8 terhadap tingkat kelancaran pengembalian oleh debitur perlu menjadi hal yang
diperhatikan oleh PT Bank BRI agar angka kredit bermasalah dapat ditekan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: 1.
Bagaimana karakteristik debitur KUR pada BRI Unit Cimanggis berdasarkan tingkat kelancaran pengembaliannya?
2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran
pengembalian KUR pada BRI Unit Cimanggis?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi karakteristik debitur KUR pada BRI Unit Cimanggis
berdasarkan tingkat kelancaran pengembalian. 2.
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian KUR pada BRI Unit Cimanggis.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi manajemen PT Bank BRI
terutama bagi BRI Unit Cimanggis sebagai masukan dan solusi untuk dapat mengetahui karakteristik debiturnya serta faktor-faktor yang berpengaruh
nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian KUR oleh debiturnya sehingga bank dapat mengantisipasi faktor tersebut untuk meningkatkan
kualitas kredit dan PT Bank BRI menjadi bank yang handal dalam menjalankan perannya.
2. Bagi penulis penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan teori-teori yang
pernah dipelajari untuk mengkaji berbagai fakta yang terjadi di lembaga perbankan.
3. Bagi pembaca, dapat digunakan untuk menambah pengetahuan tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian KUR oleh debitur serta dapat dijadikan sebagai salah satu bahan referensi
untuk penelitian lebih lanjut.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Mikro
Usaha mikro merupakan suatu unit usaha yang banyak memiliki keterbatasan dibandingkan perusahaan besar. Keterbatasan ini tampak dalam hal
skala usaha sesuai dengan namanya yaitu usaha “mikro” yang sangat jelas mencerminkan ruang lingkup usahanya yang cukup terbatas Muhammah 2008
Pada umumnya usaha ini belum memiliki legalitas usaha yang sah sehingga sektor usaha ini sering disebut dengan sektor informal. Ciri dari sektor
informal antara lain tidak mempunyai badan hukum, tidak tercatat dalam daftar resmi, menciptakan kegiatan sendiri, tidak mempunyai jenis organisasi formal,
jenis dan tempat usaha tidak permanen, untuk melakukan kegiatan usaha tidak memerlukan keahlian dan keterampilan berdasarkan pendidikan formal dan lain
sebagainya. Batasan atau ruang lingkup usaha mikro sangat beragam bergantung pada
pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008, usaha mikro didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat berskala mikro yang
modal usahanya tidak lebih dari Rp 50.000.000,-. tidak termasuk tanah dan bangunan usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp
300.000.000,- . Usaha tersebut merupakan milik warga Negara Indonesia yang berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung ataupun tidak langsung dengan usaha menengah atau besar, dan berbentuk perseorangan badan usaha
yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Ciri lain yang juga sering digunakan berbagai instansi sebelum
keluarnya Undang-Undang Nomor 20 tersebut adalah jumlah tenaga kerjanya maksimal lima orang dan sebagian besar menggunakan anggota keluargakerabat
atau tetangga, pemiliknya bertindak secara alamiah dengan mengandalkan insting dan pengalaman sehari-hari.
Dalam menjalankan usahanya, usaha mikro ini belum disertai analisis kelayakan usaha dan rencana bisnis yang sistematis, melainkan hanya ditunjukkan
oleh kerja keras pemilik yang sekaligus pemimpin usaha. Kegiatan usahanya menggunakan teknologi sederhana dengan sebagian besar bahan baku lokal,
10 dipengaruhi faktor budaya, jaringan usaha terbatas, tidak memiliki tempat
permanen, usahanya mudah ditinggalkan, modal relatif kecil,serta menghadapi persaingan ketat karena hambatan masuk entry barrier usaha mereka sangat
lonnggar. Berbeda pula dengan Departemen Koperasi yang menetapkan batasan
yaitu usaha mikro adalah usaha dengan total kekayaan maksimum sebesar Rp 100.000.000 usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan total Rp 200.000.000
dan usaha menengah adalah usaha dengan total kekayaan lebih besar dari Rp 200.000.000 hingga Rp 10.000.000.000 Departemen Koperasi 2008
Pihak perbankan umumnya memandang pelayanan terhadap sektor ini mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan risiko. Tingginya biaya
disebabkan skala kredit yang dibutuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan
yang menjadi jaminan juga rendah Kusmuljono 2009. Hal ini sejalan dengan karakteristik usaha mikro secara umum yakni:
1 Sistem pembukuan yang relatif sederhana dan cenderung tidak mengikuti
kaidah administrasi pembukuan standar 2
Marjin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat tinggi 3
Modal terbatas 4
Pengalaman manajerial dalam mengelola perusahaan masih terbatas 5
Skala ekonomi yang terlalu kecil sehingga sulit mengharapkan penekanan biaya untuk mencapai efisiensi jangka panjang
6 Kemampuan pemasaran dan negosiasi terbatas
7 Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal yang rendah
karena keterbatasan sistem administrasi. Karakteristik yang dimiliki oleh usaha mikro mengisyaratkan adanya
kelemahan-kelemahan yang potensial menimbulkan masalah. Hal ini telah menyebabkan berbagai masalah internal, terutama berkaitan dengan pendanaan,
walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kemudahan dengan paket- paket kebijakan untuk mendorong sektor usaha kecil tersebut. Atas dasar potensi
dan karateristik tersebut, maka pemberdayaan usaha kecil ini masih strategis dan sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional.
11 Di samping itu, usaha mikro menghadapi pula faktor-faktor yang masih
menjadi kendala dalam peningkatan daya saing dan kinerja usaha mikro, yaitu: 1
Lemahnya sistem pembiayaan dan kurangnya komitmen pemerintah bersama lembaga legislatif terhadap dukungan permodalan usaha mikro, sehingga
keberpihakan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan masih belum seperti yang diharapkan
2 Kurangnya kemampuan usaha mikro untuk meningkatkan akses pasar
3 Terbatasnya informasi sumber bahan baku dan panjang jaringan distribusi
4 Belum terciptanya “blue print” platform teknologi dan informasi, yang
meliputi masalah regulasi, pembiayaan, standarisasi, lisensi jenis teknologi tepat
5 Proses perizinan pendirian badan usaha, paten, merek, hak cipta, investasi,
izin yang masih birokratis, biaya tinggi, dan waktu yang lama. Namun demikian jika mendapatkan sokongan dari berbagai pihak yang
saling terintegrasi sebenarnya sektor usaha mikro akan dapat berkembang lebih baik. Pertama, pemerintah memberikan regulasi dan supervisi yang tepat, dalam
hal ini peran pemerintah. Kedua, tersedianya sumber permodalan dan pembiayaan yang mudah dijangkau dan sustainable, yang perannya diperankan oleh perbankan
dan lembaga keuangan mikro. Dan ketiga, adanya pendampingan untuk capacity building yang diperankan oleh kalangan akademisi termasuk lembaga
pemeringkat, konsultan manajemen, dan sebagainya Kusmuljono 2009.
2.2. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Kredit