Pelaksanaan Jampersal Matriks Pemberi Informasi tentang Jampersal Kepada Bidan

adanya norma dan hukum atau peraturan – peraturan yang berlaku. Perilaku dapat muncul akibat adanya tekanan atau dorongan dari peraturan yang diwajibkan, manusia menjalankan peraturan tersebut tanpa pengaruh dari pengetahuan dan sikap manusia itu sendiri. Hal inilah yang terjadi pada bidan ptt, mereka tetap melaksanakan program karena adanya tekanan atau aturan dari pemerintah atau atasan.

5.5. Pelaksanaan Jampersal

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan misalnya fasilitas dan dukungan. Pelaksanaan jampersal sangat erat kaitannya dengan tindakan para bidan PTT dala melaksanakan jampersal. Disini peneliti akan membahas tentang bagaimana cara bidan PTT menjalankan program jampersal di lapangan berdasarkan persepsi mereka masing masing, sebelum masuk pada bagaimana cara melakukan jampersal di lapangan peneliti terlebih dahulu menanyakan apa saja kendala dan berapa jumlah jasa yang dibayarkan sebelum para bidan mengikuti program jampersal.Jawaban para informan menunjukkan bahwa rata rata kendala bagi mereka di lapangan berasal dari dinas kesehatan dan pasien. Mereka beranggapan segala bentuk keterlambatan dan pemotongan dilakukan orang - orang yang berada di dinas kesehatan, menanggapi jawaban mereka yang seperti itu peneliti tertarik ingin mengetahui siapa orang dinas yang mereka maksud dan jawaban yang cukup mengejutkan, didapati dari pernyataan mereka, mereka menyebutkan nama - nama yang sama sekali tidak ada dalam Universitas Sumatera Utara kepanitiaan jampersal di dinas kesehatan sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan kembali mengapa mereka bisa memunculkan nama seseorang padahal orang tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan jampersal. Setelah ditelusuri didapati ternyata terjadi kesalahpahaman antara bidan dan pihak pihak tertentu yang memanfaatkan situasi, hal ini tentunya membutuhkan klarifikasi agar tidak menjadi kendala yang benar - benar dapat berpengaruh pada pelaksanaan jampersal di lapangan. Bila dikaji lebih dalam lagi sebaiknya para pengelola jampersal harus lebih terbuka kepada bidan agar tidak terjadi kesalahpahaman lain lagi yang dapat muncul kapan saja. Kendala lain adalah banyaknya potongan, sedikitnya jumlah jasa yang dibayarkan oleh dinas kesehatan pada tiap layanan jampersal dan lamanya pembayaran. Mulai dari akhir Desember 2012 sampai dengan Mei 2013 klaim belum dicairkan, baru pertengahan Juni kemarin pembayaran bisa dilakukan. Pihak pengelola menyampaikan bahwa hal ini terjadi karena sejak tahun 2013 dana jampersal sudah dikelola oleh Anggaran Pembangunan Daerah APBD di Kabupaten tidak lagi langsung ke rekening kepala dinas kesehatan, maka proses pencairan menjadi lama karena harus melalui persetujuan DPR, pihak keuangan daerah dan bupati. Hal serupa juga ditemukan di kota Blitar, menurut Tetty 2012 bahwa sejak tahun 2013 dana jampersal masuk pada APBD Kabupaten sehingga proses pencairan dana klaim lama. Di Mataram proses pengklaiman berasal dari kas daerah yang kemudian dialirkan ke kas dinas kesehatan, kemudian dinas kesehatan dana tersebut ke rekening puskesmas sesuai dengan jumlah klaim yang telah diajukan. Universitas Sumatera Utara Masalah jumlah potongan sebenarnya dari dinas kesehatan hanya 10 Rp. 66.000 jadi jumlah dana yang dibayarkan oleh pihak dinas kesehatan adalh sebesar Rp. 594.000, per pasien dalam satu paket. Namun rata – rata jumlah dana yang diterima bidan PTT berkisar antara Rp. 350.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- dan secara dominan jumlah yang diterima adalah Rp. 450.000,- saja. Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan jika ada potongan – potongan lain tidaklah berasal dari dinas kesehatan seperti yang dipersepsikan bidan PTT, namun mungkin tidak semua kepala puskesmas terbuka pada bidan PTT nya sehingga dinas kesehatan mendapat nilai buruk dari mereka. Hal ini jugalah yang berpengaruh pada kinerja bidan dalam pelaksanaan jampersal di lapangan. Masalah potongan juga terjadi di Kabupaten Sampang, menurut Tetty 2012 jasa yang diterima bidan desa adalah 75 dari jumlah dana yang telah ditetapkan dalam jampersal, sementara untuk bidan praktek swasta yang telah melakukan MOU dengan dinas kesehatan mendapat 100. Tidak diketahui secara pasti alasan perbedaan jumlah yang diterima tersebut, namun informasi yang didapat pihak puskesmas mengatakan hal tersebut terjadi karena telah adanya kesepakatan antara bidan dan pihak puskesmas yang membantu para bidan desa melakukan proses pembuatan laporan dan pengklaiman, sementara bidan praktek swasta langsung kepada dinas kesehatan. Masalah KB juga ternyata jadi kendala bagi bidan ptt, hal ini berasal dari pasien yang terkadang berfikir terlalu sempit karena adanya kata gratis. Mereka tidak mau ber KB dengan alasan jika pun nantinya hamil tidak lagi ada yang harus Universitas Sumatera Utara difikirkan untuk masalah biaya periksa hamil dan persalinan, semua telah ditanggung pemerintah. Inilah yang sebenarnya harus di ubah karena pada dasarnya tujuan Jampersal yang tidak terlihat adalah agar ibu nantinya akan ber KB, alasannya adalah pada setiap pemeriksaan kehamilan kehamilan, pelayanan kunjungan nifas bidan seharusnya telah menjelaskan bagaimana sebenarnya kehamilan yang baik dari segi usia, jumlah anak dan jarak kehamilan serta resiko kehamilan, maka dari itu pada masa nifas bidan memberikan layanan KB secara gratis juga yang masuk dalam kategori pelayanan jampersal. Ketidakberhasilan KB ini dipertegas lagi oleh pihak BKKBN Langkat yang menyampaikan bahwa terjadi penurunan kunjungan KB sejak Jampersal diluncurkan di kabupaten. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya kemungkinan besar secara umum banyak bidan PTT atau bidan pratek swasta yang tidak memberikan penyuluhan kepada ibu hamil tentang resiko kehamilan dan pentingnya KB atau bahkan tidak semua dari mereka memberikan pelayanan KB pada saat masa nifas oleh karena ketidaktahuan dan ketidakperdulian serta tidak mengatakan bahwa KB juga gratis dalam Jampersal oleh karena para bidan PTT membeli obat KB tersebut. Berdasarkan evaluasi jampersal terhadap program KB maka pada tahun 2014 direncanakan jampersal hanya diberlakukan untuk penduduk miskin, hanya berlaku untuk 2 dua kali pelayanan dalam proses kehamilan, persalinan, nifas, pelayanan bayi baru lahir dan KB. Di Tanggerang dijumpai juga hal yang sama, seperti yang disampaikan oleh Putro 2012 bahwa KB tidak berhasil karena meskipun pihak bidan dokter sudah Universitas Sumatera Utara menghimbau dengan susah payah agar menggunakan KB, namun tetap tidak berjalan dengan alasan KB adalah hak masyarakat sehingga tidak dapat dipaksakan, untuk itu perlu dibuat penambahan persyaratan dalam jampersal yang berhubungan dengan KB. Selain kendala – kendala diatas peneliti juga menelusuri tentang jumlah jasa yang para bidan PTT tetapkan dalam menolong persalinan sebelum jampersal diwajibkan bagi mereka. Jawaban dari para informan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tarif jasa pada tiap bidan, hal ini tergantung pada tempat, jarak, keluhan pasien, permintaan pasien dan ketentuan dari bidan sendiri. Bila dilihat dari jawaban mereka jelaslah ternyata jumlah yang mereka terima dari jampersal tidak sama dengan tarif yang biasa mereka terima. Hal ini jugalah yang menjadi kendala dan berpengaruh pada kinerja bidan dalam melaksanakan jampersal. Meskipun jumlah yang dibayarkan jampersal sebenarnya telah cukup dan dapat menutupi tarif mereka secara umum, tapi karena beberapa alasan jumlah yang mereka terima tidaklah sama dengan yang ada di ketentuan jampersal. Semua kendala diatas berpengaruh besar terhadap kinerja bidan PTT dalam melaksanakan jampersal. Jawaban para informan cukup menjelaskan bahwa banyak dari mereka yang hanya menggratiskan pertolongan persalinan saja sedangkan pemeriksaan kehamilan dan KB tetap dimintai pembayaran. Padahal dalam pelayanan jampersal seharusnya para bidan memberikan pelayanan secara gratis pada pemeriksaan kehamilan, bersalin, nifas,bayi baru lahir dan KB semua dalam kategori normal, bahkan untuk kejadian emergensi dasar dan rujukan yang sesuai protaf dan Universitas Sumatera Utara ketentuan, namun kenyataannya seperti inilah dilapangan, bidan tidak lagi melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan janji profesinya dan kewajibannya di komunitas meskipun hal ini terjadi dikarenakan ketidaktahuan mereka. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Blitar 2012 bahwa tidak semua bidan yang telah menjadi provider jampersal menyampaikan kepada ibu hamil bahwa pemerintah menyediakan program jampersal sehingga informasi tidak sepenuhnya sampai pada ibu hamil. Hal ini diperkuat lagi oleh Eli 2013 yang mengatakan bahwa jampersal tidak sesuai dengan ketentuan, para bidan masih mematokkan harga pada tiap layanan jampersal. Bila dikaitkan dengan prosedur jampersal sebenarnya para bidan PTT memang dapat disalahkan karena melakukan penyimpangan namun hal demikian juga terjadi oleh karena terdapatnya ketidakterbukaan para pengelola kepada para bidan sehingga bidan PTT tersebut memutuskan untuk mengatasi masalah tersebut dengan persepsi mereka masing – masing. Bila dikaji dengan kewajiban bidan yang mengatakan bahwa setiap bidan dalam menjalankan tugasnya profesinya harus menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh serta memelihara citra bidan dan senatiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan pasien, keluarga dan masyarakat, tentunya hal seperti ini tidak boleh terjadi meskipun pada hakikatnya bidan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai. Makna kata sesuai inilah yang seharusnya dipertegas lagi dalam pembiayaan jampersal. Dalam proses pengaturan pembiayaan ataupun segala persyaratan seharusnya disesuaikan dengan keadaan atau kenyataan Universitas Sumatera Utara yang ada dilapangan bukan sekedar mengambil sampel di beberapa daerah saja, karena seperti yang diketahui Indonesia memiliki keragaman budaya yang jelas mempengaruhi semua profesi didalamnya, hal ini dilakukan agar bidan tidak merasa bahwa haknya tidak diberikan secara maksimal atau sesuai dengan apa yang telah mereka laksanakan. Mutu pelayanan kebidanan berorientasi pada penerapan kode etik dan standar pelayanan kebidanan serta kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kebidanan. Dari dua dimensi mutu pelayanan kebidanan tersebut, tujuan akhirnya adalah kepuasan pasien yang dilayani oleh bidan. Keragaman budaya, sifat, suku, demografi dan kebutuhan sangat mempengaruhi kerja seseorang tak ubahnya juga dengan bidan ptt. Apalagi dengan adanya tekanan yang dirasakan mereka maka tentunya hal tersebut berdampak negatif pada kinerja. Banyak bidan yang tidak berani mengungkapkan pertanyaan atau mengaktualisasikan diri dalam perannya sebagai bidan ptt. Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa bertanya adalah hal yang paling tidak dianjurkan dalam segala program apalagi yang menyangkut tentang dana, hanya syarat sajalah yang perlu ditanya karena bila hal lain ditanyakan akan berakibat fatal bagi mereka, inilah isi hati mereka yang mungkin tidak diketahui oleh para pembuat kebijakan. Meskipun tidak semua dari mereka mengalami hal yang sama tapi seharusnya hal ini juga difikirkan oleh para pembuat kebijakan dan atasan, seringnya para bidan yang benar benar menjalankan tugasnya tidak mendapatkan reward yang baik dari para atasan, bahkan tak jarang mereka disamakan dengan bidan yang tak berkualitas. Hal ini juga Universitas Sumatera Utara lah yang akhirnya membuat motivasi kerja bidan menurun sehingga dapat berpengaruh pada prilaku mereka, seperti yang diungkapkan oleh Eli 2013 bahwa kapasitas manajerial kepemimpinan kepala dinas kesehatan dan pembuat kebijakan sangat berpengaruh pada implementasi jampersal. Pada triangulasi sumber yang ditanyakan pada pengelola jampersal di dinas kesehatan, mereka mengatakan bahwa kendala dalam jampersal hanya terletak pada jumlah dan lamanya klaim yang terus menerus ditanyakan oleh para bidan serta sulitnya mengurus berkas klaim para bidan secara satu persatu karena masih banyak yang dinilai salah dalam pencatatannya, kemudian masalah juga berasal dari pasien yang tidak benar – benar mengetahui jampersal karena kurangnya sosialisasi dari bidan. Sementara pihak puskesmas mengatakan tidak ada kendala dalam pelaksanaan jampersal. Jawaban para pengelola sangat berbeda dengan yang disampaikan oleh bidan PTT, disini terlihat bahwa kesalahan sepertinya mutlak dilakukan oleh bidan padahal sebenarnya ketidakterbukaan antara pengelola program dan bidan ptt adalah hal yang sebenarnya menjadikan masalah – masalah ini muncul. Sesuai dengan teori Bloom 1908 yang mengungkapkan untuk mewujudkan suatu sikap menjadi prilaku dibutuhkan fasilitas. Fasilitas dan kenyataan inilah yang menjadi kendala bagi bidan PTT dalam menjalankan tugasnya. Para bidan tidak lagi memandang etika profesi oleh karena banyak mereka merasa tidak dihargai. Mereka hanya melakukan yang mereka rasa baik dan terkesan tidak merugikan atau mematikan pasien. Padahal sebenarnya apa yang mereka lakukan telah melanggar etik profesi. Organisasi Ikatan Bidan Indonesia IBI pun tidak dapat mengontrol Universitas Sumatera Utara masalah ini, karena hal ini tidak terlihat dan terjadi begitu saja. Tidak adanya keluhan yang didengar dari pasien juga dianggap berarti apa yang dilakukan bidan bukanlah sebuah masalah bahkan terkesan sebagai cara bagaimana bidan mempertahankan hidup. Masalah - masalah inilah yang sebenarnya banyak terjadi pada bidan PTT di daerah, maka akan lebih baik bila setiap pengelola dan pimpinan lebih terbuka dan tegas kepada para bidan agar tidak terjadi kelalaian atau penyimpangan. Karena bila tidak diperhatikan penyimpangan – penyimpangan akan terus terjadi dan dikhawatirkan akan beresiko pada pelayanan kesehatan di masyarakat. Bidan adalah ujung tombak kerja program di desa karena merekalah yang menetap di desa dan langsung memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan anak, untuk itu penghargaan bagi mereka sudah selayaknya diberikan. Penghargaan yang dimaksud tidak hanya sebatas uang atau finansial semata melainkan seperti ucapan terima kasih, diberikannya kebebasan bertanya yang terarah dan mendapatkan jawaban yang benar dan tepat, diberikan tanggung jawab dan kepercayaan dan bentuk hubungan baik adalah hal penting dalam menghargai para bidan. Pada tempat pelayanan para bidan PTT yang diwawancarai melakukan pelayanan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan seperti klinik dan posyandu, namun untuk pertolongan persalinan dilakukan di rumah pasien. Ada beberapa yang melakukan pertolongan di kliniknya sendiri namun bila pasien meminta persalinan dilakukan di rumah maka para bidan mengikuti permintaan tersebut. Universitas Sumatera Utara Seluruh pelayanan jampersal seharusnya dilakukan di fasilitas kesehatan seperti di rumah sakit, puskesmas, posyandu atau klinik bersalin karena tujuan dari program ini adalah agar sasaran mau melakukan pemeriksaan kesehatan di fasilitas kesehatan agar diketahuinya resiko dan tertolongnya serta tidak adanya keterlambatan pertolongan bagi ibu – ibu yang bermasalah. Alasan utama para ibu meminta bidan ptt untuk melakukan pertolongan persalinan di rumah adalah hanya tentang kenyamanan dan kebiasaan saja. Namun anehnya para bidan tetap tidak menolak padahal mereka telah mengetahui hal tersebut tidak diperbolehkan. Ketika ditanyakan alasan mengapa mereka mau menolong persalinan di rumah pasien mereka menjawab bahwa mereka tidak mempunyai sarana yang cukup untuk menerima atau menampung pasien di tempat mereka praktek atau di klinik yang biasa mereka satukan dengan rumah mereka, alasan lain adalah sarana yang diberikan pemerintah tidak layak dihuni dan tidak memadai seperti atap yang bocor, tidak adanya tempat tidur, listrik dan air di kamar mandi yang memang semuanya itu adalah fasilitas yang seharusnya ada dan merupakan faktor pendukung bagi kenyamanan pasien dalam menerima pelayanan. Menindaklanjuti permasalahan sarana pelayanan diatas, maka pada tahun 2014 Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat akan membenahinya dengan melakukan pengadaan sarana dan prasarana Polindes dan Poskesdes tempat para bidan PTT bertugas. Pada tahun tersebut direncanakan tidak akan ada proses membangun atau memperbaiki tempat yang lama hanya berfokus pada sarana seperti listrik, air, kursi, meja dan tempat tidur saja. Hal ini dibuat agar pelayanan dapat dilakukan secara Universitas Sumatera Utara maksimal serta tidak ada lagi bidan yang melakukan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di rumah penduduk Dinkes, 2013 Ketika hal ini ditanyakan pada pihak pengelola jampersal di dinas kesehatan, mereka mengatakan bahwa seharusnya para bidan ptt melakukan pelayanan di fasilitas kesehatan, namun seperti diketahui juga bahwa sarana dan prasarana juga tidak memadai maka pihak pengelola tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut hanya saja sebenarnya para bidan ptt tidak boleh melakukan hal tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh kepala puskesmas yang mengatakan bahwa sarana di polindes atau pustu di beberapa desa memang sangat tidak memadai untuk ditempati dan dilakukan pelayanan kesehatan terutama malam hari. Tidak ada peraturan atau tindakan yang tegas diberikan para pengelola jampersal tentang hal ini, padahal seharusnya para bidan tidak boleh melakukan pelayanan di rumah pasien dan harus menyiapkan tempat pelayanan. Menurut Tetty 2012 Di Kabupaten Sampang pemerintah daerah setempat membuat kebijakan lokal tentang tempat persalinan, bahwa jampersal dilakukan oleh tenaga kesehatan tanpa memandang tempat persalinan. Hal ini dilakukan oleh karena tidak memadainya fasilitas kesehatan di kabupaten tersebut. Pemerintah menambah sarana untuk bersalin di puskesmas Poned. Kebijakan lokal seperti ini seharusnya dapat dicontoh oleh kabupaten lain agar peraturan yang ada dilaksanakan dengan baik. Pengunaan informed consent juga ternyata tidak begitu baik di Kabupaten Langkat, para bidan PTT yang diwawancarai mengatakan tidak lagi menggunakan informed consent dalam memberikan pelayanan, jadi kesepakatan hanya dilakukan Universitas Sumatera Utara dengan proses komunikasi visual tanpa ada pencatatan khusus dan berdasarkan kepercayaan saja. Ketika ditanya mengapa demikian mereka hanya menjawab bahwa informed consent tidaklah penting dan hanya memperlama proses pelayanan serta membuat pasien kebingungan karena tidak semua pasien juga mengerti apa maksud penandatanganan dalam informed consent. Pada bidan praktek swasta yang diwawancarai juga sama tidak melakukan informed consent, jika digunakan hanya untuk keadaan gawat darurat atau rujukan sementara untuk yang normal tidak. Penggunaan informed consent dilaksanakan sebenarnya bertujuan agar para pelaksanan jampersal dapat terbebas dari tuntutan atau sebagai bukti kesepakatan bila ada pasien yang merasa dirugikan pada pelayanan namun karena bidan sendiri tidak menganggap hal tersebut penting dan merasa aman – aman saja maka mereka memutuskan untuk tidak menggunakan informed consent tersebut. Regulasi merupakan upaya mengendalikan perilaku manusia dengan peraturan. Regulasi bertujuan untuk menghasilkan hasil yang tidak mungkin sebaliknya terjadi atau mencegah hasil ditempat berbeda dengan apa yang dinyatakan dengan mungkin yang terjadi atau mencegah hasil dalam rentang waktu yang berbeda dari yang akan terjadi. Menurut Eisenberg dan Spinrad, 2004, Regulasi emosi adalah proses memulai, menghindari, mencegah, memelihara atau memodulasi kejadian bentuk intensitas atau kondisi perasaan internal, psikologi yang berhubungan dengan emosi, proses perhatian, kondisi motivasi dan atau perilaku yang berhubungan dengan emosi untuk melakukan adaptasi biologi, social atau pencapaian tujuan. Universitas Sumatera Utara Bila dikaitkan dengan kenyataan diatas teori regulasi emosi sangatlah tepat dan sesuai dengan perilaku bidan ptt. Mereka melakukan semua penyimpangan sesuai dengan adaptasi mereka pada program yang tidak sesuai dengan kondisi perasaan internal dan psikologi mereka. Hal ini sesuai juga dengan teori kebijakan yang mengatakan bahwa faktor penentu keberhasilan implementasi kebijakan adalah logika kebijakan itu sendiri, kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber, manajemen yang baik dan lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan. Maka dapatlah disimpulkan bahwa baik tidak baiknya pelaksanaan suatu program tergantung pada pengelola dan peruntukan kebijakan itu sendiri.

5.6. Keberhasilan Program Jampersal