yang terjadi di masyarakat jika dipandang dari sisi sosial dan ekonomi. Peneliti merasa lebih mudah memahami penjelasan yang diungkapkan oleh Kepala Desa
dengan struktur bahasa yang lebih terartur jika dibandingkan informan-informan sebelumnya.
4.1.3 Hasil Temuan Data
a. Pariwisata Desa Rumah Galuh
Sebelum melakukan penelitian, peneliti hanya mengetahui Pelaruga sebagai nama dari sebuah objek wisata yang berada di Desa Rumah Galuh, Kecamatan Sei
Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Namun, pada perjalanan menuju lokasi penelitian, peneliti sempat mewawancarai salah satu pemuda yang berada di Jalan
Jamin Ginting, tepatnya 25 km sebelum menuju Desa Rumah Galuh. Melalui wawancara yang dilakukan, peneliti mendapat informasi bahwa Pelaruga bukanlah
nama sebuah pariwisata, melainkan nama sebuah komunitas yang berada di Desa Rumah Galuh. Sementara itu, Desa Rumah Galuh memiliki empat mata air yang
dijadikan sebagai objek wisata. “oo.. Pelaruga bukan nama tempatnya kak, itu nama komunitasnya, singkatan
dari Pemandu alam Rumah Galuh. Nama objek wisatanya ada banyak, kakak bisa pilih, ada air terjun teroh-teroh, lauberte, kolam abadi, sama air terjun
tongkat, kakak mau kemana,biar ku antarkan, sama aja itu tempatnya kak, gak mesti Pelaruga. Tempat air terjunnya sama aja kak sama Pelaruga. Tapi
ya itu tadi, orang kalau kemari taunya mau ke Pelaruga.” Setelah mengetahui bahwa Pelaruga merupakan nama sebuah komunitas yang
mengelola objek wisata yang ada di Desa Rumah Galuh, peneliti menggali lebih lanjut mengenai kronologi pembentukan komunitas Pelaruga dan hal apa yang
melandasi masyarakat setempat mengembangkan mata air menjadi objek wisata. Arianto sebagai informan kedua yang dijumpai oleh peneliti sesampainya peneliti di
posko Pelaruga menjelaskan secara singkat mengenai awal mula pembentukan komunitas Pelaruga.
Universitas Sumatera Utara
“Pendiri Pelaruga ini ada tiga orang, ada Dolly, Andi sama si Wanda. Orang ini dulu duduk-duduk minum tuak, abis minum tuak pergi orang ini ke dalam
sana buka jalur, lama-lama jadi banyak yang tau, rame lah jadinya. Mending
kakak tanya langsung aja sama orangnya, itu ada si Dolly.” Dolly sebagai informan ketiga yang dijumpai oleh peneliti menjelaskan Lebih
lanjut lagi mengenai awal pembentukan Pelaruga “Kalau tempatnya sana udah dari dulu kita tau ada air terjun disana, tapi
untuk jalan menuju ke sanayang baru mulai dibuka tahun 2010. Dulu ada kawan kami namanya Agus Ginting, dia orang Medan, kalau kakak tau dia
ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia, dialah yang ngajarkan kita buat komunitas aja, biar orang tau, makanya kita buat. Karena sistem ngantar,
sistem memandu atau nge-guide, kita buat namanya Pelaruga, Pemandu Alam Rumah Galuh. Baru pertamalah, belum ada komunitas lain. Makanya
banyak yang tau, dulu banyak komunitas dari kawan-kawan bang Agus yang datang, ada sandal gunung, aku pun lupa nama-namanya, tapi orang itu yang
sering buat-buat di internet. Awal ini baru-baru dibuka, kira-kira seminggu sekali ada lah satu-
satu kelompok orang itu kemari.” Keterangan selanjutnya juga dipaparkan oleh Wanda. Dalam penjelasannya,
Wanda mengungkapkan, “ Dulu kita ajakin kawan-kawan yang disekitar sini. Bisa dibilang masuk
2013 istilahnya Pelaruga baru booming, bisa dibilang rata-rata dulu pengunjung memang pecinta alam, nggak kayak sekarang, tinggal penikmat
alam, ikut-ikutan aja. Teknik pengembangan booming Pelaruga sebenernya
dari kawan ke kawan.” Secara ringkas, Pelaruga merupakan salah satu komunitas pertama yang
beridiri di di Desa Rumah Galuh untuk mengembangkan mata air menjadi objek wisata. Nama pelaruga lebih dikenal oleh para wisatawan dibandingkan nama mata
air yang dijadikan objek wisata oleh masyarakat setempat. Selanjutnya peneliti menanyakan mengenai beberpa tempat mata air yang dijadikan objek wisata.
“Disini ada empat tempat, ada air terjun lauberte, air terjun tongkat, air terjun teroh-teroh, sama kolam abadi. Teroh-teroh itu sebenarnya bukan air
terjun, tapi mata air, bahasa karo artinya bawah. Dari dulu nama-namanya memang gitu. Dulunya disitu tempat pemandian warga. Dulu di atas kolam
abadi, di situlah awalnya kampung Rumah Galuh
, pemandiannya di situ”, ungkap Dolly.
Universitas Sumatera Utara
Cerita bahwa mata air yang saat ini dijadikan sebagai objek wisata sebelumnya dipergunakan sebagai tempat pemandian warga setempat juga
diceritakan oleh Bolang Lingga sebagai informan tambahan. “ Kalau dulu kita tinggalnya nggak di sana, tapi dekat kolam abadi, di situlah
kita mandi, nyuci, tapi tempatnya dipisah. Kalau laki-laki tempatnya agak ke ujung sana. Lantaran sudah ada PAM, banyak warga yang pindah ke pinggir
pasar sana. Lama-lama sudah nggak ada lagi kampung di sini, pindah semuanya. Kalu kita udah biasa lewat sini, 10 menit aja udah nyampe. Ini kan
ladang-
ladang orang kampug sini, jadi kita udah biasa lewat sini.” Selain itu, peneliti menanyakan tarif yang ditentukan oleh Pelaruga kepada
para wisatawan yang menggunakan jasa pemandu dari komunitas Pelaruga dan bagaimana system pengelolaan keuangan yang ada di komunitas Pelaruga. Dolly
menjelaskan, “Kalau dulu per tempatnya dua puluh ribu, tapi sekarang dua puluh lima ribu, karenakan kita mau kasih yang punya ladang yang dilewatin, kita bayar
ranger nya lagi, kita beli pelampung, untuk uang kas kita lagi”. Pada posko komunitas Pelaruga terpasang spanduk yang digunakan sebagai
penanda basecamp Pelaruga. peneliti menanyakan filosofi spanduk yang terpasang di posko Pelaruga dengan lambang yang terdapat pada spanduk tersebut sebagai salah
satu bentuk identitas Pelaruga. “ ooo.. kalau itu yang mendesain bang Agus itu sendiri, sebetulnya itu
inisiatif kami sendiri, dulu kami sering kumpul. Kami bentuklah komunitas Pelaruga, lalu kita buatlah. Karena mainnya di alam, kita cari desain-desain
yang bagus-bagus, yang mencolok kea lam, makanya kita bentuk warna hijau, kenapa logonya berbentuk bulat, Pelaruga ini kan singkatan dari Pemandu
Alam Rumah Galuh, makanya di tengahnya dibentuklah satu rumah. Gitu aja
sih kak.” Dolly juga menjelaskan sekaligus ingin menawarkan kepada peneliti bahwa
saat ini mereka mulai menawarkan beberapa tempat mata air yang berlokasi di desa- desa tetangga wilayah kecamatan Sei Bingai untuk mempertahankan minat para
pengunjung untuk tetap berwisata ke Kecamatan Sei Bingai.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau desa sebelah, kita yang jual, ditawarkan, kami jalan kerja sama. Awalnya namanya air terjun siluman, tapi kurang apa, kita ubah jadi Namu
Belanga. Hal ini juga diungkapkan lebih jelas lagi oleh Wanda.
“Kami disni ada dua spot jagoan, ada untuk tes stamina itu air terjun tongkat lewat jalur darat, kalau mau bodyrafting dari kolam abadi ke air terjun teroh-
teroh, itu lewat jalur air. Karena takutnya pengunjung merasa bosan karena itu-itu aja tempatnya, kami tawarkan lah beberapa tempat yang ada di desa
lain, paling Cuma ngasih uang premannya aja ke masyarakat desa sana. Kalau di Kecamatan Sei Bingai, kita ada sepuluh air terjun dan satu kolam
abadi ini lah. Air Terjun Lauberte di Desa Rumah Galuh, Air Terjun Tongkat di Desa Rumah Galuh, Air Terjun Tero-Tero di Desa Rumah Galuh, Air
Terjun Pelangi di Desa Telaga, Air Terjun Basbasan di Desa Telaga, Air Terjun Tengah Rembulan di Desa Telaga, Air Terjun Tiga Mentari di Desa
Telaga, Air Terjun Goa di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Bengaru di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Namu Belanga di Desa Garunggang yang sekarang
udah mulai rame orang datang kesana, tapi kami yang antarkan ke sana.”
b. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Desa Rumah Galuh