bukan mau monopoli, kalau adek-adek-an kita suruh untuk maju ke depan, untuk melobi baik dari kecamatan, dari dinas, dia merasa mentalnya nggak
ada, makanya bisa dibilang namanya aja perintis, tapi tugas kami terlalu berat. Baik ke kecamatan, ke dinas, kami juga yang menuntun, di lapangan
pun untuk bagian kenyamanan pengunjung, kami juga, jabatan mereka distruktur paling cuma membantu aja. Jadi fungsi strukturnya hanya untuk
strategi melibatkan banyak orang aja, bukan secara diam aja, kita kasih tau juga, diajarin juga dianya, itulah bedanya antara organisasi orang kampung
dengan organisasi kota. Kalau ketua dipilih tentu ada pergaulannya, bukan karena lebih disegani atau ditakutin di sini, semua sama rata di kampung ini.
Intinya tugas kita di sini belum dengan jabatan masing-masing, masih amburadullah istilahnya disini, Cuma struktur di notaris sudah ada, tapi
tugas-tugas masing-masing masih belum tau apa yang dikerjakan, masih belajar-belajar lah. Intinya untuk urusan ke masyarakat, urusan keluar,
urusan pungli, itu urusan mereka. Tapi urusan di lapangan tetep kami. Kami kepingin Pelaruga dihak patenkan, karena yang kami takutkan terbentuknya
basecamp-basecamp orang itu, kalo ibaratnya nggak kita hak patenkan, bisa saja orang itu berani bikin Pelaruga juga. Tahun 2014 pernah meledak
sampai 3000 pengunjung, kita pun bingung. Kalau kakak datang waktu itu, bisa kenak macet kakak masuk ke dalam sana sangking ramenya. Seharusnya
ke kolam abadi cuma dua puluh menit paling lama, bisa sejam setengah kakak dijala sana. Terpaksalah kami memulangkan dengan hormat kira-kira
300 pengunjung karena kita takut orang itu kecewa. Tapi itu lah, ada beberapa guide-guide nakal, pas pengunjung udah mau pulang, mereka
bilang bisa masuk ke dalam lewat jalur lain, dari situ lah mulai orang ini
buka basecamp baru.” Pemparan yang dijelaskan oleh Wanda secara panjang lebar mengartikan
bahwa pada dasarnya struktur yang terbentuk digunakan sebagai simbol untuk memudahkan mereka dalam melegalkan kegiatan yang mereka lakukan secara
adminitratis. Namun, tugas dari setiap posisi-posisi jabatan belum dilakukan berdasarkan jabatan yang dimiliki oleh masing-masing anggota. Justru sebaliknya,
struktur yang terbentuk dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi pemuda setempat dalam berorganisasi.
c. Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal
Desa Rumah Galuh
Tujuan utama dari promosi adalah menginformasikan, mempengaruhi, dan membujuk, serta mengingatkan pelanggan sasaran tentang perusahaan dan bauran
Universitas Sumatera Utara
pemasarannya. Tjiptono, 1997:221. Suatu strategi juga merupakan keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan.
Jadi dalam merumuskan strategi komunikasi, selain diperlukan perumusan tujuan yang jelas, juga terutama memperhitungkan kondisi dan situasi khalayak. Arifin,
1985:59. Berangkat dari kedua pernyataan dari dua ahli dalam mendifinisikan strategi komunikasi pemasaran, maka inti dari pertanyaan yang ditanyakan oleh
peneliti adalah Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pelaruga dalam menginformasikan keberadaannya kepada khalayak hingga sampai mendatangkan
pengunjung. Dolly sebagai informan yang lebih dulu diwawancarai menjelaskan sedikit mengenai bagaimana proses wisatawan mengetahui Desa Rumah Galuh
menjadi Daerah Tujuan Wisata dengan Pelaruga sebagai nama objek wisata. Ia menjelaskan,
“Pokoknya dari media sosial, kita pun tanpa sadar sudah besar seperti ini dan ada komunitas lain. Melonjaknya tamu sekitar tahun 2014 pas hari imlek,
sekitar tiga ribu orang yang datang kemari. Dari tahun 2011 Cuma seminggu sekali yang ramai datang kemari. Makanya banyak yang tau, dulu banyak
komunitas dari kawan-kawan bang Agus yang datang, ada sandal gunung, aku pun lupa nama-namanya, tapi orang itu yang sering buat-buat di
internet. Awal ini baru-baru dibuka, kira-kira seminggu sekali ada lah satu-
satu kelompok orang itu kemari.” Wanda juga menjelaskan bagaimana kronologi awal mereka melakukan
promosi kepada khalayak, ia pun menjelaskan hal yang sama, “ kalau untuk pasang iklan, nyebar brosur, datang ke medan untuk cari
pengunjung, kami nggak pernah buat, pengunjung sudah memang datang kemari karena tau dari kawan yang ngajak. Dulu teknik pemasaran kita
melalui blog aja. Dari situlah pengunjung yang browsing. Salah satu yang banyak bantu masa pemerintisan gotong royong di lapangan ada si Agus, dia
ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia. Dimasukannya lah di blog, dipasang
fotonya, kan kawannya nanya, ‘ih dimana itu, cantik tempatnya’. Barulah dikasih taunya, kalau dulu yang datang nggak macam sekarang,
persiapannya lebih, bawa tas nya besar, coba kalau sekarang, apalagi semenjak my trip my advanture itu datang kemari, ku tengok 80 yang
datang ke sini semuanya pake baju my trip my advanture. Ku pikir cuma ikut-
ikutan sekarang, ikut jadi gaya hidup sekarang.”
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi pemasaran yang dilakukan pada awal perintisan Pelaruga terbantu dengan adanya salah satu teman mereka yang bernama Agus yang memiliki
latar belakang sebagai anggota dari sebuah komunitas, yaitu KOIN Komunitas Orang Indonesia. Jejaring komunitas yang dimiliki oleh Agus membuahkan manfaat
bagi komunitas Pelaruga. Semenjak Agus membagikan cerita tentang objek wisata yang ada, beberapa komunitas pecinta alam mulai berdatangan ke Desa Rumah Galuh
untuk menjelajahi tempat baru yang masih terjaga lingkungannya. Selain komunitas pecinta alam, jejaring komunitas travelling yang juga mulai
mengetahui keberadaan Pelaruga pun mulai mengajak khalayak lain untuk berwisata ke Desa Rumah Galuh. Komunitas travelling sama halnya dengan komunitas pecinta
alam, yaitu menjelajahi tempat-tempat yang masih terjaga lingkungannya. Namun, satu hal yang membedakannya adalah komunitas travelling memanfaatkan hobi yang
dimilikinya untuk mendatangkan profit bagi mereka dengan merekomendasikan tempat-tempat yang sudah mulai terjelajahi kepada para wisatawan. Pelaruga sangat
terbantu dengan adanya komunitas travelling yang lebih sering mendatangkan pengunjung, khususnya wisatawan asing. Dolly mengatakan,
“ Kita nggak tau dari mana, tapi orang itu yang sering bawa pengunjung. Soal travel, kita serahkan sama bang Wanda, untuk masalah organisasinya
bg Wanda yang paham. Melalui komunitas travel itu lah datang dari Malaysia. Kalau pengunjung yang datang 300 orang biasanya di hari libur,
hari biasa paling tiga grup, rata-rata satu grup delapan sampai sepuluh ora
ng”. Selanjutnya Wanda menjelaskan, “ Artinya kita jaringan-jaringan independen aja sebetulnya, orang itu iseng-iseng aja sih. Cem kakak ini, bisa
aja kakak buat. Kalau orang itu bikin trip, di-share ke internet. Komunitas travelling yang sering bawa orang Malaysia, minimal dua minggu sekali pasti
ada, mereka jemput di bandara, entah cemanalah itu. Pokoknya sama-sama tau aja, nggak urusan kami mereka kutip berapa sama pengunjung yang
dibawa, mau sama mereka dikutip seratus ribu, yang penting sama kami dua puluh lima ribu per tempat. Tapi orang itu pun paham, kalau wisatawan
asing, kadang mau dilebihkan juga. Kadang bawa orang Medan juga, kami nggak ada kerja sama. Tapi lama-lama kita hafal juga mukanya, kadang pun
dia yang masuk sendiri karena udah sering, u
dah tau jalan”. Terlihat bahwa simbiosis mutualisme terjadi antara komunitas travelling
dengan komunitas Pelaruga meskipun tidak ada kesepakatan kerja sama secara
Universitas Sumatera Utara
profesional diantara keduanya. Informasi yang disampaikan oleh kedua informan tersebut menyatakan bahwa mereka melakukan promosi dengan memanfaatkan
tangan orang lain. Kemudian muncul pertanyaan apakah ada upaya yang dilakukan sendiri oleh Pelaruga. Dolly menjelaskan secara singkat,
“Cuma lewat facebook grup dengan nama Pelaruga. Tapi yang sering itu di google, kalo aku kurang taulah apa itu namanya, tapi kalau kita ketik
Pelaruga, ada itu muncul ceritanya,youtube- nya, blog namanya.”
Upaya yang dilakukan melalui media facebook juga sedikit dijelaskan oleh Wanda, ia menjelaskan,
“Kalau kita sendiri itu ada facebook, banyakan yang kasih saran dari pengunjung yang datang kemari, bang buat lah facebook-nya biar orang tau.
Tapi kurang efektif juga.” Peneliti juga mengamati interaksi yang dilakukan antara pihak pengelola
Pelaruga dengan wisatawan yang datang. Hasil dari pengamatan peneliti bahwa pihak pengelola Pelaruga sering kali mengingatkan kepada para pengunjung untuk
menghubungi mereka kembali jika ingin datang lagi dan tidak lupa mengajak kawan- kawan yang lain. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan konsep persuasif yang
dilakukan oleh Pelaruga untuk mendatangkan pengunjung dan menyebarkan informasi kepada khalayak yang lebih luas lagi sebagaimana telah disebutkan tujuan
dari komunikasi pemasaran itu sendiri. Hal ini juga menjadi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti kepada Arianto, informan kedua yang dijumpai oleh peneliti, ia
menjelaskan, “ Kalau dibilang rutin, nggak juga. Asal orang ini mau pulang, ya
kubilangkan ajalah, kan nggak ada salahnya kita buat, mana tau ada kawan- kawan orang ini yang mau kemari. Kalau pemasarannya aku pun nggak
ngerti-ngerti kali. Paling nanti orang ini masukan fotonya ke fb, udah ku fotokan orang ini tadi di depan, kalau udah dimasukannya nanti fotonya ke
internet, ntah ada kawannya yang nanya trus mau kemari, yg penting kan udah ada nomor hp-
nya.” Anggota komunitas Pelaruga menciptakan kenyamanan pengunjung dengan
mengakrabkan diri dengan para wisatawan sehingga dapat menumbuhkan rasa
Universitas Sumatera Utara
katagihan pengunjung merupakan upaya yang dilakukan oleh anggota komunitas Pelaruga untuk menciptakan ruang atau kesempatan untuk melakukan persuasif
kepada para pengunjung agar mereka dapat mengajak teman-teman yang lain untuk datang ke Desa Rumah Galuh, tepatnya ke komuitas Pelaruga. Bolang Lingga sebagai
salah satu pemandu komunitas Pelaruga mengungkapkan, “ Kalau sama pengunjung kita beramah-tamah aja, lantaran kita ramah,
pengunjung pasti suka, kalau suka, mereka kan nanti kemari lagi. Kita di sini gitu aja. Kalau promosi paling mereka yang kasih tau temannya atau dari
internet”. Pertanyaan tersebut juga diajukan peneliti kepada Wanda yang paling paham
kondisi lapangan aktivitas pariwisata komunitas Pelaruga. Ia pun menjelaskan, “itu pun sebenernya juga salah satu teknik kami ngasih tau orang diluar
sana, yang penting kita bisa dihubungi dulu, nantikan gampang jemputnya entah dimana. Pemandu yang ke lapangan kita tegaskan, tanggung jawab
penuh bawa nyawa orang, makanya pengunjung sempat bilang, bang bagilah nomor hp-nya, mana tau mau kemari lagi. Artinya teknik yang dipakai
mereka merasa puas, minimal tiga bulan lagi mereka datang lagi bawa kawannya, makanya teknik promosi pun macem-macem kan
.” Peneliti menanyakan apakah ada cara lain yang dilakukan oleh Pelaruga
dalam melakukan promosi. Wanda mengatakan, “Kita pernah menjalin kerja sama dengan sistem voucher kayak di Micky
Holiday, masih berjalan sampai 31 Maret 2016, nama PT nya itu CV Yourika Management, artinya dia jual voucher dengan sekian rupiah, ada contohnya
mereka jual paket yang tertera dua macam teknik main di lapangan, touring paket dan bodyrafting, secara tidak langsung mereka memang yang
melakukan promosi.” Selanjutnya peneliti menutup pertanyaan mengenai strategi komunikasi
pemasaran dengan pertanyaan mengapa Pelaruga tidak menggunakan media iklan ataupun media lain dalam upaya memasarkan objek wisata yang ada. Dolly saat itu
menjelaskan, “ Sebenarnya spanduk sudah ada, Cuma nggak kami pasang. Percuma
pengunjung tetap nggak nyaman. Abang sama kakak aja pasti di-stop-in di jalan. Lagi pula kak, cemanalah kak, kakak tengoklah kami disini, siapa yang
Universitas Sumatera Utara
mau ngerjakan... aku tebuka ajalah sama kakak ya, kami ngutip cuma dua puluh lima ribu rupiah setiap pengunjung yang datang, belum lagi kami kasih
upah sama yang mandu, terus kami kasih lagi sama orang yang punya ladang yang ladagnya dilewatin, belum lagi pelampung kak, ini lima kali pake dah
rusak kak, mesti diperbaiki, mesti beli baru lagi, itu semua dari yang dua puluh lima ribu itulah kak. Jadi kakak simpulkan aja lah sendiri, cemana
kak.” Wanda mengungkapkan alasan yang sama mengapa mereka tidak
menggunakan media iklan ataupun media lain seperti halnya yang dilakukan oleh perusahaa-perusahaan yang sudah mapan dalam mempromosikan produknya. Ia
menjelaskan, “Cerita masalah iklan, brosur, kita udah tau caranya. Tapi kenapa kita nggak
pake teknik kayak gitu, toh seandainya berkembang pesat , sama-sama pengunjung nyangkut dijalan dan nggak nyaman, tentu ada kekecewaan dari
pengunjung, bisa saja nggak sampe sini. Sebetulnya yang harus dibenahi di sini dulu, masyarakatnya duluh harus solid, baru kita bentuk teknik
pemasaran yang baru.”
d. Dampak Sosial dan Ekonomi Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal