6 Menurut Ali-Mohamed dan Khamis 2004, biji kurma mengandung ion-ion mineral, seperti
natrium Na
+
, kalium K
+
, magnesium Mg
2+
, kalsium Ca
+
, ferum atau besi Fe
2+
, mangan Mn
2+
, zinc Zn
2+
, cuprum Cu
2+
, nickel Ni
2+
, cobalt Co
2+
, dan cadmium Cd
2+
. Ion mineral yang paling banyak terkandung pada biji kurma adalah ion kalium K
+
, magnesium Mg
2+
, dan natrium Na
+
. Kandungan mineral biji kurma dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Kandungan mineral biji kurma Ali-Mohamed dan Khamis, 2004
Mineral Kandungan μgg
Natrium Na
+
237,63 Kalium K
+
4857,58 Magnesium Mg
2+
655,53 Kalsium Ca
+
95,12 Besi Fe
2+
44,47 Mangan Mn
2+
14,82 Zinc Zn
2+
12,24 Cuprum Cu
2+
5,24 Nickel Ni
2+
1,12 Cobalt Co
2+
0,79 Cadmium Cd
2+
0,03
2.3. Pembuatan Tepung Biji Kurma
Biji kurma dapat diolah menjadi tepung atau dalam bentuk serbuk powder. Tahapan proses pengolahan tersebut, yaitu pemisahan biji kurma dengan daging buah kurma, penyimpanan biji pada
suhu 10°C, perendaman dan pencucian biji dengan air, penirisan, pengeringan biji pada suhu 50°C, lalu penggilingan biji dengan mesin grinder heavy-duty grinder sehingga dihasilkan biji kurma
dalam bentuk serbuk atau tepung Bouaziz et al., 2010. Proses pengolahan biji kurma menjadi tepung atau bubuk menurut Bouaziz et al. 2010 sama
dengan proses menurut Ardekani et al. 2010. Menurut Ardekani et al. 2010, tahapan proses pengolahan biji kurma menjadi bubuk, yaitu penyimpanan biji kurma yang telah dipisahkan daging
kurmanya pada suhu 2 - 8°C, pencucian biji kurma dengan air, penirisan, pengeringan dengan panas 50°C selama 4 jam, kemudian dilakukan penggilingan biji kurma dengan grinder heavy-duty
grinder , serta dilakukan penyaringan untuk mendapatkan serbuk yang halus.
Terdapat cara lain atau proses tambahan dalam pengolahan biji menjadi tepung sehingga biji mudah untuk digiling dan menghasilkan warna yang baik. Proses tambahan tersebut adalah proses
sulfurisasi dan blanching. Proses sulfurisasi atau pengawetan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada bahan dan mencegah pertumbuhan bakteri Fennema, 1996.
Proses ini cukup baik diterapkan pada proses pembuatan tepung biji, sehingga tepung yang dihasilkan akan tampak lebih baik warnanya. Menurut Salunkhe 1976, proses blanching merupakan proses
yang dapat melunakkan suatu jaringan bahan sehingga bahan akan lebih mudah dihancurkan. Menurut Widya 2003 dalam penelitian tepung biji mangga, blanching dilakukan sebelum proses pengeringan
dalam proses pembuatan tepung biji mangga.
7 Menurut Eskin et al. 1971, sulfurisasi merupakan proses penambahan sulfur dioksida pada
bahan pengan sebelum dikeringkan. Tujuan dari sulfurisasi ini untuk mempertahankan warna dan mencegah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimtis ataupun enzimatis, menghambat pertumbuhan
mikroba, sebagai antioksidan dan sebagai zat pemucat. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi akibat konversi senyawa fenolat menjadi melanin yang berwarna coklat dengan bantuan enzim polifenol
oksidase atau fenolase. Untuk menjalankan reaksi tersebut membutuhkan oksigen sebagai akseptor H
2
dan ion tembaga sebagai katalisator. Oleh karena itu, untuk menghambat reaksi pencoklatan secara enzimatis tersebut, dilakukan penghilangan atau pengurangan oksigen yang tersedia disekitar bahan.
Cara yang sederhana untuk melakukan hal tersebut adalah dengan cara perendaman. Reaksi pencoklatan secara non enzimatis terjadi karena adanya reaksi Maillard. Reaksi ini
melibatkan asam amino protein dan gula pereduksi sebagai subtrat awal. Reaksi pencoklatan tersebut dapat dicegah dengan sulfurisasi, karena sulfur dioksida dan sulfit dapat bereaksi dengan
gugus reaktif gula pereduksi Eskin et al., 1971. Fennema 1996 juga menyatakan bahwa sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit dapat memblokade reaksi karbonil amino
sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Berikut reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit menurut Eskin et al. 1971.
Gambar 2.1. Reaksi antara gula pereduksi dengan natrium bisulfit Bahan yang biasa digunakan pada sulfurisasi ini adalah sulfit. Ada enam macam bahan kimia
dari golongan sulfit yang telah ditetapkan oleh CFR Code of Federal Regulations sebagai bahan aditif, yaitu sulfur dioksida SO
2
, natrium sulfit Na
2
SO
3
, natrium bisulfit NaHSO
3
, natrium metabisulfit Na
2
S
2
O
5
, kalium bisulfit KHSO
3
, dan kalium metabisulfit K
2
S
2
O
5
. Keenam bahan aditif tersebut telah dinyatakan sebagai GRAS Generally Recognized as Safe Ping, 1994.
Menurut Fennema 1996, sulfur dioksida dari natrium bisulfit dalam larutan membentuk asam sulfit yang pada pH rendah berfungsi sebagai pengawet. Sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis,
natrium bisulfit memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Proses pencegahan ini akan lebih efektif, jika digabungkan dengan proses blanching. Penggunaan sulfit
sebagai pengawet ini tidak terlalu berbahaya terhadap tubuh, karena sulfit akan dicerna menjadi sulfat dan dikeluarkan dalam urine tanpa efek patologis.
Menurut Damayanthi dan Eddy 1995, blanching merupakan proses pemanasan suatu bahan dengan uap atau air panas secara langsung pada suhu kurang atau sama dengan 100°C selama kurang
dari 10 menit. Penggunaan air panas pada proses blanching dapat mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi karena bahan terendam dalam air sehingga mengurangi kontak dengan
udara. Pengaruh proses blanching terhadap bahan, yaitu mengurangi waktu pengeringan,
mengeluarkan udara dari jaringan, menyebabkan pelunakan jaringan, menginaktifkan enzim, mempertahankan karoten dan asam askorbat selama penyimpanan, dan menyebabkan kehilangan
padatan terlarut Salunkhe, 1976. Menurut Winarno dan Fardiaz 1974, perlakuan proses blanching ini dilakukan sebelum bahan dikeringkan ataupun dibekukan untuk mematikan beberapa
mikroorganisme. Proses blanching biasanya dilakukan pada suhu 82 - 93°C selama 3 - 5 menit.
8 Proses pengeringan merupakan proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan
kandungan air dari bahan secara simultan. Proses ini dapat menurunkan kadar air pada bahan sampai batas tertentu sehingga dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis. Suhu pengeringan
yang dipakai bervariasi untuk setiap bahan. Suhu biji-bijian yang direkomendasikan dalam proses pengeringan adalah 60°C untuk biji-bijian yang akan digiling Brooker et al., 1981.
Menurut Buckle et al. 1985, pengeringan merupakan proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sehingga mencapai kadar air keseimbangan dengan kondisi
udara normal. Kandungan air pada bahan dikurangi sampai kadar air setara dengan nilai aktivitas air Aw yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatik, dan kimiawi. Terdapat beberapa faktor
utama yang dapat mempengaruhi pengeringan bahan, yaitu: a sifat fisik dan kimia produk, seperti bentuk, ukuran, komposisi, dan kadar air, b pengaturan geometris produk sehubungan dengan
permukaan alat atau media perantara pemindahan panas, c sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengiring suhu, kelembaban, dan kecepatan udara, dan d karakteristik alat pengering.
2.4. Sifat Tepung dan Penurunan Mutu Tepung