BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
Sesuai dengan judul penelitian “Pengaruh Puasa terhadap Profil Farmakokinetika Parasetamol pada Tikus Putih Jantan”, maka dalam bab ini
dilakukan penelaahan pustaka yang dapat mendukung analisis profil farmakokinetika yang diperoleh. Pustaka tersebut meliputi penjelasan mengenai
nasib obat dalam tubuh, fase farmakokinetika, prinsip dasar farmakokinetika, parasetamol, darah, serta landasan teori dan hipotesis dalam penelitian ini.
A. Nasib Obat dalam Tubuh
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses yang dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase farmasetika, fase farmakokinetika, dan fase
farmakodinamika. Secara skematis gambar 1 menjelaskan ketiga fase tersebut.
Pemberian obat Penghancuran bentuk sediaan obat,
Pelarutan zat aktif
Absorpsi
Distribusi Fase
farmakodinamika Cadangan
Ekskresi Biotransformasi
Gambar 1. Proses yang terjadi dalam organisme setelah pemberian oral Mutschler, 1991
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Fase farmasetika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat, dimana kebanyakan digunakan bentuk sediaan obat padat. Dalam fase
farmakokinetika terjadi proses invasi serta eliminasi. Proses invasi berarti pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme meliputi absorpsi dan
distribusi, sedangkan proses eliminasi berarti penurunan konsentrasi obat dalam organisme meliputi biotransformasi dan ekskresi. Fase farmakodinamika
merupakan interaksi obat- reseptor serta proses- proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi Mutschler, 1991.
B. Fase Farmakokinetika
Melalui berbagai cara pemberian, obat yang masuk ke dalam tubuh pada umumnya akan mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat akan diekskresikan dari dalam tubuh Setiawati, Bustami,
dan Suyatna, 2002. Berbagai proses yang terjadi fase ini akan diuraikan sebagai berikut.
1. Absorpsi
Jalur pemberian obat yang paling sering dilakukan adalah secara ekstravaskuler. Dengan demikian obat harus dapat diabsorpsi terlebih dahulu dari
tempat pemberiannya untuk dapat memberikan efek sistemik Rowland and Tozer, 1995.
Absorpsi obat didefinisikan sebagai proses dimana obat utuh tak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
berubah dipindahkan dari tempat pemberian menuju ke sirkulasi sistemik Rowland and Tozer, 1995.
Meknisme absorpsi Absorpsi, seperti halnya distribusi dan eliminasi, pada dasarnya
merupakan proses yang memerlukan gerakan melintasi membran agar dapat mencapai sikulasi sistemik. Sebagian besar obat melewati membran melalui
mekanisme difusi pasif, yang berarti molekul bergerak searah gradien kadar Rowland and Tozer, 1995. Disebut pasif karena dalam mekanisme ini tidak ada
energi luar yang terlibat Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005. Berdasarkan
Hukum Fick tentang difusi, molekul obat berdifusi dari
daerah dengan konsentrasi tinggi menuju ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah.
1
p gt
C C
h DAK
dt dQ
− =
dimana dQdt = laju difusi A = luas permukaan membran
D = koefisien difusi K = koefisien partisi obat pada membran h = tebal membran
C
gt
– C = perbedaan antara konsentrasi
p
di saluran pencernaan dengan plasma
Model Fluid-Mozaik yang diperkenalkan oleh Leonard dan Singer 1972, menggambarkan tentang struktur membran sel. Membran sel terdiri atas
dua lapis lipid yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul- molekul protein yang tertanam di kedua sisi
atau menembus membran berupa mosaik pada membran dan membentuk kanal hidrofilik untuk transpor air dan molekul kecil lain yang larut dalam air
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Mutschler, 1991; Setiawati dkk., 2002. Pada mekanisme difusi pasif, mula- mula obat harus berada dalam
larutan air pada permukan membran sel, kemudian obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lipid membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi
yang kadarnya lebih tinggi ke sisi yang lebih rendah. Setelah keadaan ekuilibrium steady state tercapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan
sama Setiawati dkk., 2002. Dalam keadaan normal, sistem biologis bersifat dinamis. Sehingga kadar
obat di bagian dalam membran berkurang secara berkesinambungan karena selalu dibersihkan oleh darah. Terdapat dua faktor pembatas laju pergerakan obat
melintasi membran, yang dapat dilihat pada gambar 2.
A. Perfusion-Rate Limitation B. Permeability-Rate Limitation Darah
Darah
Gambar 2. Faktor pembatas laju pergerakan obat melintasi membran, dari darah ke jaringan atau sebaliknya Rowland and Tozer, 1995
Ketika membran tidak menjadi sawar barrier bagi proses penetrasi obat, yaitu pada obat dengan kelarutan lipid tinggi, maka yang menjadi faktor
pembatas laju adalah perfusi perfusion-rate limitation. Pada kondisi ini gerakan molekul obat dibatasi oleh aliran darah. Obat dalam darah meninggalkan jaringan
dalam keadaan ekuilibrium; darah dan jaringan dianggap satu gambar 2.A. Sedangkan bila resistensi membran terhadap obat meningkat, karena
membran Jaringan
Jaringan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
bertambahnya ketebalan membran atau kepolaran obat, maka permeabilitas menjadi faktor pembatas permeability-rate limitation. Pada kondisi ini keadaan
ekuilibrium tidak tercapai saat darah meninggalkan jaringan; darah dan jaringan dianggap sebagai kompartemen yang berbeda gambar 2.B Rowland and Tozer,
1995. Faktor- faktor yang mempengaruhi absorpsi
Keefektifan absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor mekanis dan faktor fisiologis.
a. Faktor mekanis yang meliputi ketiga hal berikut.
1 Rute dan cara pemberian
Setiap rute dan cara pemberian memiliki keuntungan dan kelebihan masing- masing. Pemberian obat secara oral adalah cara
pemberian yang paling banyak dilakukan, karena cara ini mudah, murah dan aman Shargel et al., 2005. Kerugiannya meliputi onset
yang relatif lambat, beberapa obat mungkin dapat mengiritasi lambung, kemungkinan absorpsi yang tidak teratur dan destruksi obat-
obat tertentu oleh enzim dan sekresi saluran pencernaan York, 1990. Ketika obat diberikan secara oral, pada obat- obat tertentu
sebagian akan melewati vena porta hepatika dan mengalami metabolisme oleh enzim di hati pada lintasan pertamanya. Fenomena
inilah yang disebut sebagai efek lintas pertama Setiawati dkk, 2002. Bila dibandingkan dengan pemberian secara intravena, maka nilai
AUC area under the curve oral lebih kecil dari AUC intravena.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Wagner, 1975. 2
Efek bentuk sediaan obat Bentuk sediaan dari suatu obat misal tablet atau kapsul
merupakan sistem penghantar obat, dimana hampir semua yang terjadi pada sistem akan berpengaruh pada laju obat untuk mencapai sirkulasi,
serta pada rasio jumlah obat yang mencapai sirkulasi dengan yang tertera pada label Wagner, 1975
Bentuk sediaan obat meliputi keadaan fisik obat ukuran partikel, bentuk kristal bubuk serta eksipien zat pengisi, zat
pengikat, zat pelicin, dan zat penyalut yang digunakan. Bentuk sediaan obat akan menentukan laju disintegrasi dan disolusi obat, lebih
lanjut akan menentukan absorpsi dari obat yang tersebut Setiawati dkk., 2002.
3 Dosis dan aturan dosis
Setiap pasien idealnya mempunyai dosis dan aturan dosis untuk dirinya sendiri. Dosis suatu obat hendaknya dapat menjamin
tercapainya efek terapetik yang diinginkan tanpa menimbulkan efek toksik Setiawati dkk., 2002. Dosis dan aturan dosis akan
mempengaruhi biavailabilitas dari suatu obat, yaitu pada C
maks
dan AUC yang dihasilkan Shargel, et al., 2005.
b. Faktor fisiologis yang meliputi keempat hal berikut.
Obat yang diberikan melalui rute enteral dengan tujuan absorpsi sistemik dapat dipengaruhi oleh anatomi, fungsi fisiologis, serta isi saluran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
pencernaan. Lebih lanjut, faktor mekanis dari obat terkait juga berpengaruh terhadap absorpsi dari saluran pencernaan Shargel et al., 2005.
1 Komponen dan sifat dari cairan pencernaan
Agar dapat diserap dari saluran cerna, obat harus melarut dalam cairan pencernaan. Sifat- sifat serta komponen dari cairan pencernaan
tersebut dapat mempengaruhi absorpsi obat ke dalam darah dengan cara mengubah laju pelarutan obat terkait Bear dkk, 1972, cit.
Donatus, 2005. pH cairan pencernaan, garam empedu, enzim serta mucin merupakan empat hal yang penting dalam hal ini Mayersohn,
2002. Sebagian besar obat adalah asam lemah atau basa lemah,
karena pH mempengaruhi kelarutan beberapa senyawa, maka laju disolusi dari suatu bentuk sediaan khususnya tablet dan kapsul akan
tergantung pada pH. Obat asam akan terdisolusi dengan baik pada lingkungan yang basa usus, demikian pula sebaliknya untuk obat
basa akan terdisolusi lebih baik pada lingkungan yang asam lambung. Karena disolusi merupakan langkah awal dari absorpsi, dan
disolusi dipengaruhi oleh pH maka pH cairan saluran pencernaan berperan penting dalam proses absorpsi obat Mayersohn, 2002.
Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam cairan pencernaan atau darah dapat dihitung dengan persamaan
Henderson- Hasselbach Proudfoot, 1990. Untuk obat asam lemah:
pKa -
pH HA]
[ ]
[A log
-
=
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Untuk obat basa lemah: ]
[B BH]
[ log
pKa -
pH
+
=
3
dimana [A
-
] = konsentrasi ion asam [HA] = konsentrasi molekul asam
+
[B ] = konsentrasi ion basa [BH] = konsentrasi molekul basa
Selain pH, zat- zat yang terdapat pada cairan saluran pencernaan juga dapat mempengaruhi proses absorpsi obat. Garam
empedu dapat meningkatkan laju dan atau jumlah absorpsi dari obat- obat yang kurang larut dalam air, dengan cara meningkatkan laju
disolusi pada saluran pencernaan. Garam empedu juga dapat menurunkan absorpsi obat melalui pembentukan kompleks yang tidak
larut air dan tidak terabsorpsi Mayersohn, 2002. Cairan usus mengandung berbagai macam enzim yang
diperlukan pada proses pencernaan. Enzim- enzim ini dapat bereaksi pada beberapa obat. Sebagai contoh, enzim pankreas dapat
menghidrolisis kloramfenikol palmitat, pankreatin dan tripsin dapat mendeasetilasi obat- obat N-asetilase, dan esterase mukosal dapat
menyerang gugus ester dari penisilin Mayersohn, 2002. Mucin, yang berfungsi melindungi epitelium usus, dapat
berikatan secara non spesifik terhadap beberapa obat senyawa amonium kuartener sehingga dapat mencegah atau menurunkan
absorpsi. Selain itu mucin juga dapat menjadi sawar bagi difusi obat sebelum mencapai membran usus Mayersohn, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
2 Pengosongan lambung
Pada umumnya absorpsi obat yang optimal berlangsung di usus halus Shargel et al., 2005. Sehingga setiap faktor yang menunda
perpindahan obat dari lambung ke usus halus akan mempengaruhi laju, dan mungkin juga jumlah, absorpsi obat. Dengan demikian akan
berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum memperbesar nilai t
maks
serta respon farmakologisnya Mayersohn, 2002.
Pola pengosongan lambung tergantung pada ada tidaknya makanan. Pada keadaan lambung yang kosong, terdapat pola khusus
aktivitas elektromekanik yang disebut sebagai migrating motor complex MMC. MMC menyebabkan terjadinya kontraksi yang
dimulai pada bagian proksimal lambung dan berakhir di ileum. MMC terdiri dari empat fase.
Fase I
: periode dimana hanya terjadi sedikit aktivitas,
berlangsung sekitar 45 - 60 menit Fase II : terjadi kontraksi tak beraturan yang secara bertahap akan
meningkat frekuensinya untuk kemudian menuju ke fase selanjutnya, berlangsung sekitar 30 - 45 menit.
Fase III : gelombang peristaltik yang kuat mengosongkan isi lambung ke usus halus, berlangsung selama 5 – 10 menit.
Fase IV : transisi penurunan aktivitas pada Fase III kembali ke tahap awal Fase I, disebut juga sebagai gelombang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
‘housekeeper’. Keseluruhan fase berlangsung selama kurang lebih 2 jam.
Suatu bentuk sediaan solid yang dicerna pada keadaan lambung yang kosong akan tinggal di lambung untuk waktu tertentu tergantung pada
gelombang ‘housekeeper’. Jika dicerna pada saat dimulainya gelombang ‘housekeeper’ maka waktu tinggal di lambung akan lebih
singkat daripada bila dicerna pada akhir gelombang ‘housekeeper’. Sehingga perbedaan waktu tinggal di lambung dapat menjelaskan
adanya perbedaan laju absorpsi antar individu Mayersohn, 2002. Adanya makanan berpengaruh pada pengosongan lambung.
Penurunan laju pengosongan lambung yang disebabkan oleh adanya asam lemak berbanding lurus dengan konsentrasi dan panjang rantai
karbonnya. Pengaruh terbesar yaitu pada asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 10 asam dekanoat sampai asam stearat. Trigliserida
menurunkan laju pengosongan lambung, terutama bentuk tak jenuhnya, seperti minyak zaitun. Karbohidrat menurunkan laju
pengosongan lambung, seiring dengan peningkatan konsentrasinya. Asam amino menurunkan laju pengosongan lambung, yang
dimungkinkan sebagai hasil dari tekanan osmotik Mayersohn, 2002. 3
Transit usus Setelah obat dikosongkan dari lambung selanjutnya akan
masuk ke usus halus. Usus halus merupakan tempat utama bagi absorpsi obat karena luas permukaannya yang jauh lebih luas dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
lambung Mayersohn, 2002. Usus halus manusia sebagian besar terdiri dari mikrovili dengan luas permukaan kurang lebih 200 m
2
, dan diperkirakan 1 l darah melintasi kapiler darah di sekitar usus per menit.
Total luas permukaan lambung hanya 1 m
2
dengan aliran darah 150 ml per menit Rowland and Tozer, 1995.
Oleh sebab itu, semakin lama waktu tinggal obat di daerah ini, maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya absorpsi yang
lengkap dari obat tersebut, dengan asumsi bahwa obat stabil dalam cairan usus dan tidak akan membentuk turunan yang tak larut air
Mayersohn, 2002. Terdapat dua macam gerakan usus, yaitu gerakan peristaltik
propulsive dan gerakan pencampuran mixing. Gerakan peristaltik akan menentukan laju transit usus dan oleh karena itu menentukan
waktu tinggal obat di usus. Lebih lanjut akan berperan dalam menentukan berapa waktu yang tersedia bagi sediaan obat untuk
melepaskan zat aktif, berdisolusi, dan kemudian terabsorpsi. Semakin besar motilitas usus maka semakin singkat pula waktu tinggal obat,
dan makin singkat pula waktu bagi proses- proses tersebut. Motilitas usus akan sangat penting bagi obat- obat sediaan lepas lambat
sustained-release drugs atau pada obat- obat salut enterik enteric- coated drugs, demikian juga pada obat yang terlarut dengan lambat
atau dimana absorpsinya maksimal hanya pada tempat tertentu di usus Mayersohn, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Gerakan pencampuran akan membawa isi usus menuju ke kontak optimal dengan permukaan epitelium, dan oleh sebab itu
tersedia daerah efektif yang lebih luas untuk absorpsi. Laju absorpsi secara langsung tergantung pada daerah permukaan membran, dan
karena pencampuran meningkatkan area kontak antara obat dengan membran, maka gerakan pencampuran akan cenderung meningkatkan
laju absorpsi obat Mayersohn, 2002. 4
Aliran darah Saluran pencernaan dilintasi oleh banyak sekali pembuluh
darah sehingga daerah ini diperfusi dengan baik oleh aliran darah. Obat yang terabsorpsi terlebih dahulu akan menuju ke hati, yang
merupakan tempat utama biotransformasi obat di tubuh. Obat mungkin akan mengalami biotransformasi yang luas sebelum terdistribusi
sistemik. Hal ini disebut sebagai efek lintas pertama atau eliminasi prasistemik hati, yang mempunyai implikasi pada bioavailabilitas dan
terapi obat Mayersohn, 2002. Adanya perfusi aliran darah yang baik pada saluran pencernaan
memungkinkan terjadinya penghantaran zat terabsorpsi secara efisien. Aliran darah berpengaruh terhadap absorpsi senyawa- senyawa yang
diabsorpsi secara aktif atau khusus yang memerlukan partisipasi membran dalam transpornya. Jika aliran darah dan oksigen berkurang,
kemungkinan terjadi penurunan absorpsi dari senyawa- senyawa ini. Mayersohn, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Tahap pengendali laju rate-limiting step absorpsi pada senyawa yang siap menembus membran usus yaitu senyawa dengan
koefisien permeabilitas tinggi mungkin ada pada laju perfusi darah di usus. Untuk senyawa dengan permeabilitas rendah contoh: ribitol
maka absorpsinya tidak tergantung pada aliran darah. Mayersohn, 2002.
2. Disposisi obat
Setelah terabsorpsi, maka obat akan dihantarkan oleh pembuluh darah arteri menuju ke seluruh jaringan, termasuk organ- organ eliminasi. Disposisi
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses- proses yang terjadi setelah proses absorpsi obat. Disposisi mencakup dua hal yaitu distribusi dan
eliminasi obat Rowland and Tozer, 1995. a. Distribusi obat
Distribusi merupakan proses perpindahan bolak- balik suatu obat menuju dan dari tempat aksi, biasanya darah atau plasma. Pada umumnya
distribusi suatu obat dari darah menuju ke jaringan adalah secara difusi pasif Riviere, 1999. Distribusi obat terlebih dahulu terjadi pada organ- organ yang
perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak. Selanjutnya mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ- organ tadi, seperti otot,
visera, kulit dan jaringan lemak. Kesetimbangan akan terjadi setelah waktu yang lama Setiawati dkk., 2002. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi
distribusi suatu obat yaitu perfusi aliran darah pada organ, kemampuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
menembus membran permeabilitas, serta ikatan obat dengan darah dan jaringan Rowland and Tozer, 1995.
Distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan jaringan. Apabila pasokan darah semakin besar, maka bagian obat yang dapat
berdifusi ke dalam organ tertentu dari pembuluh darah juga semakin banyak. Ini berati bahwa organ yang mempunyai banyak kapiler untuk memulai poses
distribusi mengambil jumlah obat lebih banyak dibandingkan dengan organ yang pasokan darahnya kurang Mutschler, 1991.
Seperti halnya absorpsi, laju distribusi juga dapat dibatasi baik oleh perfusi maupun permeabilitas. Suatu perfusion-rate limitation terjadi bila
membran jaringan tidak menjadi sawar secara esensial bagi proses ditribusi. Kondisi ini terjadi pada molekul- molekul kecil lipofilik, yang berdifusi
melintasi hampir semua membran tubuh. Perfusi dinyatakan dalam satuan ml darah per menit per volume jaringan mlmenitml. Sedangkan permeability-
rate limitation muncul khususnya pada obat polar yang berdifusi melintasi membran lipoid yang rapat. Karena adanya perbedaan perfusi dan permeabilitas
dari berbagai jaringan ini, maka sulit untuk memprediksikan distribusi jaringan dari suatu obat Rowland and Tozer, 1995.
Faktor penting lain untuk proses distribusi obat adalah ikatan obat pada protein terutama pada protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah.
Konsekuensinya, konsentrasi obat dalam darah total, dalam plasma, dan tak terikat dalam air plasma, dapat sangat berbeda. Hanya obat bebas atau tak
terikatlah yang dapat menembus membran dan mencapai kesetimbangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Rowland and Tozer, 1995. Ikatan protein bersifat bolak- balik. Derajat ikatan obat dengan protein
plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar protein sendiri. Pada keadaan defisiensi protein, pengikatan obat oleh protein
menjadi berkurang Setiawati dkk., 2002. Makin besar tetapan afinitas zat terhadap protein, makin kuat ikatan protein. Kesetimbangan distribusi akan
bergeser ke protein dengan tetapan afinitas yang lebih besar Mutschler, 1991. b. Eliminasi obat
Eliminasi merupakan proses kehilangan tak bolak- balik suatu obat dari tempat aksi ke organ eliminasi. Dua organ eliminasi utama tubuh adalah hati
dan ginjal. Ginjal merupakan organ eliminasi utama untuk ekskresi obat bentuk tak berubah. Sebagian besar obat mengalami eliminasi yang berlangsung
melalui ginjal. Hati merupakan tempat dimana terjadi biotransformasi obat. Sekresi bentuk obat tak berubah juga dapat dilakukan hati ke dalam empedu
Rowland and Tozer, 1995. Eliminasi obat terjadi melalui dua proses yaitu biotransformasi dan
ekskresi. 1
Biotransformasi Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan
struktur kimiawi suatu obat dalam tubuh yang dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar yang artinya lebih
mudah larut dalam air daripada dalam lemak, sehingga lebih mudah dieksresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
sehingga sangat berperan dalam mengakhiri masa kerja obat Setiawati dkk., 2002. Pada umumnya, hati merupakan tempat biotransformasi utama,
dan kadang satu- satunya, dari suatu obat Rowland and Tozer, 1995. Terdapat obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih
toksik, atau obat tersebut justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini disebut sebagai prodrug. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi
lebih lanjut dan atau dieksresi sehingga kerjanya berakhir Setiawati dkk., 2002.
Jalur biotransformasi obat terdiri dua fase yaitu fase I dan fase II. Fase I meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat
menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif dari bentuk aslinya. Reaksi fase II, disebut juga reaksi
sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, dan asam
amino. Hasil konjugasi bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresikan. Metabolit hasil konjugasi biasanya
tidak aktif, kecuali untuk prodrug tertentu. Beberapa hanya mengalami salah satu dari kedua fase tersebut, tetapi kebanyakan obat mengalami
biotransformasi melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit Setiawati dkk., 2002.
2 Ekskresi
Ekskresi obat adalah proses kehilangan tak bolak- balik dari bentuk obat tak berubah Rowland and Tozer, 1995. Obat diekskresikan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
tubuh melalui berbagai organ tubuh dalam bentuk metabolitnya atau dalam bentuk tak berubahnya. Ginjal merupakan organ ekskresi tubuh yang
paling penting. Ekskresi obat melalui ginjal mencakup tiga tahap, yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi
pasif di tubulus proksimal dan distal Setiawati dkk, 2002. Ekskresi obat juga dapat terjadi melalui keringat, air liur, air mata,
air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat Setiawati dkk., 2002.
C. Prinsip Dasar Farmakokinetika
Nasib obat dalam tubuh yang meliputi proses absorpsi dan disposisi obat tersebut dipelajari dalam ilmu farmakokinetika. Berikut ini akan dipaparkan
mengenai definisi, analisis, parameter serta strategi penelitian farmakokinetika.
1. Definisi farmakokinetika
Farmakokinetika adalah suatu perhitungan matematik dari kinetika proses absorpsi, distribusi dan eliminasi obat di dalam tubuh Makoid and Cobby,
2000. Kinetika berarti gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks farmakokinetika, kinetika yang dipelajari yaitu mengenai proses
perpindahan obat dari satu tempat ke tempat lain di dalam tubuh, atau nasib obat di dalam tubuh. Nasib obat di dalam tubuh ini yang kemudian dikenal sebagai
proses absorpsi, distribusi, serta eliminasi Donatus, 1989. Faktor biologis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
psikologis dan fisika-kimia yang mempengaruhi proses perpindahan obat di dalam
tubuh juga mempengaruhi laju dan jumlah dari proses obat tersebut di dalam tubuh Makoid and Cobby, 2000.
Farmakokinetika menggunakan model matematika untuk menguraikan proses- proses absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, dan
memperkirakan besarnya kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari besarnya dosis, interval pemberian dan waktu Setiawati, 2002.
2. Analisis farmakokinetika
Untuk mengukur kadar obat di sel sasaran merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang sangat sulit serta
riskan dilakukan pada manusia. Oleh sebab itu timbullah pertanyaan tentang bagaimana cara untuk menaksir dan mengkaji ketepatgunaan obat di sel sasaran
serta nasibnya di dalam tubuh. Analisis farmakokinetika merupakan alternatif jawaban atas permasalahan tersebut Donatus, 1989.
Peningkatan dan penurunan kadar obat di dalam darah akibat proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi, berkaitan dengan waktu. Karena itu sebelum
dilakukan perhitungan parameter farmakokinetika suatu obat maka perlu diketahui terlebih dahulu ordo kinetikanya. Sebagai analog, untuk menjelaskan fungsi
membran, terlebih dahulu perlu diasumsikan model struktur membran. Demikian pula sebelum dilakukan perhitungan parameter farmakokinetika obat perlu
diasumsikan terlebih dahulu model kompartemen tubuh, agar hasil pengukuran kadar obat dalam darah lawan waktu dapat diturunkan secara matematis, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
diperoleh nilai parameter farmakokinetikanya Donatus, 1989. Analisis yang dilakukan dalam farmakokinetika meliputi analisis model
kompartemen tubuh serta analisis ordo kinetika, yang akan diuraikan sebagai berikut.
a. Analisis model kompartemen.
Yang dimaksud dengan model farmakokinetika adalah suatu hubungan matematika yang menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu
dalam sistem yang diteliti Setiawati, 2002. Setelah masuk ke dalam tubuh, obat akan terdistribusi ke jaringan dan berbagai organ tubuh yang sifatnya
beragam. Dengan kata lain, tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berupa kumpulan kompartemen dimana satu dengan lainnya terpisah. Untuk
mencocokkan dan menginterpretasikan data uji farmakokinetika, sistem multikompartemen tersebut disederhanakan menjadi sistem satu dan dua
kompartemen, yang akan diuraikan di bawah ini Donatus, 1989. 1
Model satu kompartemen Pada model ini, diasumsikan bahwa obat dapat masuk dan keluar
tubuh dan tubuh bertindak seperti kompartemen sentral Shargel et al., 2005. Menurut model ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen
dimana obat menyebar dengan seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh Setiawati, 2002. Sedangkan istilah terbuka mengacu
pada proses eliminasi yang dapat terjadi Mutschler, 1991. Secara ringkas, karakteristik dari model satu kompartemen pada
rute pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler dapat dilihat pada tabel I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
berikut.
Tabel I. Ringkasan karakteristik model satu kompartemen terbuka Ristchel, 1992 Persamaan kadar
obat dalam darah μgml
Rute pemberian
Karakteristik Model
D K
el
D = dosis pemberian Vd = volume distribusi
C = konsentrasi obat dalam plasma
K
el
= tetapan laju eliminasi Intravaskuler
-Tidak ada proses intravena,
intracardiac, intra-arteria
absorpsi, -semua obat
masuk ke dalam sirkulasi
sistemik, -distribusi obat
yang cepat antara aliran darah dan
jaringan, -steady state
tercapai dengan cepat,
- penurunan kadar tergantung
pada ekskresi dan biotransformasi.
Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log
log konsen-
trasi
K
el
waktu
Ct = N. e
-Kel.t
Dimana : -N = konsentrasi
obat hipotetik pada t = 0
- Ct = konsentrasi obat hipotetik pada
saat t -K
el
= tetapan laju eliminasi
Ekstravaskuler oral, rektal,
intramuskuler, intracutaneous
subcutaneous - terjadi absorpsi
karena pelepasan obat dan meka-
nisme absorpsi - saat t=0 tidak
ada obat dalam darah
- kadar naik oleh
absorpsi, dan turun karena
eliminasi, - tidak semua
k
a
K
el
D.f
D = dosis pemberian f = fraksi obat terabsorpsi
k
a
= tetapan laju absorpsi Vd = volume distribusi
C= konsentrasi obat dalam plasma K
el
= tetapan laju eliminasi Ct = M. e
-Kel.t
- L. e
-ka.t
Dimana : -M = intersep slope
eliminasi mono- eksponensial back-
extrapolated dengan ordinat
- L = intersep slope absorpsi mono-
Tubuh Vd C
Tubuh Vd C
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
obat terabsorpsi. Kurva kadar obat vs waktu eksponensial
dengan ordinat pada kertas semi log
log konsen-
trasi K
el
waktu
- K
el
= tetapan laju eliminasi
- k
a
= tetapan laju absorpsi
2 Model dua kompartemen Pada model ini, diasumsikan bahwa tubuh bertindak sebagai dua
kompartemen yaitu kompartemen sentral dan perifer Shargel et al., 2005. Kompartemen sentral terdiri dari darah dan berbagai organ yang
banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati, ginjal dan kelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai keseimbangan dengan cepat dalam
kompartemen ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit dan jaringan lemak, sehingga
obat lambat masuk ke dalamnya Setiawati, 2002. Pada dasarnya model dua kompartemen adalah sama dengan
model kompartemen satu, bedanya adalah adanya proses ditribusi karena adanya kompartemen perifer Setiawati, 2002.
Secara ringkas, karakteristik dari model dua kompartemen pada rute pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler dapat dilihat pada tabel
II berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Tabel II. Ringkasan karakteristik model dua kompartemen terbuka Ristchel, 1992 Persamaan kadar
obat dalam darah μgml
Rute pemberian
Karakteristik Model
k
12
k
21
D k
13
D = dosis pemberian KS = kompartemen sentral
KP = kompartemen perifer k
12
,k
21
= tetapan laju distribusi k
13
= tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral
Vc = volume kompartemen sentral
C = konsentrasi obat dalam plasma
β = slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat
Intravaskuler -Tidak ada proses
KP
intravena, intracardiac,
intra-arteria absorpsi,
-semua obat masuk ke dalam
sirkulasi sistemik,
-distribusi obat yang lambat
antara aliran darah dan
jaringan, -steady state
tercapai beberapa saat setelah
pemberian, - penurunan
bagian pertama karena distribusi
- penurunan kedua tergantung
distribusi kembali dari jaringan ke
darah, ekskresi dan
biotransformasi.
Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log
log konsen-
trasi
β waktu
Ct = M. e
- β.t
+ L. e
- α.t
Dimana : -M = intersep slope
eliminasi β mono-
eksponensial back- extrapolated
dengan ordinat - L = intersep slope
distribusi
α dengan
ordinat -
β=slope eliminasi total tetapan laju
disposisi lambat -
α= slope distribusi
tetapan laju disposisi cepat
Ekstravaskuler oral, rektal,
intramuskuler, intracutaneous
subcutaneous - terjadi absorpsi,
berdasarkan mekanisme
pelepasan obat
- saat t = 0 tidak ada obat dalam
darah - kadar naik oleh
absorpsi, diikuti penurunan
k
12
k
21
D.f k
a
k
13
D = dosis pemberian f = fraksi obat terabsorpsi
KS = kompartemen sentral
Ct = M. e
- β.t
+ L. e
- α.t
– N.
e
–ka.t
Dimana : - M = intersep
slope eliminasi β
mono-eksponensial back-extrapolated
dengan ordinat KS
Vc C
KS
KP
Vc C
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
KP = kompartemen perifer k
a
= tetapan laju absorpsi k
12
,k
21
= tetapan laju distribusi k
13
= tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral
Vc = volume kompartemen sentral
C = konsentrasi obat dalam plasma
β = slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat
Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log
karena distribusi lambat sampai
steady state tercapai
- L = intersep slope distribusi
α dengan
ordinat - N = konsentrasi
obat hipotetik saat - penurunan
kurva mono- eksponensial
tergantung pada distribusi kembali
obat dari jaringan ke darah, ekskresi
dan biotrans- formasi
t=0 diperoleh dari L+M
- β= slope eliminasi
total tetapan laju disposisi lambat
-
α= slope distribusi tetapan laju
disposisi cepat
Bila k
a
α
log konsen-
trasi
β waktu
Bila
α k
a
log konsen-
trasi
β waktu
- k
a
= tetapan laju absorpsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
b. Analisis ordo kinetika.
Perhitungan parameter farmakokinetika diturunkan secara matematis atas dasar asumsi ordo kinetikanya. Perubahan kadar obat di dalam darah atau
plasma karena absorpsi, distribusi dan eliminasi merupakan fungsi waktu. Secara matematis, hal ini dinyatakan sebagai berikut.
n
kX dt
dX −
=
2
Dalam persamaan tersebut, X adalah kadar obat yang dipindahkan dari suatu kompartemen ke kompartemen lain. Tetapan k menggambarkan tetapan
kesebandingan yang berhubungan dengan proses laju perpindahan obat, yang selanjutnya disebut sebagai tetapan laju. Sedangkan n merupakan orde dari
proses perpindahan tersebut. Donatus, 1989. Selanjutnya persamaan 2 dapat diintegralkan, dan dinyatakan dalam persamaan 3.
kt
Xo.e X
−
=
3
Terlihat dari persamaan tersebut, bila perubahan kadar, lebih tepatnya penurunan kadar pada waktu tertentu, tergantung pada kadar obat yang dapat
dipindahkan pada waktu itu. Hal ini merupakan ciri khas kinetika orde pertama. Dengan kata lain, kinetika suatu obat mengikuti orde pertama jka n
nya sama dengan satu. Jika n sama dengan nol, maka kinetika obat tersebut mengikuti orde nol persamaan 4 atau 5 Donatus, 1989.
k dt
dX −
=
4 kt
X −
= 5
Proses- proses absorpsi, distribusi dan eliminasi yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
berarti laju proses- proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada. Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, didistribusi dan dieliminasi per satuan
waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses- proses tersebut Setiawati, 2002.
Pada obat- obat dengan kinetika orde pertama atau kinetika linier ini terdapat hubungan yang linier antara log kadar obat dalam plasma dengan
waktu pada fase absorpsi, distribusi dan eliminasi Setiawati, 2002.
3. Parameter farmakokinetika
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pola absorpsi, distribusi dan eliminasi suatu obat dapat dikaji dari nilai parameter farmakokinetikanya.
Parameter tersebut diperoleh dari pengukuran kadar obat tak berubah di dalam darah pada sederetan waktu tertentu Donatus, 1989.
Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat-utuh atau metabolitnya di dalam
cairan tubuh, seperti darah atau urin Reilly, 1974 cit. Donatus, 2005. Pada hakikatnya terdapat tiga jenis parameter farmakokinetika, yaitu parameter
farmakokinetika primer, parameter farmakokinetika sekunder, dan besaran turunan lain Rowland and Tozer, 1995.
Parameter farmakokinetika primer adalah parameter yang nilainya dipengaruhi secara langsung oleh perubahan satu atau lebih variabel fisiologis
terkait. Yang termasuk parameter tersebut adalah tetapan laju absorpsi k
a
, fraksi dosis obat yang diserap f
a
, volume distribusi Vd, bersihan tubuh total Cl
T
,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
bersihan hati Cl
H
, dan bersihan ginjal Cl
R
Rowland and Tozer, 1995. Ubahan fisiologis yang mempengaruhi parameter farmakokinetika primer
terkait dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Ketergantungan parameter farmakokinetika primer terhadap beberapa variabel fisiologi
Parameter farmakokinetika primer Variabel fisiologi
Tetapan laju absorpsi k
a
Bersih hati Cl
H
, fraksi obat yang diabsorpsi
Bersih ginjal Cl
R
Volume distribusi Vd Aliran darah pada tempat absorpsi,
pengosongan lambung oral, gerakan usus oral
Aliran darah hati, ikatan dalam darah Aliran darah ginjal, ikatan dalam darah
Ikatan dalam darah ikatan dalam jaringan, pembagian ke dalam lemak, susunan tubuh,
dan ukuran tubuh
Dikutip dari Rowland and Tozer 1995 dengan sedikit perubahan
Parameter farmakokinetika sekunder adalah parameter farmakokinetika yang besarnya tergantung pada nilai parameter farmakokinetika pimer. Yang
termasuk parameter tersebut adalah waktu paruh obat t½, tetapan laju eliminasi K
el
, dan fraksi obat utuh yang diekskresikan ke dalam urin f
e
Rowland and Tozer, 1995.
Besaran turunan lain nilainya tidak semata- mata tergantung nilai parameter farmakokinetika primer, tetapi juga tergantung pada dosis dan laju
pemberian obat terkait. Yang termasuk besaran turunan lain yaitu luas area di bawah kurva kadar obat utuh dalam plasma lawan waktu area under the curve
AUC dan kadar obat pada keadaan tunak steady state dalam plasma Cp
ss
Rowland and Tozer, 1995.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Perhitungan berbagai parameter farmakokinetika obat pada pemberian dosis tunggal dengan model dua kompartemen terbuka dan absorpsi mengikuti
orde pertama serta eliminasi terjadi hanya dari kompartemen sentral, dapat dilihat pada tabel IV Jusko and Gibaldi, 1972; Ritschel, 1992; Wagner, 1975.
Tabel IV. Perhitungan Parameter Farmakokinetika Model Dua Kompartemen Terbuka dengan Absorpsi Orde Pertama dan Eliminasi hanya dari
Kompartemen Sentral - Pemberian Dosis Tunggal
Persamaan Kadar Obat dalam Darah Blood Level Equation :
dimana :
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
− −
− =
α β
α k
α k
V .D
.f k
L
a 21
c a
a
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
− −
− =
β α
β k
β k
V .D
.f k
M
a 21
c a
a
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
− −
− =
a a
a 21
c a
a
k β
k α
k k
V .D
.f k
N
pada persamaan tersebut diasumsikan bahwa :
- k
a
α β atau α k
a
β, dengan definisi nilai α β - nilai M adalah selalu positif
- salah satu atau kedua nilai L dan N harus negatif Perhitungan masing- masing parameter pada kinetika absorpsi, distribusi dan
eliminasi berdasarkan persamaan tersebut diatas adalah sebagai berikut.
Cpt = L.e
- α.t
+ M.e
- β.t
+ N.e
-ka.t
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Kinetika Perhitungan Parameter
1. Tetapan laju absorpsi k
a
abs 12
a
t 0,693
k =
2. Luas area di bawah kurva Area Under the Curve AUC a. Berdasarkan persamaan kadar obat dalam darah :
a
k N
β M
α L
AUC −
+ =
∞ −
b. Pendekatan nilai AUC
0- ∞
dengan menggunakan aturan trapezoid : 1
- tn
tn -
-
AUC AUC
AUC
∞ ∞
+ =
2
t -
t 2
C C
AUC
1 -
n n
n 1
- n
tn -
+ =
3
β C
AUC
n tn
=
∞ −
Prosedur ini hanya sahih bila fraksi terekstrapolasi lebih kecil dari kira- kira 10 AUC total dan tidak boleh digunakan
bila fraksi terekstrapolasi lebih dari 20 AUC total Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod, and Estes, 1995.
Absorpsi
3. Fraksi obat yang terabsorpsi f
a
100 x
AUC AUC
f
iv x
a
=
1. Slope distribusi tetapan laju disposisi cepat α
13 21
2
.k 4k
- b
b 12
α +
=
Distribusi
2. Tetapan laju distribusi dari kompartemen sentral ke perifer k
12
13 21
12
k -
k -
β α
k +
=
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
3. Tetapan laju distribusi dari kompartemen perifer ke sentral k
21
β k
M α
k L
N. α.
k .
M. k
. L.
k
a a
a a
21
− +
− +
+ =
β
α β
4. Volume distribusi kompartemen sentral V
c
β k
M α
- k
L .D
.f k
V
a a
a a
c
− +
=
5. Volume distribusi pada steady state atau keadaan tunak Vd
ss
c 21
21 12
ss
V k
k k
Vd +
=
1. Bersihan tubuh total Cl
T
- a
T
AUC f
D. Cl
∞
=
2. Slope eliminasi keseluruhan tetapan laju disposisi lambat β
13 21
2
.k 4k
- b
b 12
β +
= - hubungan antara
α dan β adalah sebagai berikut: α.β = k
21
.k
13
α + β = k
12
+ k
21
+ k
13
3. Waktu paruh eliminasi t
12el
β 0,693
t
12el
=
Eliminasi
4. Tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral k
13
21 13
k α.β
k =
dikutip dari Jusko and Gibaldi 1972, Ritschel 1992, dan Wagner 1975 dengan sedikit perubahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Keterangan : a
Cpt = kadar obat pada kompartemen sentral pada waktu t
b D
= dosis pemberian c
t
12abs
= waktu paruh absorpsi d
AUC
0- ∞
= luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu 0 sampai tak hingga
e AUC
0-tn
= luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu 0 sampai waktu ke-n
f AUC
tn- ∞
= luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu n sampai tak hingga
g t
n
= waktu pengamatan dari konsentrasi obat C
n
h t
n-1
= waktu pengamatan sebelumnya yang berhubungan dengan konsentrasi obat C
n-1
i C
n
= kadar obat pada titik pengambilan sampel μgml
j AUC
x
= AUC pemberian nonsistemik k
AUC
iv
= AUC pemberian intravena l
b = k
12
+ k
21
+ k
13
m L
= intersep slope distribusi α dengan ordinat
Sebagai catatan, simbol L ini dapat pula ditulis sebagai simbol A
1
Wagner, 1975 dan simbol A Ritschel, 1992 n
M = intersep slope eliminasi
β monoeksponensial back-extrapolated dengan ordinat
Sebagai catatan, simbol M ini dapat pula ditulis sebagai simbol A
2
Wagner, 1975 dan simbol B Ritschel, 1992 o
N = konsentrasi obat hipotetik pada saat t = 0 diperoleh dari L+M
Sebagai catatan, simbol N ini dapat pula ditulis sebagai simbol A
3
Wagner, 1975 dan simbol C0 = A+B Ritschel, 1992
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
4. Strategi penelitian farmakokinetika
Suatu penelitian farmakokinetika melibatkan subyek makhluk hidup yang seringkali sulit untuk dikendalikan. Selain itu juga melibatkan berbagai teknik
maupun tata cara yang terkait dengan pemilihan subyek uji dan penangannya, perlakuan pada subyek uji, analisis kimia, sampai dengan analisis dan evaluasi
hasil penelitian. Oleh karena itu agar hasil penelitian nanti dapat diandalkan, maka diperlukan penyusunan suatu strategi penelitian Donatus, 1989.
Strategi penelitian farmakokinetika didefinisikan sebagai suatu rencana yang disusun sebelum dilakukan penelitian tahap farmakokinetika suatu obat,
guna memperoleh informasi ketersediaan biologis atau ketersediaan biologi dari zat itu. Strategi penelitian farmakokinetika tersebut terdiri atas tahap-tahap
sebagai berikut. a
Pemilihan rancangan uji coba. Dalam memilih rancangan uji coba, perlu dipertimbangkan pula adanya beberapa variabel yang melekat pada
subyek uji maupun pada sistem penelitiannya itu sendiri. Variabel- variabel tersebut adalah sebagai berikut.
1 variabilitas antar subyek
2 variabilitas karena perlakuan
3 variabilitas waktu
4 variabilitas dalam subyek
5 variabilitas residual Wagner, 1975.
Adanya variabel- variabel tersebut dapat diperkecil pengaruhnya dengan penerapan suatu rancangan uji coba yang tepat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Donatus, 1989. Pada penelitian ini, rancangan uji coba yang diterapkan adalah rancangan acak lengkap completely randomized design.
b pemilihan subyek uji dan jumlahnya. Subyek uji yang digunakan dalam
penelitian farmakokinetika meliputi hewan dan manusia. Pada tahap praklinis digunakan subyek uji hewan, sedangkan pada tahap klinis
digunakan subyek uji manusia. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan meliputi bentuk sediaan dan cara pemberian, kemudahan penanganan
hewan uji, kemiripan metabolisme terhadap suatu obat dengan yang ada pada manusia, kemudahan mendapat cuplikan biologis, serta volume
maksimum yang dapat diterima hewan uji Donatus, 1989. c
pemilihan cuplikan biologis. Cuplikan biologis yang sering digunakan dalam penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin. Darah menjadi
pilihan pertama karena darahlah yang paling cepat dicapai oleh obat, serta darahlah yang menerima obat dari tempat pemberian, membawanya ke
semua organ, termasuk tempat aksi obat dan elmininasinya Rowland and Tozer, 1995. Selain itu untuk kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah
adalah senyawa yang memiliki aktivitas farmakologis. Sehingga, penetapan kadar obat pada cuplikan darah akan memberikan indikasi
langsung pada kadar obat yang mencapai sirkulasi Rowland and Tozer, 1995.
d pemilihan metode penetapan kadar. Parameter farmakokinetika suatu obat
diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Oleh sebab itu maka metode penetapan kadar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
digunakan harus memenuhi berbagai prasyarat yaitu sebagai berikut. 1
Akurasi kecermatan, yaitu ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan nilai hasil analisis dengan nilai sebenarnya. Akurasi
dinyatakan dengan persen perolehan kembali recovery Harmita, 2004.
2 Presisi keseksamaan, yaitu ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian hasil pengukuran berulang pada cuplikan biologis yang sama. Presisi dinyatakan dengan simpangan baku relatif koefisien
variasi CV Harmita, 2004. 3
Selektivitas spesifisitas. Metode analisis harus memiliki selektivitas yang tinggi terhadap bentuk obat yang akan ditetapkan, sehingga dapat
membedakan suatu obat dari metabolitnya, dari obat lain, dan dari kandungan endogen cuplikan biologis Harmita, 2004.
4 Sensitivitas. Sensitivitas metode berkaitan dengan kadar terendah yang
dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Hal ini penting karena dalam perhitungan parameter farmakokinetika, diperlukan
sederetan kadar obat dari waktu ke waktu, atau dari kadar tertinggi sampai kadar terendah Harmita, 2004.
5 cepat. Dalam suatu penelitian farmakokinetika dilakukan analisis dari
cuplikan biologis dalam jumlah yang banyak, sehingga cepat juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan Donatus, 1989.
e Pemilihan takaran dosis. Perbandingan harga LD
50
oral lawan LD
50
intravena dapat dilakukan untuk memperoleh wawasan terhadap masalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
absorbabilitas sebagai fungsi waktu sebagai fungsi cara pemberian oral. Jika informasi ini tidak tersedia maka dapat digunakan 5 – 10 dari
harga LD
50
intravena sebagai dosis awal penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan Kaplan, 1973, cit. Donatus, 1989. Takaran dosis
yang diberikan harus dapat menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolitnya pada rentang waktu tertentu, sehingga diperoleh data yang
cukup memadai Donatus, 1989. f
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan biologis. Bila digunakan cuplikan darah, pengambilan sebaiknya 3-5 kali t½ eliminasi
obat yang diuji. Frekuensi pengambilan cuplikan biologis berkaitan erat dengan asumsi model kompartemen tubuh. Bila kinetika obat mengikuti
dua kompartemen terbuka, maka frekuensi pengambilan cuplikan setidaknya 3 kali tahap absorpsi, 3 kali daerah puncak, 3 kali tahap
distribusi, dan 3 kali tahap eliminasi Ritschel, 1992. g
Analisis dan evaluasi hasil. Analisis data hasil uji dan evaluasi hasil penelitian merupakan tahap terakhir penelitian farmakokinetika. Langkah-
langkah analisis yang dilakukan meliputi analisis data uji coba, analisis statistika dan evaluasi Donatus, 1989.
D. Parasetamol
Obat yang akan diteliti perubahan profil farmakokinetikanya dalam penelitian ini adalah parasetamol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
1. Definisi
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0 dan tidak lebih dari 101,0 C
8
H
9
NO
2
dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa asam lemah serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Larut dalam air mendidih
dan dalam natrium hidroksida 1 N, mudah larut dalam etanol Anonim, 1995. Parasetamol memiliki nama lain asetaminofen, N-asetil-p-aminofenol
atau 4-hidroksiasetanilid. Parasetamol adalah turunan para-aminofenol yang berkhasiat sebagai analgesik-antipiretik Block and Beale, 2004. Struktur
parasetamol dapat dilihat pada gambar 3.
OH H
3
COCHN
Gambar 3. Struktur parasetamol N-asetil-paraaminofenol
Parasetamol mempunyai titik lebur 169
o
C – 172
o
C. Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20 bagian air panas, 7 bagian etanol dan 50
bagian kloroform. Parasetamol tidak larut dalam benzen dan eter Clarke, 1969. pH parasetamol dalam larutan jenuh adalah 5,3 – 6,5. Pada larutan berair dengan
pH 5 – 7, parasetamol sangat stabil. Parasetamol mempunyai nilai pKa 9,51 Connors, Amidon, and Stella, 1986; Hanson 2000.
Dalam metanol, parasetamol memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 249 nm
= 900 Clarke, 1969. atau serapan jenis adalah
serapan dari larutan 1 zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm Anonim, 1995.
1 1cm
A
1 1cm
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2. Aksi farmakologis
Parasetamol merupakan metabolit aktif dari fenasetin dan asetanilid. Parasetamol memiliki efek analgesik-antipiretik dan telah digunakan sejak 1893
Wilmana, 1995. Tempat dan mekanisme aksi dari efek analgesik parasetamol masih belum jelas. Parasetamol menurunkan demam melalui aksi langsung pada
pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus dengan cara meningkatkan pengeluaran panas tubuh melalui vasodilatasi dan keringat. Aksi pirogen endogen pada pusat
pengatur suhu tubuh pun dihambat Anonim, 2004. Parasetamol merupakan penghambat enzim siklooksigenase di jaringan
perifer yang lemah, sehingga daya anti inflamasinya kurang. Parasetamol lebih efektif dalam penghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat sehingga
berguna sebagai agen analgesik antipiretik Katzung, 2002. Dibandingkan dengan aspirin, parasetamol memiliki daya antipiretik dan
analgesik yang hampir sama. Daya anti inflamasi aspirin lebih baik. Parasetamol tidak menghambat agregasi platelet dan tidak menyebabkan ulcer pada saluran
pencernaan Anonim, 2004. Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik antipiretik alternatif
terhadap aspirin, yaitu pada pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, memiliki riwayat ulcer, memiliki gout, anak- anak dengan infeksi virus, serta pada pasein
yang mengkonsumsi antikoagulan Anonim, 2001.
3. Farmakokinetika parasetamol
Absorpsi parasetamol berjalan cepat dan hampir sempurna dari saluran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
pencernaan melalui pemberian oral. Konsentrasi plasma puncak Cp
maks
sebesar 5 – 20 mcgml muncul dalam waktu 30 – 60 menit, tetapi tidak ada korelasi antara
konsentrasi serum dan efek analgesik American Medical Association AMA, 1994. Waktu paruh t
12
plasma pada subyek sehat antara 1 – 2,5 jam. Pada overdosis, absorpsi berjalan lengkap setelah 4 jam Anonim, 2001.
Setelah diabsorpsi, parasetamol akan terdistribusi ke sebagian besar jaringan dan cairan badan secara cepat dan luas Anonim, 2001. Hal ini
ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien distribusinya pada manusia yaitu 0,94 lkg Melmon and Morelli, 1992 atau pada manusia 70 kg, volume distribusinya
sekitar 67 L Katzung, 2002. Dalam plasma, sekitar 25 parasetamol terikat protein plasma Wilmana, 1995. Availabilitas oral parasetamol adalah sekitar 88
Katzung, 2002. Parasetamol mengalami metabolisme di hati, terutama dalam bentuk
konjugat glukuronida dan sulfat, dan dieliminasi di urin AMA, 1994. Sebanyak 90 – 100 obat ditemukan kembali dalam urin pada 24 jam pertama, terutama
setelah konjugasi hepatik dengan asam glukuronat ± 60 , dengan asam sulfat ± 35, atau dengan sistein ± 3 . Sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi
dan asetilasi juga terdeteksi Anonim, 2004. Levy 1981 menyebutkan bahwa metabolit hasil hidroksilasi tersebut bertanggungjawab atas hepatotoksisitas akibat
overdosis. Parasetamol dimetabolisme secara luas dan diekskresikan dalam urin
terutama dalam bentuk konjugat inaktif glukuronat dan sulfat 94 . Sekitar 4 dioksidasi oleh sistem enzim sitokrom P
450
hati menjadi metabolit yang toksik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
yaitu N-asetil-para-benzokuinonimina NABKI Block and Beale, 2004; Laurence, et al., 1997. Pada keadaan normal metabolit ini didetoksifikasi oleh
konjugasi dengan glutation seluler dan diekskresikan dalam urin sebagai konjugat sistein dan asam merkapturat Anonim, 2004.
Parasetamol mengalami metabolisme fase kedua yang menghasilkan inaktivasi farmakologis dari obat induk. Seperti yang terlihat dalam gambar 4,
parasetamol mengalami konjugasi sulfat, konjugasi glutation dan konjugasi glukuronat dan menghasilkan metabolit yang tidak aktif Gibson and Skett, 1991.
Penggunaan parasetamol dalam jangka waktu panjang atau secara akut dalam dosis yang besar menyebabkan persediaan glutation menipis dan nekrosis
hepatik dapat terjadi. Sekitar 2 diekskresikan dalam bentuk tak berubah. Waktu paruh eliminasi sedikit diperpanjang pada neonatus dan sirosis Anonim, 2004.
Efek analgesik antipiretik dari parasetamol akan timbul bila konsentrasinya dalam darah antara 10 – 20 mgL Melmon and Morelli, 1992.
Jadi, nilai Kadar Efek Minimum KEM dari parasetamol adalah bila kadarnya dalam darah sebesar 10
μgml hingga 20 μgml, sedangkan nilai Kadar Toksik Minimum KTM dari parasetamol adalah bila kadarnya dalam darah lebih dari
300 μgml Katzung, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
HO NHCOCH
3
N H
O C
3
O OH
HO HO
COOH O
S O
O HO
NH COCH
3
Parasetamol aktif Konjugasi
sulfat
ekskresi urin tidak aktif
Metabolisme dan konjugasi glutation
Sistein dan konjugasi merkapturat tidak aktif
e
OCH
kskresi urin Konjugasi glukuronat
tidak aktif
ekskresi urin
Gambar 4. Metabolisme parasetamol Gibson and Skett, 1991
4. Metode penetapan kadar parasetamol dalam plasma
Parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan atau metabolitnya di dalam cairan biologis. Oleh karena itu
agar nilai- nilai parameter kinetika obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai prasyarat metode analisis yang baik Donatus, 1989.
Kadar parasetamol dalam darah dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu sebagai berikut.
a. Gas Liquid Chromatography
GLC Metode ini memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi untuk
menetapkan kadar parasetamol dalam darah Prescott, 1971. Namun demikian pada metode ini diperlukan plasma sebanyak 2 ml ± 4 ml darah
utuh pada setiap pengambilan cuplikan. Sehingga jika metode ini diterapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
pada hewan kecil misalnya tikus akan sulit untuk dikerjakan. b.
Metode spektrokolorimetri-diferensial Metode ini juga dikatakan sebagai metode yang sensitif dan selektif
untuk menetapkan kadar parasetamol darah Knefil, 1974 cit. Donatus, 1994. Namun metode ini juga memerlukan darah dalam dalam jumlah yang banyak
± 5 ml darah utuh, sehingga sulit diterapkan pada hewan kecil Donatus, 1994.
c. Metode Chafetz et. al. dengan modifikasi oleh Glynn dan Kendal, 1975
Metode ini adalah metode pengukuran parasetamol dalam plasma secara spektrofotometri yang didasarkan pada reaksi diazotasi. Produk hasil
reaksi yang terbentuk dalam larutan basa akan menunjukkan kromofor yang kuat dan absorbansinya diukur pada panjang gelombang 430 nm
Chamberlain, 1995. Namun metode ini tidak dapat mengukur dengan tepat konsentrasi parasetamol dalam plasma di bawah 50
μgml sehingga pada konsentrasi tersebut biasanya dipakai kromatografi Widdop, 1986. Selain
itu, dalam pelaksanaannya metode ini juga memerlukan volume darah yang cukup banyak ± 2 ml darah utuh untuk setiap pengambilan cuplikan darah,
sehingga sulit diterapkan pada hewan kecil untuk sejumlah waktu pencuplikan.
d. High Performance Liquid Chromatography
HPLC HPLC merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam
analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi dalam campuran yang kompleks Skoog, Holler, and Nieman, 1998. HPLC dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
memberikan hasil pemisahan yang sangat cepat seperti pada kromatografi gas, dengan keunggulan zat- zat yang tidak menguap atau tidak tahan panas dapat
dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlunya dibuat turunan yang dapat menguap Anonim, 1995.
Analisis dalam HPLC meliputi analisis kualitatif dan kuantitatif. Tiap senyawa memiliki waktu retensi yang spesifik pada kondisi tertentu seperti
kolom, suhu, laju, dan sebagainya sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar uji kualitatif. Waktu retensi yang menunjukkan identitas suatu
senyawa merupakan selang waktu yang diperlukan senyawa mulai pada saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor
Gritter et al., 1985. Analisis kuantitatif dalam HPLC diperoleh dari nilai respon puncak,
yaitu mencakup luas puncak dan tinggi puncak. Baik tinggi puncak maupun luasnya daat dihubungkan dengan konsentrasi analit. Tinggi puncak sangat
dipengaruhi oleh perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap sebagai
parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif Anonim, 1995. Ditinjau dari sistem peralatannya, maka HPLC termasuk
kromatografi kolom karena dipakai fase diamnya yang diisikan atau ter”packing” di dalam kolom. Tetapi bila ditinjau dari proses pemisahannya
maka HPLC digolongkan sebagai kromatografi adsorpsi atau partisi. Tergantung pada butiran- butiran adsorban yang ada dalam kolom., apakah
sebagai fase padat yang murni atau disalut dengan cairan Mulja dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Suharman, 1995. Berdasarkan jenis fase diam dan fase geraknya, maka HPLC
kolomnya dibedakan menjadi dua. Bila fase diam lebih polar dari fase geraknya, maka disebut kromatografi fase normal. Sebaliknya, bila fase gerak
lebih polar dari fase diamnya maka disebut kromatografi fase terbalik Mulja dan Suharman, 1995.
Hal- hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan untuk analisis dengan HPLC meliputi pemilihan pelarut pengembang atau pelarut
pengembang campur yang sesuai untuk komponen yang dipisahkan, pemilihan kolom yang dipakai berkaitan dengan pelarut pengembang, pemilihan detektor
yang memadai, serta pengetahuan dasar HPLC yang baik serta pengalaman dan keterampilan yang baik Mulja dan Suharman, 1995
Metode HPLC memberikan keuntungan antara lain, dapat dilakukan pada suhu kamar, detektor dapat divariasi, pelarut pengembang dan kolom
dapat digunakan berulangkali, serta ketepatan dan ketelitiannya yang relatif tinggi dijajarkan dengan teknik analisis fisiko-kimia Mulja dan Suharman,
1995. Dengan berbagai pertimbangan diatas, maka dalam penelitian ini
dilakukan penetapan kadar parasetamol utuh dalam plasma tikus dengan menggunakan metode HPLC, dengan mengacu pada penelitian yang pernah
dilakukan oleh Howie, et. al. 1997 yang telah dimodifikasi oleh Wijoyo 2001.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
E. Darah
Darah merupakan cairan yang beredar melalui jantung, arteri, kapiler dan vena, yang berfungsi mengangkut zat makanan, dan oksigen ke sel- sel tubuh, dan
mengeluarkan produk- produk buangan dan karbon dioksida. Darah terdiri dari bagian cairan dan elemen- elemen Anonim, 1998.
Sekitar 40 – 45 dari darah unsur- unsur sel yang terdiri dari eritrosit, leukosit, dan trombosit Frisell, 1982. Plasma darah merupakan bagian cair dari
darah. Plasma diperoleh dengan membuat darah tidak beku dan sel darah disentrifugasi. Apabila darah dibiarkan saja tanpa penambahan antikoagulan maka
sel- sel darah akan mengendap dan terbentuk fase cair yang disebut sebagai serum. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada serum tidak
terdapat faktor pembekuan fibrinogen Mutschler, 1991. Plasma manusia mengandung 90 – 92 air. Air tersebut tidak hanya
berfungsi sebagai pelarut bagi zat organik dan inorganik yang ditransportasikan oleh darah, melainkan juga berperan penting dalam regulasi panas dan pertukaran
osmotik diantara kompartemen cair tubuh Frisell, 1982. Selain air, sekitar 7 dari plasma terdiri dari protein dan sisanya adalah garam- garam, karbohidrat,
lipid dan asam amino. Sekitar 56 protein plasma merupakan albumin. Albumin mempunyai arti yang besar untuk ikatan protein obat yaitu dalam hal distribusi
obat Mutschler, 1995. Langkah pertama dalam mempersiapkan plasma atau serum untuk
dianalisis adalah memutus ikatan antara protein dengan obat. Bila dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
pengukuran secara langsung, maka yang terukur hanyalah obat bebas saja, bukan keseluruhan obat yang ada. Metode yang paling mudah dan paling tua adalah
dengan mengendapkan protein dan memperoleh filtratnya. Protein didenaturasi dan ikatannya dengan obat dihancurkan sehingga seluruh obat terlepas ke dalam
filtrat. Reagen asam yang banyak digunakan untuk mendenaturasi protein adalah asam trikloroasetat karena memiliki efisiensi yang baik Chamberlain, 1995.
F. Landasan Teori