Kultur Sekolah KAJIAN PUSTAKA
Sergiovanni menyimpulkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kultur sekolah dan kualitas lulusan. Senada dengan
temuan Frymier dkk. Arief Achmad, http:www.pikiran-rakyat.com cetak1004110310.htm bahwa iklim sekolah seperti hubungan
interpersonal, lingkungan belajar kondusif, menyenangkan, moral dan spirit berkorelasi secara signifikan dengan kepribadian dan prestasi
akademik sekolah. Sebuah kultur sekolah akan terwujud jika semua komponen turut
ikut andil didalamnya, karena hubungan kekerabatan individu merupakan kunci sebuah sistem. Suasana disiplin, keakraban, saling menghargai, dan
menghormati tentunya tidak boleh diabaikan. Peran kultur sekolah adalah untuk memperbaiki kinerja sekolah, membangun komitmen warga
sekolah, serta membuat suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan bekerja keras dan tidak mudah
mengeluh Arief Achmad, http:www.pikiran-rakyat.comcetak 1004110310.htm.
Kultur sekolah yang positif menghargai kesuksesan, menekankan pencapaian dan kolaborasi, serta mengikat suatu komitmen pada staf dan
siswa untuk belajar. Menyalahkan siswa atas prestasinya, menghindari kolaborasi, dan selalu ada pertentangan antar warga sekolah merupakan
kultur sekolah yang negatif. Kultur sekolah yang negatif mestinya diubah kearah positif. Untuk mengubahnya kepala sekolah harus memahami
kultur yang ada, mengubah variasi hubungan antar warga sekolah,
32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perubahan dilakukan melalui dialog, perlahan-lahan dengan kesabaran, dan komitmen, serta perubahan dimulai dari atas dengan contoh perubahan
yang bersifat keteladanan. Kultur sekolah yang positif akan menghasilkan produk kultur yang baik pula, seperti peningkatan kinerja individu dan
kelompok, peningkatan kinerja sekolah atau institusi, terjamin hubungan yang sinergis diantara warga sekolah, tugas dilaksanakan dengan perasaan
senang, timbul iklim akademik, kompetisi dengan kolaborasi, serta interaksi yang menyenangkan.
Kultur sekolah yang kondusif, antara lain, ditandai dengan adanya iklim terbuka open climate, budaya positif positive culture, budaya
terbuka open culture, dan suasana batin yang menyenangkan enjoyable spiritual atmosphere diantara warga sekolah. Kultur sekolah yang
kondusif akan tampak dan tercermin dalam struktur organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, kebijakan dan aturan, tata tertib sekolah,
kepemimpinan dan hubungan, acara atau ritual, serta penampilan fisik Arief Achmad, http:www.pikiran-rakyat.comcetak1004110310.htm.
2. Dimensi Kultur Sekolah Kultur dapat diklasifikasikan ke dalam 6 enam tingkatan atau
lapisan layers yaitu: 1 a national level, 2 a regional level etc, 3 a gender level, 4 a generation level, 5 a social class level, dan 6 an
organization or corporate level Hofstede, 1994:10. Pada tingkat nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup:
power distance from small to large, collectivism versus individualism,
33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
femininity versus masculinity, dan uncertainty avoidance from weak to strong Hofstede, 1994:14.
Dimensi power distance jarak kekuasaan merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara
berbeda. Dimensi individualism individualisme menggambarkan suatu masyarakat dalam mana pertalian antar individu cenderung menghilang
artinya: individu cenderung memikirkan dirinya sendiri dan setelahnya orang lain. Sedangkan dimensi collectivism kolektivisme menunjukkan
suatu kondisi kelompok dimana individu-individu menjadi anggota sekolah kemudian diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi
sangat loyal terhadap kelompok tersebut. Dimensi masculinity maskulinitas menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender
terhadap perbedaan yang jelas. Sementara, dimensi femininity feminitas menunjukan suatu kelompok dimana peran sosial gender terhadap
perbedaan tidak jelas. Dimensi uncertainty avoidance ketidakpastian menunjukan suatu kelompok masyarakat dimana individu-individu akan
merasa terancam dalam suatu kondisi ketidakpastian ketidaktahuan situasi.
Menurut Hofstede 1994:33,61,90,119 pada tingkat sekolah, dimensi power distance jarak kekuasaan mencakup indikator antara lain:
perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pemelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik,
komunikasi dua arah di kelas, peran orang tua pada anak di sekolah, aturan
34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Dimensi
collectivism versus individualism mencakup indikator antara lain: kebebasan mengemukakan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat
penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Dimensi femininity versus masculinity mencakup
indikator antara lain: suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance
mencakup indikator yang meliputi: tingkat penerimaan siswa pada kekurangan guru, kejelasan guru dalam menerangkan, dan adanya
kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.