensi atau efektifitas, dan keadilan prosedural. Sebagai contoh, regulasi perikanan yang bertujuan untuk menciptakan konservasi dapat menghasilkan kenaikan stok biomassa ikan, yaitu sebuah hasil yang tidak terkait


(45)

20

dengan keadilan, sementara itu pihak yang memperoleh banyak ikan sebagai efek dari regulasi merupakan sebuah keluaran yang terkait dengan kriteria keadilan distributif. Seberapa cepat dan sering para pelanggar terdeteksi, ditangkap dan dihukum adalah peubah proses yang terkait dengan efisiensi dan efektivitas. Kemudian, bagaimana pelanggar diperlakukan, dan bagaimana hukum ditegakan secara konsisten adalah peubah proses yang terkait dengan keadilan prosedural (Kuperan dan Sutinen, 1998).

2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu

Keputusan nelayan dalam melakukan tindakan legal atau illegal telah menarik cukup banyak perhatian para ahli ekonomi, baik melalui penelitian empiris maupun konseptual. Kebanyakan para ahli ekonomi tersebut mengembangkan pemikirannya dari model yang dikenal dengan model dasar pencegahan (deterrence model), dan sebagian lagi mengembangkannya dari principle-agent model. Kemudian, sejauh penelusuran literatur di Indonesia, penelitian mengenai respon nelayan terhadap regulasi perikanan nampaknya masih langka. Penelitian terkait penangkapan ikan secara illegal di Indonesia nampak berkembang di Irian Jaya dan Sulawesi, meski secara disipliner tidak terkait dengan model dasar pencegahan yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi sebelumnya.

Dalam literatur yang telah terpilih, artikel Kuperan dan Sutinen (1998) tampak menjadi pelopor yang membuka studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan. Model penelitiannya diperluas oleh para ahli ekonomi berikutnya, seperti Charles et al.(1999), Nielsen dan Mathiasen (1998), Schmidt (2005), Sumaila dan Keith (2006), Shaw dan Sutinen (2006), Arnason


(46)

(2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), King dan Sutinen (2009), dan Girvan (2009).

Terdapat dua hal yang menjadi subyek perhatian para ahli ekonomi tersebut, yaitu insentif nelayan untuk mematuhi aturan perikanan dan model dasar pencegahan. Kuperan dan Sutinen (1998), Sumaila dan Keith (2006) serta Eggert dan Lokina (2008) mengidentifikasi tiga macam kelompok nelayan di dalam merespon aturan perikanan, yaitu nelayan patuh (non-violator), nelayan moderat (opportunistic atau alternating) dan nelayan kronis atau pelanggar mapan (persistent violator).

Sintesa dari ulasan hasil penelitian tersebut menampilkan beberapa insentif ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi keputusan nelayan diantara tindakan legal dan illegal. Insentif ekonominya mencakup hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE), harga ikan dan implikasi biaya penangkapan ikan dari tindakan legal dan illegal. Sementara itu, insentif non ekonominya mencakup legitimasi, pengawasan dan penegakan, denda atas tindakan illegal, pertimbangan moral nelayan, dan lingkungan sosial nelayan.

Terdapat materi yang menarik untuk didiskusikan, yaitu hasil penelitian Kuperan dan Sutinen (1998) dengan Eggert dan Lokina (2008). Keduanya mengaplikasikan pendekatan ekonometrika untuk menjelaskan peluang nelayan untuk melanggar atau mematuhi peraturan perikanan. Kuperan dan Sutinen (1998) mengestimasi peluang tersebut dengan model probit dan tobit untuk mengestimasi peluang nelayan untuk melanggar atau mematuhi aturan perikanan, sedangkan Eggert dan Lokina (2008) menggunakan model ordered probit untuk mengestimasi peluang nelayan mejadi pelanggar mapan, pelanggar oportunis dan


(47)

22

patuh. Keduanya menggunakan jumlah bulan melaut untuk mengidentifikasi tindakan legal dan illegal. Obyek penelitian yang mereka kaji berbeda. Kuperan dan Sutinen mengambil obyek penelitian dari nelayan Peninsular-Malaysia, sedangkan Eggert dan Lokina (2008) mengambil obyek penelitian dari nelayan di Danau Victoria.

Variabel yang mereka gunakan untuk merepresentasikan insentif ekonomi adalah harapan CPUE, dan keduanya memberikan simpulan yang serupa bahwa perbedaan harapan CPUE dari tindakan legal dan illegal signifikan mempengaruhi peluang nelayan untuk memilih kedua tindakan tersebut. Harapan CPUE dari tindakan illegal yang lebih besar dari CPUE tindakan legal, dapat memperbesar peluang nelayan untuk memilih tindakan illegal. Perbedaannya terletak pada variabel signifikansi legitimasi.

Hasil penelitian kedua tim peneliti tersebut menampilkan suatu perdebatan pada aspek legitimasi aturan perikanan. Hasil estimasi Kuperan dan Sutinen (1998) menampilkan bahwa variabel legitimasi tidak signifikan mempengaruhi pilihan nelayan, sedangkan temuan Eggert dan Lokina (2008) menampilkan sebaliknya. Dengan perkataan lain, variabel legitimasi tidak menjadi insentif bagi nelayan menurut analisis Kuperan dan Sutinen (1998). Variabel legitimasi yang mereka gunakan menghimpun beberapa sub variabel. Sub variabel legitimasi yang serupa diantara keduanya adalah kelayakan hukuman terhadap nelayan yang melanggar dan tingkat penegakan aturan perikanan yang dilakukan aparat. Kuperan dan Sutinen (1998) memberikan dua klarifikasi. Pertama, terdapat kesalahan dalam teori legitimasi, dan harus dimodifikasi, karena pilihan tindakan legal dan illegal oleh nelayan hanya dimotivasi oleh sesuatu yang nyata, dan


(48)

kedua, terdapat kelemahan dalam pengukuran variabel legitimasi yang mereka gunakan.

Insentif ekonomi yang muncul dari implikasi harga ikan dan biaya dari tindakan legal dan illegal muncul dari hasil studi konseptual Charles et al.(1999) dan Sumaila dan Keith (2006). Keduanya menggunakan analisa statika komparatif untuk membuktikan efek variabel tersebut terhadap pilihan nelayan diantara tindakan legal dan illegal.

Secara konseptual, model pencegahan yang digunakan Kuperan dan Sutinen dikembangkan oleh Charles et al.(1999), Sumaila dan Keith (2006), Arnason (2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), dan Girvan (2009) untuk menangkap fenomena aktual yang lebih kompleks. Charles et al.(1999) memandang bahwa perilaku mikroekonomi nelayan perlu dibedakan menurut jenis regulasi yang dihadapinya, yaitu regulasi input dan output. Regulasi input merupakan aturan yang mencegah nelayan dari penggunaan alat tangkap destruktif yang dinilai illegal. Sedangkan regulasi output merupakan aturan yang mencegah nelayan dari kelebihan hasil tangkapan atas kuota penangkapan yang dimilikinya. Melalui pendekatan matematika ekonomi, Charles et al.(1999) dapat mengidentifikasi bahwa dalam menghadapi regulasi input perikanan, terdapat beberapa faktor yang berpotensi mendorong nelayan untuk melanggar regulasi alat tangkap illegal, yaitu harga ikan, upaya penegakan, biaya pengadaan input illegal dan biaya yang timbul dari kegiatan penghindaran (avoidance) terhadap upaya penegakan regulasi. Proposisinya menyatakan bahwa tingginya harga ikan dapat mendorong nelayan untuk tidak mematuhi regulasi input. Sedangkan, tingginya upaya penegakan dapat menimbulkan tingginya biaya penghindaran,


(49)

24

sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan nelayan, begitupun halnya dengan perubahan dalam biaya pengadaan input illegal.

Sumaila dan Keith (2006) menangkap bahwa faktor moral dan sosial tidak dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan nelayan di dalam memilih kegiatan legal dan illegal. Longgarnya pertimbangan moral dan sosial dalam pengambilan keputusan menimbulkan konsekuensi kehilangan moral, dan munculnya sanksi atau tekanan secara sosial. Pendekatan matematika ekonomi yang mereka mengemukakan bahwa faktor moral dan sosial menjadi pembobot atau moderasi terhadap pertimbangan manfaat marjinal dari penggunaan alat tangkap illegal. Proposisi yang muncul adalah meskipun manfaat marjinal dari alat tangkap illegal dinilai besar dari biaya marjinalnya, tapi bila nelayan menaruh bobot yang lebih besar pada resiko kehilangan moral dan sanksi sosial, maka mereka akan cenderung mematuhi regulasi perikanan. Karena itu, dapat juga dicatat bahwa ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan disebabkan oleh rendahnya pertimbangan moral dan pendirian sosial. Sumaila dan Keith (2006) mengaplikasikan pendekatan tersebut untuk mengkaji faktor ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perikanan illegal secara global, yaitu di Australia, Chili, Rusia, Argentina, Jepang, Meksiko, Mauritius, Kanada dan Uruguay. Mereka melihat bahwa manfaat ekonomi dari perikanan illegal cukup signifikan memotivasi nelayan untuk melakukan tindakan illegal.

Arnason (2007) kemudian memperluas model Charles et al.(1999) dengan mempertimbangkan unsur stokastik yang melekat dalam regulasi output. Alasannya adalah terdapat perbedaan sikap terhadap resiko diantara nelayan, dan fungsi keuntungan nelayan tidak dapat diketahui dengan sempurna karena sifat


(50)

variabilitas harga ikan. Fokus gagasannya adalah pada aspek upaya penegakan yang optimal. Di bawah unsur ketidakpastian, tingkat penegakan regulasi perikanan akan lebih tinggi dibandingkan di bawah kondisi yang tidak mempertimbangkan unsur ketidakpastian, dan harapan manfaat sosialnya akan lebih tinggi juga.

Kontras dengan Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009) lebih fokus kepada faktor yang menimbulkan nelayan menjadi pelanggar kronis. Secara konseptual proposisinya menyatakan bahwa untuk mendorong tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi mata jaring legal, syaratnya adalah hukuman optimal bagi pelanggar harus ditetapkan lebih tinggi pada rejim open akses teregulasi dibandingkan rejim manajemen atau pengelolaan. Rejim pengelolaan yang dimaksud adalah masyarakat nelayan memiliki hak teritorial tertentu, sedangkan rejim open akses teregulasi adalah aturan yang membolehkan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah manapun sepanjang regulasi ukuran mata jala dipatuhi.

Girvan (2009) kemudian mengoreksi asumsi dibalik model dasar pencegahan. Pekerjaan tersebut ia lakukan untuk mengembangkan model ekonomi pencegahan yang ia pandang lebih realistik. Menurutnya, asumsi yang digunakan oleh Becker (1968), dan ahli ekonomi yang mengikutinya adalah meningkatnya peluang tertangkap dan kerugian akibat tertangkap dapat meredam tindak kejahatan. Girvan (2009) menginternalisasikan peranan kendali sosial (social control), kendala struktural (misalnya kemiskinan), dan keragaman sub-budaya dan sub kelompok masyarakat.


(1)

+---+ | KLSALAT | Obs | Rank Sum | |---+---+---| | Legal | 10 | 201.50 | | Terlarang | 25 | 428.50 | +---+ chi-squared = 0.616 with 1 d.f. probability = 0.4324

chi-squared with ties = 0.616 with 1 d.f. probability = 0.4324

4.4. Kategori Keuntungan Nelayan di Luar

TPI dengan Perahu 6 – 10 GT

. kwallis UNTPI10, by(KLSALAT)

Kruskal-Wallis equality-of-populations rank test +---+

| KLSALAT | Obs | Rank Sum | |---+---+---| | Legal | 9 | 112.50 | | Terlarang | 9 | 58.50 | +---+ chi-squared = 5.684 with 1 d.f. probability = 0.0171

chi-squared with ties = 6.245 with 1 d.f. probability = 0.0125


(2)

Lampiran 5.

Output Hasil Estimasi dan Validasi Model Ekonometrika

5.1. Output Hasil Estimasi

Output pada lampiran ini digunakan untuk membantu penjelasan pada Sub

Bab 7.1.

. ologit LEVIOL PROFIT TPI REVOFF EDUCATE LEI

Iteration 0: log likelihood = -89.167082 Iteration 1: log likelihood = -70.256209 Iteration 2: log likelihood = -69.214234 Iteration 3: log likelihood = -69.184121 Iteration 4: log likelihood = -69.18408

Ordered logistic regression Number of obs = 91 LR chi2(5) = 39.97 Prob > chi2 = 0.0000 Log likelihood = -69.18408 Pseudo R2 = 0.2241 --- LEVIOL | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---+--- PROFIT | -.2180148 .075749 -2.88 0.004 -.3664801 -.0695495 TPI | 1.898464 .5014012 3.79 0.000 .9157351 2.881192 REOFFISH | -.1851408 .130419 -1.42 0.156 -.4407573 .0704757 EDUCATE | .1679445 .1014297 1.66 0.098 -.030854 .366743 LEI | -1.161906 .4200865 -2.77 0.006 -1.985261 -.3385518 ---+--- /cut1 | -3.837225 1.362605 -6.507881 -1.166569 /cut2 | -1.185985 1.294541 -3.723239 1.351268 ---

. fitstat

Measures of Fit for ologit of LEVIOL

Log-Lik Intercept Only: -89.167 Log-Lik Full Model: -69.184 D(84): 138.368 LR(5): 39.966 Prob > LR: 0.000 McFadden's R2: 0.224 McFadden's Adj R2: 0.146 ML (Cox-Snell) R2: 0.355 Cragg-Uhler(Nagelkerke) R2: 0.414 McKelvey & Zavoina's R2: 0.437

Variance of y*: 5.841 Variance of error: 3.290 Count R2: 0.615 Adj Count R2: 0.222 AIC: 1.674 AIC*n: 152.368 BIC: -240.544 BIC': -17.412 BIC used by Stata: 169.944 AIC used by Stata: 152.368


(3)

5.2. Koefisien Model

Output pada lampiran ini digunakan untuk menjelaskan Sub Bab 7.2.

A.

Odds Ratio

: Peluang leviol = 3 dibandingkan leviol = 2 dan leviol = 1

. listcoef, help

ologit (N=91): Factor Change in Odds

ologit (N=91): Factor Change in Odds Odds of: >m vs <=m

--- LEVIOL | b z P>|z| e^b e^bStdX SDofX ---+--- PROFIT | -0.21801 -2.878 0.004 0.8041 0.5007 3.1726 TPI | 1.89846 3.786 0.000 6.6756 2.5720 0.4976 REOFFISH | -0.18514 -1.420 0.156 0.8310 0.7279 1.7151 EDUCATE | 0.16794 1.656 0.098 1.1829 1.4744 2.3118 LEI | -1.16191 -2.766 0.006 0.3129 0.4768 0.6375 --- b = raw coefficient

z = z-score for test of b=0 P>|z| = p-value for z-test

e^b = exp(b) = factor change in odds for unit increase in X e^bStdX = exp(b*SD of X) = change in odds for SD increase in X SDofX = standard deviation of X

B. Persentase Perubahan Peluang leviol = 3 dibandingkan leviol = 2 dan leviol =1

. listcoef, percent help

ologit (N=91): Percentage Change in Odds Odds of: >m vs <=m

--- LEVIOL | b z P>|z| % %StdX SDofX ---+--- PROFIT | -0.21801 -2.878 0.004 -19.6 -49.9 3.1726 TPI | 1.89846 3.786 0.000 567.6 157.2 0.4976 REOFFISH | -0.18514 -1.420 0.156 -16.9 -27.2 1.7151 EDUCATE | 0.16794 1.656 0.098 18.3 47.4 2.3118 LEI | -1.16191 -2.766 0.006 -68.7 -52.3 0.6375 --- b = raw coefficient

z = z-score for test of b=0 P>|z| = p-value for z-test

% = percent change in odds for unit increase in X %StdX = percent change in odds for SD increase in X SDofX = standard deviation of X

C.

Odds Ratio

: Peluang leviol = 1 dibandingkan leviol = 1 dan leviol = 2

. listcoef, reverse help

ologit (N=91): Factor Change in Odds Odds of: <=m vs >m


(4)

--- LEVIOL | b z P>|z| e^b e^bStdX SDofX ---+--- PROFIT | -0.21801 -2.878 0.004 1.2436 1.9971 3.1726 TPI | 1.89846 3.786 0.000 0.1498 0.3888 0.4976 REOFFISH | -0.18514 -1.420 0.156 1.2034 1.3737 1.7151 EDUCATE | 0.16794 1.656 0.098 0.8454 0.6782 2.3118 LEI | -1.16191 -2.766 0.006 3.1960 2.0973 0.6375 --- b = raw coefficient

z = z-score for test of b=0 P>|z| = p-value for z-test

e^b = exp(b) = factor change in odds for unit increase in X e^bStdX = exp(b*SD of X) = change in odds for SD increase in X SDofX = standard deviation of X

5.3. Efek Marginal

Output pada lampiran ini digunakan untuk membantu penjelasan pada Sub

Bab 7.2. Dalam pembahasan dy/dx secara eksplisit disebut dengan frase ”efek

marjinal”.

. mfx compute, predict(outcome(1))

Marginal effects after ologit

y = Pr(LEVIOL==1) (predict, outcome(1)) = .06660092

--- variable | dy/dx Std. Err. z P>|z| [ 95% C.I. ] X ---+--- PROFIT | .0135529 .00563 2.41 0.016 .002527 .024579 1.12396 TPI*| -.1151108 .04127 -2.79 0.005 -.195996 -.034225 .428571 REOFFISH | .0115093 .00855 1.35 0.178 -.005239 .028258 .645055 EDUCATE | -.0104403 .00676 -1.54 0.122 -.023689 .002808 6.01099 LEI | .0722302 .03066 2.36 0.018 .012147 .132313 2.28571 --- (*) dy/dx is for discrete change of dummy variable from 0 to 1

. mfx compute, predict(outcome(2))

Marginal effects after ologit

y = Pr(LEVIOL==2) (predict, outcome(2)) = .43618044

--- variable | dy/dx Std. Err. z P>|z| [ 95% C.I. ] X ---+--- PROFIT | .0409491 .01636 2.50 0.012 .008894 .073004 1.12396 TPI*| -.3254354 .08923 -3.65 0.000 -.500327 -.150544 .428571 REOFFISH | .0347744 .02541 1.37 0.171 -.01503 .084579 .645055 EDUCATE | -.0315445 .02001 -1.58 0.115 -.070768 .007679 6.01099 LEI | .2182374 .09006 2.42 0.015 .041727 .394747 2.28571 --- (*) dy/dx is for discrete change of dummy variable from 0 to 1


(5)

Marginal effects after ologit

y = Pr(LEVIOL==3) (predict, outcome(3)) = .49721864

--- variable | dy/dx Std. Err. z P>|z| [ 95% C.I. ] X ---+--- PROFIT | -.054502 .01894 -2.88 0.004 -.091621 -.017383 1.12396 TPI*| .4405462 .09996 4.41 0.000 .244636 .636457 .428571 REOFFISH | -.0462838 .03261 -1.42 0.156 -.110192 .017625 .645055 EDUCATE | .0419848 .02535 1.66 0.098 -.007709 .091678 6.01099 LEI | -.2904675 .10505 -2.77 0.006 -.496353 -.084582 2.28571 --- (*) dy/dx is for discrete change of dummy variable from 0 to 1

. prvalue

ologit: Predictions for LEVIOL Confidence intervals by delta method

95% Conf. Interval Pr(y=ATT_Teta|x): 0.0666 [ 0.0166, 0.1166] Pr(y=Alternat|x): 0.4362 [ 0.3127, 0.5597] Pr(y=ATL_Teta|x): 0.4972 [ 0.3732, 0.6212] PROFIT TPI REOFFISH EDUCATE LEI x= 1.1239561 .42857143 .64505495 6.010989 2.2857143


(6)

1. Kuesioner Penelitian

... 143

2. Daftar Singkatan Istilah

... 146

3. Data Penelitian

... 148

4.

Hasil Uji Perbedaan Keuntungan Alat Tangkap Legal dan

Terlarang

156