Analisis Kinerja Industri Minuman Ringan di Indonesia

perhatian konsumen. Contoh nyata dalam periklanan mnuman ringan yaitu iklan Coca-Coa yang menonjolkan kesegaran produk dan mempunyai tagline “Hidup ala Coca-Cola”. The Botol Sosro juga menonjolkan keunggulan produk yang sesuai untuk dikonsumsi kapan saja dan dapat dipadukan dengan berbagai jenis makanan sehingga mempunyai tagline “Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro”. Diskon mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Banyak konsumen yang lebih tertarik pada produk yang murah namun memiliki kualitas yang baik. Diskon ada beberapa macam, diantaranya potongan harga langsung, penambahan isi dalam kemasan dengan harga tetap ekstra isi, bonus produk misal beli dua produk akan mendapatkan tambahan satu produk gratis, dan sebagainya. Media lain yang digunakan dalam mempromosikan produk adalah melalui tempat dimana produk tersebut terjual yang dinamanakan product display. Media promosi tersebut dapat menarik perhatian konsumen yang melewati sehingga membelinya. Tempat yang terdapat product display antara lain supermarket, toko, mall, warung dan lain-lain. Strategi-strategi diatas hanya sebagian usaha yang dilakukan perusahaan untuk mempromosikan produk. Masih ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mempromosikan produk kepada konsumen, misalnya dengan sebagai sponsor suatu acara misalnya kegiatan olahraga, konser dan lain-lain.

5.3. Analisis Kinerja Industri Minuman Ringan di Indonesia

Salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis kinerja industri minuman ringan di Indonesia adalah melalui perolehan keuntungan dalan industri. Namun data mengenai keuntungan perusahaan tidak dapat dipublikasikan. Untuk mengganti data keuntungan perusahaan maka digunakan Price Cost Margin PCM sebagi proksi keuntungan dari perusahaan minuman, Efisiensi internal X- Eff menunjukan tingkat efisiensi suatu industri dalam meminimalisasi biaya produksi dan Growth yang menggambarkan pertumbuhan produk industri dari tahun ke tahun. Sumber: BPS diolah Gambar 5.1. Fluktuasi PCM, Growth dan X-eff Fluktuasi PCM dan X-Eff memiliki tren yang cenderung meningkat. Fluktuasi PCM tergolong stabil dengan peningkatan dan penurunan yang tidak terlalu tajam. Peningkatan mulai terlihat dari tahun 1999 sampai tahun 2005 dan cenderung stabil pada tahun berikutnya sampai tahun 2009. Nilai X-Eff pada tahun 2000 sampai tahun 2003 cenderung meningkat namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan sampai dengan tahun 2006. Sementara itu, fluktuasi Growth sangat tajam sehingga variabel Growth tidak memiliki tren tertentu dimana peningkatan dan penurunan terjadi secara tajam dari tahun ke tahun. Berdasarkan data pada Lampiran 2, Lampiran 3 dan Lampiran 5 nilai rata- rata PCM, X-Eff dan Growth dari tahun 1995 sampai 2009 adalah 40,66 persen, 94,51 persen dan 15,41 persen. Nilai terendah PCM terjadi pada tahun 1995 yaitu sebesar 24,01 persen, nilai terendah X-Eff sebesar 50,94 persen pada tahun 1998 dan nilai terendah Growth bernilai -13,28 persen pada tahun 2009. Nilai PCM dan X-Eff tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 49,71 persen dan 134,68 persen. Kondisi ini membuktikan bahwa pertumbuhan pendapatan PCM memiliki hubungan positif dengan efisiensi internal X-Eff, dimana tingginya pertumbuhan pendapatan dapat mencerminkan tingginya efisiensi perusahaan. Tingginya nilai pertumbuhan pendapatan PCM dan efisiensi internal X-Eff dapat disebabkan adanya inovasi produk yang lebih baik, dimana efisiensi dan Tahun inovasi merupakan kombinasi yang solid bagi perusahaan untuk mendapatkan tingkat keuntunagan yang tinggi. Fluktuasi nilai Growth cukup tajam dimana Growth terendah bernilai -13,28 persen dan nilai tertinggi sebesar 38,97 persen. Nilai pertumbuhan terendah pada tahun 2009 diduga karena adanya krisis ekonomi pada tahun 2008. Krisis ini membuat perusahaan-perusahaan yang tidak dapat bertahan dalam kondisi krisis akan mengalami kemunduran. Penurunan ini tentunya akan berpengaruh pada turut menurunnya jumlah output yang dihasilkan industri minuman ringan hingga pertumbuhannya bernilai negatif. Nilai PCM, Growth dan X-Eff yang digambarkan diatas menunjukan bahwa rata-rata nilai ketiga variabel tersebut cukup tinggi. Selain itu tren fluktuasi nilai PCM dan X-Eff cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari kedua faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa kenerja industri minuman ringan di Indonesia cukup baik. 5.4. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Minuman Ringan di Indonesia Metode Kuadrat Terkecil Biasa atau Ordinary Least Square OLS digunakan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dalam industri minuman ringan periode 1995 sampai 2009. Estimasi ini dilakukan dengan menggunakan program software Ewiews 6. Hasil regresi tersebut dapat dilihat pada Table 5.3. dimana menurut Gujarati 1995 model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi R 2 , uji F dan uji t. Tabel 5.3. Hasil Estimasi PCM Industri Minuman Ringan di Indonesia Variabel Coefficient Prob VIF CR4 0,278548 0,0232 1,6 X-Eff 0,290353 0,0000 1,6 Growth 0,003616 0,8999 1,1 Produktivitas TK 0,00000506 0,0104 2,3 C -0,127767 0,9774 R-Squared 0,955230 ProbF-Statistic 0,000001 Durbin-watson stat 1,945045 Berdasarkan Tabel 5.3. diperoleh uji F yang signifikan pada taraf nyata 5 persen 0,05, karena nilai probabilitas Fstat sama dengan 0,000001 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata dalam model. Kemudian nilai koefisien determinasi R- squared yang diperoleh sebesar 0,955230 persen yang menunjukkan tingkat kecocokan model yang tinggi. Interpretasi dari nilai R-squared ini adalah sebesar 95,5230 persen PCM dapat dijelaskan oleh variabel Rasio Konsentrasi Empat Perusahaan, Efisiensi Internal, Pertumbuhan Produk dan Produktivitas Tenaga Kerja, sedangkan sisanya sebesar 4,477 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Berdasarkan hasil uji t dapat dilihat dari nilai probabilitas masing-masing variabel independennya. Variabel CR 4 , X-Eff dan produktivitas tenaga kerja memiliki nilai probabilitas masing-masing 0,0232; 0,0000 dan 0,0104 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap PCM. Sementara variabel Growth yang memiliki nilai probabilitas 0,8999 yang nilainya lebih besar dari taraf nyata 5 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa Growth tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Hasil uji normalitas diperlihatkan pada Lampiran 7 dan didapatkan hasil bahwa probabilitas Jaque Bera lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan 0,872830 0,05. Berdasarkan hal tersebut maka sudah cukup bukti untuk menerima H yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal. Untuk mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dengan ketentuan nilai probabilitas ObsR-Squared harus lebih besar dari taraf nyatanya untuk membuktikan tidak adanya gejala autokorelasi pada model. Hasil pengolahan Lampiran 9 didapatkan nilai probability ObsR-Squared adalah sebesar 0,8396. Nilai taraf nyata yang digunakan adalah 5 persen. Sehingga dapat diambil kesimpulan dengan melihat nilai probability ObsR-Squared yang lebih besar dari taraf nyata maka model yang dirumuskan tidak mengandung autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Breusch Pagan Godfrey dengan ketentuan probability ObsR-Squared harus lebih besar dari taraf nyatanya untuk membuktikan tidak adanya variabel pengganggu yang memiliki varians sama pada model. Dari hasil uji yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai probability ObsR-Squared lebih besar dari taraf nyata 5 persen yaitu 0,9108. Artinya model yang dirumuskan pada penelitian ini tidak mengalami gejala heteroskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 8. Indikasi tidak adanya multikolinieritas atau korelasi antar variabel pada sebuah model adalah jika dalam uji-F disimpulkan signifikan dan R-squared yang tinggi namun hanya sedikit variabel yang signifikan. Dari hasil pengolahan data terlihat hanya satu variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata 0,05. Variabel tersebut adalah pertumbuhan produk. Hal ini berarti dalam pengolahan data tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinieritas. Namun untuk memastikan hal tersebut, pengujian multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF Variance Inflation Factor, dengan ketentuan nilai VIF Variance Inflation Factor harus lebih kecil dari 10 untuk membuktikan tidak adanya multikolinearitas. Dari hasil uji yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai VIF Variance Inflation Factor lebih kecil dari 10. Artinya model yang dirumuskan pada penelitian ini tidak mengalami gejala multikolinearitas Tabel 5.3.

5.5. Interpretasi Model