xlvii dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit. Seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum, karena
sangat dibutuhkan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang- orang yang bergabung dalam suatu badan hukum tersebut., 3
Isyarat, suatu perikatan tidak lah hanya dilakukan oleh orang normal, orang-orang cacatpun dapat melakukan suatu perikatan
akad
. d
Tujuan perikatan
maudluul aqd
. Adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk
tujuan tersebut. Dalam hukum Islam tujuan akad ditentukan oleh Allah dan dalam Al Quran dan Al-Hadits Nabi Muhammad
SAW. Menurut Azhar Basyir, bahwa syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan memiliki akibat hukum, adalah :
a Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. b
Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad, dan tujuan akad harus dibenarkan oleh
syara. Di dalam KHES disebutkan berbagai jenis akad pasal 56 sd
673 yang meliputi : 1.
Bai jual beli terdiri dari : bai salam, bai istishna, bai al wafa, dan jual beli murabahah.
2. Syirkah yang meliputi : syirkah amwal, syirkah abdan,
syirkah muwafadhah, syirkah inan, syirkah musytarawah, dan syirkah milik.
3. Mudharabah dan lain-lain.
c. Asas-Asas Dalam KontrakAkad.
xlviii Dalam ekonomi syariah, akadperjanjian yang dilakukan
memiliki konskuensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Produk apapun yang dihasilkan termasuk
di dalamnya perbankan syariah, tidak akan terlepas dari proses transaksi atau perjanjian yang dalam istilah fiqh muamalah disebut
akad
42
. Ada beberapa asas yang harus dipenuhi di dalam menetapkan
akadperjanjian. Di dalam Bab II pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan asas akadperjanjian antara lain :
b.
Ikhtiyarisukarela
: setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu
pihak atau pihak lain. c.
Amanahmenepati janji
: setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang
bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.
d.
Ikhtiyatikehati-hatian
: setiap
akad dilakukan
dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan
cepat. e.
Luzumtidak berobah
: setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek
manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f.
Taswiyahkesetaraan
: para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, mempunyai hak dan kewajiban yang
seimbang. g.
Transparansi
: setiap akad dilakukan dengan pertanggung jawaban para pihak secara terbuka.
42
Gemala Dewi, SH.MH., Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi revisi, Kencana Prenada Media Group, Cet.IV, 2007, hlm.1000
xlix h.
Kemampuan
; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi
yang bersangkutan. i.
Taisirkemudahan
; setiap akad dilakukan sesuai dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk
dapat terlaksananya sesuai dengan kesepakatan j.
Iktikad baik
; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan
buruk lainnya. k.
Sebab yang halal
; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.
Disamping jenis asas-asas yang tersebut diatas, ada lagi pendapat yang disampaikan oleh Syamsul Anwar, ia menyebutkan
ada 8 asas perjanjian di dalam Hukum Islam, yaitu : 1.
Asas Ibahah
Mabdaal-Ibahah
Asas Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalah. Asas ini dirumuskan dalam adagium pada dasarnya
segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yangmelarang. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam hal
ibadah. Khususnya di dalam perjanjian, ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak
ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. 2.
Asas Kebebasan Berakad
Mabda Hurriyah at-Taaqud
Suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat dan memasukkan
klausal apa saja ke dalam akadnya itu sejauh tidak ada unsur kebatilan di dalamnya.
3. Asas Konsensualisme
Mabdaar-Radhaiyah
l Asas ini menyatakan bahwa terciptanya suatu perjanjian cukup
dengan tercapainya kata sepakat antar para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu
4. Asas janji itu mengikat.
Dalam Al-Quran banyak terdapat perintah untuk memenuhi janji. Juga dalam Hadits Shahih, salah satu ciri sebagai munafiq
ialah bila berjanji tidak mau menepati janjinya. 5.
Asas Keseimbangan
Mabda at-Tawazun fi al-Muawadah
Dalam hukum perjanjian Islam menekankan perlu adanya keseimbangan baik apa yang diberikan dengan apa yang
diterima. 6.
Asas Kemaslahatan tidak memberatkan Akad ini dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
dan tidak boleh menimbulkan kerugian
mudharat
atau keadaan memberatkan
masyaqah
. 7.
Asas Amanah. Masing-masing
pihak haruslah
beriktikad baik,
tidak diperkenankan memanfaatkan mengeksploitasi ketidaktahuan
mitranya dan hendaknya diberikan informasi yang cukup dan jujur kepada pihak yang lain.
8. Asas Keadilan.
Keadilan inilah yang ingin diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan adalah perintah agama
sebagaimana Firman Allah dalam Al Quran Surat Al-Maidah : 8 yang artinya
Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa
.
43
Masih ada lagi pendapat yang berkenaan dengan asas akad atau perjanjian, sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh
43
Prof Dr. H. Abdurrahman, SH. Hukum Perjanjian Syariah di Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hal.37
li Fathurrahman Djamil yang menyebutkan bahwa akad itu ada 6 asas,
yaitu : 1.
Asas Al-Hurriyah kebebasan 2.
Asas Al-Musawah persamaan dan kesetaraan 3.
Asas Al-Adalah keadilan 4.
Asas Ar-Ridha kerelaan 5.
Asas Ash-Shidq kejujuran dan kebenaran 6.
Asas Al-Kitabah tertulis
44
Karena proses yang dilakukan memiliki konsekuensi dunia dan akherat, maka produk apapun yang dihasilkan termasuk di
dalamnya perbankan syariah, harus melalui proses akad atau perjanjian yang memenuhi syarat dan rukunya akad dan sesuai
dengan prinsip syariah. Akadperjanjian menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan Islam.
a. Syariah Islam.
b. Peraturan perundang-undangan.
c. Ketertiban umum dan atau
d. Kesusilaan
Lebih lanjut ditegaskan bahwa hukum akadperjanjian itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu :
a. Akad yang sah, adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-
syaratnya. b.
Akad yang fasad, adalah akad yang terpenuhi syarat dan rukunya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad
karena pertimbangan maslahat. c.
Akad yang batal, adalah akad yang kurang rukun dan syarat- syaratnya.
45
Kedudukan akad dalam fiqih muamalah adalah penting ditinjau fungsi dan pengaruhnya, sehingga suatu muamalah
44
Ibid, 39.
45
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahmakah Agung RI, Jakarta,2008, hal.14
lii transaksi dapat dikatakan sah jika akad yang dilaksanakan itu
terpenuhi syarat dan rukunnya. Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat mengenai
kalangan Ulama. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun akad memiliki tiga rukun, yaitu :
1.
Aqid
orang yang berakad terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadangkala dari beberapa orang.
2.
Maqud Alaih
sesuatu yang diakadkan, maqud alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang menajdi obyek akad, seperti
benda-benda yang dijual dalam akad bai jual beli, yang dihibahkan dalam akad hibah, yang digadaikan dalam akad rahn
dan lain-lain. 3.
Sighat al-aqd
, yaitu ijab qabul ucapan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak.
46
Sighat al-aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari kedua belah pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada fi hati
keduanya tentang terjadi suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat tersebut
disebut Ijab Qabul. Sementara menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
tercantum di dalam pasal 22 sampai pasal 25 rukun akad itu ada 4 macam, yaitu terdiri dari :
a. Pihak-pihak yang berakad, adalah orang, persekutuan atau
badan usaha. b.
Objek akad, adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan
c. Tujuan pokok akad, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
usaha. d.
Kesepakatan
46
Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk, Op.Cit.hal.14
liii
d. Penggolongan Hukum Kontrak.