Mazhab, Aliran dan Sekte

Dalam kehidupan agama terdapat serangkaian fungsi atau peran yang harus dilaksanakan oleh fungsionaris yang kompeten. Fungsi – fungsi religius yang ada dalam semua agama dapat diringkas dalam tiga kelas : 1. Fungsi pelayanan Sabda Tuhan; mewartakan ajaran yang diterima agama yang bersangkutan dari Tuhan. 2. Fungsi penyucian; membagikan rahmat penyelamatan dari Tuhan. Pelayanan ini diperagakan dalam kegiatan kebaktian religius, atau perayaan liturgis. 3. Fungsi penggembalaan; umat beragama mendapatkan pimpinan dan bimbingan yang terarah baik ke dalam maupun ke luar. Tiga jenis fungsi pelayanan tersebut di atas tidak dapat diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi yang mengaturnya.

2.3. Mazhab, Aliran dan Sekte

Agama – agama besar dunia tidak luput dari perbedaan pendapat yang menimbulkan perbedaan aliran, mazhab dan sekte. Aliran disebabkan oleh perbedaan pendapat yang agak pokok dan prinsipil antara penganut agama yang bersangkutan. Sekte merupakan perpecahan dalam agama Kristen yang memisahkan diri dari gereja. Biasanya sekte merupakan protes terhadap orientasi keduniaan gereja asalnya. Karena itu sekte ingin mengembalikan kesakralan dan peran Tuhan dalam kharismatik beragama. Sekte baru ini pun memilih pemimpin yang kharismatik dan menghidupkan upacara – upacara ritual yang terabaikan oleh gerejanya. Gejala ini berbeda dengan teori Durkheim tentang agama yang mengatakan bahwa agama berperan untuk mewujudkan dan meningkatkan solidaritas sosial. Agama rupanya Universitas Sumatera Utara juga melahirkan perpecahan dalam bentuk aliran, mazhab dan sekte. Perbedaan ini tampaknya karena Durkheim mendasarkan pendapatnya pada agama – agama masyarakat primitif yang bersifat tertutup dan dalam lingkup kecil. Sedangkan agama – agama besar dunia punya sejarah yang panjang, umat yang tersebar luas di berbagai penjuru dunia, dan pemuka agama yang punya latar belakang pendidikan sejarah, pemikiran dan sosial yang berbeda. 14 Kalau perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan dan bahkan diperlukan, yang harus dijaga adalah toleransi dalam perbedaan pendapat dan tetap meningkatkan persaudaraan supaya ajaran agama untuk menanamkan persatuan dan persaudaraan antar umat penganut satu agama dan bahkan dengan umat penganut agama lain dapat terwujud. Perbedaan pendapat dan mazhab tidak boleh dijadikan konflik, dipahami secara emosional dan fanatik. Namun, ajaran ideal ini sering tidak terealisasir karena penganut mazhab, aliran dan sekte biasa pula mengklaim bahwa ajaran aliran, mazhab dan sektenyalah satu – satu yang benar karena sifat fanatik ini memang melekat pada kehidupan beragama. Sebagai agama besar dan punya sejarah panjang, sebenarnya kesempatan untuk berbeda pendapat ini diperlukan karena tidak mungkin semua suku bangsa dari berbagai tempat dan waktu akan diatur dengan aturan yang sama sampai kepada masalah yang sekecil – kecilnya. Kesamaan hanya diperlukan dalam hal – hal yang pokok dan prinsip dalam ajaran agama. Sedangkan masalah teknis dan detail patut berbeda antara satu daerah dan masyarakat dengan yang lain. Kalau tidak ada peluang yang menjadikan ajaran suatu agama fleksibel, dapat berubah dengan perubahan sosial budaya dalam hal rincian masalah, atau hal – hal yang sekunder dan teknis, agama itu tidak akan dapat bertahan lama. 14 Agus, Bustanuddin. SOSIOLOGI AGAMA. Padang: Andalas University Press. hal. 110 – 112. Universitas Sumatera Utara Keyakinan ini, bagaimanapun harus dibarengi dengan toleransi terhadap penganut lairan dan mazhab lain. Sekte adalah gerakan ideologi yang mempunyai sasaran yang eksplisit dan diikrarkan, mempertahankan dan bahkan menyebarkan ideologi tersebut. Oleh karena itu, dapat dicatat bahwa orang – orang yang kepentingannya terletak di atas semua ideologi sumber dan kredibilitas gagasan mengenai Tuhan, dan pembenaran kelakuan atas namanya mempunyai kepentingan yang absah atas namanya. Tetapi perbedaan sosiologis tidak semata – mata didasarkan pada perbedaan keyakinan dan praktek teologi, dan tentu saja bukan odium theologicum yang mencoba memberi ciri kepada sekte sebagai ekstremis. Dari sudut pandangan sosiologi, ada tiga macam kelemahan dalam klasifikasi sekte menurut teologi atau doktrin. Pertama, klasifikasi seperti ini membatasi kemungkinan pengkajian komparatif mengenai sekte dalam berbagai tradisi keagaman. Kedua, klasifikasi itu mencegah masuknya aspek – aspek signifikan lainnya dari karakter sekte karena doktrin dapat bertahan meski organisasi sosial dan orientasi gerakan telah berubah. Jadi, klasifikasi yang timbul dari deskripsi doktrin tidak cukup memperhitungkan aspek – aspek organisasi dan dinamika sekte. Ketiga, karena analisa di atas bersifat teologikal, klasifikasi ini menimbulkan risiko stigmatisasi sekte dan memberikan ciri kepadanya dalam pengertian yang normatif secara esensial. Ada 7 tujuh tipe sekte yang dapat dianggap bertingkat. Ke-tujuh sekte ini didefinisikan dalam konteks respons terhadap dunia, dalam konteks reaksi yang mendominasi praktek kepercayaan para anggotanya. 15 15 Robertson, Roland. AGAMA:DALAM ANALISA DAN INTERPRETASI SOSIOLOGI. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hal. 436 – 444. Universitas Sumatera Utara 1. Sekte konversionalis. Reaksi sekte ini terhadap dunia luar menunjukkan bahwa sekte terakhir ini menyimpang karena manusia menyimpang. Jika manusia dapat diubah maka dunia akan berubah. Tipe sekte ini tidak berminat melakukan reformasi sosial atua menempuh cara pemecahan politik terhadap masalah – masalah sosial, dan bahkan secara aktif membencinya. Aktivitas yang khas dari tipe sekte ini adalah revivalisme dan khotbah umum di depan massa ketimbang penyiaran agama dari rumah ke rumah. Para pemimpin sekte melakukan mobilisasi kelompok dan menggunakan teknik – teknik persuasif agar para anggotanya tidak keluar dari sekte tersebut. Sama dengan interpretasi mereka terhadap kitab suci secara harafiah, para anggota sekte censerung menafsirkan hubungan ini secara harafiah. Contoh – contoh tipe sekte ini adalah Bala Keselamatan Salvation Army, Assemblies of God dan gerakan – gerakan Pantecosta lainnya. 2. Sekte revolusioner. Sikapnya terhadap dunia luar adalah keinginan untuk menyisihkan diri dari keteraturan sosial, dan apabila waktunya sudah tiba – jika perlu, mereka akan bergerak dengan kekuatan atau kekerasan. Mereka menantikan suatu orde baru di bawah kekuasaan Tuhan. Kemudian mereka ingin menjadi pemegang kekuasaan sebagai wakil Tuhan. Tipe sekte ini membenci segala bentuk reformasi sosial. Para anggota sekte ini menempatkan diri mereka secara aktif dalam eksegenis kenabian, dibandingkan dengan teks – teks dan antara prediksi sekte dan berbagai kejadian kontemporer. Keanggotaan baru tidak diakui begitu saja, dan sekte revolusioner, apabila diinstitusionalisasi sepenuhnya, berusaha mempertahankan dirinya sendiri dalam kemurnian doktrinnya. Para anggota sekte ini mempunyai perasaan bahwa mereka adalah alat Tuhan, menantikan keputusan Tuhan, perantara kerja dari Universitas Sumatera Utara kehendak-Nya. Contoh khas dari gagasan ini adalah Saksi Yehuwa Jehovah’s Witnesses, Christadelphia dan The Fifth Monarchy Men Inggris, abad ke XVII. 3. Sekte introversionist. Sekte ini menarik diri dari dunia dan asyik dengan kelompok sendiri yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang suci. Tipe sekte seperti ini sepenuhnya tak acuh terhadap segala reformasi sosial, terhadap konversi individual dan revolusi sosial. Sekte ini dapat meneriuma, khususnya pada tahap – tahap permulaan, pengalaman – pengalaman inspirasional tertentu dan mempertahankannya bagi gejala – gejala objektif yang bermakna bagi keseluruhan kelompok, atau menganggapnya sebagai wahyu yang diterima secara individual yang dapat membantu memperbaiki nasib seseorang. Kelompok ini lebih berkaitan dengna pengalaman spiritual yang mendalam daripada meluas. Contoh – contoh khas dari kategori sekte – sekte ini dapat dilihat dalam “gerakan – gerakan suci” tertentu, seperti halnya gerakan – gerakan keagamaan di Eropa pada abad ke XVIII. 4. Sekte manipulationist. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai lawan vis-à-vis dunia luar secara esensial dengan cara menerima tujuan – tujuannya. Mereka seringkali menyatakan versi yang lebih spiritual dari tujuan – tujuan kebudayaan masyarakat secara keseluruhan tetapi tidak menolaknya. Sekte ini lebih suka berusaha mengubah metode – metode yang sesuai untuk mencapai tujuan – tujuan itu. Kadang – kadang mereka mengakui bahwa satu – satunya cara mencapai sasaran ini adalah menggunakan pengetahuan khusus yang diajarkan oleh gerakan – gerakan tersebut. Itulah satu – satunya cara yang benar untk memperoleh kesehatan, kekayaan, kebahagiaan, dan prestise sosial. Sekte ini hanya memberi sedikit perhatian terhadap eskatologi. Mereka tertarik pada hasil – hasil di dunia ini, dan kehidupan yang kekal Universitas Sumatera Utara nampaknya semata – mata adalah percepatan dari kesenangan kini. Kelompok – kelompok khas dari tipe ini adalah Christian Scientists, Unitarians, Psychana, Scientology, dan Rosicrucians. 5. Sekte thaumaturgikal. Sekte ini adlaha gerakan yang berpendapat bahwa manusia dapat mengalami akibat yang luar biasa dari super natural dalam kehidupan mereka. Sekte ini mendefinisikan diri sendiri dalam kaitannya dengan masyarakat yang lebih luas dengan menegaskan bahwa kenyataan dan penyebab normal dapat dipadukan untuk manfaat dispensasi khusus dan pribadi. Mereka tidak mengakui adanya proses fisik menua dan mati dan berhimpun untuk menegaskan pengecualian khusus dari kenyataan sehari – hari yang memberi jaminan setiap individu dan orang yang dicintainya hidup abadi di akhirat nanti. Hubungan yang mereka tegakkan lebih merupakan usaha menelusuri kerabat yang sudah meninggal ketimbang dengan Tuhan atau seorang Penyelamat, dan konsepsi mereka tentang Penyelamat tidak begitu jelas. Contoh dari tipe sekte ini adalah Spiritualist Church dan Progressive Spiritualist Church. 6. Sekte reformist. Pada mulanya sekte ini revolusioner, sikap ini kemudian bisa menjadi introvertionist dan lambat laun menjelma menjadi reformist. Sekte tipe ini, memiliki rasa identitas yang sangat kuat, berusaha memahami dunia dan melibatkan dirinya dalam dunia tersebut melalui perbuatan yang baik. Sekte ini juga meyakini adanya suatu tempat di dunia yang dipandang suci dan tidak akan menjadi duniawi atau bersentuhan dengna ketidaksucian dunia. Sekte ini berhubungan dengan dunia tetapi tetap terpisah daripadanya. Teks – teks suci yang menjadi landasan sekte, kendati mereka tidak berpegang teguh padanya, adalah teks – teks yang mengajarkan bahwa Universitas Sumatera Utara keyakinan tanpa perbuatan baik adalah sia – sia dan menyokong pendirian bahwa sekte sendiri adalah suatu kesatuan yang bulat. Arti penting kategori ini terletak pada maknyanya bagi kajian megnenai transformasi sekte takkala strukturnya bertahan meskipun respons terhadap dunia luar telah berubah. 7. Sekte utopia. Sekte ini lebih radikal daripada sekte reformist, secara potensial kurang berbahaya dibanding sekte revolusioner, dan lebih konstruktif pada tingkat sosial ketimbang sekte konversionis. Melalui kegiatan – kegiatannya, sekte mengkonstruksi dunia atas dasar komunitarian. Sekte tidak hanya bercita – cita membangun koloni – koloni tetapi juga hendak melakukan reorganisasi dunia di sepanjang garis komuniti. Jadi, sasarannya adalah semacam rekonstruksi sosial. Sekte, dalam kenyataan, mengemukakan model – model reorganisasi sosial, dan tidak hanya perbaikan dan reformasi dalam kerangka masyarakat yang sudah ada. Dalam hal sekte ini yang berlandaskan Kristen, teks – teks bibel yang paling sering dikutip adalah yang berisikan keinginan dan cita – cita kembali dibentuknya komuniti Kristen kuno di Jerusalem. Contoh dari tipe sekte ini adalah Tolstoyan, Community of Oneida, Bruderhof dan Christian Socialist. Namun, manakala sekte – sekte bertahan, mereka selalu mengalami proses mutasi karena sekte tidak bisa memisahkan diri sama sekali dari dunia luar, ia dipengaruhi oleh faktor – faktor luar. Tetapi penyebab dari dalam barangkali signifikan, tetapi respons para pendirinya terhadap dunia luar sukar untuk dipertahankan oleh generasi penerus. Generasi penerus mengevaluasi dan menginterpretasikan kembali keterisolasian yang diciptakan oleh para pendahulu mereka, dan apa yang tadinya merupakan mekanisme institusional yang sefensif, lambat laun mengalami perubahan ke arah keterbukaan. Universitas Sumatera Utara Suatu tipologi sekte harus menunjukkan dan tidak menyembunyikan kenyataan bahwa sekte senantiasa mengalami proses perubahan. Semua organisasi cenderung memiliki kelemahan dalam komitmennya terhadap nilai – nilai semula dan ciri ini khususnya berlaku pada gerakan – gerakan protes. Sekte mewujudkan kecenderungan ini secara amat paling khusus dalam responsnya terhadap dunia. Sesungguhnya, struktur doktrin resmi jauh lebih tahan terhadap perubahan. Tetapi pandangan terhadap dunia luar yang merupakan isu pokok dalam perdebatan antara sekte dan masyarakat yang lebih luas, mengalami pegeseran dengan sendirinya tanpada disadari.

2.4. Teori Jaringan