Sifat Tepung dan Penurunan Mutu Tepung

8 Proses pengeringan merupakan proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan kandungan air dari bahan secara simultan. Proses ini dapat menurunkan kadar air pada bahan sampai batas tertentu sehingga dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis. Suhu pengeringan yang dipakai bervariasi untuk setiap bahan. Suhu biji-bijian yang direkomendasikan dalam proses pengeringan adalah 60°C untuk biji-bijian yang akan digiling Brooker et al., 1981. Menurut Buckle et al. 1985, pengeringan merupakan proses menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sehingga mencapai kadar air keseimbangan dengan kondisi udara normal. Kandungan air pada bahan dikurangi sampai kadar air setara dengan nilai aktivitas air Aw yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatik, dan kimiawi. Terdapat beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi pengeringan bahan, yaitu: a sifat fisik dan kimia produk, seperti bentuk, ukuran, komposisi, dan kadar air, b pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindahan panas, c sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengiring suhu, kelembaban, dan kecepatan udara, dan d karakteristik alat pengering.

2.4. Sifat Tepung dan Penurunan Mutu Tepung

Produk pertanian yang berupa tepung merupakan hasil olahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk. Contohnya tepung beras beras ketanberas biasa tepung maizena, tepung terigu, tepung tapioka, sagu, kopi bubuk, kakao dan bumbu yang dihaluskan. Butiran tepung sangat halus sehingga menyebabkan permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Hal ini menyebabkan bahan bersifat higroskopis, yaitu mudah sekali menjadi lembab, karena mudah menyerap uap air Dwiari et al., 2008. Sifat mudah menyerap uap air di udara atau sifat higroskopis yang dimiliki produk tepung-tepungan dapat memudahkan tepung mengalami penurunan mutu dan mengalami kerusakan. Pengaruh kadar air dan aktivitas penyerapan air akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tepung misalnya warna dan tekstur, perubahan-perubahan kimia misalnya reaksi pencoklatan, dan kerusakkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur Buckle et al., 1985. Produk tepung-tepungan memiliki batas standar kadar air yang terkandung, seperti pada tepung terigu yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 14,5 SNI 3751:2009, pada tepung singkong yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 12 SNI 01-2997-1996, dan pada tepung beras yang memiliki batas maksimal kadar air sebesar 13 SNI 3549:2009. Hal ini dapat menjadi tolak ukur penurunan kualitas pada tepung. Menurut Winarno 1997, kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikrooganisme dan bahan pangan tersebut dapat tahan lama. Winarno 1997 menyatakan bahwa a w water activity adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya. Masing-masing mikroba memiliki a w pertumbuhannya masing-masing, seperti bakteri tumbuh pada a w 0,9, khamir tumbuh pada a w 0,8 - 0,9, dan kapang tumbuh pada a w 0,6 - 0,7. Umumnya bahan makanan kering seperti tepung memiliki nilai aktivitas air a w antara 0,4 - 0,5, sedangkan makanan semi basah memeiliki nilai aktivitas air a w antara 0,6 - 0,9. Namun, nilai a w pada tepung akan meningkat, karena sifat higroskopis yang dimiliki tepung sehingga mikroba dapat tumbuh pada tepung. Penurunan mutu tepung lainnya juga disebabkan adanya kontaminasi atau cemaran serangga atau kutu yang sering ditemukan pada tepung selama penyimpanan. Menurut Amy 2010, cemaran serangga atau tepung terjadi akibat proses produksi tepung dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis, serta kondisi tempat penyimpanan yang mendukung pertumbuhan kutu. Kutu yang mengkontaminasi tepung dapat meninggalkan feces kotoran sehingga dapat menjadi potensial besar 9 bahaya mikrobiologis dan tidak higienis. Tepung yang sudah tercemar banyak larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan akan cepat berjamur. Kutu tepung menyukai suhu lingkungan sekitar 30°C dan mereka tidak tumbuh dan berkembang biak pada suhu di bawah 18°C. Keseluruhan siklus kutu dari telur menjadi kutu memerlukan waktu 7 - 12 minggu dan kutu dewasa dapat hidup sampai tiga tahun atau lebih. Jadi, apabila kontaminasi telur kutu terjadi pada saat awal penyimpanan, maka kutu akan mulai terlihat pada tepung kira-kira pada saat penyimpanan minggu ke-6 atau ke-7, sedangkan larva akan mulai menetas dari telur kira-kira pada minggu ke-2 atau ke-3 Amy, 2010.

2.5. Pengemasan dan Penyimpanan