2.1.1.3 Kebijakan Perusahaan dalam CSR
Menurut Steiner 1997 yang dikutip oleh Mulyadi 2007 menyatakan bahwa kebijakan dianggap sebagai pedoman untuk bertindak atau saluran untuk berfikir.
Secara lebih khusus, kebijakan adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh bidang tempat tindakan atau yang dilakukan. Kebijakan
biasanya berlangsung lama serta cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa peninjauan dan penyempuranaan.
Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan menentukan petunjuk yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan
dan untuk menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan. Berikut ini akan disajikan beberapa model yang menyangkut perangkat lengkap
kebijakan yang mengatur aktivitas sosial perusahaan menurut Steiner 1997 sebagaimana dikutip Mulyadi 2007.
1 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mempertimbangkan tanggung jawab
sosialnya dengan seksama. Kebijakan ini tidak mengikat perusahaan dalam program sosial tertentu, tetapi mengungkapkan bahwa perusahaan merasa
tanggung jawab sosialnya yang pertama adalah memikirkan tanggung jawab sosialnya dengan seksama.
2 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk benar-benar memanfaatkan keringanan
pajak melalui kontribusi. Kebijakan ini hanya memanfaatkan undang-undang perpajakan tetapi tidak mengikat perusahaan di luar kedermawanan minimum
yang diperlihatkan saat sekarang kecuali apabila perusahaan merasa bahwa laba yang didapat cukup tinggi untuk memberi sesuatu lebih banyak.
3 Perusahaan menetapkan kebijakan memikul biaya sosial dalam operasi
perusahaan tanpa mengorbankan posisi kompetisi atau keuangannya. Kebijakan ini menyatakan bahwa perusahaan ingin menghindari dampak negatif operasi
terhadap masyarakat sejauh yang dapat dilakukan oleh perusahaan. 4
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosialnya pada tujuan terbatas. Perusahaan dapat mencapai lebih banyak kegiatan apabila
memiliki bidang-bidang tertentu agar dapat memusatkan upaya yang dilakukan, sehingga perusahaan menetapkan batas tertentu pada program sosial.
5 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosial pada
sejumlah bidang yang secara strategis berkaitan dengan fungsi perusahaan pada saat sekarang dan masa mendatang.
6 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memperlancar tindakan karyawan yang
dapat dilakukan sebagai perorangan dan bukan sebagai wakil resmi perusahaan. Perusahaan tidak memaksa karyawan untuk terlibat dalam aktivitas yang lebih
baik bagi masyarakat, tetapi perusahaan mendorong dan menyediakan sarana bagi para karyawan untuk memenuhi kepentingan sosial mereka.
7 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji ulang peluang produk dan
jasa yang memungkinkan perusahaan mendapatkan laba dan meningkatkan kepentingan sosial; tetapi tidak semua tindakan sosial perlu dilakukan hanya
untuk memperoleh keuntungan. 8
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengambil tindakan atas nama tanggung jawab sosial tetapi tidak berarti harus mengorbankan tingkat
keuntungan yang diperluukan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan dinamika yang diinginkan manajemen puncak.
9 Perusahaan menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan responsif secara
sosial atas dasar keberlanjutan dan bukan bersifat ad hoc, sewaktu-waktu, atau untuk waktu yang singkat. Kebijakan ini didasarkan atas keyakinan bahwa
persahaan akan dapat menimbulkan pengaruh yang lebih besar dengan biaya sedikit, melalui program berkelanjutan dibandingkan dengan melakukan
tindakan yang terputus-putus. 10
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji kebutuhan sosial yang perlu ditanggapi perusahaan, kontribusi yang dapat diberikan, resiko yang mungkin
timbul, dan kemungkinan manfaatnya bagi perusahaan dan masyarakat. Kebijakan ini mengingatkan agar “melihat sebelum melompat”. Kebijakan ini
mendorong agar perusahaan mengambil tindakan yang terorganisir, nalar, sistematis dan berlangsung dalam periode waktu tertentu.
2.1.2 Pengembangan Masyarakat 2.1.2.1 Konsep dan Definisi Pengembangan Masyarakat
Dalam bukunya Ambadar 2008 mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekadar
aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain: community relation. Pemberdayaan masyarakat comdev intinya adalah bagaimana individu atau komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka menurut Shardlow 1998 dalam Ambadar
2008. Keragaman dalam menginterpretasikan beberapa pendekatan pengembangan masyarakat semakin meluas mulai dari perbedaan orientasi sampai dengan berbagai
tujuan-tujuan. Menurut Suharto 2005 pengembangan masyarakat adalah satu model
pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada
prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat merujuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat terlibat
dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial atau usaha kesejahteraan sosial.
Community Development comdev memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan
mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian dilakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Comdev seringkali diimplementasikan dalam bentuk a
proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui b kampanye dan aksi sosial
yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab Payne, 1995
4
. Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi
prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial menurut
Ambadar 2008. Sementara Shardlow 1998 dalam Ambadar 2008 menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat adalah bagaimana individu, kelompok atau
4
Jackie Ambadar. 2008. CSR dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.
Upaya pemberdayaan yang cenderung tidak melihat mereka sebagai suatu komunitas dan bersifat charity sumbangan seolah-olah hanya mempersubur eksistensi
mereka. Dalam kaitan dengan upaya pemberdayaan pada level komunitas, Rothman 1995 yang dikutip oleh Adi 2003 menggambarkan bahwa proses pemberdayaan
masyarakat melalui intervensi komunitas ini dapat dilakukan melalui beberapa model pendekatan intervensi, seperti pengembangan masyarakat lokal, perencanaan dan
kebijakan sosial, dan aksi sosial. Dari ketiga model intervensi di atas, maka proses pemberdayaan terhadap masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan yang bersifat
konsensus seperti pengembangan masyarakat lokal, kepatuhan seperti pendekatan perencanaan dan kebijakan sosial, atau pun melalui pendekatan konflik seperti aksi
sosial. Dunham 1958 dikutip oleh Adi 2003 menyatakan lima prinsip dasar yang
amat penting bagi mereka yang berminat pada pengorganisasian masyarakat atau pengembangan masyarakat, yaitu:
1 Penekanan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat 2 Perlu adanya pendekatan antar tim dalam pengembangan masyarakat
3 Kebutuhan akan adanya community worker yang serba bisa pada wilayah pedesaan
4 Pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal 5 Adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam pengembangan
masyarakat Tahapan dalam pengembangan masyarakat yang biasa dilakukan pada beberapa
Organisasi Pelayanan Masyarakat, yaitu: 1. Tahap persiapan, didalamnya terdapat tahap penyiapan petugas dan penyiapan
lapangan yang merupakan prasyarat. 2. Tahap assessment, dengan mengidentifikasi masalah kebutuhan yang dirasakan =
felt needs dan juga sumber daya yang dimiliki klien.
3. Tahap perencanaan alternatif program suatu kegiatan, agen peubah community worker secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berfikir tentang
masalah yang mereka hadapi dan bagaimana mengatasinya. 4. Tahap pemformulasian rencana aksi, agen peubah community worker membantu
masing-masing kelompok untuk memutuskan dan menentukan program dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
5. Tahap pelaksanaan, sesuatu yang sudah direncanakan akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara agen peubah
dengan warga masyarakat. 6. Tahap evaluasi, sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap
program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga.
7. Tahap terminasi, merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan komunitas sasaran.
Indikator keberhasilan suatu program pembangunan komunitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebersamaan yang dijalin antar pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan
komunitas lokal yang terlihat dalam partisipasi dan keberlanjutan sustainability. Partisipasi dapat dilihat sebagai keterlibatan para pihak di dalam mengelola program-
program community development. Secara mendasar, partisipasi bukanlah milik dari komunitas lokal, akan tetapi semua pihak harus berpartisipasi. Ada dua motivasi utama
yang mendasari perusahaan melakukan program CSR yaitu, pertama bersifat akomodatif kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik dan tidak lengkap, CSR
dilakukan untuk memberi citra sebagai perusahaan yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Kedua, bersifat legitimatif dengan tujuan untuk mempengaruhi wacana yang
bermanfaat sebagai langkah awal dalam proses “metamorfosa” menjadi program CSR yang benar.
Sedangkan menurut Jack Rothman dalam Suharto 2005 model-model pengembangan masyarakat mengembangkan tiga model yang berguna dalam
memahami konsepsi tentang pengembangan masyarakat yaitu,
pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial, dan aksi sosial. Paradigma ini merupakan format
ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi. Mengacu pada dua perspektif yang dikemukakan di atas, model pertama dan kedua sejalalan
dengan perspektif professional, sedangkan model ketiga lebih dekat dengan perspektif radikal.
Menurut Rudito dan Famiola 2007 lancar atau terhambatnya jalan sebuah korporasi tergantung pada kepekaan perusahaan dalam memperhatikan dan mengingat
gejala sosial budaya yang ada disekitarnya, seperti munculnya kecemburuan sosial akibat dari pola hidup dan pendapatan yang sangat jauh berbeda antara perusahaan
karyawan perusahaan dengan komunitas sekitar. Dalam kenyataannya, komunitas lokal tidak hanya berdiri pada sisi lingkungan sosial perusahaan, akan tetapi juga berada
di dalam perusahaan sebagai karyawan. Untuk itu diperlukan suatu wadah program yang berguna untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial
ekonomi mereka sendiri, maka diciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas yang sering disebut sebagai community development yang mempunyai tujuan untuk
pemberdayaan komunitas empowerment. Keberlanjutan sendiri memiliki pengertian sebagai strategi program yang
dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas yang dapat dilihat dari sisi-sisi manusia human, sosial social, lingkungan environment dan ekonomi economic.
Sehingga dengan adanya keberlanjutan, suatu usaha dapat dinikmati tidak hanya oleh generasi pada masa sekarang saja, akan tetapi juga oleh generasi selanjutnya dalam
bentuk alih teknologi maupun bentuk pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu perangkat dalam melaksanakan community development yang baik adalah
menempatkan audit sosial sebagai perangkat terakhir untuk menjadi awal dalam proses selanjutnya.
2.1.2.2 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat