Latar Belakang Peranan Ikan Herbivor Dan Lingkungan Pada Pembentukan Asosiasi Terumbu Karang Dengan Makroalga Di Kepulauan Seribu, Jakarta

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem merupakan konsep penting dalam mempelajari ilmu ekologi. Ekosistem adalah interaksi yang terjadi antara organisme hidup dengan faktor abiotik dan biotik. Ekosistem terjadi dari yang sederhana, seperti di kolam sampai dengan yang kompleks, yaitu seluruh biosphere bumi Whitten et al. 1996. Tansley 1935 in Mackenzie et al. 2001 menyebutkan bahwa di dalam ekosistem terdapat interaksi antara faktor biotik dan lingkungan. Para ahli ekologi modern cenderung berpikir bahwa ekosistem merupakan interaksi yang melibatkan faktor aliran energi, aliran carbon dan siklus nutrien Mackenzie 2001. Keanekaragaman ekosistem dapat dikenali melalui pengamatan terhadap perbedaan lingkungan fisik yang menyebabkan perbedaan komunitas. Sifat fisik, seperti suhu, kejernihan air, pola arus dan kedalaman air adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bentuk komunitas di dalam ekosistem Dahuri 2003. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat didaerah tropis. Ekosistem ini mempunyai produktivitas organik yang tinggi untuk dijadikan sebagai sumber makanan bagi organisme laut yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu, ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi. Komponen yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang ini terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Veron 1995 mengemukakan bahwa komponen abiotik yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang adalah lingkungan seperti suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi. Pengaruh lingkungan mendorong perubahan pada komposisi komponen biotik untuk bersaing dalam pemakaian tempat. Persaingan tempat yang terjadi di antara komponen biotik tersebut dapat membuat ekosistem terumbu karang mengalami perubahan habitat seperti yang terjadi di Kaneohe Bay, Hawaii. Eutrofikasi dan penurunan kelimpahan ikan herbivor merupakan dua faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan habitat di perairan tersebut. Eutrofikasi yang terjadi membuat laju pertumbuhan makroalga meningkat. Peningkatan laju pertumbuhan makroalga tersebut tidak dapat dikendalikan oleh ikan herbivor. Dimana grazing oleh ikan herbivor adalah 2 cara untuk memakan makroalga. Akibatnya, terumbu karang tidak mampu bersaing dengan makroalga dalam memperoleh tempat. Hal ini disebabkan pertumbuhan terumbu karang lebih lambat dibandingkan dengan makroalga. Stimson et al. 2001; Burkepile Hay 2006. Bahan organik yang mengandung unsur nitrogen N dan fosfor P menjadi sumber makanan tambahan bagi tumbuhan di ekosistem terumbu karang. Kedua unsur tersebut digunakan oleh organisme laut sebagai nutrisi untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Komposisi normal antara kandungan N dan P untuk pertumbuhan tanaman adalah 16 : 1. Studi yang dilakukan oleh Lapointe et al. 2005 berpendapat bahwa jika perbandingan N:P mengalami perubahan dari 16:1, maka perairan akan menjadi lebih subur. Jika terjadi perubahan N:P 16 maka yang terjadi adalah pertumbuhan tanaman dibatasi oleh kandungan fosfor. Sebaliknya, jika terjadi perubahan N:P lebih kecil dari 14 maka yang terjadi adalah pertumbuhan tanaman dibatasi oleh kandungan nitrogen. Jika perubahan N:P diantara 14 dan 16 maka kedua kandungan tersebut dapat menjadi pembatas bagi tanaman. Perubahan rasio N:P ini disebabkan oleh aktifitas manusia yaitu pembuangan limbah terutama limbah yang mengandung bahan organik. Peningkatan keseburan perairan ini dapat meningkatkan laju pertumbuhan makroalga. Penangkapan ikan yang merusak seperti pemboman,peracunan dan overfishing , membuat ikan herbivor menurun jumlah populasinya. Dampak lain dari aktifitas penangkapan yang merusak tersebut dapat menyebabkan kematian pada terumbu karang dan menjadikan tempat bagi planula karang dan spora makroalga untuk menempel, tumbuh dan berkembang McManus 1996; Jompa McCook 2002; Lardizabal 2007; Bahtiar 2008. Jompa McCook 2002 telah melakukan percobaan dengan menutup jalan masuk bagi ikan herbivor, menuju karang Porites cylindrica yang berasosiasi dengan makroalga Lobophora variegata . Dengan tidak adanya ikan herbivor, pertumbuhan Lobophora variegata mencapai lima kali lebih cepat dibandingkan dengan yang ada di alam. Untuk mengendalikan laju pertumbuhan dari makroalga, ikan-ikan herbivor memakan makroalga, dengan cara grazing dan browsing Flores 2003. Bentuk tubuh dan tingkah laku ikan herbivor berperan dalam penentuan pola makan Sale 3 1991. Famili Pomacentridae memperoleh makanannya dengan cara mempertahankan wilayahnya. Famili Achanturidae dan Scaridae lebih memilih untuk berkelompok dalam mencari makanannya, sedangkan famili Siganidae, lebih memilih soliter untuk mencari makanannya Smith et al. 2001; Chazottes et al . 2001; Flores 2003. Secara alami, laju pertumbuhan makroalga yang lebih cepat dari karang, dikendalikan oleh ikan herbivor dan nutrien. Littler et al. 2006 menginformasikan bahwa ikan herbivor, melakukan grazing untuk mengendalikan pertumbuhan makroalga top down control. Peningkatan nutrien memberikan nutrisi bagi metabolisme dan pertumbuhan dari makroalga bottom up control . Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang mudah terkena dampak pembangunan di sekitar Teluk Jakarta. Fenomena kematian ikan secara masal akibat pencemaran bahan organik telah terjadi di Teluk Jakarta pada bulan Mei 2004 Mukhtasor 2007. Pembuangan sampah dan pengerukan sungai membuat laut menjadi kotor. Akibatnya terjadi penurunan kualitas perairan seperti sedimentasi dan pengkayaan nutrien yang berdampak pada degradasi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Disisi lain, penangkapan ikan yang merusak dan penangkapan berlebih juga memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Sejak tahun 1970-an, penangkapan ikan dengan bahan peledak merupakan salah satu aktifitas yang membuat ekosistem terumbu karang terus mengalami degradasi ekosistem Aktani 2003. Hal ini dikuatkan oleh LAPI-ITB 2001 in Estradivari et al. 2007 yang menjelaskan bahwa data Catch per Unit Effort CPUE dengan unit alat tangkap yang jumlahnya lebih besar dan lebih modern, menunjukkan nisbah hasil tangkapan pada tahun 1995 relatif sama dengan tahun 1976. Berdasarkan monitoring terhadap kondisi ekosistem terumbu karang yang dilakukan oleh Yayasan Terangi selama periode 2004 – 2005 menunjukkan bahwa populasi alga telah meningkat sebesar 1.50 Estradivari et al. 2007. Faktor manusia cenderung melakukan kegiatan yang dapat membuat kondisi ekosistem terumbu karang terus mengalami degradasi ekosistem. Untuk pencegahan degradasi ekosistem terumbu karang diperlukan satu pengelolaan 4 yang dapat menjembatani kegiatan manusia tersebut. Selain faktor yang memberi manfaat bagi manusia, interaksi hubungan yang terjadi di ekosistem terumbu karang juga perlu diperhatikan dalam rangka mengelola ekosistem terumbu karang.

1.2 Perumusan Masalah