Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Upaya perbaikan di bidang pendidikan telah dilaksanakan oleh berbagai pihak. Hal ini dapat dilihat dengan adanya penyempurnaan kurikulum, peningkatan kemampuan guru, sarana prasarana, alat dan media pengajaran serta penilaian pendidikan. Perbaikan ini terjadi di semua jenjang pendidikan dan semua bidang studi. Oleh karena itu guru sebagai komponen pengajar dituntut memiliki pengetahuan yang luas, ketrampilan yang beragam serta sikap yang profesional dalam membelajarkan siswa-siswanya. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Dalam KTSP, kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dinamakan dengan Standar Kompetensi Lulusan SKL. Dalam KTSP, pembelajaran pada kelompok materi pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengembangkan logika, kemampuan berpikir, dan analisis siswa Mulyasa, 2007: 98. Hal ini mengandung makna bahwa siswa tidak lagi sebagai penerima informasi yang pasif, melainkan menjadi siswa yang selalu aktif dan kreatif. 2 Berdasarkan tuntutan KTSP, pembelajaran sains dilaksanakan dengan pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar mampu berkompetisi di era globalisasi ini. Dengan sistem pembelajaran yang berdasarkan pada KTSP ini, diharapkan siswa dapat menyerap ilmu dengan melalui suatu proses penemuan langsung yang akan menumbuhkan keaktifan mereka. Oleh karena itu, pembelajaran sains yang masih menempatkan guru sebagai pusat dan siswa sebagai gelas kosong yang harus siap diisi sesuai dengan kemampuan guru, harus diganti dengan pembelajaran sains yang dilakukan dengan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Pembelajaran kimia juga tidak lepas dari tuntutan KTSP. Guru kimia dituntut dapat membelajarkan siswa dengan kegiatan-kegiatan bermakna yang dapat merangsang pemikiran siswa. Salah satunya adalah materi kimia itu sendiri. Redoks, misalnya yang dianggap sebagian besar siswa sebagai materi yang sulit. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang siswa, sebagian mereka berpendapat bahwa materi Redoks susah dipahami, ada materi yang mudah dan juga ada yang sulit. Banyak hal yang dipelajari dalam pokok materi ini, diantaranya adalah mengetahui perubahan bilangan oksidasi, mengetahui reduktor dan oksidator dari suatu reaksi redoks. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SMANegeri1Tunjungan kelas Xdengan melakukan survei diperoleh data hasil belajar siswa kelas X untuk tahun ajaran 20102011 pada materi Redoks. Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa ketuntasan klasikal siswa dalam menguasai materi Redoks adalah 55, dan nilai kriteria ketuntasan minimal di sekolah tersebut untuk mata pelajaran kimia adalah 67. Jadi dapat dikatakan nilai rata-rata siswa tidak mencapai standar kelulusan kompetensi di sekolah tersebut. Atas dasar hasil survei itu maka perlu upaya yang terus-menerus untuk mencari dan menemukan pendekatan pembelajaran kimia yang mampu memotivasi siswa untuk terus aktif dalam mengikuti pembelajaran serta dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Wawancara dengan guru mata pelajaran kimia dan beberapa siswa yang telah dilakukan di SMANegeri1Tunjungan, didapatkan bahwa selama ini pelaksanaan pembelajaran kimia di SMA tersebut masih didominasi oleh metode ceramah. Kegiatan praktikum yang dilakukan hanya untuk membuktikan materi yang diterima dari guru atau teori yang ada di bukuLKS. Selama ini pendidik hanya menyajikan prosedur-prosedur praktikum, kemudian siswa hanya menjalankan apa yang sudah tertulis pada prosedur praktikum. Akibatnya siswa menjadi cenderung pasif atau kurang aktif dalam bertindak maupun berfikir. Pembelajaran materi pokok Redoks merupakan salah satu bahan kajian kimia kelas X semester 2 SMA atau MA. Konsep serta fenomena materi pokok Redoks dapat diamati dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya petasan, kembang api, dan lain sebagainya. Namun, dalam materi pokok ini siswa sering kesulitan dalam membayangkan hal-hal yang dianggap abstrak. Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, guru lebih aktif sebagai pemberi pengetahuan bagi siswa, guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi. Sedangkan siswa hanya sebagai subjek yang harus menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Akibatnya siswa memiliki banyak pengetahuan tetapi tidak pernah dilatih untuk menemukan pengetahuan, tidak dilatih untuk menemukan konsep, sehingga siswa cenderung lebih cepat bosan dalam mengikuti pelajaran, serta cepat lupa dengan materi yang diajarkan. Keaktifan siswa dikatakan rendah karena kurangnya percobaan dalam pembelajaran sains, sehingga kurang adanya interaksi antara siswa dan guru dalam tanya jawab. Padahal dengan adanya pancingan-pancingan pertanyaan akan mendorong siswa untuk bersikap dan berfikir lebih aktif. Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan cara menerapkan model pembelajaran kooperatif TPS Think Pair Sharedalam kegiatan pembelajaran, karena dengan model pembelajaran kooperatif TPS Think Pair Share siswa dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran, Model pembelajaran tipe Think-Pair-Share ini dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawan dari Universitas Maryland yang mampu mengubah asumsi bahwa metode diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan. Model pembelajaran Think-Pair-Share memberi waktu kepada para siswa untuk berfikir dan merespons serta saling membantu yang lain. Sebagai contoh, seorang guru baru saja menyelesaikan sajian pendek atau para siswa telah selesai membaca tugas. Selanjutnya, guru meminta para siswa untuk menyadari secara lebih serius mengenai yang telah dijelaskan oleh guru atau yang telah dibaca. Adapun kelebihan-kelebihan model pembelajaran TPS Think Pair ShareTriyanto,2009:82adalah: 1. Memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. 2. Dapat meningkatkan rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. 3. Siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya. 4. Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan- pertanyaan mengenai materi yang disampaikan. 5. Pengajaran menjadi lebih terpusat pada siswa. 6. Siswa dapat membentuk dan mengembangkan konsep sendiri. Selain dengan model pembelajaran model pembelajaran kooperatif TPS Think Pair Share, peneliti juga menggunakan metodesnowball throwing. Snowball throwingm enurut Saminanto 2010:37 “Metode Pembelajaran Snowball Throwing disebut juga metode pembelajaran gelundungan bola salju ”. Metode pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Metode snowball throwing memungkinkan siswa untuk lebih aktif dalam proses belajar mengajar serta menuntut siswa mampu berfikir kritis dalam memecahkan masalah yang muncul. Selain itu, dengan bantuan media pembelajaran snowball throwing diharapkan siswa lebih semangat, nyaman dan menyenangkan dalam menerima pembelajaran yang disampaikan oleh guru serta konsep – konsepnya dapat disampaikan dengan benar dan tepat pada sasarannya. Oleh karena itu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif TPS Think Pair Share melalui snowball throwing kooperatif TPS Think Pair Share melalui snowball throwing, siswa diharapkan dapat membangun gagasan pengetahuan,konsep dari kompetensi yang berkaitan dengan Redoks. Hal ini mendorong peneliti menerapkan model pembelajaran yang dapat membantu mengatasi kesulitan belajar dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi yang berkaitan denganRedoks. Peneliti menerapkanmodel pembelajaran kooperatif Think-Pair-Sharemelaluisnowball throwing. Diharapkan dari hasil penelitian dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi yang berkaitan denganredoks. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif TPS THINK PAIR SHARE Melalui Snowball Throwing Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Pada Kompetensi Yang Berkaitan DenganRedoks ”.

1.2 Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pengaruh model cooperative learning teknik think-pair-share terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep sistem peredaran darah : kuasi eksperimen di smp pgri 2 ciputat

0 11 202

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif teknik think pair share dan teknik think pair squre

0 4 174

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model think, pair and share siswa kelas IV MI Jam’iyatul Muta’allimin Teluknaga- Tangerang

1 8 113

Perbandingan hasil belajar biologi dengan menggunakan metode pembelajaran cooperative learning tipe group investigation (GI) dan think pair share (TPS)

1 5 152

Peningkatan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball 0hrowing pada siswa kelas III MI Hidayatul Athfal Depok

0 10 0

Peningkatan hasil belajar PKn melalui pendekatan Think-Pair-Share

0 9 153

Penerapan model pembelajaran cooperative teknik think pair square (Tps) dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih kelas VIII H di Mts pembangunan uin Jakarta

0 15 161

Perbedaan hasil belajar biologi siswa menggunakan model Rotating Trio Exchange (RTE) dengan Think Pair Share (TPS) pada konsep virus

1 7 181

Peningkatan Hasil Belajar Ips Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Thinks Pair Share Pada Siswa Kelas V Mi Manba’ul Falah Kabupaten Bogor

0 8 129

PENERAPAN STRATEGI INDEX CARD MATCH YANG DIPADUKAN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK-PAIR-SHARE TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA SMA KELAS X PADA POKOK BAHASAN REAKSI REDOKS.

0 3 21