BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi tahun 1998 memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi menyebabkan jumlah
pengangguran meningkat dan memicu terjadinya urbanisasi. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan ketrampilan yang dimiliki oleh kaum migran
menjadikan satu-satunya pilihan untuk bekerja dan bertahan hidup adalah dengan menjadi PKL. Hingga saat ini, tingginya peningkatan jumlah PKL di Indonesia
khususnya di kota Medan menunjukkan masih rendahnya kemampuan daya serap sektor formal terhadap angkatan kerja di Kota Medan serta masih rendahnya kemampuan
bersaing masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Atas dasar itulah maka banyak masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang di sektor informal.
Sektor informal memiliki peran yang besar di Negara-negara Sedang Berkembang NSB termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi
unorganized, tidak teratur unregulated, dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar unregistered. Di NSB, sekitar 30-70 populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di
sektor informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang
sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah
yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal
Universitas Sumatera Utara
http:ssantoso.blogspot.com200807konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html Diakses tanggal 09-12-2010
pukul 11.40 Pedagang Kaki Lima PKL sebagai salah satu kelompok sektor informal diakui
memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan kelompok lainnya. Keunggulan kompetitif yang dimiliki adalah kemampuannya untuk tetap bertahan dalam kondisi ekonomi yang
sulit. Namun, kegiatan PKL ini sangat rentan dan memprihatinkan karena keberadaannya tidak dibina, tidak ditata dan tidak diberi perlindungan yang serius oleh pihak pemerintah
Waluyo,2000:3. Bahkan sektor ini dianggap sebagai sumber masalah dalam kebersihan, ketertiban dan kemacetan lalu lintas. Dengan membangun persepsi dan konstruksi social
bahwa PKL sebagai sumber masalah dalam penataan lingkungan kota, maka pemerintah Kota melakukan penertiban terhadap PKL dengan cara pembersihan dan penggusuran
Fakhrulloh, 2002:42. Dalam kegiatan pasar tradisional keberadaan PKL sebagai pelaku kegiatan
ekonomi marginal, biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi fisik kota. Misalnya kesemrawutan, jalanan macet, kumuh dan lain sebagainya. Kondisi ini
menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran ruang publik kaum marginal. Pada akhirnya akan mematikan sektor perekonomian, sosial, politik dan budaya
mereka. Kaum marginal menjadi kelompok yang dimarjinalkan dan teralienasi dari kehidupan, inilah gambaran dari kebijakan yang tidak memihak pada masyarakat sipil.
Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke -5 Masehi. Dimulai dari
barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negeri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata
Universitas Sumatera Utara
uang hingga digunakan mata uang yang berasal dari negri Cina. Dalam awal-awal keberadaannya, pasar tradisional memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan aktivitas sosial-
ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan. Jasa besar pasar tradisional tentunya dengan pelaku-pelaku
di dalam pasar tersebut, hampir tidak terbantahkan terutama jika kita lihat sejarah berdirinya hampir seluruh kota di Indonesia.
Bahkan dibeberapa relief candi nusantara diperlihatkan cerita tentang masyarakat jaman kerajaan ketika bertransaksi jual beli walau tidak secara detail. Pasar dijamannya
dijadikan sebagai ajang pertemuan dari segenap penjuru desa dan bahkan digunakan sebagai alat politik untuk menukar informasi penting dijamannya. Bahkan pada saat
masuknya peradaban Islam di tanah air diabad 12 Masehi, pasar digunakan sebagai alat untuk berdakwah. Para wali mengajarkan tata cara berdagang yang benar menurut ajaran
Islam. Namun, seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang
kaki lima PKL di perkotaan Indonesia seperti yang sering tergambarkan dari pasar tradisional. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan
penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan
kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari para pedagang. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para pedagang
pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan
Universitas Sumatera Utara
sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin Zuraida, 1993:266.
Terkait dengan persoalan pedagang kaki lima ataupun sektor informal tersebut, saya mengambil contoh relokasi Pasar Yuka yang ada di Kelurahan Besar Kecamatan
Medan Labuhan. Relokasi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dilakukan berdasarkan atas Perda No 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, alasan relokasi Pasar Yuka adalah karena pasar tersebut berada di salah satu jalur hijau yaitu di badan jalan masuk perumahan Komplek
Yuka. Kalau kita perhatikan memang keberadaan pasar tersebut cukup mengganggu pengguna jalan yang akan keluar masuk Komplek Yuka. Terkadang membuat penduduk
komplek tersebut terpaksa menggunakan alternatif jalan yang lain agar lebih cepat. Pasar Yuka tersebut berada di persimpangan Jalan Pancing I Martubung. Di pagi
hari pasar tersebut sering kali menjadi penyebab kemacetan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan pemerintah merelokasi pasar tersebut ke tempat yang telah disediakan
oleh pemerintah. Lokasi pasar baru yang disediakan oleh pemerintah berjarak kurang lebih 1 km dari lokasi pasar yang lama. Namun, para pedagang enggan untuk direlokasi
dengan berbagai alasan. Atas dasar masalah inilah peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam permasalahan yang terjadi pada proses relokasi Pasar Yuka yang sampai
sekarang masih menyisakan beragam pertanyaan. Serta berbagai faktor penyebab dari gagalnya proses relokasi pasar tersebut sehingga menyebabkan aset negara pasar tempat
tujuan relokasi menjadi terbengkalai.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah