lambung dan enzim pencernaan. Pelepasan karotenoid dari matriks pangan tergantung pada senyawa lain yang membentuk kompleks dengan karotenoid seperti protein dan
juga tergantung pada bentuk keberadaannya seperti bentuk kristal pada wortel atau bentuk terlarut seperti pada minyak jagung Deming dan Erdman 1999. Diet yang
mengandung karotenoid provitamin A sebagian dilepaskan dari protein matriks makanan oleh kerja enzim pepsin lambung dan berbagai enzim proteolitik dalam
saluran usus bagian atas. Selama proses dalam saluran pencernaan, karotenoid terdispersi dalam usus bagian atas oleh asam-asam empedu. Sebagian karotenoid telah
mengalami esterifikasi dan sisanya masih dalam bentuk karotenoid bebas. Ester-ester karotenoid, karotenoid bebas dan vitamin A yang terdispersi dalam emulsi lipida
membentuk kilomikron dengan bantuan asam empedu, berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein membran mikrofili sel-sel epitel usus Linder 1989. Proses penyerapan
terjadi dengan cara difusi pasif. Proses ini membutuhkan kelarutan misel dalam lapisan air di sekitar membran sel mikrofili enterosit. Misel akan berdifusi ke dalam membran
dan melepaskan karotenoid dan komponen lipid lainnya pada sitosol sel. Setelah penyerapan selesai,
β-karoten dan karotenoid provitamin A lainnya diubah menjadi vitamin A retinal oleh enzim
β-karoten-15,15’-dioxygenase βC- 15,15’-DIOX. Retinal kemudian direduksi menjadi retinol. Efisiensi penyerapan
karotenoid dipengaruhi oleh ada tidaknya komponen lain dalam pangan seperti lemak dan protein Shiau et al. 1990. Makanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh
dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas βC-15,15’-DIOX dan cellular retinol-binding
protein tipe II CRBP II pada mukosa instestinal tikus. Kecepatan pemecahan
tergantung pada status vitamin A dalam tubuh dan berbeda untuk setiap jenis organisme. Penyerapan karotenoid ke dalam enterosit tidak menjamin seluruh
karotenoid tersebut akan dimetabolisme dan diserap oleh tubuh. Karotenoid tersebut dapat hilang pada lumen saluran pencernaan akibat perubahan fisiologi sel mukosa
Deming dan Erdman 1999. Menurut Rodriguez dan Kimura 2004, beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan dan pemanfaatan karotenoid antara lain jumlah, tipe
karotenoid dalam makanan bentuk kristal atau terlarut, lemak, vitamin E, serat, status protein dan zink, keberadaan penyakit tertentu dan adanya parasit.
Karotenoid yang telah bergabung dengan sel mukosa intestinal menjadi kilomikron akan dilepas ke dalam limfa. Kilomikron kemudian dicerna secara cepat
oleh lipase lipoprotein dan sisa kilomikron dengan cepat dipindahkan ke hati dan jaringan lainnya. Very Low Density Lipoprotein VLDL selanjutnya merupakan
pembawa utama karotenoid sehingga low density lipoprotein LDL menunjukkan konsentrasi tertinggi karotenoid di dalam plasma. Karotenoid juga ditemukan pada
berbagai jaringan. Walaupun konsentrasi tinggi ditemukan pada kelenjar adrenal dan corpus luteum
namun tempat penyimpanan utama karotenoid adalah pada hati dan jaringan adiposa. Karotenoid pangan yang tidak terserap akan dieksresikan melalui
feces. Beberapa metabolit karotenoid juga terdeteksi pada feces. Walaupun metabolit polar karotenoid kemungkinan terdapat dalam bentuk konjugasi dan dapat dikeluarkan
melalui urin, namun informasi mengenai hal tersebut sangat terbatas Olson 1994. Estimasi waktu paruh dilaporkan 11-12 hari untuk likopen,
β-karoten, α-karoten, lutein dan zeaxantin Miccozzi et al. 1992. Karena itu perlu dipahami bahwa
kemampuan penyerapan karotenoid dan perubahannya menjadi vitamin A tidak sama untuk setiap jenis karotenoid. Karotenoid provitamin A hanya dapat diubah jika
dibutuhkan oleh tubuh sehingga mencegah potensi toksisitas akibat kelebihan dosis vitamin A Dutta et al. 2005.
2.7.3 Efek Biologis Karotenoid
Karotenoid memiliki aktivitas sebagai provitamin A. Sifat ini terutama dimiliki oleh
β-karoten, α-karoten dan β-kriptoxantin Olson 1989. Di dalam tubuh karotenoid provitamin A akan diubah menjadi vitamin A aktif. Terdapat tiga bentuk aktif vitamin
A yaitu retinol vitamin A alkohol, retinal vitamin A aldehid dan asam retinoat vitamin A asam. Secara spesifik retinal berperan pada penglihatan, retinol berperan
pada aktivitas reproduksi dan asam retinoat digunakan untuk fungsi lain dari vitamin A. Kekurangan retinol menyebabkan kerusakan pada struktur epitel secara umum.
Umumnya sel epitel mengeluarkan mucus namun pada defisiensi vitamin A terdapat pengurangan sekresi mucus. Sel tersebut digantikan oleh keratin yang dihasilkan sel
pada jaringan tubuh secara khusus pada conjuntiva dan kornea mata, trakea, kulit dan jaringan ectodermal lainnya. Vitamin A juga dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang
yang normal. Bila kekurangan vitamin A, pemanjangan tulang akan terhambat. Oleh sebab itu anak-anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami pertumbuhan yang
terganggu. Bila diberikan suplemen, anak-anak akan memperoleh berat tubuh yang
lebih baik dan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Vitamin A juga penting untuk pembentukan enamel pada pertumbuhan gigi Olson 2001.
Molekul β-karoten dapat membentuk dua molekul retinol sedangkan α-karoten
dan β-kriptoxantin hanya sebagian yang aktif sebagai vitamin A. Nilai Internasional
Unit IU aktivitas vitamin A didasarkan pada hasil evaluasi biologis kemampuan suatu senyawa untuk mendukung pertumbuhan hewan coba dalam kondisi defisiensi vitamin
A 1 IU= 10.47 nmol retinol = 0.3 μg retinol bebas atau 0.344 μg retinil asetat. Karena
absorpsi karoten yang relatif rendah dan metabolisme yang tidak sempurna untuk menghasilkan retinol maka 6
μg β-karoten dinyatakan sama dengan 1 μg retinol ekuivalen RE dimana ratio molar dari 3.2 mol
β-karoten ekuivalen dengan 1 mol retinol. Saat ini dikenal pula istilah retinol activity equivalent RAE yang ditetapkan
oleh Institut Medicine 2001. 1 RAE = 1 μg all-trans retinol, 12 μg β-karoten dan 24
μg α-karoten atau β-kriptoxantin. Pada basis ini 1 IU aktivitas vitamin A = 3.6 μg β- karoten atau 7.2
μg karotenoid provitamin A lainnya Bender 2003.
2.7.4 Bioavailabilitas Karotenoid
Definsi bioavailabilitas menurut FDA Food and Drug Administration adalah kecepatan atau tingkat penyerapan senyawa aktif yang terkandung dalam obat Shi dan
Le Maguer 2000. Definisi ini juga berlaku buat senyawa aktif atau nutrisi yang terdapat dalam pangan. Jackson 1997 menjelaskan bahwa bioavailabilitas merupakan fraksi
nutrisi tercerna dari pangan yang dapat diserap oleh usus halus, dimetabolisme dan disimpan dalam tubuh. Hal ini dijelaskan pula oleh Boyer dan Liu 2004 bahwa
walaupun seluruh nutrisi dapat dikonsumsi, namun pada kenyataannya selama pencernaan tidak ada nutrisi yang secara keseluruhan dapat diubah menjadi bentuk yang
dapat diserap Bioavailabilitas nutrisi biasanya ditentukan dalam plasma darah manusia in vivo
assay sehingga terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain keragaman
individu, kondisi fisiologi, dosis, dan adanya komponen makanan lainnya Faulks dan Southon 2005. Bioavailabilitas karotenoid bervariasi dari 10 pada bahan segar hingga
50 pada minyak dan produk komersial Deming dan Erdman 1999. Papas 1999 menjelaskan bahwa bioavailabilitas karotenoid dari bahan pangan, ekstrak atau produk
sintetik sangat beragam karena dipengaruhi oleh proses pengolahan dan penyimpanan pangan.
Penentuan bioavailabilias dapat dilakukan secara in vivo dengan menggunakan manusia atau secara in vitro yang menirukan kondisi yang terjadi di dalam tubuh.
Metode in vivo secara langsung memberikan data bioavailabilitas dan biasanya digunakan untuk pangan dan nutrisi yang memiliki keragaman atau variasi yang tinggi.
Respon ditentukan setelah manusia atau hewan percobaan mengkonsumsi nutrisi tunggal alami atau sintetik yang kemudian dibandingkan dengan dosis nutrisi yang
sama yang berasal dari sumber pangan Yeum dan Russel 2002. Zakaria et al. 2000 melaporkan bahwa pada pengujian bioavailabiltas
karotenoid bahan pangan karbohidrat tinggi dengan berbagai cara pengolahan, nilai FAR faktor akumulasi retinol yang merupakan nilai konversi provitamin A mendekati
atau melebihi nilai FAR vitamin A sintetik 15.9. Nilai FA terbaik adalah pada kelompok tikus yang diberikan diet pisang dengan perlakuan kering beku yaitu sebesar
12.09. Hal ini berarti dari 2.09 μg β-karoten pisang yang dikonsumsi akan dihasilkan 1
μg retinol. Pengujian biovailabilitas karotenoid produk bahan pangan lainnya dilaporkan
oleh Meridian 2000 yang melakukan pengujian terhadap minuman emulsi karoten minyak sawit dengan nilai FAR sebesar 19.09. Wylma 2003 menjelaskan pula bahwa
pengujian bioavailabilitas karotenoid terhadap bubuk daun cincau hijau menunjukkan nilai FAR sebesar 113.21.
2.7.5 Mekanisme Karotenoid sebagai Antioksidan
Karotenoid yang dikonsumsi baik dari makanan maupun dari suplemen dapat bersifat sebagai antioksidan melalui quenching singlet oxygen dan scavenging free
radical .
β-karoten merupakan quencher peredam singlet oksigen yang paling baik. Menurut Foote 1976, 1 molekul
β-karoten dapat meredam 250-1000 molekul singlet oksigen pada kecepatan 1.3x10
10
M
-1
S
-1
. Transfer energi dari singlet oksigen ke peredamnya akan menghasilkan pembentukan triplet oksigen dan triplet-state quencher
dengan reaksi berikut :
1
O
2
+ CAR
3
O
2
+
3
CAR Halliwell Gutteridge 1999.
Kecepatan quenching singlet oxygen oleh karotenoid sangat tergantung pada jumlah ikatan konjugasinya. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah jenis dan jumlah
gugus fungsi pada bagian cincin molekul karotenoid yang berpengaruh terhadap
kelarutan karotenoid. Kobayashi dan Sakamoto 1999 membandingkan aktivitas quenching
dari β-karoten dan astaxanthin, kemudian melaporkan bahwa aktivitas
quenching astaxanthin menurun dengan meningkatnya sifat hidrofobik, dan sebaliknya
terjadi peningkatan quenching β-karoten. Lebih lanjut Lee dan Min 1990
mengevaluasi efektivitas 5 karotenoid dalam quenching terhadap klorofil dengan sensitizer photooksidasi pada minyak kedelai. Data yang diperoleh menunjukkan
efektivitas quenching meningkat dengan semakin banyaknya ikatan rangkap pada karotenoid dan jumlah karotenoid yang ditambahkan. Menurut Beutner et al. 2000,
karotenoid dengan 7 atau lebih sedikit ikatan rangkap kurang efektif sebagai quencher karena tidak dapat menerima energi dari singlet oksigen.
Proses autooksidasi seperti peroksidasi lipid berhubungan dengan reaksi rantai radikal yang melibatkan radikal peroksil ROO . Antioksidan pemutus rantai tersebut
seperti halnya karotenoid dapat menghambat kecepatan dan efisiensi pengikatan scavenging radikal bebas dengan reaksi sebagai berikut:
Initiator + RH R Tahap inisiasi R + O
2
ROO Tahap propagasi ROO + RH ROOH + R
ROO + ROO Produk Terminasi ROO + CAR ROOH + CAR Penghambatan oleh karotenoid
Hasil radikal turunan antioksidan CAR tidak sesuai untuk propagasi reaksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terjadinya reaksi abstraksi atom H atau reaksi
dengan oksigen membentuk radikal peroksil lainnya Krinsky et al. 2004. Packer et al. 2005 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara struktur
karotenoid dan kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas yang diuji secara in vitro
. Diduga diwali dengan pembukaan cincin β-ionone, kemudian penambahan gugus
kimia pada cincin β-ionone atau pergantian cincin β-ionone dengan gugus fungsi dapat
mengubah kapasitas antioksidan. Setelah mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan kemampuan menangkap kation radikal 2,2’-azino-bis-3-ethyl-benzthiazoline-6-
sulfonate diammonium salt ABTS, karoten dengan 11 ikatan rangkap konjugasi lebih aktif menangkap radikal dibandingkan dengan xantofil kecuali pada
β-kriptoxantin.
Pengikatan radikal secara in vivo akan berhubungan dengan pencegahan beberapa penyakit. Konsumsi pangan kaya karotenoid seperti buah-buahan dan sayur-
sayuran dapat menurunkan resiko perkembangan tipe kanker tertentu. Ziegler 1989 melaporkan bahwa konsentrasi
β-karoten plasma yang tinggi dapat menurunkan resiko penyakit kanker paru-paru. Menurut Bendich dan Olson 1989, pada pengujian in vivo
dan in vitro, β-karoten menunjukan efek proteksi membran lipid, LDL Low Density
Lipoprotein dan lipid hati dari oksidasi yang diinduksi oleh radikal bebas karbon
tetraklorida.
2.8 Vitamin E
Tidak ada minyak nabati yang memiliki kandungan vitamin E yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kelapa sawit Chow 1992. Vitamin E secara alami ada
dalam delapan bentuk yang berbeda atau isomer, empat tokoferol dan empat tokotrienol. Secara alami minyak sawit mengandung alfa, beta, gamma, dan delta tokoferol dan alfa,
beta, gamma, dan delta tokotrienol. Tokotrienol adalah vitamin E telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan dan antikanker. Tokotrienol pada aktivitas enzim hati
dapat membantu menurunkan kadar kolesterol jahat tanpa pengurangan kolesterol baik. Sifat antioksidan pada vitamin E memberi banyak manfaat bagi tubuh manusia, seperti
mencegah penuaan kulit, mencegah oksidasi lemak, mengurangi tekanan darah. Tokotrienol pada sawit telah terbukti melindungi protein dari stress oksidatif dan
menjegah peroksidasi lipida Ebong et al.1999. Asam lemak tidak jenuh mengandung tokoferol tinggi, tokoferol dipercaya
dalam pencegahan penyakit jantung dan kanker Wong et al. 1988. Pemberian α-
tokoferol pada anak-anakyang menderita defisiensi vitain A ternyata dapat menaikkan konsentrasi retinol plasmanya. Hal ini berhubungan dengan kerja vitamin E yang
mencegah oksidasi vitamin A. Selain berfungsi sebagai antioksidan, vitamin E juga berperan dalam sintesis asam nukleat, pembentukan sel darah merah dan sintesis
koenzim A yang penting dalam proses pernafasan Winarno 1995.
2.9 Radikal Bebas dan Kerusakan Sel 2.9.1 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang merupakan senyawa dengan elektron yang tidak berpasangan. Senyawa atau atom tersebut berusaha mencapai
keadaan stabil dengan jalan menarik elektron lain sehingga terbentuk radikal baru. Reaksi radikal bebas ini berlangsung secara berantai cascade reaction Jakus 2002.
Radikal bebas dapat berasal dari sumber endogenus yaitu pada reaksi reduksi oksidasi normal dalam mitokondria, peroksisom, detoksifikasi senyawa senobiotik,
metabolisme obat-obatan dan fagositasi. Sedangkan radikal bebas dari sumber eksogenus berasal dari asap rokok, radiasi, inflamasi, latihan olahraga berlebihan, diet
tinggi asam lemak tidak jenuh, dan karsinogen Langseth 1995. Radikal bebas dapat bersifat positif dan negatif. Sifat positifnya antara lain
dalam jumlah terkontrol berperan dalam proses fungsi biologis, misalnya dalam bakterisidal dan bakteriolisis. Juga beperan sebagai mediator respon terhadap infeksi
patogen, sebagai signal apoptosis sel atau jalur signal tranduksi, second messenger serta berperan pada sintesis eikosanoid. Sifat negatif radikal bebas adalah dapat
menyebabkan stres oksidatif. Hal ini terjadi karena terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Radikal bebas dalam jumlah berlebihan sementara
jumlah antioksidan seluler lebih sedikit sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel Costa et al. 2005. Pengukuran radikal bebas dalam sistem biologi dilakukan secara
langsung dan tidak langsung. Teknik pengukuran langsung yaitu RPE Resonan Paramagnetik Elektronik RPE dan Proton Magnetik Resonansi Resolusi Tinggi
PMRRT. Teknik tersebut menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal radikal bebas pada sistem in vivo. Pengukuran secara langsung sangat sulit dilakukan
karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga sering dilakukan dengan metode pengukuran tidak langsung melalui pengukuran produk turunan seperti malondialdehida
MDA dan 4-hidroksinonenal. Dua turunan tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid Nabet 1996.
2.9.2 Kerusakan Sel
Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi esensial sel. Target kerusakan sel yaitu: 1 lipida melalui oksidasi
PUFA poly unsaturated fatty acid dengan tahapan inisiasi, propagasi dan terminasi; 2 protein glikoprotein melalui inaktivasi enzim, mengikat protein atau reseptor; 3
DNA melalui perusakan penyusun DNA asam nukleat, lipoprotein, dan karbohidrat pada tahap mutasi, inisiasi dan promosi kanker Costa et al. 2005.