Implementasi Program Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan

(1)

i

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK

DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

DISUSUN OLEH:

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013-2014

MAULANA ALL RAVI SIREGAR

100903024


(2)

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrohim

Assalaamua’laikum warohmatullaahi wabarokaatuh

Puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini serta dapat menyempurnakan penulisan skripsi ini dengan baik yang berjudul “Implementasi Program

Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan”.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna baik dari sisi substansi maupun redaksi, untuk itu kepada berbagai pihak yang turut mengambil peran dalam membantu menyelesaikan laporan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

1. Teristimewa untuk sang motivator Almarhumah Ibu 2. Teristimewa untuk pembimbing terbaik Bapak

3. Teristimewa buat Kak Yuki dan Kak Devi, kita masih memiliki banyak tugas penting sebagai anak.

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Terkhusus kepada Dosen Pendamping Ibu Dra. Asima Yanti Siahaan, MA, PhD yang telah memberikan banyak bimbingan kepada saya.


(3)

ii

6. Bapak Drs. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 8. Dosen Penguji Bapak Dadang Darmawan, S.Sos., M.Si yang memberi banyak

saran-saran hebat dalam penelitian ini.

9. Ibu Dra. Nurlela Ketaren, M.SP selaku dosen wali

10.Seluruh dosen di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

11.Seluruh jajaran staf di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya kak Mega dan kak Dian. 12.Ibu Rosmalinda, Kak Yana, Kak Lia, dan Bang Mahlil di Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak, yang mengarahkan dan memberikan banyak data dalam penelitian ini.

13.Kepada Rizky, Sholeh, Adit, dicky, Nicolas, Cahyono, Sammuel, Adit, Zakaria, Umar, Roni. Banyak pelajaran hidup yang sangat berharga dari kalian pekerja anak jalanan. Semoga walaupun kalian berada di jalanan cita-cita kalian bisa ditempatkan setinggi langit.

14.Ibu Dra. Akrida dan Bapak Timbul di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan yang telah memberikan banyak informasi penting dalam penelitian ini 15.Buat para sahabat sekaligus keluarga saya: Bobby Trimart Gea, David Ajay


(4)

iii

16.Manulang, Ade Auristha Gea, Petra Rosjuwita, Christine AD Batubara, Mariance Hasibuan.

17.Buat teman-teman Magang terkompak Kelompok III Desa Timbang Jaya, Langkat: Geni Iryenti Putri, David Ajay Saputra, Fahmi Nasution, Bobby Trimart Gea, Junita Friska Capah, Christine AD Batubara, Muda Rahmansyah, Petra Rosjuwita, Susanti Lona, Agustiana Padang, dan Elvina Gulo.

18.Terkhusus buat Susanti Silalahi, Bobby Trimart Gea, David Ajay Saputra, Ade Auristha, Junita Friska Capah yang membantu melaksanakan FGD. 19.Buat teman-teman seperjuangan, seluruh AN 2010 tanpa terkecuali.

20.Buat keluarga besar UKM Tenis Meja Universitas Sumatera Utara, semoga Go Internasional.

Akhir kata, terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini maupun selama masa perkuliahan.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, amin.


(5)

iv

ABSTRAKSI

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

Skripsi ini disusun oleh:

NAMA : MAULANA ALL RAVI SIREGAR NIM :100903024

DEPARTEMEN : ILMU ADMINISTRASI NEGRA FAKULTAS : ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PEMBIMBING : Dra. ASIMA YANTI SIAHAAN, MA., PhD

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi konvensi ILO 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO

Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elemination of the Worst Forms Child Labour. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Berdasarkan masalah tersebut penelitian ini ingin melihat implementasi program penghapusan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan yang pada tahun 2012 telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sebagi kota “Layak Anak” kategori pratama. Penelitian dilakukan dengan studi terhadap pekerja anak jalanan di kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer yaitu: wawancara terhadap informan kunci, Focused Group

Discussion (FGD) terhadap informan utama yaitu pekerja anak jalanan, observasi,

serta pengumpulan data sekunder lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah kota Medan terhadap permasalahan pekerja anak, program penghapusan pekerja anak satu-satunya adalah program nasional pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung keluarga harapan (PPA-PKH) tahun 2011 yang dikembangkan dengan menjangkau 50 (lima puluh) kabupaten/kota pada 13 (tiga belas) provinsi. Tantangan utama dalam mengatasi permasalahan pekerja anak di kota Medan adalah sulitnya mendapatkan data jumlah pekerja anak yang akurat, oleh karena itu peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting di kota Medan dalam memenuhi informasi jumlah pekerja anak maupun sebagai pelaku pengurangan pekerja anak di kota Medan.


(6)

v

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Fokus Masalah 6

1.3. Rumusan Masalah 7

1.4. Tujuan Penelitian 7

1.5. Manfaat Penelitian 8

1.6. Definisi Konsep 8

1.7. Sistematika Penulisan 10

BAB II LANDASAN TEORI

2.1Implementasi Kebijakan

2.1.1 Implementasi Kebijakan Anak 11

2.1.2 Model Kebijakan Penanggulanagan Pekerja Anak 14 2.1.3 Persfektif Implementasi Kebijakan 15 2.1.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan 16 2.2 Pekerja Anak Jalanan

2.2.1 Pengertian Anak Jalanan 18

2.2.2 Pengelompokkan Anak Jalanan 19 2.2.3 Karakteristik Pekerja Anak Jalanan 20


(7)

vi BAB III METODE PENELITIAN

3.1Bentuk Penelitian 24

3.2Lokasi Penelitian 25

3.3Informan Penelitian 25

3.4Teknik Pengumpulan Data 26

3.5Teknik Analisis Data 36

3.6Pengujian Kredibilitas Data 37

3.7Etika Penelitian 38

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1Kota Medan 40

4.1.1 Situasi Pekerja Anak Jalanan di Kota Medan 44 4.1.2 Penyebab Anak Bekerja di Jalanan 54 4.1.3 Pengembangan Kota “Layak Anak” Medan 62

4.2Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 63

4.3Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan 68

BAB V PROGRAM PEMERINTAH KOTA MEDAN

5.1Implementasi Program Penghapusan Pekerja Anak 74 5.1.1 Struktur Pelaksanaan Program PPA-PKH 77 5.1.2 Tahap Pendampinga Pra Shelter (Verifikasi Data) 83 5.1.3 Tahap Pendampingan di Shelter 88 5.1.4 Tahap Pendampingan Pasca Shelter 91 5.1.5 Buruknya Koordinasi Program Pelaksanaan PPA-PKH 93


(8)

vii

5.2Kesenjangan Program Penghapusan Pekerja Anak

di Kota Medan 96

5.3. Citra Buruk Pemerintah Kota Medan di Mata Pekerja

Anak Jalanan 101

BAB VI PERAN MASYARAKAT DAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

6.1Hilangnya Perhatian Pemerintah Terhadap Pekerja

Anak Jalanan 104

6.2Kepedulian Masyarakat Terhadap Pekerja Anak Jalanan 107 6.3Penanganan Pekerja Anak Jalanan Yang Dilakukan

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak 108

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan 114


(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Karakteristik Umum Pekerja Anak jalanan

dan Anak yang Hidup di Jalanan 21

Tabel III.1 Data Informan Focus Group Discussiom (FGD)

Pekerja Anak Jalanan 32

Tabel III.2 Tim Pelaksanaan FGD 32

Tabel IV.1 Penduduk Menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin tahun 2011 43

Tabel IV.2 8 Kecamatan dengan Jumlah Pekerja Anak Tertinggi 46

Tabel IV.3 Jenis Pekerjaan Anak Jalanan 48

Tabel V.1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin

di Kota Medan Tahun 2006-2010 97

Tabel V.2 Kesempatan Kerja dan Lapangan Kerja tahun 2012 99

Tabel VI.1 Persebaran Wilayah Pekerja Anak Dampingan PKPA

dan KNH (Kinder Not Hilfe) 109


(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1 Gambar Pelaksanaan Focused Group Discussion 29

Gambar III.2 Gambar Pelaksanaan Focused Group Discussion 30

Gambar IV.1 Pekerja Anak Jalanan di Simpang Terminal Amplas

Sedang Membersihkan Angkutan Kota Hingga Menjelang Malam 50

Gambar IV.2 Pekerja Anak Jalanan Sedang Mencari Angkutan

Umum untuk Dibersihkan 53

Gambar IV.3 Faktor Terbesar yang Mendorong Anak Menjadi

Pekerja Anak Jalanan 55

Gambar IV.4 Skema Proses Munculnya Pekerja Anak Jalanan

Yang Dipengaruhi Oleh Teman (faktor eksternal) 60

Gambar IV.5 Bagan Organisasi Dinas Tenaga Kerja Kota Medan 68

Gambar IV.6 Struktur Unit SKA-PKPA 73

Gambar V.1 Bagan mekanisme program PPA-PKH 77

Gambar V.2 Struktur Organisasi Tim Pelaksana PPA-PKH di

Kabupaten/Kota 78

Gambar V.3 Tahap Pendampingan program PPA-PKH 84

Gambar V.4 Bagan Penerima Manfaat Program PPA –PKH 85

Gambar V.5 Skema Hubungan Peran Selama di Shelter 90

Gambar V.6 Gambar Pekerja Anak Jalanan dan Satpol PP dalam FGD 102

Gambar V.10 Diagram Venn, pihak-pihak yang memperhatikan


(11)

iv

ABSTRAKSI

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

Skripsi ini disusun oleh:

NAMA : MAULANA ALL RAVI SIREGAR NIM :100903024

DEPARTEMEN : ILMU ADMINISTRASI NEGRA FAKULTAS : ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PEMBIMBING : Dra. ASIMA YANTI SIAHAAN, MA., PhD

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi konvensi ILO 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO

Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elemination of the Worst Forms Child Labour. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Berdasarkan masalah tersebut penelitian ini ingin melihat implementasi program penghapusan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan yang pada tahun 2012 telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sebagi kota “Layak Anak” kategori pratama. Penelitian dilakukan dengan studi terhadap pekerja anak jalanan di kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer yaitu: wawancara terhadap informan kunci, Focused Group

Discussion (FGD) terhadap informan utama yaitu pekerja anak jalanan, observasi,

serta pengumpulan data sekunder lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah kota Medan terhadap permasalahan pekerja anak, program penghapusan pekerja anak satu-satunya adalah program nasional pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung keluarga harapan (PPA-PKH) tahun 2011 yang dikembangkan dengan menjangkau 50 (lima puluh) kabupaten/kota pada 13 (tiga belas) provinsi. Tantangan utama dalam mengatasi permasalahan pekerja anak di kota Medan adalah sulitnya mendapatkan data jumlah pekerja anak yang akurat, oleh karena itu peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting di kota Medan dalam memenuhi informasi jumlah pekerja anak maupun sebagai pelaku pengurangan pekerja anak di kota Medan.


(12)

1

BAB I

1.1Latar Belakang

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, seperti data situasi anak yang di konfirmasi dari laporan yang disampaikan oleh lembaga-lembaga di dunia menunjukkan problematika anak belum menarik banyak pihak untuk membelanya. Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik.

United Nation Children’s Fund (UNICEF), badan PBB yang mengurusi

masalah anak mencatat fakta mengenai anak di dunia yang sangat mengkhawatirkan. Sekitar 250 juta anak tersebar dalam arus pasar kerja. Anak-anak yang bekerja di pasar kerja tersebut bukan di sektor perburuhan saja, tetapi juga pasar kerja sektor informal, yang secara garis besar bekerja di 3 wilayah besar, yaitu : buruh anak, anak jalanan, dan pelacuran anak (Bulian Jufri, 2006:3).

Sementara di Indonesia hampir semua kota-kota besar mengalami permasalahan yang sangat kompleks, terutama permasalahan banyaknya tingkat pekerja anak. Semua berawal dari pemerataan pembangunan yang saat ini masih sulit terlihat secara nyata. Akibatnya tingkat urbanisasi dan pengangguran terjadi dengan tidak terkendali. Kurangnya lapangan pekerjaan mengakibatkan sejumlah orang tua memilih mempekerjakan anaknya dari pada harus memilih menyekolahkannya. Membantu meringankan beban hidup orang tua pun menjadi pembenaran untuk tindakan mereka tersebut.


(13)

Kondisi ini menempatkan anak sebagai alasan bagi keterbatasan orang-orang dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Himpitan hidup dan peningkatan tuntutan hidup semakin meluaskan kesempatan untuk mengorbankan anak-anak sehingga mereka menganggap dunia pendidikan tidak lagi penting untuk masa depan anak-anaknya. Daerah yang menjadi pusat pekerja anak tersebut biasanya daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan kumuh.

Tingginya populasi anak yang tersebar dalam arus pasar kerja secara nasional juga belum mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak saat ini menjadi cerminan negara belum mampu melaksanakan perlindungan terhadap generasi penerus bangsa. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memperkirakan pada tahun 2006, terdapat sekitar 2,1 juta buruh anak yang bekerja di Industri dan sekitar 150 ribu anak jalanan dengan konsentrasi terbanyak terdapat di kota-kota besar seperti, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan (Misran Lubis dkk, 2010:1)

Indonesia bukan tidak memiliki peraturan yang melarang anak dibawah umur untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO 138 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Converning

Minimum Age For Admission to employment, dan Konvensi ILO 182 dengan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention

Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms Child Labour. Di dalam konvensi ini dijelaskan yang dimaksud


(14)

“Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengarahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukkan porno. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak” (Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:118).

Sebagai tindak lanjut ratifikasi konvensi tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA) yang dalam salah satu amanatnya adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat daerah baik secara pre-preventif maupun represif. Salah satu program yang telah dilahirkan dari kebijakan tersebut adalah program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH). Melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) tersebut Indonesia telah menargetkan bebas pekerja anak pada tahun 2016 (Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:182).

Pemerintah daerah Privinsi Sumatera Utara juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2004 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Kebijakan penghapusan pekerja anak di tingkat


(15)

daerah dalam ruang lingkup yang lebih kecil tentunya harus memperhatikan situasi yang dihadapi, karena setiap daerah memiliki permasalahan pekerja anak yang berbeda-beda. Perbedaan permasalahan pekerja anak di setiap daerah tersebut dapat dilihat dari berbagai sektor yang menjadi pusatnya pekerja anak, seperti di kota Medan lebih kepada persoalan anak dipekerjakan di sektor industri dan anak yang bekerja di jalanan, sedangkan Deliserdang di sektor perkebunan, dan Serdang Bedagai di sektor lepas pantai.

Kompleksnya permasalahan anak di kota Medan menjadikan kota Medan sebagai salah satu kota yang melaksanakan program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH) di Indonesia, selain itu pemerintah kota Medan juga telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan PUHA (pemenuhan hak anak) seperti Perda No.6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis serta Praktik Tuna Susila di Kota Medan. Perwal No.11 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda No.6 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita (KIBBLA) di Kota Medan, Kepwal No.463.K/2011 tentang Penetapan Kawasan Kelurahan Layak Anak di Kota Medan Tahun 2011. Sehingga pada tahun 2012 pemerintah pusat melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia telah memberikan penghargaan kepada kota Medan sebagai “Kota Layak Anak” Kategori Pratama atau Kategori baik di Indonesia (www.pemkomedan.go.id)

Dilaksanakannya program Penguranga Pekerja Anak (PPA-PKH), diberlakukannya berbagai kebijakan berkaitan dengan PUHA, dan diterimanya penghargaan “Kota Layak Anak” kategori pratama ternyata masih menyisahkan


(16)

banyak permasalahan anak di kota Medan yang terabaikan haknya, menjadi korban segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan tindakan kurang manusiawi, bahkan jumlah anak terlantar dan anak jalanan semakin sering dijumpai, misalnya anak terlantar yang turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara meminta-minta, tukang asongan, menjual koran, dan tukang semir sepatu (Observasi penelitian di terminal Pinang Baris, 4 April 2014)

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena anak adalah tunas bangsa dan generasi penerus. Kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kelanjutan pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak. Untuk mencapai tingkat perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, maka anak harus terbebas dari hal-hal yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak seperti mempekerjakannya pada pekerjaan yang terburuk bagi anak.

Berdasarkan masalah tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul,

Implementasi program pengurangan pekerja anak di kota “Layak Anak” Medan. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan apa

yang telah dilaksanakan pemerintah kota medan sebagai kota “Layak Anak” dengan kategori baik, mengingat negara memiliki kewajiban menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


(17)

1.2Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan di pecahkan, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan masalah terhadap implementasi program pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung program keluarga harapan (PPA-PKH) yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan dan peranan masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat seperti Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dalam pengurangan pekerja anak.

Untuk melihat proses implementasi program PPA-PKH maka peneliti juga melakukan studi kasus terhadap pekerja anak jalanan yang berada di kota Medan sebagai kota “Layak Anak” kategori pratama. Studi dilakukan kepada pekerja anak jalanan karena kelompok pekerja anak ini sangat dominan di kota Medan. Pekerja anak jalanan yang diteliti adalah mereka yang bekerja di jalanan lebih dari 7 jam dalam sehari yang dikelompokkan sebagai children on the street yaitu pekerja anak jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarganya,

children of the street yaitu anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, dan Children from families of the street yaitu anak-anak yang berasal dari keluarga


(18)

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1 Bagaimana situasi kehidupan pekerja anak jalanan di kota Medan? 2 Apa yang menjadi penyebab anak bekerja di jalanan?

3 Bagaimana Implementasi program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH) di kota Medan?

4 Bagamana peran serta masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya pengurangan pekerja anak di kota Medan?

1.4Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui situasi kehidupan pekerja anak jalanan di kota Medan. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab anak bekerja dijalanan.

3. Untuk mengetahui implementasi program pengurangan pekerja anak (PPA-PKH) yang dilakukan pemerintahan kota Medan.

4. Untuk mengetahui peran serta masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengurangan pekerja anak di kota Medan.


(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Manfaat Secara Ilmiah

Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.

2. Manfaat Secara Praktis

Untuk menambah pengetahuan dan informasi tentang implementasi dari program pengurangan pekerja anak yang dilakukan di kota Medan terhadap pekerja anak jalanan.

3. Manfaat Secara Akademis

Untuk memperkaya khasanah ilmiah dan memberikan kontribusi secara langsung dalam penelitian-penelitian sosial khususnya bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.6.Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun,1995:33).


(20)

Adapun tujuan adanya konsep adalah untuk mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Untuk mendapatkan batasan yang jelas dalam penelitian ini, adapun konsep yang digunakan adalah

1. Implementasi kebijakan publik merupakan wujud tindakan administratif dari rumusan kebijakan yang merupakan tindakan politik sehingga memudahkan tujuan-tujuan dari kebijakan agar bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Implementasi program pengurangan pekerja anak adalah wujud tindakan nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan pengurangan pekerja anak yang dikeluarkan pemerintah yang menjadikan pekerja anak sebagai sasaran kebijakan.

2. Pekerjaan terburuk bagi anak merupakan kegiatan atau pekerjaan apapun yang menurut sifat dan jenisnya, dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, atau perkembangan moral anak-anak.

3. Pekerja Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya lebih dari 7 jam dalam sehari untuk melakukan kegiatan ekonomi sehari-hari di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.

4. Kota layak anak adalah kota yang menjamin pemenuhan hak setiap anak sebagai warga kota baik dari bentuk fisik kota seperti tersedianya tempat bermain dan tersedianya sekolah yang layak, yang aman, dan nyaman bagi anak maupun bentuk regulasi yang melindungi anak.


(21)

1.7. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, fokus masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analis data, pengujian kredibilitas data,dan etika penelitian.

BAB IV PROGRAM PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM PENGHAPUSAN PEKERJA ANAK

BAB V PERAN STRATEGIS MASYARAKAN DAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENGHAPUSAN PEKERJA ANAK

BAB VI Penyajian Hasil Penelitian dan Analisis Temuan

Bab ini menguraikan proses dan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan yang nantinya akan dianalisis oleh peneliti.


(22)

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai rekomendasi kebijakan.


(23)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian (Sugiyono, 2005:55). Untuk itu perlu disusun suatu kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan dari mana sudut masalah tersebut disorot. Dalam penelitian kualitatif, teori yang diajukan memang bukanlah sebagai jawaban terhadap fenomena yang diangkat melainkan lebih sebagai perspektif. Adapun yang menjadi kerangka dasar dalam penelitian ini adalah:

2.1Implementasi Kebijakan

2.1.1 Implementasi Kebijakan Anak

Menurut Patton dan Sawicki di dalam (Tangkilisan, 2003:9) Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan perogram, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan perogram, serta melakukan interpretasi terhadap


(24)

perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Dari penjelasan tersebut implementasi merupakan wujud tindakan administratif yang sebelumnya merupakan rumusan kebijakan berupa tindakan politik sehingga membentuk kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan dari kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan, organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah yang menempatkan program kedalam tujuan kebijakan, dan penerapan, yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya (Tangkilisan, 2003:18)

Sedangkan kebijakan publik adalah hal-hal yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Fredrickson dan Hart di dalam (Tangkilisan, 2003:19) mengatakan Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah di dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang di inginkan.

George Edwards (Tangkilisan, 2003:3) mengatakan jika sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih saja


(25)

mungkin terjadi. Oleh karena itu, kebijakan yang sangat baik sekalipun jika diimplementasikan buruk akan gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya.

Kebijakan anak di Indonesia memerlukan kerangka hukum yang kuat untuk mencegah dan menangani kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak. Kerangka hukum tersebut harus menunjuk lembaga pemerintah dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas terhadap penanganan dan penyediaan layanan perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan untuk memastikan keselarasan peraturan daerah (perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir 500 kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk menetapkan peraturannya sendiri.

Selain kerangka hukum yang masih amat kurang, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang penting, melainkan karena sedang banyak diberitakan. Kerangka hukum dan kebijakan yang ada saat ini kondusif untuk mempromosikan hak anak, tetapi masih terdapat beberapa kebijakan publik yang tak peka terhadap realitas sosiologis yang menimbulkan kesenjangan masyarakat. misalnya tidak terpenuhinya hak-hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Selain Itu masalah anak tidak masuk agenda politik dari partai politik karena tidak bisa dijadikan tenaga pendukung politik. Isu anak dinilai tidak menarik (non-marketable) dan sering dianggap biayanya melebihi manfaat kegunaannya (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2012).


(26)

Mengatasi permasalahan anak diperlukan kebijakan yang isinya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Menurut Jones kebijakan yang disusun harus menguraikan beberapa isi, yaitu tujuan, rencana, program, keputusan dan efek.

a. Tujuan yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah tujuan tetapi hanyalah sekedar keinginan, setiap orang pastinya boleh menginginkan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara keinginan hanya diperhitungkan bila ada usaha untuk mencapainya.

b. Rencana atau proposal merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya.

c. Program merupakan cara tertentu yang telah mendapatkan persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud

d. Keputusan merupakan tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

e. Efek atau dampak merupakan akibat yang timbul dari suatu program di dalam masyarakat (Zainal Abidin, 22:21).

2.1.2 Model-Model Kebijakan Penangulangan Pekerja Anak Jalanan

Model-model pendekatan penanggulangan Pekerja anak jalanan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah:

1 Child based services yaitu model pendekatan yang menempatkan anak

sebagai basis penerima pelayanan

2 Institutional based services yaitu model pendekatan berbasis panti sosial

3 Family based services yaitu model pendekatan yang menjadikan keluarga

sebagai basis dan sasaran utama pelayanan

4 Community based services yaitu model pendekatan menempatkan

masyarakat sebagai pusat pelayanan

5 Location based services/street based services yaitu model pendekatan yang

memberikan pelayanan pada lokasi anak yang mengalami masalah 6 Half- way house services yaitu model pendekatan semi panti sosial

7 Stated based services yaitu model pendekatan pelayanan secara makro dan


(27)

2.1.3 Perspektif Implementasi Kebijakan

Menurut George Edward di dalam (Tangkilisan, 2003) implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach. Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni:

1. faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan, 2. faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan?

Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga mengurangi distorsi implementasi.

2. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya


(28)

tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Stuktur birokrasi

Stuktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standard (SOP) yang menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak.

2.1.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan

Menurut Grindle dan Quade di dalam (Akib dan Tarigan, 2008:13) untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan


(29)

kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik.

Proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.

Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu mudah atau sulitnya mengendalikan masalah yang digarap, kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya, pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan (Wahab, 1991: 117).


(30)

2.2Pekerja Anak Jalanan

2.2.1 Pengertian Anak Jalanan

Istilah anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan di jalanan, Istilah anak jalanan pertama kali di perkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan. Anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau kriminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak

dilinguent, istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara

berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, sedangkan istilah bekerja di jalanan adalah istilah bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga (Misran Lubis dkk, 2011:5).

Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari nafkah maupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di jalan oleh orang-orang di sekitar


(31)

mereka, baik itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah.

Aktivitas yang dilakukan anak jalanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu, parkir mobil, kernet, ojek payung, pekerja seks hingga berkeliaran tidak tentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di tempet-tempat atau pusat keramaian misalnya, terminal, stasiun, perempatan jalan, pelabuhan, tempet hiburan Plaza, dan sebagainya (Bagong Suyanto, 2003:185)

2.2.2 Pengelompokkan Anak di Jalanan

Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok (Bagong Suyanto, 2003:185) yaitu: Pertama,

Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi

sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka untuk membantu ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian


(32)

menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan buruk, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah menjalani kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

2.2.3. Karakteristik Pekerja Anak Jalanan

Pekerjaan di jalanan dapat dilakukan baik di sektor formal ataupun informal dan di daerah perkotaan ataupun di pedesaan, dan dibayar maupun tidak dibayar. Misalnya, anak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tidak dibayar di usaha-usaha yang berorientasi pasar yang dioperasikan oleh seorang anggota keluarga yang tinggal di rumah yang sama dianggap terlibat dalam kegiatan ekonomi. Anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau melakukan jenis-jenis pekerjaan rumah tangga lainnya di rumah tangga orang lain juga dianggap aktif secara ekonomi. Namun, anak-anak yang melakukan tugas-tugas rumah di rumahnya sendiri tidak dianggap aktif secara ekonomi.


(33)

Ada perbedaan karakteristik antara anak yang bekerja dijalanan dan anak yang hidup di jalanan, perbedaan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut,

Tabel II.1

Karakteristik Umum Pekerja Anak jalanan dan Anak yang Hidup di Jalanan

Pekerja Anak Jalanan Anak yang Hidup di Jalanan

Waktu berada di jalan 7-12 jam Waktu dijalan 24 jam Masih memiliki hubungan dengan

keluarga

Putus hubungan dengan keluarga

Tinggal bersama orang tua atau mengontrak bersama teman-teman

Tempat tinggal dijalan, menggunakan semua fasilitas yang ada di jalanan

Sebagian kecil masih bersekolah dan sebagian besar putus sekolah

Putus sekolah

Masih saling mengontrol satu dengan lainnya sesama pekerja anak maupun masyarakat setempat

Tidak serius bekerja, jika memiliki uang lebih digunakan untuk berjudi, merokok, atau kencan dengan teman wanita yang berfrofesi sebagai PSK

Lari dari rumah karena keinginan pribadinya tidak terpenuhi, keluarga berantakan atau sering mendapatkan tindakan kekerasan di rumah

Kedua orang tua meninggal/tidak ada saudara yang mengurus

Korban bencana alam


(34)

2.3. Pengertian Kota Layak Anak

Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2005 melalui kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.

Kota Layak Anak juga sering disebut juga Kota Ramah Anak, kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama untuk menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak (Hamid Patilima, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia).

Kota Ramah Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak :

1 Keputusannya mempengaruhi kotanya

2 Mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan 3 Dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial 4 Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan

5 Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik

6 Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah 7 Aman berada di jalanan


(35)

9 Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan 10 Hidup di lingkungan yang bebas polusi

11 Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial

12 Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan (Misran Lubis dkk, 2010:60)


(36)

25

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat suatu penjelasan, gambaran atau lukisan sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta fenomena yang diselidiki. Analisis dilakukan terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi.

Menurut Lexy J. Moleong (2005:4) Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Dilakukan dengan cara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang khusus dan alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Metode penelitian kualitatif digunakan karena penelitian dimaksudkan untuk mendalami pemahaman terhadap fenomena pekerja anak jalanan baik dari perspektif pekerja anak jalanan, maupun dari perspektif pemerintah sebagai pengambil keputusan berkaitan dengan pekerja anak, lembaga swadaya masyarakat, dan orang-orang dewasa di sekitar anak (masyarakat) sebagai pihak yang berdampingan secara langsung dengan pekerja anak jalanan.


(37)

3.2Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kantor Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, dan beberapa titik lokasi di kota Medan yang dijadikan anak sebagai tempat untuk beraktivitas sebagai pekerja anak jalanan yaitu, sekitar terminal terpadu Amplas dan terminal Pinang Baris.

3.3Infoman Penelitian

Dalam Penelitian Kualitatif, tidak menggunakan istilah populasi dan sampel seperti dalam penelitian kuantitaif. Dalam penelitian kualitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitatif dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi tersebut (Sugiyono, 2008:297).

Menurut Burhan Bungin (2007:108), informan merupakan orang yang meguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan informan kunci (key informan), informan biasa, dan informan tambahan. Informan dalam penelitian ini, yaitu :

1 Informan kunci, yaitu Dinas Sosial dan tenaga kerja Kota Medan 2 Informan utama, yaitu pekerja anak jalanan di Kota Medan


(38)

3.4Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1 Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang diperoleh melalui :

1.1Wawancara

Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari key informan yang berkaitan dengan program pengurangan pekerja anak yang bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang memilikli kedudukan tertentu karena dianggap dapat menjawab segala sesuatu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.

Peneliti mengunakan cara wawancara tidak terencana atau unstan-

dardized interview atau wawancara tidak terstruktur. Mallinowski dalam

(Burhan Bugin, 2001;134) menunjukkan sangat pentingnya wawancara tidak tersetruktur dalam melakukan penelitian di lapangan dibandingkan wawancara berstruktur yang memiliki dua kelemahan yang diistilahkan

capital offense. Selain itu, esensi interaksi dalam wawancara lebih berfungsi

untuk mencari pemahaman dibanding menjelaskan, maka lebih tepat mengunakan wawancara tidak berstruktur.

Dalam pelaksanaan metode wawancara yang digunakan wawancara mendalam yang bersifat terbuka, dimana pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi.


(39)

Peneliti tidak percaya dengan begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan mencari pembuktian selanjutnya. Itulah sebabnya pengecekan dilakukan silih berganti dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan, atau dari informan yang satu ke informan lainnya.

Wawancara dilakukan terhadap Key informan yaitu Ibu Dra. Akrida (kepala bidang pengawasan Ketenagakerjaan). Adapun wawancara dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu tanggal 12 Maret 2014, tanggal 26 Maret 2012, dan tanggal 25 April 2014. Wawancara juga dilakukan kepada Bapak Timbul Tampubolon (bagian bina program) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan pada tanggal 26 Maret 2014 mengenai program Penghapusan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung Progran Keluarga Harapan (PPA-PKH) sebagai program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang di laksanakan oleh pemerintah kota Medan.

1.2 Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi kelompok terarah adalah suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. FGD adalah suatu metode riset yang didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Dengan perkataan lain FGD merupakan proses pengumpulan informasi bukan melalui wawancara, bukan perorangan, dan bukan diskusi bebas tanpa topik spesifik. Metode FGD termasuk metode kualitatif. Seperti


(40)

metode kualitatif lainnya (direct observation, indepth interview, dsb) FGD berupaya menjawab jenis-jenis pertanyaan how-and why (Irwanto, 1988:1).

Focus Group Discussion (FGD) dimaksudkan untuk mengetahui

kondisi dan permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh pekerja anak jalanan di kota Medan dan manfaat yang diperoleh memalui program-program penghapusan pekerja anak yang selama ini dilakukan pemerintah kota Medan, sehingga dapat dilihat dan dianalisis seberapa efektif pengimplementasian dari program tersebut. Focus Group Discussion (FGD) digunakan sebagai proses pengumpulan data dalam penelitian ini karena dianggap lebih efektif, dengan situasi keakraban antara peneliti dan informan diharapkan memudahkan proses pengumpulan data.

Pengumpulan data dalam FGD dilakukan dengan menggunakan beberapa pertayaan dan juga teknik yang memudahkan anak memahami permasalahan. Teknik-teknik yang digunakan adalah

1 Diagram Venn

Diagram venn digunakan untuk menjawab pertanyan barkaitan dengan

Siapa saja pihak yang selama ini membantu atau memberi perhatian terhadap mereka, Baik LSM/Pemerintah/Masyarakat, dan Seberapa dekat/sering pihak tersebut memberikan bantuan. Sehingga hasil

Diagram venn akan menggambarkan pihak-pihak yang selama ini

memberikan bentuan kepada mereka (Pekerja Anak Jalanan) baik itu pemerintah, LSM, maupun masyarakat yang terlibat program


(41)

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (PBPTA) di kota Medan.

Gambar III.1 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak PKPA terminal Pinang Baris saat menggunakan teknik Diagram Venn

Diagram venn digunakan dengan cara menyusun beberapa

lingkaran dengan salah satu pusat lingkaran menggambarkan pekerja anak jalanan, dan beberapa lingkaran lainnya yang berukuran berbeda yang nantinya akan disusun untuk menggambarkan seberapa penting dan sering pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan terhadap mereka.

Metode ini dipilih untuk mengatasi beberapa anak yang diperkirakan nantinya sedikit mengeluarkan pendapat atau berbicara, sehingga dengan Diagram Venn mereka dapat menyusun beberapa


(42)

lingkaran seperti bermain dan untuk mengatasi beberapa anak yang tidak mengerti menulis atau membaca.

2 Menunjukkan photo berkaitan dengan permasalahan

Gambar III.2 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak Jalanan terminal Pinang Baris dengan menggunakan teknik penggunaan photo.

Alat berikutnya yang digunakan di dalam FGD adalah photo. Menunjukkan beberapa photo yang berkaitan dengan pemerintah digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pekerja anak jalanan mengenal pemerintah dan program-programnya, dan untuk melengkapi data yang diperoleh dari penggunaan Diagram Venn. Setiap gambar akan di perlihatkan kepada peserta yang kemudian diikuti dengan pertanyaan mengenai pendapat peserta FGD (pekerja anak jalanan) terhadap gambar tersebut. Gambar yang ditunjukkan adalah gambar satgas Perlindungan Anak, Satpol PP, dan gedung pemerintahan walikota Medan.


(43)

Kelompok sasaran dalam penelitian ini adalah pekerja anak jalanan yang berada di kota Medan. Oleh karena itu, FGD dilakukan terhadap anak jalanan yang bekerja disekitar terminal Pinang Baris yang selama ini menjadi salah satu wilayah yang memiliki jumlah pekerja anak terbanyak di Kota Medan. Pemilihan tempat FGD di terminal Pinang Baris untuk memenuhi kriteria pekerja anak jalanan yang dikelompokkan sebagai childdren on the

street, children of the street, dan Children from families of the street.

Peneliti dibantu oleh Sanggar Kreativitas Anak Jalanan Pusat Kajian Perlindungan Anak (SKA PKPA) yang berlokasi di Jalan TB. Simatupang Gg. Rambutan Nomor 2 (Pinang Baris) Medan, yang selama ini memfasilitasi anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak di sekitar terminal Pinang Baris Medan. Anak yang diikutsertakan dalam proses FGD adalah mereka yang digolongkan sebagai pekerja anak yang paling beresiko mendapatkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dengan rata-rata bekerja selama 7 jam setiap harinya.

Tabel III.1

Data Informan Focus Group Discussiom (FGD) Pekerja Anak Jalanan

NO NAMA UMUR PPEKERJAAN DI JALANAN

1 Rizky 15 thn Mengantar papan bunga/penyapu angkot 2 M. Sholeh 13 thn Menyapu angkot

3 Adit 13 thn Menyapu angkot 4 Dicky 13 thn Menyapu angkot 5 Nicolas 10 thn Menyapu angkot 6 Cahyono 11 thn Menyapu angkot


(44)

7 Samuel 13 thn Menyapu angkot 8 Adit 8 thn Menyapu angkot 9 Zakaria 10 thn Menyapu angkot 10 Umar 13 thn Menyapu angkot 11 Roni 12 thn Menyapu angkot

Sumber: Focused Group Discussion, 5 Maret 2014

Tabel III.2

Tim Pelaksanaan FGD

1 orang moderator Sebagai fasilitator diskusi

2 orang pencatat proses Orang yang tekun mengamati proses FGD, dan membantu moderator

1 orang mendokumentasikan proses

1 orang sebagai penghubung peserta

Yaitu koordinator SKA-PKPA bapak Ali

2 orang bloker mencegah pengaruh-pengaruh negatif seperti anak-anak yang tidak fokus dalam diskusi.

Logistik dilakukan bersama-sama sebelum FGD

Sumber: Focused Group Discussion, 5 Maret 2014

Pelaksanaan Focused Group Discussion (FGD) dibagi menjadi 4 (empat) topik utama, yaitu :

1 Penyebab anak turun kejalan untuk bekerja.

Teknik yang digunakan adalah dengan memberikan pertayaan yaitu kenapa memilih turun ke jalan sebagai pekerja anak?. pertanyaan diberikan kepada setiap anak.


(45)

Teknik yang digunakan juga dengan memberikan beberapa pertayaan yang sama kepada setiap anak seperti :

a. Bahaya seperti apa yang paling sering pekerja anak hadapi saat menjadi pekerja anak di jalanan?

b. Bentuk tindakan kekerasan oleh orang dewasa yang sering dihadapi? c. Bagamana persahabatan di dalam komunitas pekerja anak?

3 Pihak-pihak yang sering memperhatikan pekerja anak jalanan ditunjukkan melalui hasil Diagram venn.

4 Seberapa jauh Pekerja Anak mengenal Pemerintah dengan menggunakan teknik penggunaan photo.

Teknik Diagram Venn dan teknik menggunakan gambar dalam pelaksanaanya membantu anak menjelaskan apa yang mereka hadapi sebagai pekerja anak. Dalam penyusunan diagram venn terjadi diskusi diantara mereka dalam menentukan siapa saja pihak yang berperan dalam membantu pekerja anak jalanan. Terutama dalam penyusunan posisi masing-masing pihak yang paling berperan bagi mereka sehingga mereka sendiri yang menyepakati siapa dan dimana posisi pihak yang berperan bagi mereka sehingga pasrtisipasi peserta sangat tinggi di dalam FGD. Saat penggunaan photo setiap anak memberikan pendapatnya masing-masing dengan sesekali dibenarkan maupun tidak dibenarkan oleh teman-temannya. Dengan banyaknya interaksi diantara masing-masing anak membuat setiap anak dengan mudah mengeluarkan pendapatnya mengenai peran pemerintah maupun peran lembaga swadaya masyarakat di kota Medan terhadap pengurangan pekerja anak.


(46)

1.3 Metode observasi

Obsevasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan dilapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Observasi (Burhan Bungin, 2008:115) adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi di beberapa tempat yang menjadi titik berkumpulnya pekerja anak jalanan di kota Medan, yaitu terminal Amplas, dan terminal Pinang Baris. Observasi yang dilakukan merupakan observasi non partisipasi dimana peneliti tidak melibatkan secara langsung dirinya sebagai kelompok yang diteliti. Peneliti secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek, peneliti juga terlebih dahulu menguasai ilmu tentang objek secara umum dari apa yang hendak diamati terutama melalui FGD (Burhan Bungin, 2008:116,117)

Teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observasi perlu melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. (Margono, 2007:159)

Observasi diperlukan peneliti untuk menemukan hal-hal yang tidak terungkap oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin


(47)

ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga. Melalui pengamatan dilapangan, peneliti ingin memperoleh kesan-kesan pribadi dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti, sehingga peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial untuk mendapatkan pandangan yang holistik atau menyeluruh.

2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang di peroleh dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki hubungan dengan masalah yang di teliti.

b. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang di peroleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut masalah yang di teliti dengan instansi terkait.

3.5Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknis analisis data kualitatif. Menurut Moleong (2006:247) teknik analisa data kualitatif dilakukan dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul,


(48)

menyusun dalam satu satuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya dan memeriksa keabsahan dan serta menafsirkannya dengan analisis dengan kemampuan nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

Miles dan Huberman dalam (Sugiyono, 2009:246) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Dalam melakukan analisis data, ada langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:

1. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Penarikan kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Kesimpulan ini sebagai hipotesis, dan bila didukung oleh data maka akan dapat menjadi teori.


(49)

3.6Pengujian Kredibilitas Data

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti yang merupakan hal dominan dalam penelitian kualitatif. alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi partisipasi), sumber data kualitatif yang kurang kredible akan mengurangi hasil akurasi penelitian (Burhan Bungin, 2008:253).

Sehubungan dengan itu Moleong mencoba membangun teknik pengujian keabsahan yang ia beri nama teknik pemeriksaan yaitu :

1. Perpanjangan keikutsertaan 2. Menemukan siklus kesamaan data 3. Ketekunan pengamatan

4. Triangulasi Peneliti, Metode, Teori, dan Sumber Data 5. Pengecekan melalui diskusi

6. Kajian kasus negatif 7. Pengecekan anggota tim 8. Kecukupan referensi 9. Uraian rinci

10. Auditing

Teknik pengujian keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik menemukan siklus kesamaan data, ketekunan pengamatan,


(50)

triangulasi metode, teori, dan sumber data, dan pengecekkan melalui diskusi yang dilakukan terhadap staf Pusat Kajian dan Perlindungan Anak yaitu Ibu Rosmalinda, Bapak Mahlil Lubis. Serta

3.7Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti tetap berpedoman terhadap etika

penelitian. Etika penelitian adalah prinsip-prinsip etik dalam pengelolahan penelitian mulai dari penetapan topik dan masalah sampai penyajian hasil penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian, etika penelitian digunakan pada setiap tahap penelitian.

Dalam penyusunan proposal, peneliti mencari refrensi buku guna melengkapi teori yang akan peneliti bawa dalam penelitian dan penulisannya dengan jujur. Peneliti juga mencari tahu masalah dalam keganjalan yang ada di lembaga yang peneliti teliti melalui internet. Setelah mendapat hal-hal yang ingin dicari tahu kebenarannya, peneliti kemudian meminta izin penelitian ke lembaga yang akan peneliti teliti, yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Medan dan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA).

Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu mengenai penelitian yang akan peneliti lakukan kepada informan. Dalam mengumpulkan data, peneliti juga menjamin kerahasiaan identitas informan tersebut apabila informan tersebut merasa tidak nyaman jika identitasnya tercantum. Kemudian peneliti melakukan pengolahan data.


(51)

Pengolahan data merupakan tahap terakhir yang dilakukan peneliti dengan berpedoman kepada etika penelitian. Etika yang diterapkan oleh peneliti dengan mengolah data secara objektif yaitu sesuai dengan keilmuan metodologis dan sesuai dengan data maupun pengalaman peneliti selama berada di lapangan.


(52)

41

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1KOTA MEDAN

Sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan di Indonesia, yang memiliki kedudukan, fungsi, dan peranan strategis sebagai pintu gerbang utama bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan secara regional atau internasional di kawasan barat Indonesia, kota Medan secara administratif pemerintahan saat ini terdiri dari 21 Kecamatan dengan 151 Kelurahan, yang terbagi atas 2.001 lingkungan. Berdasarkan batas wilayah administratif, kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisi secara ekonomi regional kota Medan sangat penting karena berada dalam wilayah hinterland dengan basis ekonomi sumberdaya alam yang relatif besar dan beragam, serta dukungan kepelabuhanan (LAKIP Kota Medan, 2012:11).

Pemerintahan kota Medan terdiri dari organisasi dan satuan kerja perangkat daerah, yang menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi, serta membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas kepala daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan dan Kelurahan.

Visi pembangunan kota Medan telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kota Medan tahun 2011-2015. Visi


(53)

memberikan inspirasi dan mengarahkan semua pihak (stakeholder) untuk bergerak dalam satu arah dan tujuan pembangunan kota, sehingga merupakan acuan dan pedoman bagi perumusan dan penetapan tujuan di masa depan. Visi juga merupakan sumber inspirasi bagi formulasi dan implementasi kebijakan serta pengembangan program pembangunan kota dalam jangka pendek dan menengah kota Medan yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan penting dalam pembangunan baik dalam skala lokal maupun regional. berdasarkan kekuatan, potensi, tantangan, dan masalah serta harapan wujud pembangunan kota lima tahun ke depan, visi pembangunan kota Medan adalah: ”Kota Medan Menjadi Kota Metropolitan yang Berdaya Saing, Nyaman, Peduli, dan Sejahtera” (LAKIP Kota Medan, 2012:29).

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan kota yang ditetapkan dan sekaligus mempertegas tugas, fungsi dan tanggungjawab seluruh pelaku pembangunan, baik oleh penyelenggara pemerintahan daerah maupun masyarakat selama lima tahun ke depan, maka misi yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabel.

2. Meningkatkan penataan prasarana dan sarana perkotaan yang serasi dan seimbang untuk semua kawasan kota.

3. Meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi kota yang merata dan berkelanjutan.


(54)

4. Mewujudkan penataan lingkungan perkotaan yang bersih, sehat, nyaman, dan religius.

5. Meningkatkan kualitas masyarakat kota (LAKIP Kota Medan, 2012:30).

Laju pertumbuhan penduduk kota Medan dari tahun 2005 menunjukkan trend menurun atau perlambatan pertambahan penduduk. Penurunan laju pertumbuhan penduduk antara lain didorong oleh pelaksanaan pengendalian penduduk melalui program keluarga berencana, dan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya norma keluarga kecil sejahtera (LAKIP kota Medan, 2012:12,13).

Jumlah penduduk kota Medan pada akhir tahun 2011 mencapai 2,117.224 jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,1% per tahun, jika dibandingkan dengan sensus penduduk 2010, terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.614 jiwa dengan luas wilayah kota Medan mencapai 265,10 km². sehingga kota Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi (Medan dalam Angka, 2012:39)

Sementara itu jumlah penduduk kota Medan yang digolongkan sebagai anak yaitu penduduk yang memiliki usia dibawah 18 (delapan belas) tahun dijelas pada tabel berikut :


(55)

Tabel IV.1

Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin tahun 2011

Golongan Umur

Laki-Laki Perempuan

Jiwa Persen Jiwa Persen

0-5 116.566 11,14 109.775 10,25

6-12 138.064 13.19 128.672 12.02

13-15 58.709 5.61 57.367 5.36

16-18 61.303 5.86 64.336 6.01

Sumber: Medan dalam Angka, 2012:48

Penduduk kota Medan memiliki ciri keragaman (pluralitas) baik dari agama, suku etnis, budaya dan adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter penduduk kota Medan yang bersifat terbuka dan dinamis. Perkembangan kependudukan kota Medan pada saat ini juga ditandai oleh proses transisi demografi, yaitu proses penurunan tingkat kesuburan sampai terciptanya jumlah penduduk yang stabil. Penurunan tingkat kelahiran antara lain disebabkan oleh perubahan pola fikir dan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, perbaikan gizi dan status kesehatan juga mempengaruhi penurunan tingkat kematian. Pada akhir proses transisi demografi, tingkat kelahiran dan kematian tidak banyak berubah sehingga jumlah penduduk cenderung tidak berubah, kecuali adanya migrasi.

Kombinasi antara kepadatan penduduk, commuters (penglaju) dan para pencari kerja membuat peran kota Medan sebagai pusat pelayanan regional harus mampu menyediakan pelayanan dasar bagi masyarakat kota Medan. Adanya


(56)

fenomena penglaju di kota Medan, menyebabkan jumlah penduduk pada siang hari lebih banyak, yaitu sekitar 2,5 juta jiwa dibandingkan jumlah penduduk pada malam hari yang diperkirakan sekitar 2,1 juta jiwa. Penyebab utama fenomena penglaju di kota Medan adalah adanya pandangan bahwa,

1. Bekerja di kota lebih bergengsi

2. lebih mudah mencari pekerjaan di kota

3. tidak ada lagi yang dapat dikerjakan (diolah) di daerah asalnya, dan

4. upaya mencari nafkah yang lebih baik. Dengan demikian, besarnya dorongan untuk menjadi penglaju tentunya berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan pelayanan umum yang harus disediakan secara keseluruhan

4.1.1 SITUASI PEKERJA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

Jalanan merupakan tempat yang berbahaya bagi anak, terutama untuk perkembangan moral anak. Kehidupan yang keras diperkotaan memaksa anak-anak jalanan melakukan berbagai pekerjaan di sektor informal untuk bertahan hidup, baik yang legal maupun yang ilegal dimata hukum. Pekerjaan yang biasa mereka lakukan adalah bekerja sebagai penyapu angkot, pedagang asongan, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas, mengamen, dan sebagian dari mereka terlibat pada jenis pekerjaan yang kriminal seperti mengompas dan mencuri (Bagong Suyanto, 2003:185).

Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dan merupakan pusat ekonomi di Sumatera Utara, kota Medan dihadapkan dengan permasalahan


(57)

pekerja anak, baik pekerja anak yang berada di kota Medan maupun yang datang dari luar kota Medan. Namun, populasi pekerja anak sangat sulit didapatkan karena tidak adanya data yang akurat berkaitan dengan populasi anak jalanan di kota Medan. Kesulitan tersebut lebih dikarenakan adanya mobilitas anak dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan tidak memiliki jam aktifitas yang sama (Misran Lubis dkk, 2010:15).

Menurut Dinas Sosial provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 terdapat 663 anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak bekerja di kota Medan, pendataan PKPA tahun 2010 di kota Medan terdapat 420 anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak bekerja, sementara lembaga swadaya masyarakat Madya Insani yang pada tahun 2009 telah melakukan perhitungan cepat populasi anak jalanan diseluruh kota Medan telah mendata 800-900 anak jalanan dari 21 Kecamatan yang aktif bekerja dan belum termasuk anak-anak yang bekerja paruh waktu (Misran Lubis dkk, 2011;15)

Tabel IV,2

8 Kecamatan dengan Jumlah Pekerja Anak Tertinggi

NO Kecamatan Jumlah Pekerja Anak

1 Medan Johor 57 anak

2 Medan Amplas 81 anak

3 Medan Kota 94 anak

4 Medan Maimun 103 anak 5 Medan Sunggal 75 anak 6 Medan Petisah 60 anak


(58)

7 Medan Barat 53 anak 8 Medan Belawan 61 anak

Sumber:

Kecamatan Belawan pekerja anak terdapat di pelabuhan terbesar untuk wilayah pantai timur Indonesia. Sedangkan pekerja anak di kota Medan lebih banyak berasal dari daerah pinggiran kota yang bekerja di pusat-pusat keramaian di inti kota Medan seperti persimpangan jalan, pasar, dan terminal bus. Berdasarkan data diatas persebaran pekerja anak di kota medan dapat disimpulkan hampir merata di setiap kecamatan walaupun hanya ada 8 kecamatan yang memiliki jumlah pekerja anak jalanan diatas 50 anak.

Tempat berkumpulnya pekerja anak jalanan di kota Medan terkosentrasi di dua terminal terpadu di kota Medan yaitu terminal Pinang Baris dan terminal Amplas. Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) adalah salah satu terminal terpadu perhubungan darat terbesar di kota Medan. Terminal ini khusus menampung bus-bus antar provinsi dan dalam provinsi yang masuk ke kota Medan dari sebelah barat, terutama bus-bus dari provinsi Aceh, kota Brandan, kota Binjai, kota Stabat, Brastagi dan sekitarnya.

Kawasan terminal Amplas juga memiliki status yang sama dengan terminal Pinang Baris, terminal terpadu Amplas, merupakan terminal terbesar di kota Medan dan jga terminal Tersibuk di kota ini, semua jenis angkutan baik angkutan kota maupun antar kota, dan antar provinsi menggunakan jasa terminal terpadu Amplas. Kedua terminal ini memiliki peran ganda yaitu


(59)

sebagai lokasi kerja anak jalanan dan sekaligus kawasan tempat tinggal pekerja anak jalanan.

Secara umum gambaran situasi pekerja anak di kota Medan dapat dilihat di sekitar terminal Pinang Baris dan Terminal Amplas. Jalanan merupakan tempat yang berbahaya bagi anak, terutama untuk perkembangan moral anak. Kehidupan yang keras diperkotaan memaksa anak-anak jalanan melakukan berbagai pekerjaan di sektor informal untuk bertahan hidup, baik yang legal maupun yang ilegal dimata hukum. Pekerjaan yang biasa mereka lakukan adalah bekerja sebagai penyapu angkot, pedagang asongan, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas, mengamen, dan sebagian dari mereka terlibat pada jenis pekerjaan yang kriminal seperti mengompas dan mencuri. Di bawah ini adalah data jenis pekerjaan utama pekerja anak jalanan berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak pada tahun 2010.

Tabel IV.3

Jenis Pekerjaan Anak Jalanan

NO Pekerjaan Anak Laki-laki Perempuan Total %

1 Pengamen 78 29 107 48

2 Tukang Sapu 54 3 57 26

3 Doorsmeer 2 0 2 1

4 Pedagang Asongan 17 7 24 11


(60)

6 Pengemis 6 2 8 4

7 Tukang Semir 2 1 3 1

8 Tidak Tetap 3 2 5 2

Jumlah 175 47 222 100

Sumber: Misran Lubis dkk, 2011:17

Dalam penelitian yang dilakukan PKPA tahun 2010 tersebut jumlah terbesar pekerja anak jalanan adalah pengamen. Anak jalanan laki-laki dan anak jalanan perempuan lebih memilih mengamen sebagai pekerjaan utama mereka dalam mencari uang. Resiko dari pekerjaan yang mereka lakukan di sektor informal sangat tinggi terutama adanya eksploitasi terhadap mereka. Bagi anak-anak yang tidak sekolah mereka dapat berada di jalanan selama 24 jam, sementara anak-anak yang bersekolah pada umumnya berada di jalanan selama 7-8 jam setiap harinya.

Jam kerja anak yang sangat variatif yaitu sebanyak 53% anak jalanan bekerja antara 5-11 jam setiap harinya, 22% bekerja antara 12-24 jam, 23% bekerja dibawah 4 jam setiap harinya, dan 3 % anak yang tidak jelas jam kerjanya. Kelompok anak yang bekerja selama 12-24 jam dalam seharinya sebanyak 22% menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok pekerja anak jalanan lainnya. Mereka gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks, dan ngelem (Misran Lubis dkk. 2011:18).

Jam kerja yang cukup panjang yang dilakukan oleh pekerja anak jalanan seharusnya juga menjadi perhatian, dalam sehari mereka menghabiskan


(61)

waktu lebih dari 7 jam per hari untuk bekerja. Seorang pekerja anak jalanan yang bersekolah misalnya, mereka harus bekerja setelah pulang sekolah sekitar pukul 01.00 siang hari, jika mereka melakukan pekerjaan mulai dari pukul 02.00 setiap harinya, maka mereka akan pulang kerumah pada pukul 09.00 malam hari. Keterlibatan mereka sebagai pekerja anak jalanan dengan jam kerja yang cukup panjang tersebut akan menghilangkan minat anak pada dunia pendidikan.

Gambar IV.1 Pekerja Anak Jalanan di Simpang Terminal Amplas Sedang Membersihkan

Angkutan Kota (Sumber: Observasi, 3 Juni 2014)

Kehidupan dijalanan juga tidak jauh dari tekanan dan stigma sebagai penganggu ketertiban, Situasi seperti itu sering sekali dialami oleh pekerja anak jalanan di terminal Pinang Baris, Rizki salah satu pekerja anak di terminal tersebut bersama dengan teman-teman pekerja jalanan lainnya sering


(62)

mendapatkan makian dari sopir Angkutan Kota karena dituduh telah mencuri di dalam Angkutan Kota saat membersihkan Angkutan Kota, barang yang sering disangkakan mereka telah mencurinya adalah flashdisk (Focused Group

Discussion, 5 Maret 2014).

Perlakuan yang buruk terhadap mereka selain dalam bentuk kata-kata yang kasar juga ada kekerasan fisik seperti pukulan dan lainnya. Kekerasan fisik pernah dialami Sholeh, pekerja anak yang berusia 13 tahun di terminal Pinang Baris tersebut pernah mengalami tindakan kekerasan oleh supir bus saat dirinya menawarkan untuk menyapu bus. Tanpa disadarinya supir bus tersebut menendangnya dan memukulnya. Kehadiranya dianggap sebagai ancaman terhadap mereka, padahal Sholeh hanya ingin menawarkan jasanya untuk mendapatkan uang yang tidak terlalu besar (Focused Group Discussion, 5 Maret 2014)

Bahaya lainnya terhadap pekerja anak jalanan adalah rawannya mereka menjadi sasaran penculikan anak, anak-anak sering sekali menjadi korban penculikan dengan motif yang berbeda-beda. Minimnya pengawasan orang tua terhadap mereka menjadi alasannya. Pengalaman tersebut pernah dialami Roni (12 tahun) yang pernah diculik seorang ibu yang tidak dikenalnya pada pagi dini hari pukul 02.00 WIB. dia mengaku dibawa ketempat yang menurutnya jauh dan tidak diketahuinya. Namun akhirnya dia dilepaskan dan berhasil kembali kerumah dengan berjalan kaki selama 10 jam lamanya (Focused


(63)

Tantangan kehidupan yang berbeda seperti dengan kehidupan yang normatif di masyarakat menjadikan sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat. Prilaku mereka merupakan konsekuensi dari stigma sosial tersebut dan keterasingan mereka di dalam masyarakat. Stigma negatif yang muncul terhadap pekerja anak jalanan mengakibatkan banyak anak jalanan yang terjerumus dalam tindakan yang salah, seperti prilaku menyimpang yang populer di kalangan anak-anak jalanan yaitu “ngelem” (menghisap lem), istilah tersebut sangat dekat dengan mereka anak-anak jalanan. Dengan ngelem mereka bisa menahan lapar, meringankan penderitaan, menghilangkan persoalan dan membuat pikiran tenang.

Ada tiga tipe anak jalanan jika dilihat dari kegiatannya yaitu:

1 Mereka anak-anak yang berada di jalanan hanya untuk mencari kebebasan dengan kegiatan seperti mengelem, mengompas, dan seks.

2 Mereka anak-anak yang berada dijalanan karena mencari sesuap nasi dengan melakukan kegiatan ekonomi seperti mengamen, menyapu angkot, pedagang asongan, dan lainnya.

3 Mereka anak jalanan yang melakukan kegiatan sebagai pekerja anak jalanan seperti mengamen, menyapu angkot pedagang asongan dan lainnya untuk melakukan kegiatan mengelem dan seks (Hasil focused group

discussion 5 Maret 2014, observasi dan diskusi dengan seorang supir


(64)

Rizky (15 tahun) dirinya menolak jika mereka dekat dengan kegiatan “ngelem”, menurut Rizky mereka berbeda dengan anak-anak jalanan lainnya yang identik dengan kegiatan ngelem. Kegiatan tersebut sering dilakukan oleh anak-anak “Punk” di jalanan. Selama ini dia bersama 10 teman lainnya tidak pernah melakukan hal tersebut, kami hanya melakukan kegiatan bekerja di jalanan dan tidak semua anak jalanan adalah pekerja anak jalanan (Focused

Group Discussion, 5 Maret 2014).

Rizky juga mengatakan bahwa selama ini mereka (pekerja anak jalanan) yang berada di terminal Pinang Baris tidak pernah ditangkap ataupun berurusan dengan petugas Dinas Perhubungan ataupun Polisi yang selalu berada di terminal Pinang Baris, karena mereka cuman ingin mencari uang yang halal untuk jajan atau membantu orang tua bukan untuk ngelem ataupun kegiatan buruk lainnya.


(65)

Gambar IV.2Pekerja Anak Jalanan Sedang Mencari Angkutan Umum untuk Dibersihkan

(Sumber: Observasi, 3 Juni 2014)

Ancaman dan bahayanya kehidupan dijalanan sebagai pekerja anak jalanan seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak, walaupun kita sering melihat mereka tersenyum ataupun bermain-main sambil bekerja. Selain tindak kekerasan, kondisi polusi dan banyaknya kendaraan juga sangat berbahaya bagi mereka. Kecelakaan ataupun gangguan pernapasan dan penyakit lainnya dapat mereka alami kapan saja. Ironisnya, meskipun sebagian anak jalanan terserang penyakit, tetapi hanya sedikit dari mereka yang tersentuh pelayanan kesehatan. Hanya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat Seperti PKPA yang saat ini sering memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka (Focused Group


(66)

4.1.2 PENYEBAB ANAK BEKERJA DI JALANAN

Adanya peluang untuk mendapatkan uang di jalanan dikarenakan arus perputaran uang yang cukup tinggi terutama di sekitar terminal yang menjadi tempat berkumpulnya pengguna transportasi umum untuk berpergian. Setiap harinya orang yang berstatus sebagai pengguna transportasi umum akan mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk pembayaran biaya transportasi. Demikian juga supir angkutan yang hilir mudik, mereka akan mengeluarkan sebagian penghasilannya untuk membeli rokok, minuman atau makanan.

Tujuan utama bekerja di jalanan adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktivitas yang dilakukan pekerja anak jalanan, yaitu mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu, parkir mobil, kernet, ojek payung, pekerja seks hingga berkeliaran tidak tentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di tempet-tempat atau pusat keramaian. Misalnya, terminal, stasiun, perempatan jalan, pelabuhan, tempet hiburan Plaza, dan sebagainya (Bagong Suyanto, 2003:185). Ada banyak faktor yang menjadi alasan kenapa mereka melakukan pekerjaan di jalanan, yaitu: kemiskinan, ketidakharmonisan keluarga, hingga pengaruh dari teman (Focused Group


(67)

Gambar IV.3

Faktor Terbesar yang Mendorong Anak Menjadi Pekerja Anak Jalnan

Internal

Eksternal

Kondisi kehidupan keluarga yang tergolong miskin atau sangat miskin menjadikan alasan sehingga dengan mudah anak akan dimanfaatkan oleh keluarganya untuk ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Kemiskinan menjadi faktor terbesar kenapa mereka menjadi pekerja anak jalanan. Penghasilan orang tua yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) jauh lebih kecil dibandingkan jumlah kebutuhan yang di perlukan secara tidak langsung memaksa anak untuk mencari penghasilan baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk membantu orang tua.

Dari pengakuan Rizky (pekerja anak jalanan) yang berusia 15 tahun, ia melakukan pekerjaan sebagai pembersih bus pada siang hari setelah pulang dari sekolah, dan bekerja sebagai pengantar papan bunga pada malam hari yang biasanya dia lakukan setiap akhir pekan. Pekerjaan ini dia lakukan karena orang tuanya tidak mampu membiayai uang sekolah dan kehidupan sehari-hari.

Ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian dengan penghasilan yang tidak tetap menjadikan dirinya sebagai tulang punggung ekonomi

- Kemiskinan - Ketidakharmonis

an Keluarga

- Ajakan Teman


(1)

SUMBER UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai

Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA)

Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 tahun 2004 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak

SUMBER INTERNET

Chakim M, Lutfi, 2012, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Hamid Patilima, “Kota Layak Anak” Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.

Harian Analisa, “Potret Buram Anak Indonesia” 2013)

4 april 2014


(2)

PKPA.org, diakses pada 27 April 2014

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, 2011:180. ‘Implementasi Model

Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan

www.id. wikipedia .org diakses 25 April

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2012, “ Kebijakan Pemerintah Dalam Masalah Anak Di Indonesia”

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, 2011:180. ‘Implementasi Model

Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan


(3)

(4)

(5)

DAFTAR WAWANCARA PENELITIAN

1. Apa yang menjadi tujuan akhir dalam pelaksanaan Program Penghapusan Pekerja Anak dalam Rangka Mendukung Program Keluarga Harapan PPA-PKH ?

2. Bagaimana sikap dan komitmen pemerintah kota Medan terhadap permasalahan pekerja anak ?

3. Apakah kota Medan memiliki Komite Aksi Kota Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan terburuk bagi anak dan bagaimana Efektifitas kinerja dari tim ini ?

4. Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam pelaksanaan PPA-PKH, apakah dinas pendidikan ikut terlibat ?

5. Apakah ada pekerja anak setelah pendampingan di Shelter yang direkomendasikan ke sekolah formal dan sampai saat ini tetap bersekolah? 6. Sekolah mana saja yang selama pelaksanaan menjadi rujukan untuk

merekomendasikan anak ke dunia pendidikan?

7. Apakah pendanaan sebagai sumber daya yang sangat diperlukan dalam setiap pelaksanaan program terpenuhi ?

8. Apakah kota Medan memiliki data yang akurat mengenai pekerja anak di kota Medan?

9. Bagaimana menentukan pekerja anak yang dianggap sesuai untuk menerima manfaat PPA-PKH?


(6)

10.Dalam pelaksanaanya terdapat berapa pendamping dan tutor yang direkrut oleh tim pelaksana?

11.Berapa jumlah anak yang mendapatkan pendampingan di Shelter? 12.Apakah kuota anak yang menerima manfaat PPA-PKH terpenuhi? 13.Terdapat berapa Shelter sebagai tempat pendampingan dikota Medan? 14.Program PPA-PKH kali ini adalah program tahap II, bagaimana dengan

tahap I ?

15.Apakah ada pelaporan terhadap pusat setiap tahunnya?

16.Apakah kota Medan memiliki program lainnya yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan pekerja anak?

17.Kegiatan apa saja yang dilakukan anak penerima manfaat PPA-PKH selama pendampinga di Shelter?