Respon Bidan PTT Terhadap Program Jaminan Persalinan di Kabupaten Langkat Tahun 2013

(1)

RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Oleh

RUSDIANA HARAHAP 117032152/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSDIANA HARAHAP 117032152/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Rusdiana Harahap Nomor Induk Mahasiswa : 117032152

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes)

Ketua Anggota

(Drs. Tukiman, M.K.M)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 24 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. Dra. Syarifah, M.S


(5)

PERNYATAAN

RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMPERSAL DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

Rusdiana Harahap 117032152/IKM


(6)

ABSTRAK

Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis respon bidan PTT terhadap program jampersal di Kabupaten Langkat dan diharapkan bermanfaat bagi bidan PTT itu sendiri.

Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat pada bulan Januari sampai Juni 2013 dengan jumlah informan 11 orang. Data diperoleh melalui proses wawancara terbuka dan mendalam (indepth interview) sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program EZ test.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa respon bidan PTT di Kabupaten Langkat terhadap jampersal adalah tidak begitu baik, hal ini terlihat dari pengetahuan para informan yang masih rendah, sikap dan persepsi mereka yang cenderung negative atau tidak menyukai program tersebut serta dalam pelaksanaannya para bidan PTT tetap meminta jasa kepada para pasien serta masih mengarang laporan data untuk pengklaiman.

Bagi Pengelola Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk mensosialisasikan program jampersal secara lebih terbuka kepada para bidan serta mengontrol proses pelaksanaannya di lapangan.


(7)

ABSTRACT

The achievement of health status is characterized by the decrease of Infant Mortality Rate, Maternal Mortality Rate, the prevalences of undernourishment and poor nutrition and the improvement of life expectancy. Various efforts have been done to minimize maternal mortality rate and infant mortality rate and the latest breakthrough initiated in 2011 is Jaminan Persalinan (Delivery Insurance) was used to improve the access of community to pregnancy health service, delivery, postpartum including the postpartum family planning, and newborn care service by health workers whose expenses were borne by the government.The purpose of this study was to analyze the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District.

This descriptive qualitative study was conducted in Langkat District from January to July 2013. The data for this study were obtained through indept-interview with 11 informants and the data obtained were processed and analyzed through EZ test program.

The result of interviews showed that the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District was not so good. This condition was clearly seen from the low level knowledge of the informants and the negative attituide and perception of the informants. In the implementation of Jampersal (Delivery Insurance) program, the midwives under temporary employee status still asked for some fees from the patients and made up the data reports for claiming.

The management of Langkat District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) is suggested to more openly socialize the Jampersal program to the midwives and to control the process of this Jampersal program implementation in the field.

Keywords: Response, Midwife Under Temporary Employee Status, Delivery Insurance


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat kesehatan lahir dan batin, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul Respon Bidan PTT terhadap Program Jampersal di Kabupaten Langkat Tahun 2013.

Penyusunan tesis ini diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes selaku dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(9)

5. Drs. Tukiman, M.K.M selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini

6. Dra. Syarifah, M.S selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

7. Siti Khadijah, S.K.M, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

8. Seluruh dosen minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, semoga ilmu pengetahuan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT.

9. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, Bapak dr. H. Gunawan, M.Kes yang telah memberikan izin penelitian serta dukungan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10.Rekan – rekan Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kepala Puskesmas Se-Kabupaten Langkat beserta staf yang telah bersedia memberikan informasi dan data sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

11.Suami tercinta Muhammad Faisal Hasibuan, S.K.M yang telah banyak memberikan motivasi, kasih sayang dan pengorbanan baik dari waktu dan materi serta buah hati tersayang Aqila Balqis Anfadin Hasibuan, Allysa Meyrusfa Hasibuan dan Ameera Norin Afdina Hasibuan sebagai penyemangat demi suksesnya pendidikan ini.


(10)

12. Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Muhammad Thamrin Hasibuan, MBA dan Hj. Norma br Surbakti serta seluruh Saudara dan Saudari ku yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat untuk penyelesaian pendidikan ini

13.Seluruh rekan – rekan seperjuangan di S2 IKM Peminatan PKIP Angkatan 2011 atas segala dukungan, motivasi dan kebersamaannya

14.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penyusunan tesis ini.

Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT meridhai kita semua.

Medan, Oktober 2013 Penulis,

Rusdiana Harahap 117032152/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Rusdiana Harahap, lahir di Tangkahan Durian pada tanggal 17 November 1983, beragama Islam, merupakan anak ke 8 dari 9 bersaudara dengan nama ayah H. Abdul Halim Is Harahap dan Ibu Hj. Siti Hawa Hasibuan. Mempunyai 2 orang anak yakni Aqila Balqis Anfadin Hasibuan, Allysa Meyrusfa Hasibuan dan Ameera Norin Afdina Hasibuan dari suami yang bernama Muhammad Faisal Hasibuan, S.K.M , anak dari H. Muhammad Thamrin Hasibuan, MBA dan Hj. Norma br Surbakti, S.K.M. Penulis tinggal dan menetap di Jalan Tanjung Pura Dusun Kedondong Barat Desa Jentera Stabat No. 40 Kecamatan Wampu Stabat Lama Kabupaten Langkat.

Pendidikan formal diawali dari SD Negeri 054940 Tangkahan Durian yang lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Tsanawiyah Alwashliyah Pangkalan Berandan yang diselesaikan pada tahun 1999, setelah itu melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri I Babalan dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama kemudian penulis melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi yakni Akademi Kebidanan Pemerintah Kabupaten Langkat dan selesai tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan D IV Bidan Pendidik di Politeknik Kesehatan Negeri Medan dan selesai pada tahun 2007. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang berlangsung hingga saat ini.


(12)

Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai Dosen Kebidanan di Akademi Kebidanan Kabupaten Langkat pada tahun 2005 sampai sekarang, kemudian penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2006sampai 2010 bertugas sebagai staf Poliklinik Kebidanan di Puskesmas Sei Bamban Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Pada Tahun 2010 sampai sekarang penulis berpindah tugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat sebagai staf Seksi Promosi Kesehatan dan Peran Serta Masyarakat Bidang Pemberdayaan Kesehatan Lingkungan Masyarakat.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1. Respons ... 16

2.1.1 Defenisi Respons ... 16

2.1.2 Domain Perilaku ... 17

2.2 Persepsi ... 22

2.2.1 Defenisi Persepsi ... 22

2.2.2 Aspek Persepsi ... 24

2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 25

2.2.4 Proses Terbentuknya Persepsi ... 27


(14)

2.3.1 Pengertian Bidan ... 29

2.3.2 Bidan di Komunitas ... 30

2.3.3 Sasaran Bidan di Komunitas ... 32

2.3.4 Tujuan Bidan di Komunitas ... 32

2.3.5 Hak dan Kewajiban Bidan... 33

2.3.6 Pelayanan Kebidanan ... 38

2.4. Kebijakan Kesehatan ... 39

2.4.1. Defenisi Kebijakan Kesehatan ... 39

2.4.2. Segitiga Kebijakan Kesehatan ... 40

2.4.3. Implementasi Kebijakan Kesehatan... 42

2.4 Jaminan Persalinan (Jampersal) ... 44

2.4.1 Defenisi Jampersal ... 44

2.4.2 Tujuan Jampersal ... 45

2.4.3 Sasaran Jampersal ... 45

2.4.4 Manfaat Jampersal ... 46

2.4.5 Kebijakan Operasional Jampersal... 47

2.4.6 Ruang Lingkup Pelayanan Jampersal ... 49

2.4.7 Ketentuan Pendanaan ... 51

2.4.8 Besaran Tarif Pelayanan ... 52

2.4.9 Pencairan Klaim ... 53

2.4.9 Indikator Keberhasilan ... 53

2.4.10 Pemantauan dan Evaluasi ... 54

2.5. Kerangka Pikir ... 54

BAB 3. METODE PENELITIAN... 56

3.1 Jenis Penelitian ... 56


(15)

3.2.1 Lokasi ... 56

3.2.2 Waktu Penelitian ... 56

3.3 Pemilihan Informan ... 56

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 58

3.4.1 Data Primer... 58

3.4.2 Data Sekunder ... 58

3.5 Metode Pengolahan Dan Analisa Data ... 59

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 60

4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Langkat ... 60

4.1.2. Pertumbuhan Penduduk... 64

4.1.3. Agama ... 66

4.1.4. Sarana Kesehatan ... 66

4.1.5. Situasi Derajat Kesehatan ... 72

4.2. Hasil Penelitian ... 81

4.2.1. Karakteristik Informan ... 81

4.2.2. Pengetahuan Informan ... 83

4.2.3.Sikap Bidan terhadap Program Jampersal ... 92

4.2.4. Persepsi Bidan terhadap Program Jampersal ... 93

4.2.5. Pelaksanaan Jampersal Oleh Bidan ... 96

4.3. Bidan Praktek Swasta ... 101

4.4. Pengelola Jampersal (Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan Bidan Koordinator) ... 105

BAB 5. PEMBAHASAN ... 112

5.1. Pengetahuan ... 112

5.1.1. Pengertian dan Tujuan Jampersal ... 117


(16)

5.1.3. Syarat Peserta agar Mendapatkan Pelayanan Jampersal ... 122

5.1.4. Pendanaan dan Jumlah Jasa yang Diterima Bidan Per Pasien TiapLayanan ... 123

5.2. Sumber Informasi ... 125

5.3. Sikap ... 126

5.4. Persepsi ... 128

5.5. Pelaksanaan Jampersal ... 134

5.6. Keberhasilan Program Jampersal ... 146

BAB 6. KESIMPULAN ... 148

6.1. Kesimpulan ... 148

6.2. Saran ... 151

DAFTAR PUSTAKA ... 153 LAMPIRAN


(17)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Besar Tarif Pelayanan Jampersal ... 51

4.1. Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 61

4.2. Jumlah Desa/Kelurahan Per Puskesmas di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 62

4.3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur ... 65

4.4. Jarak Puskesmas ke Stabat di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 67

4.5. Jumlah Bidan PTT Per Puskesmas di Kabupaten Langkat ... 68

4.6 Jumlah Posyandu Per Puskesmas di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 70

4.7. AKI, AKB dan Angka Kematian Balita di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 73

4.8. Jumlah Kunjungan K1 dan K4 Pada Ibu Hamil di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 75

4.9. Jumlah Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ... 78

4.10. Jumlah Ibu Nifas yang Mendapat Pelayanan Kesehatan ... 79

4.11. Karakteristik Informan ... 81

4.12. Matriks Pengetahuan tentang Pengertian dan Tujuan Jampersal ... 83

4.13. Matriks Pengetahuan tentang Sasaran dan Pelayanan Dalam Jampersal ... 85


(18)

4.14. Matriks Pengetahuan Mengenai Pendanaan pada Tiap Pelayanan

Jampersal ... 86

4.15. Matriks Pengetahuan Tentang Syarat – Syarat Peserta Agar Dapat Pelayanan Jampersal ... 87

4.16. Matriks Jumlah Dana yang diterima Bidan PTT per Pasien Setiap Mendapatkan Pelayanan ... 88

4.17. Matriks Jumlah Dana yang diterima Bidan PTT per Pasien Sebelum Ada Jampersal ... 89

4.18. Matriks Pemberi Informasi tentang Jampersal Kepada Bidan ... 91

4.19. Matriks Sikap Bidan terhadap Program Jampersal ... 92

4.20. Matriks Persepsi Bidan terhadap Program Jampersal ... 93

4.21. Matriks Kendala Bidan terhadap Program Jampersal ... 95

4.22. Matriks Proses Pelaksanaan Jampersal oleh Bidan ... 96

4.23. Matriks Tempat Bidan Melakukan Pelayanan Jampersal ... 99

4.24. Matriks Penggunaan Informed Consent dalam Memberikan Pelayanan Jampersal ... 100

4.25. Pengetahuan BPS tentang Jampersal... 101

4.26. Sikap BPS terhadap Program Jampersal ... 103

4.27. Persepsi BPS terhadap Program Jampersal ... 104

4.28. Pelaksanan Jampersal oleh BPS ... 104

4.29. Pengetahuan Pengelola tentang Jampersal ... 105

4.30. Pendapat dan Sikap Pengelola terhadap Program Jampersal ... 107

4.31. Sosialisasi dan Pelaksanaan Jampersal di Lapangan ... 107

4.32. Matriks Kendala Jampersal dan Cara Mengatasinya di Lapangan ... 109


(19)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 54 1.2. Grafik Angka Kematian Ibu, Bayi dan Balita Tahun 2008 – 2012


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 153

2. Surat Izin Penelitian ... 156

3. Surat Balasan Penelitian ... 157


(21)

ABSTRAK

Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis respon bidan PTT terhadap program jampersal di Kabupaten Langkat dan diharapkan bermanfaat bagi bidan PTT itu sendiri.

Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat pada bulan Januari sampai Juni 2013 dengan jumlah informan 11 orang. Data diperoleh melalui proses wawancara terbuka dan mendalam (indepth interview) sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program EZ test.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa respon bidan PTT di Kabupaten Langkat terhadap jampersal adalah tidak begitu baik, hal ini terlihat dari pengetahuan para informan yang masih rendah, sikap dan persepsi mereka yang cenderung negative atau tidak menyukai program tersebut serta dalam pelaksanaannya para bidan PTT tetap meminta jasa kepada para pasien serta masih mengarang laporan data untuk pengklaiman.

Bagi Pengelola Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk mensosialisasikan program jampersal secara lebih terbuka kepada para bidan serta mengontrol proses pelaksanaannya di lapangan.


(22)

ABSTRACT

The achievement of health status is characterized by the decrease of Infant Mortality Rate, Maternal Mortality Rate, the prevalences of undernourishment and poor nutrition and the improvement of life expectancy. Various efforts have been done to minimize maternal mortality rate and infant mortality rate and the latest breakthrough initiated in 2011 is Jaminan Persalinan (Delivery Insurance) was used to improve the access of community to pregnancy health service, delivery, postpartum including the postpartum family planning, and newborn care service by health workers whose expenses were borne by the government.The purpose of this study was to analyze the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District.

This descriptive qualitative study was conducted in Langkat District from January to July 2013. The data for this study were obtained through indept-interview with 11 informants and the data obtained were processed and analyzed through EZ test program.

The result of interviews showed that the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District was not so good. This condition was clearly seen from the low level knowledge of the informants and the negative attituide and perception of the informants. In the implementation of Jampersal (Delivery Insurance) program, the midwives under temporary employee status still asked for some fees from the patients and made up the data reports for claiming.

The management of Langkat District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) is suggested to more openly socialize the Jampersal program to the midwives and to control the process of this Jampersal program implementation in the field.

Keywords: Response, Midwife Under Temporary Employee Status, Delivery Insurance


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk sekaligus indikator keberhasilan program pembangunan.Kesehatan berimplikasi pada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya (Dinkes Sumut, 2008)

Sehat selain sebagai salah satu hak dasar manusia, juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) bersama faktor pendidikan dan ekonomi menjadi ukuran untuk menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah, sehingga dengan memaksimalkan pelayanan kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Dinkes Sumut, 2008)

Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah dengan penyediaan fasilitas kesehatan terutama puskesmas dan puskesmas pembantu karena kedua fasilitas tersebut dapat menjangkau segala lapisan masyarakat hingga ke daerah terpencil. Upaya pemerintah mengutamakan pembangunan dibidang kesehatan mempunyai beberapa kepentingan antara lain meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara luas yang pada gilirannya akan


(24)

meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lebih dini lagi adalah untuk menurunkan angka kematian bayi/balita. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang baik selain dengan penyediaan berbagai fasilitas kesehatan, juga melalui penyuluhan kesehatan agar masyarakat dapat berperilaku hidup sehat. Adapun upaya untuk menilai keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan salah satunya adalah berdasarkan situasi derajat kesehatan. Oleh karena itu derajat kesehatan merupakan keharusan guna menilai hasil pelaksanaan program kesehatan yang dijalankan. Guna menilai keberhasilan pembangunan kesehatan maupun sebagai dasar dalam menyusun rencana untuk masa yang akan datang mutlak diperlukan analisa situasi derajat kesehatan tersebut (Depkes RI, 2012)

Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB), menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH), di Indonesia, AKB memang telah menurun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). AKI menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target yang akan dicapai sesuai kesepakatan MDGs tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup, sementara WHO memperkirakan jumlah AKI lebih tinggi yakni 420/100.00 KH. Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJM) menyampaikan target yang ingin di capai pada tahun 2014 adalah 118/110.000 KH. Tetapi pada


(25)

kenyataan SDKI memprediksikan pada tahun 2015 penurunan AKI hanya bisa mencapai 161/100.000 KH yang berarti di khawatirkan target MDGs tidak akan tercapai. Hal ini berarti menggunakan perhitungan apapun AKI tetap tinggi (Depkes RI, 2012)

Sumatera Utara pada tahun 2007 jumlah AKI mencapai 231/100.000 KH dan terus meningkat menjadi 249/100.000 KH pada tahun 2010. Tingkat kematian bayi juga tidak mengalami penurunan yakni 14/1000 KH pada tahun 2007 dan 22/1000 pada tahun 2010. Untuk Kabupaten Langkat sendiri jumlah kematian ibu semakin meningkat di tahun 2011 yakni 60,64/100.000 KH pada tahun 2008, 83,02/100.000 KH pada tahun 2010 dan 112,49/100.000 KH pada tahun 2011. Jumlah kematian bayi yakni 6,20/1000 KH pada tahun 2010 dan menurun sedikit 6,02/1000 KH pada tahun 2011 (Dinkes Langkat, 2011). Total kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 berkisar 11.534 kematian. Sumatera Utara berada pada peringkat keenam (6) sebagai penyumbang angka kematian di Indonesia yakni sekitar 3,6 % setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Banten dan Jawa Timur (SDKI, 2010).

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu maupun bayi adalah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Sesuai dengan pesan pertama kunci Making Pragnancy Safer (MPS) yaitu setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang di maksud adalah dokter dan bidan yang telah mempunyai keterampilan dan kompetensi, karena bila tidak di tangani oleh tenaga yang berkompetensi dikhawatirkan akan timbul masalah baru yang bisa berbahaya atau beresiko hilangnya nyawa ibu. Pada tahun 2010


(26)

pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 82,2%. MDGs menargetkan pada tahun 2015 pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 90%. Sementara dukun terlatih dapat dijadikan relasi bidan dalam menolong persalinan atau sebagai pendamping bidan saja (Riskesda, 2010).

Menurut hasi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SDKI) tahun 2010, penyebab kematian ibu hampir 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Lima puluh persen (50%) kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (27%) dan eklampsi (23%), sedangkan yang lain disebabkan oleh infeksi, abortus dan komplikasi persalinan lainnya. Resiko tingginya kematian ibu juga akibat adanya faktor keterlambatan yang menjadi penyebab tidak langsung kematian. Ada tiga resiko keterlambatan yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk, terlambat sampai ke fasilitas kesehatan dan terlambat memperoleh pelayanan memadai oleh tenaga kesehatan. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang kurang baik (gender) dan latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik serta kebijakan juga merupakan faktor penentu angka kematian (Riskesda, 2010).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan kematian ibu, bayi baru lahir, bayi dan balita, antara lain melalui penempatan bidan di desa, desa siaga pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan Buku Kesehatan Ibu dan Anak dan Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang keberhasilannya hanya mencapai 80% serta penyediaan fasilitas kesehatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergenci Dasar (PONED) di puskesmas yang kini berjumlah


(27)

1579 buah dan Perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) berjumlah 378 di rumah sakit. Namun kelihatannya tidak juga mencapai hasil yang maksimal untuk menurunkan AKI dan AKB (Riskesda, 2010).

Menurut SDKI 2010, cakupan K1, K4 dan persalinan normal di Indonesia belum mencapai hasil yang memuaskan sesuai dengan target. Propinsi Sumatera Utara cakupan K1 hanya mencapai 88%, K4 51,5% dan persalinan normal 87,4%, sementara target yang ingin di capai adalah 90%. Hal ini menandakan bahwa masyarakat atau ibu hamil khususnya belum maksimal menggunakan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ada.

Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan atau ansuransi kesehatan. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2012).

Menurut Yumarlis (2012), program Jampersal merupakan kepedulian negara untuk menggratiskan biaya persalinan dan melahirkan bagi seluruh lapisan masyarakat yang tidak dilindungi kartu Askes di kalangan pegawai negeri. Program Jampersal sendiri dimaksudkan untuk memutus mata rantai aktivitas warga yang selama ini masih menggunakan jasa dukun bayi untuk persalinan (Dinas Kesehatan Jember, 2011)


(28)

Berbeda dengan program Jamkesmas yang kepesertaannya ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan kriteria miskin, peserta program Jampersal cukup mendaftar ke puskesmas dan jaringannya, atau bidan praktik swasta yang sudah menjalin kerjasama untuk melayani peserta Jampersal. Syaratnya dengan menunjukkan identitas diri dan membuat pernyataan tidak mempunyai jaminan atau asuransi persalinan. Ibu hamil yang menjadi peserta Jampersal berhak memperoleh pelayanan jaminan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan atau ante natal care (ANC) disertai konseling KB dengan frekuensi empat kali, pertolongan persalinan, pelayanan bayi baru lahir, pelayanan nifas dengan frekuensi empat kali dan pelayanan KB pasca persalinan (Dinkes Jember, 2011).

Dari aspek ketepatan program dan sasaran, memperlihatkan bahwa program Jampersal terbukti berkontribusi dalam peningkatan cakupan kunjungan antenatal pertama (K1), kunjungan antenatal minimal 4 kali (K4), dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn). Melalui progam ini pada tahun 2012 pemerintah menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapat layanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2011).

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, Jampersal telah dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di seluruh tanah air dan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun demikian sebagai program yang masih relatif baru, pelaksanaan Jampersal tidak lepas dari berbagai kekurangan yang perlu dibenahi.


(29)

Pada kenyataannya, meskipun program ini cukup baik, masih ada juga ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilan dan bersalin ke fasilitas kesehatan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kunjungan K1 dan K4 ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya program jampersal dari pemerintah. Padahal program ini telah dipromosikan melalui media baik elektronik maupun media massa, bahkan sosialisasi telah dilakukan dengan bantuan ibu PKK dan para kader namun ternyata program ini belum juga sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Sebenarnya tidak sulit untuk mengikuti program jampersal, hanya butuh Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. Program ini tidak berbatas tempat tetapi pelayanan memang harus berjenjang, yaitu melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar dulu sebelum ke tingkat lanjutan, kecuali dalam kasus gawat darurat. Untuk bidan yang bernaung di dalam instansi pemerintah (bidan desa) bahkan memiliki kelebihan pelayanan selain yang tersebut di atas, yaitu askes dan jamkesmas. Tentunya dengan beberapa ketentuan yang berlaku, dan ibu hamil bisa dipersilahkan untuk memilih (Dinkes Sumut, 2012).

Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Trisnantoro 2012, di dapati bahwa untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur dan Papua Program Jampersal tidak berjalan dengan baik, hal ini terlihat dari peningkatan AKI yang naik sampai 30%, program ini juga dapat mengakibatkan keluarnya isu moral di masyarakat yakni digunakan untuk pasangan yang tidak jelas status pernikahannya untuk daerah Yogyakarta. Sementara untuk daerah Nusa Tenggara Timur dan Papua program ini hampir tidak dibutuhkan karena hanya sedikit masyarakat yang dapat


(30)

menikmati program ini yakni yang dekat dengan rumah sakit saja sementara akses untuk mencapai tempat tersebut cukup jauh, selain itu meskipun dikatakan gratis tetap saja pasien harus membayar obat (Trisnantoro, 2012)

Tidak jauh berbeda dengan Purwitasari 2012 dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa sebagian besar bidan (67%) memiliki pengetahuan yang baik tentang program Jampersal namun (54%) memiliki sikap negatif terhadap program Jampersal. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata meskipun pengetahuan mereka baik namun sebenarnya mereka belum bisa menerima program ini (Purwitasari, 2012).

Bidan swasta yang praktik di wilayah Kota Malang, Jawa Timur, masih banyak yang enggan melayani persalinan yang menggunakan jaminan persalinan atau jampersal, karena nilai subsidinya jauh dari biaya normal yakni hanya Rp. 600.000,-. Di Manokwari didapati IBI sebagai organisasi bidan ternyata belum pernah mendengar tentang program Jampersal, hal ini menandakan bahwa sosialisasi program ini memang benar-benar belum berjalan dengan baik (Dinas Kesehatan Malang dan Manokwari, 2012).

Permasalahan yang serupa juga terjadi di Margansang Bantul, yakni jumlah klaim rendah, pencairan lama, kunjungan pasien rendah dan meningkatnya pasien yang dirujuk ke rumah sakit oleh karena puskesmas hanya melayani yang normal saja. Selain itu pengguna program berasal dari keluarga yang tergolong mampu sehingga dana terkesan mubazir, maka sebaiknya program ini lebih baik diperuntukkan kepada masyarakat tidak mampu saja (Dinas Kesehatan Bantul, 2012).


(31)

Banyaknya terdengar kabar bahwa uang jasa tidak dibayar secara rutin dan jumlahnya sedikit juga menjadi alasan mengapa para bidan menolak mengikuti program ini. Hal tersebut menjadi wajar, sebab biasanya para bidan yang membuka praktek dan melayani persalinan, menerima bayaran secara cash (tunai) dari pasien, namun kini dapat menunggu sampai berbulan-bulan pelayanan mereka baru mendapatkan pembayaran, dikhawatirkan keterlambatan tersebut akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat (Kemenkes, 2012).

Banyaknya permasalahan yang muncul di daerah oleh karena rendahnya jumlah klaim, maka pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan baru tentang petunjuk tekhnis jaminan persalinan untuk tahun 2012 berisi tentang penambahan jumlah pembayaran untuk persalinan yang awalnya Rp. 350.000,- menjadi Rp. 500.000,-, kemudian tarif ANC dan PNC yang awalnya hanya Rp. 10.000,- menjadi Rp. 20.000,- per sekali kunjungan dimana frekwensi kunjungan yang di tanggung adalah sebanyak 4 kali (Dinkes Sumut, 2012).

Kabupaten Langkat adalah salah satu kabupaten yang menerima dana Jampersal dari pemerintah. Pada April 2011 program ini mulai disosialisasikan pihak Dinas Kesehatan kepada para bidan puskesmas (bidan PTT) dan Bidan Praktek Swasta (BPS) / Klinik Bersalin. Namun sampai akhir tahun 2011 ternyata program ini belum tersosilisasi dengan baik ke seluruh puskesmas. Dari 30 puskesmas yang ada hanya 23 puskesmas yang tersosialisasikan, sementara untuk BPS dan Klinik Bersalin hanya 30 buah yang mengadakan Perjanjian Kesepakatan dengan Dinas Kesehatan padahal jumlah BPS/Klinik Bersalin cukup banyak yakni sekitar 292 buah. Oleh


(32)

karena program ini belum tersosialisasi secara merata Dinas Kesehatan harus mengembalikan dana sebesar 3 Milyar pada pemerintah dari 9 Milyar yang diterima. Sesuai dengan target yang dinginkan, Pencapaian K1 mencapai 97,84 dan K4 91,50% dari 22.452 orang ibu hamil, serta pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 96.61% namun tetap disayangkan ternyata AKI meningkat pada tahun tersebut yakni mencapai 112, 49/100.000 KH padahal pada tahun 2010 hanya mencapai 83,02/100.000 KH (Dinkes Langkat, 2012).

Pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat menerima dana sebesar 13 Milyar untuk program jampersal. Dana ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya hanya sosialisasi ke seluruh puskesmas saja yang terpenuhi, sementara untuk BPS/Klinik Bersalin tidak mengalami penambahan sampai akhir Desember 2012 kemarin.

Tidak diketahui secara pasti mengapa BPS/Klinik Bersalin enggan mengikuti program ini, namun dari pihak pengelola program mengatakan bahwa alasan mereka tidak mengikuti program ini terjadi karena rendahnya dan lamanya pencairan klaim, banyaknya persyaratan dan proses yang harus dibuat atau dilakukan serta kemampuan yang terbatas dari pihak pimpinan BPS/Klinik Bersalin. Hal ini bisa diterima oleh pihak pengelola karena memang sebenarnya hal tersebut adalah merupakan kendala dari program Jampersal (Dinkes Langkat, 2012).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti pada tahun 2012 kunjungan K1 dan K4 mengalami kenaikan namun peningkatan tersebut belum dapat dijelaskan oleh pihak KIA dari Dinas Kesehatan, hanya saja tetap mereka mengatakan bahwa


(33)

AKI juga mengalami peningkatan yang cukup besar yakni sekitar 35 orang. (Dinkes Langkat, 2012).

Selain BPS/Klinik Bersalin, Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah salah satu fasilitator program jampersal. Jumlah bidan PTT mencapai 540 orang, yang tersebar di 277 desa baik terpencil maupun biasa di seluruh Kabupaten Langkat. Desa-desa ini berada di bawah naungan 30 puskesmas (9 puskesmas Ponek dan 21 puskesmas Poned) di 23 kecamatan. Mereka merupakan ujung tombak dan diwajibkan oleh dinas kesehatan untuk melaksanakan jampersal di masyarakat. Mereka telah digaji oleh pemerintah pusat dan ditugaskan untuk menetap di desa karena telah dianggap memiliki keterampilan dan mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan di masyarakat. Namun dalam pelaksanaan program jampersal tidak ada perbedaan prosedur dan pendanaan bagi para bidan PTT meskipun telah menerima gaji setiap bulannya. Meraka tetap berhak mendapatkan klaim sesuai dengan pendanaan yang telah ditentukan dalam petunjuk tekhnis jampersal. Jika terdapat perbedaan hanya pada perjanjian kesepakatan saja, bila BPS/Klinik bersalin langsung membuat surat kesepakatan atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas kesehatan namun bila bidan PTT, PKS telah dilakukan melalui puskesmas dan segala bentuk kerja bidan adalah tanggung jawab puskesmas.

Meskipun semua Bidan PTT telah mengikuti program ini, namun ketika peneliti menanyakan pendapat mereka tentang Jampersal, beberapa bidan yang ditanya tidak begitu berminat mengikuti program ini bahkan ada yang mengharapkan agar program ini dihapuskan saja karena merasa dirugikan. Mereka juga mengatakan


(34)

bahwa mereka sendiri juga tidak begitu tahu mengenai Jampersal, yang mereka lakukan hanya meminta KTP ibu hamil dan kemudian menyerahkannya kepada petugas puskesmas biasanya bidan koordinator. Padahal bila dikaji secara benar seharusnya bidan menyerahkan klaim beserta bukti (KTP, kunjungan ANC, INC, PNC, partograf dan surat keterangan lahir). Mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu menahu tentang hal tersebut yang penting bila sudah memberi KTP maka klaim akan dicairkan nantinya. Hal ini bisa saja terjadi oleh karena sosialisasi yang kurang baik oleh pihak terkait dan tidak diberikannya buku panduan atau petunjuk tekhnis mengenai jampersal untuk para bidan di lapangan.

Masalah lain yang terjadinya adalah terdapat perbedaan jumlah klaim yang di berikan oleh puskesmas kepada bidannya, semua tergantung kepala puskesmas masing-masing, jadi meskipun dalam juknis seharusnya mereka mendapatbayaran Rp. 660.000,-, tapi yang diterima lebih sedikit yakni sekitar Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 450.000,- saja, tergantung kepada kepala puskesmas. Tidak jelas alasan pemotongan tersebut, karena proses pemotongan tidak tertulis hanya berupa pernyataan dari bidan koordinator saja saat pencairan. Bila pun ada penjelasan yang jumlahnya sama hanya berasal dari pengelola program yang berada di Dinas Kesehatan yakni 10% yang dikatanya digunakan untuk proses pertanggungjawaban ke Dinas Kesehatan dan Pemda setempat. Oleh karena ini merupakan kebijakan yang mengatasnamakan Dinas Kesehatan maka bidan hanya dapat pasrah dengan apa yang mereka terima. Selain itu pasien juga mendapat kesulitan dalam meminta rujukan dan memilih penolong persalinan karena mereka dengar bahwa rujukan dan tempat


(35)

persalinan harus ke puskesmas yang sesuai dengan KTP setempat, padahal sebenarnya tempat tinggal mereka lebih dekat kepada puskesmas lain yang bersebelahan dengan tempat tinggal, hal ini tentunya tidak sesuai dengan hak ibu hamil yang boleh memilih kemana tepat bersalin dan siapa penolong persalinannya. Hal ini juga yang terkadang membuat bidan bingung dengan apa yang harus mereka lakukan, menerima atau menolak pasien, padahal seharusnya mereka harus menerima pasien dari mana pun asalnya. Tidak diketahui secara pasti mengapa hal ini bisa terjadi namun disinyalir karena kepala puskesmas takut jumlah klaim sedikit dan menguntungkan puskesmas lain.

Meskipun jumlah klaim yang ditetapkan hanya untuk biaya jasa pertolongan persalinan saja, tetapi tetap saja bidan merasa enggan karena harus menggunakan Informed Consent berupa persetujuan dari pihak ibu dan keluarga untuk meminta dana tambahan, yang tentunya lebih merepotkan dan terkesan mengelabui pasien serta sering menjadi bahan sasaran hukum bagi orang-orang yang mengambil keuntungan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berada di lingkungan masyarakat, sementara secara dominan diketahui bahwa bidan adalah tenaga yang kurang mengerti dan malas berhubungan dengan hukum.

Banyaknya permasalahan di atas membuat para bidan memutuskan untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak dibolehkan oleh pemerintah seperti meminta uang ANC dan PNC dengan mengatakan bahwa program jampersal hanya untuk melahirkan saja, meminta uang cuci tangan bahkan sampai memanipulasi data berupa


(36)

menggandakan jumlah pasien dengan meminta KTP ibu yang sebenarnya tidak hamil atau bersalin.

Berdasarkan masalah diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui secara lebih dalam bagaimana sebenarnya respons bidan PTT dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana respons bidan dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respons bidan dari bentuk perilaku tertutup dan perilaku terbuka dalam pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten Langkat

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian sebagai berikut :

1. Manfaat bagi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Diharapkan penulisan ini dapat memperkaya bahasan dalam bidang Promosi Kesehatan dan Manajemen Sumber Daya Manusia yang berhubungan dengan minat bidan mengikuti program Jampersal


(37)

2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan sebagai alat monitoring dan evaluasi kegiatan program jampersal.

3. Manfaat bagi Bidan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi bidan untuk mengikuti program Jampersal.

4. Manfaat bagi Peneliti

Peneliti dapat menerapkan ilmu / teori pada waktu kuliah yang digunakan untuk penelitian ini dan menambah wawasan serta pengetahuan bagi peneliti tentang bagaimana sebenarnya persepsi bidan terhadap program Jampersal.

5. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat

Sebagai masukan dan informasi untuk membuat atau memperbaharui kebijakan Jampersal.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Respon

2.1.1. Definisi Respon

Perilaku menurut Skinner (1938) adalah merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (Respon). Respon terbagi atas dua jenis yakni : 1. Respondent respons (respondent behavior) yaitu respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan / eliciting stimuli tertentu. Eliciting stimuli menimbulkan respons yang bersifat relative tetap, misalnya cahaya yang kuat akan menyebabkan mata tertutup. Pada umumnya perangsangan – perangsangan yang demikian akan mendahului respon yang ditimbulkan. Respondent respon mencakup emosi respons (emotional behavior). Emotional behavior timbul karena hal yang kurang mengenakkan organism yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih atau sakit, muka merah karena marah. Sebaliknya hal – hal yang mengenakkan dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya tertawa.

2. Operant respons (instrumental respons) adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang seperti ini disebut reinforce, karena perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organism. Oleh sebab itu perangsanganyang demikian itu mengikuti dan memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah melakukan perbuatan, kemudian


(39)

memperoleh hadiah maka ia akan menjadi lebih giat dan lebih baik melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain responsnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yakni :

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain (unobservable behavior), misalnya seorang ibu tahu pentingnya memeriksakan kehamilan kemudian dia bertanya pada tetangganya dimana tempat untuk memeriksakan kehamilan (pengetahuan dan sikap).

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang lain.

2.1.2. Domain Perilaku

Meskipun prilaku dibedakan antara perilakutertutup dan terbuka, namun sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan. Dengan kata lain perilaku adalah totalitas pemahaman dan aktivitas seseorang yang


(40)

merupakan hasil bersama antara faktor eksternal dan internal. Benyamin Bloom (1908) membedakan prilaku atas 3 (tiga) domain yakni kognitif (cipta), afektif (rasa) dan psikomotor (karsa).

Berdasarkan pembagian domain ini, kemudian dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku yaitu :

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda – beda. Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkatan yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, mengingat kembali termasuk recall terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas.


(41)

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.

d. Analisis (Analysis)

Analisis diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhannya yang baru.

f. Evaluasi (Evaluating)

Evaluasi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan factor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang – tidak senang, setuju – tidak setuju, baik – tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) mendefenisikan sikap sebagai suatu sindrom atau gejala dalam merespons stimulus atau objek sehingga sikap melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan ubtuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif


(42)

tertentu. Dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) akan tetapi merupakan reaksi tertutup.

Allport (1954) membagi sikap menjadi 3 komponen yakni :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana

penilaian (terkandung didalamnya factor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.

Ketiga komponen tersebut secara bersama – sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Berdasarkan intensitasnya sikap dibagi atas 4 (empat) tingkatan yaitu :

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

b. Menanggapi (Responding)

Menanggapi diartikan sebagai memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.


(43)

c. Menghargai (Valuing) diartikan sebagai pemberian nilai yang positif terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi dan menganjurkan orang lain merespons.

d. Bertanggung Jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab atas apa yang diyakini subjek. Seseorang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinan dan berani megambil resiko atas pilihan sikapnya tersebut.

3. Tindakan

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan misalnya fasilitas dan dukungan. Menurut kualitasnya tindakan dapat dibagi atas 3 tingkatan yakni :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tingkat pertama

b. Praktik Terpimpin (Guide Response)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan urutan yang benar tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. c. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)

Apabila subjek dapat telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah merupakan kebiasaan dan dilakukan tanpa adanya perintah dari orang lain, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.


(44)

d. Adopsi (Adoption)

Adalah suatu tindakan yang telah berkembang dengan baik, artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah dilakukan modifikasi agar lebih berkualitas tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2. Persepsi

2.2.1. Definisi Persepsi

Persepsi adalah proses dimana sensasi yang datang dan diterima manusia melalui panca indera (system sensorik) dipilah dan dipilih, kemudian di atur dan akhirnya diinterpetasikan atau proses dimana seseorang menyeleksi dan mengorganisasikan dan menginterpretasi stimulus yang diterima panca indera ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh (Simamora, 2004).

Menurut Gibson tahun 2003, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu.Sarwono (2000) mengatakan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.

Solso tahun 2008 juga mengungkapkan bahwa persepsi melibatkan kognisi dalam penginterpretasian terhadap informasi. Kejadian-kejadian atau informasi


(45)

tersebut diproses sesuai pengetahuan yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek persepsi yang di interpretasikannya.Menurut Rahmat (2005) persepsi di bagi menjadi dua bentuk yaitu positif dan negative, apabila objek yang dipersepsikan sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan maka persepsinya negatif atau cenderung menjauhi menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut. Pendapat Rahmat ini di dukung oleh Robbins (2002) yang mengatakan bahwa persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan yang positif atau sesuai dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Sedangkan, persepsi negatif merupakan persepsi individu terhadap objek atau informasi tertentu dengan pandangan yang negatif, berlawanan dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Penyebab munculnya persepsi negatif seseorang dapat muncul karena adanya ketidakpuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya ketidaktahuan individu serta tidak adanya pengalaman inidvidu terhadap objek yang dipersepsikan dan sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif seseorang karena adanya kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan.


(46)

Menurut Leavitt (1997) individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan penilaian individu yang muncul akibat adanya yang dirasakan oleh indera sebagai bentuk pengalaman yang dialami oleh individu sendiri sehingga ia dapat memutuskan sesuatu atas apa yang dirasakannya tersebut.

2.2.2. Aspek Persepsi

Aspek persepsi menurut McDowwell & Newel (1996), yaitu: 1. Kognisi

Aspek kognisi merupakan aspek yang melibatkan cara berpikir, mengenali, memaknai suatu stimulus yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hurlock (1999) menambahkan bahwa aspek kognitif didasarkan atas konsep suatu informasi, aspek kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang dipelajari.

2. Afeksi

Aspek afeksi merupakan aspek yang membangun aspek kognitif. Aspek afektif ini mencakup cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap stimulus berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian memengaruhi persepsinya.


(47)

2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi

Robbin (2003) menyatakan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan persepsi. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi

Merupakan faktor yang terdapat dalam individu yang mempersepsikan. Misalnya kebutuhan, suasana hati, pendidikan, pengalaman masa lalu, sosial ekonomi dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu.

2. Karakteristik target yang dipersepsi

Target tidak dilihat sebagai suatu yang terpisah, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat memengaruhi persepsi seseorang.

3. Konteks situasi terjadinya persepsi

Waktu dipersepsinya suatu kejadian dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.

Sementara Thoha (2007) menyebutkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh : 1. Psikologis

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis.

2. Keluarga

Pengaruh yang paling besar terhadap anak adalah keluarga. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini.


(48)

3. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam memengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini.

David Krech dan Ricard Crutcfield menambahkan faktor-faktor yang menentukan persepsi menjadi dua yaitu :

1. Faktor Fungsional

Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, jenis kelamin dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.

2. Faktor Struktural

Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Rahmat (2005) menambahkan tiga faktor personal yang memengaruhi persepsi adalah:

1. Pengalaman, seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak tertentu akan memmengaruhi kecermatan seseorang dalam memerbaiki persepsi. Semakin seseorang berpengalaman dalam suatu hal semakin baik persepsinya.


(49)

2. Motivasi, motivasi individu terhadap suatu informasi akan memengeruhi persepsinya. Seseorang yang memiliki motivasi dan harapan yang tinggi terhadap sesuatu, cenderung akan memiliki persepsi yang positif terhadap objek tersebut. 3. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk

mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar kepribadian seseorang yang extrovert dan berhati halus cenderung akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap sesuatu.

2.2.4. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari pengalaman penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pemikiran, pemahaman, pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya (Robbins, 2003). Myers (1992) mengemukakan bahwa persepsi terjadi dalam tiga tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan lainnya, yaitu :

1. Pemilihan

Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan yang lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari enam prinsip :

1. Intensitas atau kuatnya suatu stimulus, suara keras di dalam ruangan yang sepi atau cahaya yang sangat tajam biasanya mengarahkan perhatian.

2. Ukuran, sesuatu yang besar akan lebih menarik perhatian.


(50)

4. Pengulangan, stimulus yang diulang lebih menarik perhatian daripada yang sesekali saja.

5. Gerakan, perhatian individu akan lebih tertarik kepada objek yang bergerak untuk dilihat daripada objek yang sama tapi diam.

6. Dikenal dan sesuatu yang baru. Objek baru yang berada di lingkungan yang lebih dikenal akan lebih menarik perhatian.

Faktor-faktor eksternal yang memengaruhi persepsi :

a. Faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di luar dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung, tetapi tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama, maka tidak setiap individu mampu mempersepsikan dengan baik.

b. Faktor psikologis, meliputi motivasi dan pengalaman belajar masa lalu. Motivasi dan pengalaman belajar masa lalu setiap individu berbeda. Sehingga individu cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan kebutuhan, motivasi dan minatnya.

2. Pengorganisasian

Pengelolaan stimulus atau informasi melibatkan proses kognisi, dimana individu memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu yang memiliki tingkat kognisi yang baik cenderung akan memiliki persepsi yang baik terhadap objek yang dipersepsikan.


(51)

3. Interpretasi

Dalam interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek atau stimulus. Selain itu, interpretasi juga terjadi apa yang disebut dengan proses mengalami lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat sama seperti yang dilihat individu melalui konsensus validitas dan perbandingan.

2.3. Bidan

2.3.1. Pengertian Bidan

Menurut International Confederation Of Midwives (ICM) tahun 2005 bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan (Depkes RI, 2006)

seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan (Depkes RI, 2006)

World Health Organization (WHO) bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan dan karenanya memenuhi kualifikasi untuk diregristrasi dan / atau diberi lisensi secara legal melakukan praktik kebidanan. Menurut Manuaba Bidan merupakan mata rantai yang sangat penting karena


(52)

kedudukannya sebagai ujung tombak dalam upaya meningkatkan sumber daya menusia melalui kemampuannya untuk melakukan pengawasan, pertolongan, dan pengawasan neonatus dan pada persalinan ibu postpartum . Defenisi serupa juga dikemukan oleh Moeloek bahwa bidan merupakan profesi dan tenaga lini terdepan dalam pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat diperlukan dalam wahana kesejahteraan ibu dan anak di komunitas maupun dalam wahana politik.

2.3.2. Bidan di Komunitas

Kebidanan adalah seni dan praktek yang mengkombinasikan keilmiahan, filosofi dan pendekatan pada manusia sebagai syarat atau ketetapan dalam pemeliharaan kesehatan wanita dan proses reproduksinya yang normal, termasuk kelahiran bayi yang mengikutsertakan keluarga dan atau orang yang berarti lainnya (Lang,1979).

Kebidanan komunitas adalah konsep dasar bidan dalam melayani keluarga dan masyarakat. Kebidanan komunitas adalah upaya memberikan asuhan kebidanan pada masyarakat baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang terfokus pada pelayan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), kesehatan reproduksi termasuk usia wanita adiyuswa secara paripurna. Pelayanan kebidanan komunitas adalah upaya yang dilakukan bidan untuk pemecahan terhadap masalah kesehatan ibu dan anak balita didalam keluarga dan masyarakat.

Semakin banyaknya jumlah penduduk dan letak geografis suatu wilayah sering menjadi penyebab dikembangkannya pelayanan kebidanan komunitas di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tahun 1980 pelayanan kesehatan di New Zealand


(53)

mengacu pada pelayanan di masyarakat dikarenakan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat.

Maternal Infant Care (MIC) adalah program yang dirintis oleh beberapa negara dimulai pada tahun 1960-an, merupakan asuhan komprehensif yang efektif yang mengacu pada asuhan pada masyarakat berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak dari mulai kehamilan sampai dengan perawatan bayi di rumah.

Pada tahun 1807 (pemerintahan Hindia Belanda), pertolongan persalinan dilakukan oleh dukun. Tahun 1951 didirikan sekolah bidan bagi wanita pribumi di Batavia, kemudian Kursus Tambahan Bidan (KTB) di masyarakat Yogyakarta (1953) dan berkembang di daerah lain. Seiring dengan pelatihan ini dibukalah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), bidan sebagai penanggung jawab memberikan pelayanan antenatal care, postnatal care, pemeriksaan bayi dan gizi, intranatal di rumah, kunjungan rumah pasca salin. Tahun 1952 diadakan pelatihan secara formal untuk kualitas persalinan. Tahun1967 KTB ditutup, BKIA terintegrasi dengan Puskesmas.

Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung (meliputi pelayanan KIA-KB) dan di luar gedung (meliputi pelayanan kesehatan keluarga dan posyandu yang mencakup pemeriksaan kehamilan, KB, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan). Pada tahun 1990 pelayanan ini telah diberikan secara merata pada semua masyarakat.

Instruksi Presiden secara lisan pada sidang Kabinet tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan diseluruh desa sebagai pelaksana KIA. Tahun 1994 merupakan titik tolak dari konferensi kependudukan dunia di Kairo yang


(54)

menekankan pada Reproduksi Health memperluas garapan bidan antara lain Safe Motherhood, KB, PMS, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi orang tua.

2.3.3. Sasaran Bidan di Komunitas

Sasaran pelayanan kebidanan komunitas meliputi bayi baru lahir, prasekolah dan balita, remaja, dewasa, masa reproduksi (hamil, bersalin, nifas, KB), interval, klimakterium yang berada didalam keluarga dan masyarakat. Sasaran pelayanan kebidanan komunitas adalah individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat, sakit maupun yang mempunyai masalah kesehatan secara umum.

2.3.4. Tujuan Bidan di Komunitas

Tujuan pelayanan kebidanan komunitas adalah meningkatnya kesehatan ibu dan anak balita didalam keluarga sehingga terwujud keluarga sehat dan sejahtera didalam komuniti.

Agar dapat diterima oleh masyarakat setidaknya seorang bidan harus mempunyai profil sebagai berikut:

1. Mempunyai kemampuan intelektual yang luas berkaitan dengan kebidanan, kesehatan masyarakat dan pengetahuan sosial.

2. Terampil dalam teknik kebidanan.

3. Menguasai teknik pemecahan masalah kesehatan dan prioritas pemecahan masalah kesehatan.

4. Mempunyai keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain (hubungan antar manusia).


(55)

5. Luwes dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. 6. Memiliki kemampuan komunikasi yang bagus (komunikatif). 7. Memiliki kemampuan berorganisasi.

8. Memiliki kemampuan bekerjasama dengan orang lain. 9. Mempunyai penampilan yang menarik.

10.Mau dan banyak belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman.

11.Berkeinginan untuk selalu meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. 12.Berpikir kritis dan logis.

13.Mau membagikan ilmu kepada orang lain.

Ada beberapa strategi umum dalam melaksanakan asuhan kebidanan komunitas:

a) Pendekatan pada masyarakat. b) Pemasaran sosial.

c) Menginformasikan pelayanan kebidanan tingkat dasar dan rujukan.

d) Mengikutsertakan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan serta pelaksanaan program kesehatan masyarakat.

2.3.5. Hak dan Kewajiban Bidan

Kode etik merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi. Norma - norma tersebut berupa petunjuk-petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka menjalankan profesinya dan laranga - larangan


(56)

yaitu ketentuan kententuan apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat.

Ukuran pelayanan kebidanan yang bermutu adalah : 1. Ketersediaan pelayanan kebidanan (available) 2. Kewajaran pelayanan kebidanan (appropriate) 3. Kesinambungan pelayanan kebidanan (continue) 4. Penerima jasa pelayanan kebidanan (acceptable) 5. Ketercapaian pelayanan kebidanan (accesible) 6. Keterjangkauan pelayanan kebidanan (affordable) 7. Efesiensi pelayanan kebidanan (effecent)

8. Mutu pelayanan kebidanan (quality)

Mutu pelayanan kebidanan berorientasi pada penerapan kode etik dan standar pelayanan kebidanan serta kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kebidanan. Dari dua dimensi mutu pelayanan kebidanan tersebut, tujuan akhirnya adalah kepuasan pasien yang dilayani oleh bidan.

Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien. Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien.


(57)

Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien. 1. Hak Bidan

1. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan.

3. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundang - undangan dan kode etik profesi. 4. Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan

oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

5. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.

6. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.

7. Bidan berhak mendapatkan kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai. 2. Kewajiban Bidan

Kode Etik Bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X tahun 1988, sedangkan petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991 sebagai pedoman dalam prilaku. Kewajiban bidan dapat dibedakan atas tujuh bagian yaitu :


(58)

1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat

a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.

b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.

c. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

d. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai - nilai yang berlaku di masyarakat.

e. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.

f. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan – tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.

2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya

a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.


(59)

b. Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.

c. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipadukan sehubungan kepentingan klien.

3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya

a. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.

b. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

4. Kewajiban bidan terhadap profesinya

a. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinyadengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

b. Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkankemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatansejenis yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.


(60)

5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri

a. Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.

b. Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air

a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan - ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.

b. Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.

7. Penutup

Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari - hari senantiasa menghayati dan mengamalkan kode etik bidan indonesia.

2.3.6. Pelayanan Kebidanan

Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.


(61)

Layanan kebidanan dapat dibedakan menjadi :

1. Layanan kebidanan primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.

2. Layanan kebidanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.

3. Layanan kebidanan rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan kesistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya

Kemajuan sosial ekonomi merupakan parameter yang amat penting dalam pelayanan kebidanan. Parameter tersebut antara lain :

1. Perbaikan status gizi ibu dan bayi

2. Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan

3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dan kematian neonatal 4. Cakupan penanganan resiko tinggi

5. Meningkatnya cakupan pemeriksaan antenatal

2.4.Kebijakan Kesehatan

2.4.1. Definisi Kebijakan Kesehatan

Kebijakan adalah keseluruhan aktivitas pemerintah, yang dilakukan oleh badan/kantor pemerintah, secara langsung ataupun tidak langsung dan berpengaruh pada masyarakat, individu atau kelompok. Sejumlah keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu : kesehatan,


(62)

lingkungan, pendidikan atau perdagangan.Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan pemerintah pusat atau daerah, perusahaan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit. Orang-orang ini kadang disebut pula sebagai elit kebijakan, satu kelompok khusus dari para pembuat kebijakan yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan sering memiliki hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi yang sama atau berbeda.

Kebijakan adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak. Kegagalan untuk membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan (Thomas Dye, 2001)

Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan dimaksudkan untuk merangkum segala arah tindakan yang memengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik atau pemerintah dan sektor swasta.

2.4.2. Segitiga Kebijakan Kesehatan

Segitiga Kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks antara Content, Contex, Process dan Actors.

a. Content

• sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik yang dibuat oleh lembaga dan pejabat pemerintah.


(63)

Standar content :

• Pernyataan tujuan, mengapa kebijakan tsb dibuat dan apa dampak yang diharapkan

• Ruang lingkup; menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan

• Durasi waktu yang efektif, mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan

b. Context

• Lingkungan atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian

• Serangkaian keadaan yang berkaiatan dengan proses dan isi, yang mengacu pada faktor-faktor sistemik;

• Faktor situasional : bersifat sementara atau tidak permanen namun memiliki dampak terhadap kebijakan,

• Faktor global yang menyebabkan ketergantungan dan transfer kebjakan antar negara, contoh : pertemuan internasioanal bidang kesehatan

c. Process

• Mengacu pada cara-cara memprakarsai, mengembangkan atau memformulasikan, menegosiasikan, mengkomunikasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan

d. Actors

• Individu atau kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut.


(64)

• Para stakeholders : sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima komunitas wartawan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat.

• Para stakehaolders memberi respon yang berbeda terhadap suatu kebijakan • Merupakan kunci dalam kerangka analisis kebijakan.

• Pembuatan kebijakan tidak murni proses yang rasional namun merupakan proses yang berulang-ulang dan dipengaruhi oleh kepentingan dari para aktor kebijakan.

2.4.3. Implementasi Kebijakan Kesehatan

Jones (1987) ; those activities directed toward putting a program into effect (proses mewujudkan program hingga memperlihatkan hasilnya). Van Horn dan Van meter (1975) : those actions by public and private individual (or groups) that are the achievement or objectives set forth in prior policy ( tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas kebijakan). Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan bahwa fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku, diantaranya adalah kejadian dan kegiatan yg timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang mencakup usaha mengadministrasikan maupun usaha menimbulkan dampak yang nyata pada masyarakat.


(65)

a. Faktor penentu keberhasilan implementasi • Logika kebijakan itu sendiri

• Kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber • Manajemen yang baik

• Lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan b. Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variable yaitu :

1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya

2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan

3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.

4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. c. Prasarat keberhasilan implementasi :

1. Tiadanya hambatan eksternal


(66)

3. Good policy

4. Hubungan ketergantungan yang minimum 5. Pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan 6. Tugas ditetapkan dengan urutan yang tepat 7. Komunikasi dan koordinasi lancar

8. Ada dukungan otoritas d. Kegagalan implementasi

1. Bad policy : perumusannya asal-asalan, kondisi internal belum siap, kondisi eksternal tak memungkinkan dan sebagainya

2. Bad implementation : pelaksana tak memahami juklak, terjadi implementation gap dan sebagainya

3. Bad Luck

2.5.Jaminan Persalinan (Jampersal) 2.5.1. Definisi Jampersal

Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pascapersalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah.

Jampersal merupakan perluasan kepesertaan dari jamkesmas dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Peraturan jampersal telah dilaksanakan sejak


(1)

Milles b Matthew, Huberman Michael. 2009. Analisis Data Kualitatif. UIP. Jakarta Mubarak Iqbal Wahit. dkk, 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses

Belajar Dalam Pendidikan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Mufdlillah, 2009. Panduan Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Mitra Cendika Offset. Yogyakarta.

Muninjaya Gde, 2004. Manajemen Kesehatan. EGC. Jakarta.

---, 2012. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. EGC. Jakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta.

---, 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta.

---, 2012. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2007. Kesehatah Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta.

Purwitasari Yudha Armey. 2012. Implementasi Kebijakan program jampersal di Kabupaten Lebak Propinsi Banten tahun 2011. Tesis. UI. Jakarta

Putro. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Teknis Jampersal di Kota Tanggerang. Unpad. Bandung.

Rokx Claudia. 2010. Indonesia maternal Health Assesment. Bappenas. Jawa Timur. Safitri Arliza. 2012. Penyakit “Kena Aji” (Racn) Pada masyarakat Lipat kajang

Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil. Tesis USU. Medan Salsabila, 2012. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Bidan Terhadap Program


(2)

Sirait Betty. 2013. Pengaruh Faktor Predisposisi, pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Jampersal di puskesmas Parongil Kab. Dairi. Tesis USU. Medan

Smith c. peter, dkk, 2005. Health Policy and Economics. Two Peen Plaza. New York Suparlan Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Depdikbud.

Jakarta.

Syafruddin. 2009. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Trans Info Media. Jakarta

Syafruddin. Fratidhina Yudhia. 2009. Promosi Kesehatan Untuk Mahasiswa Kebidanan. Trans Info Media. Jakarta.

Racmawati Tetty. 2013. Riset Evaluatif Implementasi Jaminan Persalinan Tahun 2012. Kemenkes RI. Jakarta.

Titaley R Christina, dkk.2006. Determinants of Neonatal Mortality in Indonesia. BMC Public health. Australia.

Trisnantoro Laksono. 2012. Monitoring Pelaksanaan Kebijakan BOK dan Jampersal di DIY, Papua dan NTT. UGM. Yogyakarta

Utarini Adi. 2006. Modul Penelitian Kualitatif. UGM. Yogyakarta

Wahyuningsih Puji Heni. 2011. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta. Wall Ann and Owen Barry, 2005. Health Policy. Routledge . New York.

William, 2009. Teori Analisis Kebijakan. Fitramaya. Yogyakarta

Wulandari Diah, 2009. Komunikasi dan Konseling dalam Praktik Kebidanan. Mitra Cendika Offset. Yogyakarta.


(3)

LAMPIRAN 1

PEDOMAN WAWANCARA

A. KARAKTERISTIK INFORMAN

1. Nama :

2. Umur :

3. Pendidikan : 4. Lama Bekerja : 5. Pendapatan : 6. Status Perkawinan :

B. PERTANYAAN

I. Informan Bidan PTT

a. Pengetahuan

1. Menurut anda apakah pengertian dan tujuan dari Jampersal ?

2. Apa syarat-syarat jampersal dan siapa saja yang boleh menerima jampersal ? 3. Seberapa jauh anda mengetahui tentang pendanaan jampersal?

4. Menurut anda apa kekurangan dan kelebihan dalam program ini?

5. Menurut anda bagaimana tingkat keberhasilan jampersal selama anda mengikutinya?

Probing :

• Darimana anda mengetahui hal tersebut? • Mengapa berpendapat demikian? b. Sikap

1. Bagaimana pendapat anda tentang jampersal dan mengapa anda mau mengikutinya?


(4)

2. Menurut anda bagaimana seharusnya program ini dibuat? Probing :

• Kenapa berpendapat demikian? c. Tindakan

1. Bagaimana cara anda melaksanakan program Jampersal

2. Apa kendala anda dalam melaksanakan program ini dan bagaimana cara anda mengatasinya?

Probing :

• Mengapa anda melakukan demikian?

II. Informan (Bidan praktek swasta yang mengikuti jampersal)

a. Pengetahuan

1. Menurut anda apakah pengertian dan tujuan dari Jampersal ?

2. Apa syarat-syarat jampersal dan siapa saja yang boleh menerima jampersal ? 3. Seberapa jauh anda mengetahui tentang pendanaan jampersal?

4. Menurut anda apa kekurangan dan kelebihan dalam program ini?

5. Menurut anda bagaimana tingkat keberhasilan jampersal selama anda mengikutinya?

Probing :

• Darimana anda mengetahui hal tersebut? • Mengapa berpendapat demikian? b. Sikap

1. Bagaimana pendapat anda tentang jampersal dan mengapa anda mau mengikutinya?

2. Menurut anda bagaimana seharusnya program ini dibuat? Probing :


(5)

c. Tindakan

1. Bagaimana cara anda melaksanakan program Jampersal

2. Apa kendala anda dalam melaksanakan program ini dan bagaimana cara anda mengatasinya?

Probing :

• Mengapa anda melakukan demikian?

III. Informan (Pengelola Program dari Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas

dan Bidan Koordinator)

1. Apa sebenarnya pengertian dan tujuan jampersal? Probing :

• Dari mana anda mengetahuinya? 2.Bagaimana pendapat anda tentang Jampersal?

Probing :

• Mengapa berpendapat demikian?

3. Bagaimana pelaksanaannya di wilayah kerja saudara? Probing :

• Bagaimana cara anda mengontrol pelaksanaan di lapangan?

• Siapa saja yang berperan dalam pelaksanaan program di lapangan dan bagaimana?

4. Apa kendala atau masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program ini dan bagaimana cara anda mengatasinya?

5. Bagaimana cara saudara mensosialisasikan program ini ke puskesmas/bidan 6. Bagaimana tingkat keberhasilan program ini selama berjalan 2 tahun


(6)