Latar Belakang Implementasi Program Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan

1 BAB I

1.1 Latar Belakang

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, seperti data situasi anak yang di konfirmasi dari laporan yang disampaikan oleh lembaga-lembaga di dunia menunjukkan problematika anak belum menarik banyak pihak untuk membelanya. Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik. United Nation Children’s Fund UNICEF, badan PBB yang mengurusi masalah anak mencatat fakta mengenai anak di dunia yang sangat mengkhawatirkan. Sekitar 250 juta anak tersebar dalam arus pasar kerja. Anak- anak yang bekerja di pasar kerja tersebut bukan di sektor perburuhan saja, tetapi juga pasar kerja sektor informal, yang secara garis besar bekerja di 3 wilayah besar, yaitu : buruh anak, anak jalanan, dan pelacuran anak Bulian Jufri, 2006:3. Sementara di Indonesia hampir semua kota-kota besar mengalami permasalahan yang sangat kompleks, terutama permasalahan banyaknya tingkat pekerja anak. Semua berawal dari pemerataan pembangunan yang saat ini masih sulit terlihat secara nyata. Akibatnya tingkat urbanisasi dan pengangguran terjadi dengan tidak terkendali. Kurangnya lapangan pekerjaan mengakibatkan sejumlah orang tua memilih mempekerjakan anaknya dari pada harus memilih menyekolahkannya. Membantu meringankan beban hidup orang tua pun menjadi pembenaran untuk tindakan mereka tersebut. Kondisi ini menempatkan anak sebagai alasan bagi keterbatasan orang- orang dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Himpitan hidup dan peningkatan tuntutan hidup semakin meluaskan kesempatan untuk mengorbankan anak-anak sehingga mereka menganggap dunia pendidikan tidak lagi penting untuk masa depan anak-anaknya. Daerah yang menjadi pusat pekerja anak tersebut biasanya daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan kumuh. Tingginya populasi anak yang tersebar dalam arus pasar kerja secara nasional juga belum mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak saat ini menjadi cerminan negara belum mampu melaksanakan perlindungan terhadap generasi penerus bangsa. Komisi Perlindungan Anak KPAI memperkirakan pada tahun 2006, terdapat sekitar 2,1 juta buruh anak yang bekerja di Industri dan sekitar 150 ribu anak jalanan dengan konsentrasi terbanyak terdapat di kota-kota besar seperti, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan Misran Lubis dkk, 2010:1 Indonesia bukan tidak memiliki peraturan yang melarang anak dibawah umur untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO 138 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Converning Minimum Age For Admission to employment, dan Konvensi ILO 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms Child Labour. Di dalam konvensi ini dijelaskan yang dimaksud dengan bentuk – bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yaitu : “Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon debt bondage dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengarahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukkan porno. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak” Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:118. Sebagai tindak lanjut ratifikasi konvensi tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak KAN- PBPTA, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak RAN-PBPTA yang dalam salah satu amanatnya adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat daerah baik secara pre-preventif maupun represif. Salah satu program yang telah dilahirkan dari kebijakan tersebut adalah program Pengurangan Pekerja Anak PPA-PKH. Melalui Rencana Aksi Nasional RAN tersebut Indonesia telah menargetkan bebas pekerja anak pada tahun 2016 Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:182. Pemerintah daerah Privinsi Sumatera Utara juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2004 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Kebijakan penghapusan pekerja anak di tingkat daerah dalam ruang lingkup yang lebih kecil tentunya harus memperhatikan situasi yang dihadapi, karena setiap daerah memiliki permasalahan pekerja anak yang berbeda-beda. Perbedaan permasalahan pekerja anak di setiap daerah tersebut dapat dilihat dari berbagai sektor yang menjadi pusatnya pekerja anak, seperti di kota Medan lebih kepada persoalan anak dipekerjakan di sektor industri dan anak yang bekerja di jalanan, sedangkan Deliserdang di sektor perkebunan, dan Serdang Bedagai di sektor lepas pantai. Kompleksnya permasalahan anak di kota Medan menjadikan kota Medan sebagai salah satu kota yang melaksanakan program Pengurangan Pekerja Anak PPA-PKH di Indonesia, selain itu pemerintah kota Medan juga telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan PUHA pemenuhan hak anak seperti Perda No.6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis serta Praktik Tuna Susila di Kota Medan. Perwal No.11 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda No.6 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita KIBBLA di Kota Medan, Kepwal No.463.K2011 tentang Penetapan Kawasan Kelurahan Layak Anak di Kota Medan Tahun 2011. Sehingga pada tahun 2012 pemerintah pusat melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia telah memberikan penghargaan kepada kota Medan sebagai “Kota Layak Anak” Kategori Pratama atau Kategori baik di Indonesia www.pemkomedan.go.id Dilaksanakannya program Penguranga Pekerja Anak PPA-PKH, diberlakukannya berbagai kebijakan berkaitan dengan PUHA, dan diterimanya penghargaan “Kota Layak Anak” kategori pratama ternyata masih menyisahkan banyak permasalahan anak di kota Medan yang terabaikan haknya, menjadi korban segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan tindakan kurang manusiawi, bahkan jumlah anak terlantar dan anak jalanan semakin sering dijumpai, misalnya anak terlantar yang turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara meminta-minta, tukang asongan, menjual koran, dan tukang semir sepatu Observasi penelitian di terminal Pinang Baris, 4 April 2014 Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena anak adalah tunas bangsa dan generasi penerus. Kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kelanjutan pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak. Untuk mencapai tingkat perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, maka anak harus terbebas dari hal-hal yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak seperti mempekerjakannya pada pekerjaan yang terburuk bagi anak. Berdasarkan masalah tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul, Implementasi program pengurangan pekerja anak di kota “Layak Anak” Medan. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan apa yang telah dilaksanakan pemerintah kota medan sebagai kota “Layak Anak” dengan kategori baik, mengingat negara memiliki kewajiban menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

1.2 Fokus Masalah