112
Proses untuk menjadi rujukan kesehatan ini bukanlah hal yang sederhana. Kerja keras dari KP dan KDS dan bukti bahwa dengan memberikan dukungan kepada Odha
ternyata dapat memberikan perubahan positif yang signifikan. Meskipun, pada awalnya KP dan KDS dicurigai sebagai kelompok yang mencari persoalan. Namun, dengan bukti
tersebut, akhirnya KP dan KDS sudah mendapatkan kepercayaan. Kini, mereka sudah masuk ke dalam sistem rujukan kesehatan.
Cukup baik sekarang. Kerja keras teman-teman sekarang sudah lebih di hargai. Awalnya, sebagian stakeholder menilai kami adalah lembaga yang mencari persoalan.
Tapi kalau sekarang sudah menjadi rujukan kesehatan. Koordinator KP
Dukungan masuknya KDS ke dalam sistem rujukan di rumah sakit diakui oleh pihak Dinas Kesehatan. Dukungan tersebut menunjukkan bahwa memang KDS memiliki
peran penting bagi pemberdayaan positif Odha yang baru tahu statusnya. Masuknya KDS ke dalam sistem jejaring sekaligus mendorong KDS juga masuk ke dalam jaringan.
Masuknya KDS ke dalam sistem rujukan juga sekaligus memperkuat tim VCT dan PMTCT di RSUD.
KDS masuk ke dalam sistem rujukan di rumah sakit karena kalau tidak masuk rujukan tidak ada jejaring
, dan tidak begitu yakin mempunyai tim VCT dan PMTCT yang bagus.Dinkes Provinsi
Namun, meskipun KP dan KDS sudah masuk ke dalam sistem rujukan, namun pemerintah khawatir akan keterbatasan anggaran yang tersedia.
Bisa tetapi kalo kondisi sekarang RS kita ada rujukan mungkin yang mereka bisa lakukan pendampingan karena anggarannya sangat terbatas karena di Sumatra Utara hanya 70
jadi kalo ada 10 berarti 7 karena harus dibayangin jumlah pendamping ini Dinkes Provinsi
Peran KDS dalam menjadi sistem rujukan di tingkat kota juga sudah berjalan. Berjalannya peran KDS dalam pendampingan Odha di RS menandakan berjalannya
mekanisme kerja sama antara pihak-pihak terkait. “Kita sudah melakukan dampingan untuk KDS nya, orang yang ada di KDS juga
merupakan orang KP, dan untuk mekanismenya kita selalu koordinasi dengan instansi- instansi terkait.
” KPAK Berjalannya sistem rujukan yang dijalankan KP dan KDS tidak sepenuhnya
ditanggapi positif oleh petugas kesehatan. Ada pula petugas kesehatan yang merasa terganggu, karena merasa bahwa KP dan KDS terlalu melampaui kewenangan dalam
pendampingan, seperti untuk masalah pengobatan. “Kami bukannya menjelaskan tentang obat-obatan, tapi hanya saling mengingatkan untuk
tidak lupa minum obat dan patuh. Cuma, karena kami punya banyak sumber informasi tentang obat HIV, jadi kesannya tenaga kesehatan yang kurang update daripada kami
.‖ Koordinator KDS
113
VI. PEMBAHASAN
6.1. Mutu Hidup Odha
Ada beberapa konsep mutu hidup yang sudah digunakan oleh beberapa penelitian yang terkait dengan Odha. Salah satu referensi menyatakan mutu hidup tidak hanya terkait
dengan pekerjaan dan pendapatan. Sebaliknya, indikator standar mutu hidup tidak hanya kekayaan dan pekerjaan, namun juga lingkungan binaan, kesehatan fisik dan mental,
pendidikan, rekreasi dan waktu luang, dan sosial.
66
Mutu hidup mengacu pada tingkat keunggulan dari kehidupan seseorang di setiap periode waktu tertentu yang memberikan
kontribusi terhadap kepuasan dan kebahagiaan dari individu dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Hal ini cenderung untuk mencakup berbagai bidang seperti
kesejahteraan fisik, materi, psikologis, sosial, dan spiritual. Mutu hidup merupakan konsep multi-dimensi yang definisi dan penilaiannya masih kontroversial
.67
Pilar 1. Memiliki Percaya Diri
Percaya diri sering kali digunakan untuk mengukur mutu hidup. Menurut Self Perceived Quality of LifeSPQL
68
, kebutuhan untuk keselamatan dan keamanan, rasa dicintai dan dimiliki, merasa dihargai, merasa bangga, merasa dihormati, dan memiliki
percaya diri, merupakan bagian dari SPQL. Bagaimana tanggapan Odha atas status HIV positif, dapat dilihat dari sifat Odha yang tidak rendah diri, status HIV tidak mengganggu
sikap dan perilaku Odha, tidak ada keinginan menjauhi orang lain, tidak melakukan stigma pada diri sendiri dengan memisahkan barang, dan tidak memiliki kecemasan dalam
menjalani kehidupan. Temuan penelitian ini, Odha yang menerima status HIV secara positif lebih banyak
Odha laki-laki dibanding Odha perempuan. Hal ini kemungkinan karena karakteristik perempuan yang berbeda dengan laki-laki, yaitu bahwa perempuan lebih cenderung
menggunakan perasaan dalam menghadapi persoalan hidup. Kemungkinan lain, hal ini karena Odha perempuan lebih banyak yang tidak memiliki perilaku berisiko, namun
kenyataan yang ada, mereka tertular melalui suami.
66
Gregory, Derek; Johnston, Ron; Pratt, Geraldine et al., eds June 2009. Quality of Life. Dictionary of Human Geography 5th ed.. Oxford: Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-4051-3287-9.
67
Susan, S., Mohr J., Justis, J.C., Berman, S., Squir, C., Wagener, M.M. Sing, N. 1999. QOL in patients with human immunodeficiency virus infection: impact of social support, coping style and hopelessness.
International Journal of STD and AIDS, 10, 383-391.
68
Trakhtenberg, E. C. 2008. Self-perceived quality of life scale: Theoretical framework and development. Presentation at the annual meeting of the American Psychological Association, Boston, Massachusetts.
114
Temuan dari angket penelitian ini menemukan bahwa status pernikahan Odha IRT lebih banyak janda daripada yang menikah. Alasan yang paling banyak Odha melakukan
tes HIV adalah karena sakit. Dalam temuan kualitatif, yang dimaksud sakit sebenarnya adalah pasangannya. Jadi, perempuan itu baru tes HIV setelah suaminya sakit terlebih
dahulu. Setelah dokter mengetahui status suaminya, barulah keluar rekomendasi dari dokter untuk pemeriksaan HIV bagi istri. Jadi, perempuan memiliki akses yang lebih
rendah untuk tes HIV daripada laki-laki. Hal itu terjadi karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, terkait dengan akses perempuan untuk mendapatkan informasi tentang
HIVAIDS. Kedua, akses terhadap layanan kesehatan dalam hal jarak dan keterjangkauannya. Ketiga, akses terhadap kemampuan membayar layanan kesehatan.
Dari angket penelitian tentang membuka status HIV kepada orang lain, ditemukan kenyataan bahwa membuka status kepada tetangga sangat tidak nyaman, membuka status
HIV kepada teman sebaya nyaman, dan membuka status HIV kepada pasangan sangat nyaman. Odha laki-laki lebih nyaman membuka status HIV pada orang lain, daripada
Odha perempuan. Temuan dari wawancara mendalam bahwa Odha yang belum menikah dan memiliki pasanganpacar membutuhkan waktu lebih lama untuk membuka status
kepada pasangan daripada Odha yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan adanya ketakutan untuk ditolak oleh pasangannya.
Membuka status HIV akan dilakukan oleh Odha, jika ada jaminan keselamatan dan keamanan ketika membuka status HIV. Kemungkinan lain yang juga mempengaruhi hal
itu adalah adanya rasa ketakutan untuk ditolak oleh keluarga dan tidak lagi dihormati di lingkungannya. Orang dengan HIV cenderung untuk memberitahukan orang terdekatnya
jika mereka merasa bahwa manfaat dari membuka status HIV lebih besar daripada kerugian yang akan dialami.
69
Mengungkapkan status HIV-positif dapat menghasilkan keuntungan emosional, fisik, dan sosial. Manfaat emosional meliputi dukungan sosial, bantuan yang berasal dari
berbagi rahasia yang memberatkan, dan imbalan dari memberikan pengetahuan pada orang lain. Alasan untuk menjaga status HIV yang diidentifikasi adalah takut ditolak, takut
diberikan stigma oleh orang lain, takut privasinya dilanggar, dan menyalahkan diri sendiri.
70
69
Serovich, J. M.A test of two HIV disclosure theories. AIDS Education and Prevention. 13. 4. 2001: 355-364.
70
Swendeman, D., Rotheram-Borus, M. J., Comulada, S., Weiss, R., Ramos, M. E. Predictors of HIV- related stigma among young people living with HIV. Health Psychology. 25. 4. 2006: 501-509.