Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah kapiler atau vena, periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-
bagian yang berbeda dari makanan 50 g dari total bukan dari karbohidrat yang tersedia Foster-Powellet al., 2002.
Menurut Waspadjiet al.2002, beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara memasak jenis tepung, kandungan serat, dan efek anti enzim pencernaan
mempengaruhi respons glikemik suatu makanan, artinya setiap makanan yang disantap akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah yang berbeda-beda.
Lemak dan protein juga mempengaruhi pencernaan hingga respons peningkatan kadar glukosa akan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis makanan
akan menimbulkan respon yang berbeda meskipun mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sama.
Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian 2004,
beberapa faktor yang memengaruhi indeks glikemik pangan adalah cara pengolahan tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel, perbandingan amilosa
dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan.
a. Proses Pengolahan
Pada zaman dahulu, nenek moyang mengonsumsi karbohidrat dalam bentuk kacang-kacangan, sayuran dan serelia yang diolah dengan teknik yang
sederhana seperti ditumbuk serta tanpa ada bahan tambahan pangan yang lain. Sedangkan pada zaman sekarang teknik pengolahan pangan menjadi pangan
Universitas Sumatera Utara
tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan merupakan salah satu teknik pengolahan yang membuat struktur pangan menjadi
lebih halus sehingga pangan menjadi lebih cepat diserap dan dicerna dan mengakibatkan cepatnya timbul rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan
diserap menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Peningkatan kadar gula darah yang cepat ini “memaksa” pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak.
Oleh karena itu, kadar gula darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin Ostman et al., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004.
Pengolahan bengkuang menjadi tepung dengan pemanasan suhu tinggi menyebabkan molekul granula pati tersusun menjadi lebih rapat sehingga
kemampuan membengkak menjadi lebih terbatas karena adanya pembatasan masuknya air ke dalam pati Pangesti, 2014. Pati dalam makanan mentah berada
dalam bentuk granula butiran kecil dan ketika dilakukan pemanasan atau pemasakan sebagian besar granula mengembang. Granula yang mengembang dan
molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim.
Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat sehingga memiliki indeks glikemik tinggi Rimbawan dan Siagian, 2004.
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Sedangkan
amilopektin adalah polimer gula sederhana bercabang memiliki ukuran molekul
Universitas Sumatera Utara
lebih besar dan terbuka sehingga lebih mudah dicerna Rimbawan dan Siagian, 2004.
Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih
rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan
rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki indeks glikemik tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi dan mudah
dicerna. Menurut Pangesti 2014 dalam proses pembuatan tepung bengkuang mengalami gelatinisasi pada suhu 70
o
C dan tepung bengkuang termodifikasi mengalami gelatinisasi pada suhu 93,7
o
C-94,1
o
C. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik
rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna Rusilanti, 2008.
c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan