Nasib Obat dalam Tubuh Darah

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

Sesuai dengan judul penelitian “Pengaruh Puasa terhadap Profil Farmakokinetika Parasetamol pada Tikus Putih Jantan”, maka dalam bab ini dilakukan penelaahan pustaka yang dapat mendukung analisis profil farmakokinetika yang diperoleh. Pustaka tersebut meliputi penjelasan mengenai nasib obat dalam tubuh, fase farmakokinetika, prinsip dasar farmakokinetika, parasetamol, darah, serta landasan teori dan hipotesis dalam penelitian ini.

A. Nasib Obat dalam Tubuh

Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses yang dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase farmasetika, fase farmakokinetika, dan fase farmakodinamika. Secara skematis gambar 1 menjelaskan ketiga fase tersebut. Pemberian obat Penghancuran bentuk sediaan obat, Pelarutan zat aktif Absorpsi Distribusi Fase farmakodinamika Cadangan Ekskresi Biotransformasi Gambar 1. Proses yang terjadi dalam organisme setelah pemberian oral Mutschler, 1991 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 Fase farmasetika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat, dimana kebanyakan digunakan bentuk sediaan obat padat. Dalam fase farmakokinetika terjadi proses invasi serta eliminasi. Proses invasi berarti pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme meliputi absorpsi dan distribusi, sedangkan proses eliminasi berarti penurunan konsentrasi obat dalam organisme meliputi biotransformasi dan ekskresi. Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat- reseptor serta proses- proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi Mutschler, 1991.

B. Fase Farmakokinetika

Melalui berbagai cara pemberian, obat yang masuk ke dalam tubuh pada umumnya akan mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat akan diekskresikan dari dalam tubuh Setiawati, Bustami, dan Suyatna, 2002. Berbagai proses yang terjadi fase ini akan diuraikan sebagai berikut.

1. Absorpsi

Jalur pemberian obat yang paling sering dilakukan adalah secara ekstravaskuler. Dengan demikian obat harus dapat diabsorpsi terlebih dahulu dari tempat pemberiannya untuk dapat memberikan efek sistemik Rowland and Tozer, 1995. Absorpsi obat didefinisikan sebagai proses dimana obat utuh tak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 berubah dipindahkan dari tempat pemberian menuju ke sirkulasi sistemik Rowland and Tozer, 1995. Meknisme absorpsi Absorpsi, seperti halnya distribusi dan eliminasi, pada dasarnya merupakan proses yang memerlukan gerakan melintasi membran agar dapat mencapai sikulasi sistemik. Sebagian besar obat melewati membran melalui mekanisme difusi pasif, yang berarti molekul bergerak searah gradien kadar Rowland and Tozer, 1995. Disebut pasif karena dalam mekanisme ini tidak ada energi luar yang terlibat Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005. Berdasarkan Hukum Fick tentang difusi, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi tinggi menuju ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. 1 p gt C C h DAK dt dQ − = dimana dQdt = laju difusi A = luas permukaan membran D = koefisien difusi K = koefisien partisi obat pada membran h = tebal membran C gt – C = perbedaan antara konsentrasi p di saluran pencernaan dengan plasma Model Fluid-Mozaik yang diperkenalkan oleh Leonard dan Singer 1972, menggambarkan tentang struktur membran sel. Membran sel terdiri atas dua lapis lipid yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul- molekul protein yang tertanam di kedua sisi atau menembus membran berupa mosaik pada membran dan membentuk kanal hidrofilik untuk transpor air dan molekul kecil lain yang larut dalam air PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 Mutschler, 1991; Setiawati dkk., 2002. Pada mekanisme difusi pasif, mula- mula obat harus berada dalam larutan air pada permukan membran sel, kemudian obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lipid membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi yang lebih rendah. Setelah keadaan ekuilibrium steady state tercapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama Setiawati dkk., 2002. Dalam keadaan normal, sistem biologis bersifat dinamis. Sehingga kadar obat di bagian dalam membran berkurang secara berkesinambungan karena selalu dibersihkan oleh darah. Terdapat dua faktor pembatas laju pergerakan obat melintasi membran, yang dapat dilihat pada gambar 2. A. Perfusion-Rate Limitation B. Permeability-Rate Limitation Darah Darah Gambar 2. Faktor pembatas laju pergerakan obat melintasi membran, dari darah ke jaringan atau sebaliknya Rowland and Tozer, 1995 Ketika membran tidak menjadi sawar barrier bagi proses penetrasi obat, yaitu pada obat dengan kelarutan lipid tinggi, maka yang menjadi faktor pembatas laju adalah perfusi perfusion-rate limitation. Pada kondisi ini gerakan molekul obat dibatasi oleh aliran darah. Obat dalam darah meninggalkan jaringan dalam keadaan ekuilibrium; darah dan jaringan dianggap satu gambar 2.A. Sedangkan bila resistensi membran terhadap obat meningkat, karena membran Jaringan Jaringan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 bertambahnya ketebalan membran atau kepolaran obat, maka permeabilitas menjadi faktor pembatas permeability-rate limitation. Pada kondisi ini keadaan ekuilibrium tidak tercapai saat darah meninggalkan jaringan; darah dan jaringan dianggap sebagai kompartemen yang berbeda gambar 2.B Rowland and Tozer, 1995. Faktor- faktor yang mempengaruhi absorpsi Keefektifan absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor mekanis dan faktor fisiologis. a. Faktor mekanis yang meliputi ketiga hal berikut. 1 Rute dan cara pemberian Setiap rute dan cara pemberian memiliki keuntungan dan kelebihan masing- masing. Pemberian obat secara oral adalah cara pemberian yang paling banyak dilakukan, karena cara ini mudah, murah dan aman Shargel et al., 2005. Kerugiannya meliputi onset yang relatif lambat, beberapa obat mungkin dapat mengiritasi lambung, kemungkinan absorpsi yang tidak teratur dan destruksi obat- obat tertentu oleh enzim dan sekresi saluran pencernaan York, 1990. Ketika obat diberikan secara oral, pada obat- obat tertentu sebagian akan melewati vena porta hepatika dan mengalami metabolisme oleh enzim di hati pada lintasan pertamanya. Fenomena inilah yang disebut sebagai efek lintas pertama Setiawati dkk, 2002. Bila dibandingkan dengan pemberian secara intravena, maka nilai AUC area under the curve oral lebih kecil dari AUC intravena. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 Wagner, 1975. 2 Efek bentuk sediaan obat Bentuk sediaan dari suatu obat misal tablet atau kapsul merupakan sistem penghantar obat, dimana hampir semua yang terjadi pada sistem akan berpengaruh pada laju obat untuk mencapai sirkulasi, serta pada rasio jumlah obat yang mencapai sirkulasi dengan yang tertera pada label Wagner, 1975 Bentuk sediaan obat meliputi keadaan fisik obat ukuran partikel, bentuk kristal bubuk serta eksipien zat pengisi, zat pengikat, zat pelicin, dan zat penyalut yang digunakan. Bentuk sediaan obat akan menentukan laju disintegrasi dan disolusi obat, lebih lanjut akan menentukan absorpsi dari obat yang tersebut Setiawati dkk., 2002. 3 Dosis dan aturan dosis Setiap pasien idealnya mempunyai dosis dan aturan dosis untuk dirinya sendiri. Dosis suatu obat hendaknya dapat menjamin tercapainya efek terapetik yang diinginkan tanpa menimbulkan efek toksik Setiawati dkk., 2002. Dosis dan aturan dosis akan mempengaruhi biavailabilitas dari suatu obat, yaitu pada C maks dan AUC yang dihasilkan Shargel, et al., 2005. b. Faktor fisiologis yang meliputi keempat hal berikut. Obat yang diberikan melalui rute enteral dengan tujuan absorpsi sistemik dapat dipengaruhi oleh anatomi, fungsi fisiologis, serta isi saluran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 pencernaan. Lebih lanjut, faktor mekanis dari obat terkait juga berpengaruh terhadap absorpsi dari saluran pencernaan Shargel et al., 2005. 1 Komponen dan sifat dari cairan pencernaan Agar dapat diserap dari saluran cerna, obat harus melarut dalam cairan pencernaan. Sifat- sifat serta komponen dari cairan pencernaan tersebut dapat mempengaruhi absorpsi obat ke dalam darah dengan cara mengubah laju pelarutan obat terkait Bear dkk, 1972, cit. Donatus, 2005. pH cairan pencernaan, garam empedu, enzim serta mucin merupakan empat hal yang penting dalam hal ini Mayersohn, 2002. Sebagian besar obat adalah asam lemah atau basa lemah, karena pH mempengaruhi kelarutan beberapa senyawa, maka laju disolusi dari suatu bentuk sediaan khususnya tablet dan kapsul akan tergantung pada pH. Obat asam akan terdisolusi dengan baik pada lingkungan yang basa usus, demikian pula sebaliknya untuk obat basa akan terdisolusi lebih baik pada lingkungan yang asam lambung. Karena disolusi merupakan langkah awal dari absorpsi, dan disolusi dipengaruhi oleh pH maka pH cairan saluran pencernaan berperan penting dalam proses absorpsi obat Mayersohn, 2002. Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam cairan pencernaan atau darah dapat dihitung dengan persamaan Henderson- Hasselbach Proudfoot, 1990. Untuk obat asam lemah: pKa - pH HA] [ ] [A log - = 2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 Untuk obat basa lemah: ] [B BH] [ log pKa - pH + = 3 dimana [A - ] = konsentrasi ion asam [HA] = konsentrasi molekul asam + [B ] = konsentrasi ion basa [BH] = konsentrasi molekul basa Selain pH, zat- zat yang terdapat pada cairan saluran pencernaan juga dapat mempengaruhi proses absorpsi obat. Garam empedu dapat meningkatkan laju dan atau jumlah absorpsi dari obat- obat yang kurang larut dalam air, dengan cara meningkatkan laju disolusi pada saluran pencernaan. Garam empedu juga dapat menurunkan absorpsi obat melalui pembentukan kompleks yang tidak larut air dan tidak terabsorpsi Mayersohn, 2002. Cairan usus mengandung berbagai macam enzim yang diperlukan pada proses pencernaan. Enzim- enzim ini dapat bereaksi pada beberapa obat. Sebagai contoh, enzim pankreas dapat menghidrolisis kloramfenikol palmitat, pankreatin dan tripsin dapat mendeasetilasi obat- obat N-asetilase, dan esterase mukosal dapat menyerang gugus ester dari penisilin Mayersohn, 2002. Mucin, yang berfungsi melindungi epitelium usus, dapat berikatan secara non spesifik terhadap beberapa obat senyawa amonium kuartener sehingga dapat mencegah atau menurunkan absorpsi. Selain itu mucin juga dapat menjadi sawar bagi difusi obat sebelum mencapai membran usus Mayersohn, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 2 Pengosongan lambung Pada umumnya absorpsi obat yang optimal berlangsung di usus halus Shargel et al., 2005. Sehingga setiap faktor yang menunda perpindahan obat dari lambung ke usus halus akan mempengaruhi laju, dan mungkin juga jumlah, absorpsi obat. Dengan demikian akan berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum memperbesar nilai t maks serta respon farmakologisnya Mayersohn, 2002. Pola pengosongan lambung tergantung pada ada tidaknya makanan. Pada keadaan lambung yang kosong, terdapat pola khusus aktivitas elektromekanik yang disebut sebagai migrating motor complex MMC. MMC menyebabkan terjadinya kontraksi yang dimulai pada bagian proksimal lambung dan berakhir di ileum. MMC terdiri dari empat fase. Fase I : periode dimana hanya terjadi sedikit aktivitas, berlangsung sekitar 45 - 60 menit Fase II : terjadi kontraksi tak beraturan yang secara bertahap akan meningkat frekuensinya untuk kemudian menuju ke fase selanjutnya, berlangsung sekitar 30 - 45 menit. Fase III : gelombang peristaltik yang kuat mengosongkan isi lambung ke usus halus, berlangsung selama 5 – 10 menit. Fase IV : transisi penurunan aktivitas pada Fase III kembali ke tahap awal Fase I, disebut juga sebagai gelombang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 ‘housekeeper’. Keseluruhan fase berlangsung selama kurang lebih 2 jam. Suatu bentuk sediaan solid yang dicerna pada keadaan lambung yang kosong akan tinggal di lambung untuk waktu tertentu tergantung pada gelombang ‘housekeeper’. Jika dicerna pada saat dimulainya gelombang ‘housekeeper’ maka waktu tinggal di lambung akan lebih singkat daripada bila dicerna pada akhir gelombang ‘housekeeper’. Sehingga perbedaan waktu tinggal di lambung dapat menjelaskan adanya perbedaan laju absorpsi antar individu Mayersohn, 2002. Adanya makanan berpengaruh pada pengosongan lambung. Penurunan laju pengosongan lambung yang disebabkan oleh adanya asam lemak berbanding lurus dengan konsentrasi dan panjang rantai karbonnya. Pengaruh terbesar yaitu pada asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 10 asam dekanoat sampai asam stearat. Trigliserida menurunkan laju pengosongan lambung, terutama bentuk tak jenuhnya, seperti minyak zaitun. Karbohidrat menurunkan laju pengosongan lambung, seiring dengan peningkatan konsentrasinya. Asam amino menurunkan laju pengosongan lambung, yang dimungkinkan sebagai hasil dari tekanan osmotik Mayersohn, 2002. 3 Transit usus Setelah obat dikosongkan dari lambung selanjutnya akan masuk ke usus halus. Usus halus merupakan tempat utama bagi absorpsi obat karena luas permukaannya yang jauh lebih luas dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 lambung Mayersohn, 2002. Usus halus manusia sebagian besar terdiri dari mikrovili dengan luas permukaan kurang lebih 200 m 2 , dan diperkirakan 1 l darah melintasi kapiler darah di sekitar usus per menit. Total luas permukaan lambung hanya 1 m 2 dengan aliran darah 150 ml per menit Rowland and Tozer, 1995. Oleh sebab itu, semakin lama waktu tinggal obat di daerah ini, maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya absorpsi yang lengkap dari obat tersebut, dengan asumsi bahwa obat stabil dalam cairan usus dan tidak akan membentuk turunan yang tak larut air Mayersohn, 2002. Terdapat dua macam gerakan usus, yaitu gerakan peristaltik propulsive dan gerakan pencampuran mixing. Gerakan peristaltik akan menentukan laju transit usus dan oleh karena itu menentukan waktu tinggal obat di usus. Lebih lanjut akan berperan dalam menentukan berapa waktu yang tersedia bagi sediaan obat untuk melepaskan zat aktif, berdisolusi, dan kemudian terabsorpsi. Semakin besar motilitas usus maka semakin singkat pula waktu tinggal obat, dan makin singkat pula waktu bagi proses- proses tersebut. Motilitas usus akan sangat penting bagi obat- obat sediaan lepas lambat sustained-release drugs atau pada obat- obat salut enterik enteric- coated drugs, demikian juga pada obat yang terlarut dengan lambat atau dimana absorpsinya maksimal hanya pada tempat tertentu di usus Mayersohn, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 Gerakan pencampuran akan membawa isi usus menuju ke kontak optimal dengan permukaan epitelium, dan oleh sebab itu tersedia daerah efektif yang lebih luas untuk absorpsi. Laju absorpsi secara langsung tergantung pada daerah permukaan membran, dan karena pencampuran meningkatkan area kontak antara obat dengan membran, maka gerakan pencampuran akan cenderung meningkatkan laju absorpsi obat Mayersohn, 2002. 4 Aliran darah Saluran pencernaan dilintasi oleh banyak sekali pembuluh darah sehingga daerah ini diperfusi dengan baik oleh aliran darah. Obat yang terabsorpsi terlebih dahulu akan menuju ke hati, yang merupakan tempat utama biotransformasi obat di tubuh. Obat mungkin akan mengalami biotransformasi yang luas sebelum terdistribusi sistemik. Hal ini disebut sebagai efek lintas pertama atau eliminasi prasistemik hati, yang mempunyai implikasi pada bioavailabilitas dan terapi obat Mayersohn, 2002. Adanya perfusi aliran darah yang baik pada saluran pencernaan memungkinkan terjadinya penghantaran zat terabsorpsi secara efisien. Aliran darah berpengaruh terhadap absorpsi senyawa- senyawa yang diabsorpsi secara aktif atau khusus yang memerlukan partisipasi membran dalam transpornya. Jika aliran darah dan oksigen berkurang, kemungkinan terjadi penurunan absorpsi dari senyawa- senyawa ini. Mayersohn, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 Tahap pengendali laju rate-limiting step absorpsi pada senyawa yang siap menembus membran usus yaitu senyawa dengan koefisien permeabilitas tinggi mungkin ada pada laju perfusi darah di usus. Untuk senyawa dengan permeabilitas rendah contoh: ribitol maka absorpsinya tidak tergantung pada aliran darah. Mayersohn, 2002.

2. Disposisi obat

Setelah terabsorpsi, maka obat akan dihantarkan oleh pembuluh darah arteri menuju ke seluruh jaringan, termasuk organ- organ eliminasi. Disposisi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses- proses yang terjadi setelah proses absorpsi obat. Disposisi mencakup dua hal yaitu distribusi dan eliminasi obat Rowland and Tozer, 1995. a. Distribusi obat Distribusi merupakan proses perpindahan bolak- balik suatu obat menuju dan dari tempat aksi, biasanya darah atau plasma. Pada umumnya distribusi suatu obat dari darah menuju ke jaringan adalah secara difusi pasif Riviere, 1999. Distribusi obat terlebih dahulu terjadi pada organ- organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak. Selanjutnya mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ- organ tadi, seperti otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Kesetimbangan akan terjadi setelah waktu yang lama Setiawati dkk., 2002. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi distribusi suatu obat yaitu perfusi aliran darah pada organ, kemampuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 menembus membran permeabilitas, serta ikatan obat dengan darah dan jaringan Rowland and Tozer, 1995. Distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan jaringan. Apabila pasokan darah semakin besar, maka bagian obat yang dapat berdifusi ke dalam organ tertentu dari pembuluh darah juga semakin banyak. Ini berati bahwa organ yang mempunyai banyak kapiler untuk memulai poses distribusi mengambil jumlah obat lebih banyak dibandingkan dengan organ yang pasokan darahnya kurang Mutschler, 1991. Seperti halnya absorpsi, laju distribusi juga dapat dibatasi baik oleh perfusi maupun permeabilitas. Suatu perfusion-rate limitation terjadi bila membran jaringan tidak menjadi sawar secara esensial bagi proses ditribusi. Kondisi ini terjadi pada molekul- molekul kecil lipofilik, yang berdifusi melintasi hampir semua membran tubuh. Perfusi dinyatakan dalam satuan ml darah per menit per volume jaringan mlmenitml. Sedangkan permeability- rate limitation muncul khususnya pada obat polar yang berdifusi melintasi membran lipoid yang rapat. Karena adanya perbedaan perfusi dan permeabilitas dari berbagai jaringan ini, maka sulit untuk memprediksikan distribusi jaringan dari suatu obat Rowland and Tozer, 1995. Faktor penting lain untuk proses distribusi obat adalah ikatan obat pada protein terutama pada protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah. Konsekuensinya, konsentrasi obat dalam darah total, dalam plasma, dan tak terikat dalam air plasma, dapat sangat berbeda. Hanya obat bebas atau tak terikatlah yang dapat menembus membran dan mencapai kesetimbangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 Rowland and Tozer, 1995. Ikatan protein bersifat bolak- balik. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar protein sendiri. Pada keadaan defisiensi protein, pengikatan obat oleh protein menjadi berkurang Setiawati dkk., 2002. Makin besar tetapan afinitas zat terhadap protein, makin kuat ikatan protein. Kesetimbangan distribusi akan bergeser ke protein dengan tetapan afinitas yang lebih besar Mutschler, 1991. b. Eliminasi obat Eliminasi merupakan proses kehilangan tak bolak- balik suatu obat dari tempat aksi ke organ eliminasi. Dua organ eliminasi utama tubuh adalah hati dan ginjal. Ginjal merupakan organ eliminasi utama untuk ekskresi obat bentuk tak berubah. Sebagian besar obat mengalami eliminasi yang berlangsung melalui ginjal. Hati merupakan tempat dimana terjadi biotransformasi obat. Sekresi bentuk obat tak berubah juga dapat dilakukan hati ke dalam empedu Rowland and Tozer, 1995. Eliminasi obat terjadi melalui dua proses yaitu biotransformasi dan ekskresi. 1 Biotransformasi Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimiawi suatu obat dalam tubuh yang dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar yang artinya lebih mudah larut dalam air daripada dalam lemak, sehingga lebih mudah dieksresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 sehingga sangat berperan dalam mengakhiri masa kerja obat Setiawati dkk., 2002. Pada umumnya, hati merupakan tempat biotransformasi utama, dan kadang satu- satunya, dari suatu obat Rowland and Tozer, 1995. Terdapat obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih toksik, atau obat tersebut justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini disebut sebagai prodrug. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan atau dieksresi sehingga kerjanya berakhir Setiawati dkk., 2002. Jalur biotransformasi obat terdiri dua fase yaitu fase I dan fase II. Fase I meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif dari bentuk aslinya. Reaksi fase II, disebut juga reaksi sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, dan asam amino. Hasil konjugasi bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresikan. Metabolit hasil konjugasi biasanya tidak aktif, kecuali untuk prodrug tertentu. Beberapa hanya mengalami salah satu dari kedua fase tersebut, tetapi kebanyakan obat mengalami biotransformasi melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit Setiawati dkk., 2002. 2 Ekskresi Ekskresi obat adalah proses kehilangan tak bolak- balik dari bentuk obat tak berubah Rowland and Tozer, 1995. Obat diekskresikan dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 tubuh melalui berbagai organ tubuh dalam bentuk metabolitnya atau dalam bentuk tak berubahnya. Ginjal merupakan organ ekskresi tubuh yang paling penting. Ekskresi obat melalui ginjal mencakup tiga tahap, yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubulus proksimal dan distal Setiawati dkk, 2002. Ekskresi obat juga dapat terjadi melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat Setiawati dkk., 2002.

C. Prinsip Dasar Farmakokinetika

Nasib obat dalam tubuh yang meliputi proses absorpsi dan disposisi obat tersebut dipelajari dalam ilmu farmakokinetika. Berikut ini akan dipaparkan mengenai definisi, analisis, parameter serta strategi penelitian farmakokinetika.

1. Definisi farmakokinetika

Farmakokinetika adalah suatu perhitungan matematik dari kinetika proses absorpsi, distribusi dan eliminasi obat di dalam tubuh Makoid and Cobby, 2000. Kinetika berarti gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks farmakokinetika, kinetika yang dipelajari yaitu mengenai proses perpindahan obat dari satu tempat ke tempat lain di dalam tubuh, atau nasib obat di dalam tubuh. Nasib obat di dalam tubuh ini yang kemudian dikenal sebagai proses absorpsi, distribusi, serta eliminasi Donatus, 1989. Faktor biologis, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 psikologis dan fisika-kimia yang mempengaruhi proses perpindahan obat di dalam tubuh juga mempengaruhi laju dan jumlah dari proses obat tersebut di dalam tubuh Makoid and Cobby, 2000. Farmakokinetika menggunakan model matematika untuk menguraikan proses- proses absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, dan memperkirakan besarnya kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari besarnya dosis, interval pemberian dan waktu Setiawati, 2002.

2. Analisis farmakokinetika

Untuk mengukur kadar obat di sel sasaran merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang sangat sulit serta riskan dilakukan pada manusia. Oleh sebab itu timbullah pertanyaan tentang bagaimana cara untuk menaksir dan mengkaji ketepatgunaan obat di sel sasaran serta nasibnya di dalam tubuh. Analisis farmakokinetika merupakan alternatif jawaban atas permasalahan tersebut Donatus, 1989. Peningkatan dan penurunan kadar obat di dalam darah akibat proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi, berkaitan dengan waktu. Karena itu sebelum dilakukan perhitungan parameter farmakokinetika suatu obat maka perlu diketahui terlebih dahulu ordo kinetikanya. Sebagai analog, untuk menjelaskan fungsi membran, terlebih dahulu perlu diasumsikan model struktur membran. Demikian pula sebelum dilakukan perhitungan parameter farmakokinetika obat perlu diasumsikan terlebih dahulu model kompartemen tubuh, agar hasil pengukuran kadar obat dalam darah lawan waktu dapat diturunkan secara matematis, sehingga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 diperoleh nilai parameter farmakokinetikanya Donatus, 1989. Analisis yang dilakukan dalam farmakokinetika meliputi analisis model kompartemen tubuh serta analisis ordo kinetika, yang akan diuraikan sebagai berikut. a. Analisis model kompartemen. Yang dimaksud dengan model farmakokinetika adalah suatu hubungan matematika yang menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang diteliti Setiawati, 2002. Setelah masuk ke dalam tubuh, obat akan terdistribusi ke jaringan dan berbagai organ tubuh yang sifatnya beragam. Dengan kata lain, tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berupa kumpulan kompartemen dimana satu dengan lainnya terpisah. Untuk mencocokkan dan menginterpretasikan data uji farmakokinetika, sistem multikompartemen tersebut disederhanakan menjadi sistem satu dan dua kompartemen, yang akan diuraikan di bawah ini Donatus, 1989. 1 Model satu kompartemen Pada model ini, diasumsikan bahwa obat dapat masuk dan keluar tubuh dan tubuh bertindak seperti kompartemen sentral Shargel et al., 2005. Menurut model ini, tubuh dianggap sebagai satu kompartemen dimana obat menyebar dengan seketika dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh Setiawati, 2002. Sedangkan istilah terbuka mengacu pada proses eliminasi yang dapat terjadi Mutschler, 1991. Secara ringkas, karakteristik dari model satu kompartemen pada rute pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler dapat dilihat pada tabel I PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 berikut. Tabel I. Ringkasan karakteristik model satu kompartemen terbuka Ristchel, 1992 Persamaan kadar obat dalam darah μgml Rute pemberian Karakteristik Model D K el D = dosis pemberian Vd = volume distribusi C = konsentrasi obat dalam plasma K el = tetapan laju eliminasi Intravaskuler -Tidak ada proses intravena, intracardiac, intra-arteria absorpsi, -semua obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik, -distribusi obat yang cepat antara aliran darah dan jaringan, -steady state tercapai dengan cepat, - penurunan kadar tergantung pada ekskresi dan biotransformasi. Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log log konsen- trasi K el waktu Ct = N. e -Kel.t Dimana : -N = konsentrasi obat hipotetik pada t = 0 - Ct = konsentrasi obat hipotetik pada saat t -K el = tetapan laju eliminasi Ekstravaskuler oral, rektal, intramuskuler, intracutaneous subcutaneous - terjadi absorpsi karena pelepasan obat dan meka- nisme absorpsi - saat t=0 tidak ada obat dalam darah - kadar naik oleh absorpsi, dan turun karena eliminasi, - tidak semua k a K el D.f D = dosis pemberian f = fraksi obat terabsorpsi k a = tetapan laju absorpsi Vd = volume distribusi C= konsentrasi obat dalam plasma K el = tetapan laju eliminasi Ct = M. e -Kel.t - L. e -ka.t Dimana : -M = intersep slope eliminasi mono- eksponensial back- extrapolated dengan ordinat - L = intersep slope absorpsi mono- Tubuh Vd C Tubuh Vd C PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 obat terabsorpsi. Kurva kadar obat vs waktu eksponensial dengan ordinat pada kertas semi log log konsen- trasi K el waktu - K el = tetapan laju eliminasi - k a = tetapan laju absorpsi 2 Model dua kompartemen Pada model ini, diasumsikan bahwa tubuh bertindak sebagai dua kompartemen yaitu kompartemen sentral dan perifer Shargel et al., 2005. Kompartemen sentral terdiri dari darah dan berbagai organ yang banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati, ginjal dan kelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai keseimbangan dengan cepat dalam kompartemen ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit dan jaringan lemak, sehingga obat lambat masuk ke dalamnya Setiawati, 2002. Pada dasarnya model dua kompartemen adalah sama dengan model kompartemen satu, bedanya adalah adanya proses ditribusi karena adanya kompartemen perifer Setiawati, 2002. Secara ringkas, karakteristik dari model dua kompartemen pada rute pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler dapat dilihat pada tabel II berikut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 Tabel II. Ringkasan karakteristik model dua kompartemen terbuka Ristchel, 1992 Persamaan kadar obat dalam darah μgml Rute pemberian Karakteristik Model k 12 k 21 D k 13 D = dosis pemberian KS = kompartemen sentral KP = kompartemen perifer k 12 ,k 21 = tetapan laju distribusi k 13 = tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral Vc = volume kompartemen sentral C = konsentrasi obat dalam plasma β = slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat Intravaskuler -Tidak ada proses KP intravena, intracardiac, intra-arteria absorpsi, -semua obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik, -distribusi obat yang lambat antara aliran darah dan jaringan, -steady state tercapai beberapa saat setelah pemberian, - penurunan bagian pertama karena distribusi - penurunan kedua tergantung distribusi kembali dari jaringan ke darah, ekskresi dan biotransformasi. Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log log konsen- trasi β waktu Ct = M. e - β.t + L. e - α.t Dimana : -M = intersep slope eliminasi β mono- eksponensial back- extrapolated dengan ordinat - L = intersep slope distribusi α dengan ordinat - β=slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat - α= slope distribusi tetapan laju disposisi cepat Ekstravaskuler oral, rektal, intramuskuler, intracutaneous subcutaneous - terjadi absorpsi, berdasarkan mekanisme pelepasan obat - saat t = 0 tidak ada obat dalam darah - kadar naik oleh absorpsi, diikuti penurunan k 12 k 21 D.f k a k 13 D = dosis pemberian f = fraksi obat terabsorpsi KS = kompartemen sentral Ct = M. e - β.t + L. e - α.t – N. e –ka.t Dimana : - M = intersep slope eliminasi β mono-eksponensial back-extrapolated dengan ordinat KS Vc C KS KP Vc C PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 KP = kompartemen perifer k a = tetapan laju absorpsi k 12 ,k 21 = tetapan laju distribusi k 13 = tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral Vc = volume kompartemen sentral C = konsentrasi obat dalam plasma β = slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat Kurva kadar obat vs waktu pada kertas semi log karena distribusi lambat sampai steady state tercapai - L = intersep slope distribusi α dengan ordinat - N = konsentrasi obat hipotetik saat - penurunan kurva mono- eksponensial tergantung pada distribusi kembali obat dari jaringan ke darah, ekskresi dan biotrans- formasi t=0 diperoleh dari L+M - β= slope eliminasi total tetapan laju disposisi lambat - α= slope distribusi tetapan laju disposisi cepat Bila k a α log konsen- trasi β waktu Bila α k a log konsen- trasi β waktu - k a = tetapan laju absorpsi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 b. Analisis ordo kinetika. Perhitungan parameter farmakokinetika diturunkan secara matematis atas dasar asumsi ordo kinetikanya. Perubahan kadar obat di dalam darah atau plasma karena absorpsi, distribusi dan eliminasi merupakan fungsi waktu. Secara matematis, hal ini dinyatakan sebagai berikut. n kX dt dX − = 2 Dalam persamaan tersebut, X adalah kadar obat yang dipindahkan dari suatu kompartemen ke kompartemen lain. Tetapan k menggambarkan tetapan kesebandingan yang berhubungan dengan proses laju perpindahan obat, yang selanjutnya disebut sebagai tetapan laju. Sedangkan n merupakan orde dari proses perpindahan tersebut. Donatus, 1989. Selanjutnya persamaan 2 dapat diintegralkan, dan dinyatakan dalam persamaan 3. kt Xo.e X − = 3 Terlihat dari persamaan tersebut, bila perubahan kadar, lebih tepatnya penurunan kadar pada waktu tertentu, tergantung pada kadar obat yang dapat dipindahkan pada waktu itu. Hal ini merupakan ciri khas kinetika orde pertama. Dengan kata lain, kinetika suatu obat mengikuti orde pertama jka n nya sama dengan satu. Jika n sama dengan nol, maka kinetika obat tersebut mengikuti orde nol persamaan 4 atau 5 Donatus, 1989. k dt dX − = 4 kt X − = 5 Proses- proses absorpsi, distribusi dan eliminasi yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 berarti laju proses- proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada. Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, didistribusi dan dieliminasi per satuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses- proses tersebut Setiawati, 2002. Pada obat- obat dengan kinetika orde pertama atau kinetika linier ini terdapat hubungan yang linier antara log kadar obat dalam plasma dengan waktu pada fase absorpsi, distribusi dan eliminasi Setiawati, 2002.

3. Parameter farmakokinetika

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pola absorpsi, distribusi dan eliminasi suatu obat dapat dikaji dari nilai parameter farmakokinetikanya. Parameter tersebut diperoleh dari pengukuran kadar obat tak berubah di dalam darah pada sederetan waktu tertentu Donatus, 1989. Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat-utuh atau metabolitnya di dalam cairan tubuh, seperti darah atau urin Reilly, 1974 cit. Donatus, 2005. Pada hakikatnya terdapat tiga jenis parameter farmakokinetika, yaitu parameter farmakokinetika primer, parameter farmakokinetika sekunder, dan besaran turunan lain Rowland and Tozer, 1995. Parameter farmakokinetika primer adalah parameter yang nilainya dipengaruhi secara langsung oleh perubahan satu atau lebih variabel fisiologis terkait. Yang termasuk parameter tersebut adalah tetapan laju absorpsi k a , fraksi dosis obat yang diserap f a , volume distribusi Vd, bersihan tubuh total Cl T , PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 bersihan hati Cl H , dan bersihan ginjal Cl R Rowland and Tozer, 1995. Ubahan fisiologis yang mempengaruhi parameter farmakokinetika primer terkait dapat dilihat pada tabel III. Tabel III. Ketergantungan parameter farmakokinetika primer terhadap beberapa variabel fisiologi Parameter farmakokinetika primer Variabel fisiologi Tetapan laju absorpsi k a Bersih hati Cl H , fraksi obat yang diabsorpsi Bersih ginjal Cl R Volume distribusi Vd Aliran darah pada tempat absorpsi, pengosongan lambung oral, gerakan usus oral Aliran darah hati, ikatan dalam darah Aliran darah ginjal, ikatan dalam darah Ikatan dalam darah ikatan dalam jaringan, pembagian ke dalam lemak, susunan tubuh, dan ukuran tubuh Dikutip dari Rowland and Tozer 1995 dengan sedikit perubahan Parameter farmakokinetika sekunder adalah parameter farmakokinetika yang besarnya tergantung pada nilai parameter farmakokinetika pimer. Yang termasuk parameter tersebut adalah waktu paruh obat t½, tetapan laju eliminasi K el , dan fraksi obat utuh yang diekskresikan ke dalam urin f e Rowland and Tozer, 1995. Besaran turunan lain nilainya tidak semata- mata tergantung nilai parameter farmakokinetika primer, tetapi juga tergantung pada dosis dan laju pemberian obat terkait. Yang termasuk besaran turunan lain yaitu luas area di bawah kurva kadar obat utuh dalam plasma lawan waktu area under the curve AUC dan kadar obat pada keadaan tunak steady state dalam plasma Cp ss Rowland and Tozer, 1995. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 Perhitungan berbagai parameter farmakokinetika obat pada pemberian dosis tunggal dengan model dua kompartemen terbuka dan absorpsi mengikuti orde pertama serta eliminasi terjadi hanya dari kompartemen sentral, dapat dilihat pada tabel IV Jusko and Gibaldi, 1972; Ritschel, 1992; Wagner, 1975. Tabel IV. Perhitungan Parameter Farmakokinetika Model Dua Kompartemen Terbuka dengan Absorpsi Orde Pertama dan Eliminasi hanya dari Kompartemen Sentral - Pemberian Dosis Tunggal Persamaan Kadar Obat dalam Darah Blood Level Equation : dimana : ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − − = α β α k α k V .D .f k L a 21 c a a ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − − = β α β k β k V .D .f k M a 21 c a a ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − − = a a a 21 c a a k β k α k k V .D .f k N pada persamaan tersebut diasumsikan bahwa : - k a α β atau α k a β, dengan definisi nilai α β - nilai M adalah selalu positif - salah satu atau kedua nilai L dan N harus negatif Perhitungan masing- masing parameter pada kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi berdasarkan persamaan tersebut diatas adalah sebagai berikut. Cpt = L.e - α.t + M.e - β.t + N.e -ka.t PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 Kinetika Perhitungan Parameter 1. Tetapan laju absorpsi k a abs 12 a t 0,693 k = 2. Luas area di bawah kurva Area Under the Curve AUC a. Berdasarkan persamaan kadar obat dalam darah : a k N β M α L AUC − + = ∞ − b. Pendekatan nilai AUC 0- ∞ dengan menggunakan aturan trapezoid : 1 - tn tn - - AUC AUC AUC ∞ ∞ + = 2 t - t 2 C C AUC 1 - n n n 1 - n tn - + = 3 β C AUC n tn = ∞ − Prosedur ini hanya sahih bila fraksi terekstrapolasi lebih kecil dari kira- kira 10 AUC total dan tidak boleh digunakan bila fraksi terekstrapolasi lebih dari 20 AUC total Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod, and Estes, 1995. Absorpsi 3. Fraksi obat yang terabsorpsi f a 100 x AUC AUC f iv x a = 1. Slope distribusi tetapan laju disposisi cepat α 13 21 2 .k 4k - b b 12 α + = Distribusi 2. Tetapan laju distribusi dari kompartemen sentral ke perifer k 12 13 21 12 k - k - β α k + = PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 3. Tetapan laju distribusi dari kompartemen perifer ke sentral k 21 β k M α k L N. α. k . M. k . L. k a a a a 21 − + − + + = β α β 4. Volume distribusi kompartemen sentral V c β k M α - k L .D .f k V a a a a c − + = 5. Volume distribusi pada steady state atau keadaan tunak Vd ss c 21 21 12 ss V k k k Vd + = 1. Bersihan tubuh total Cl T - a T AUC f D. Cl ∞ = 2. Slope eliminasi keseluruhan tetapan laju disposisi lambat β 13 21 2 .k 4k - b b 12 β + = - hubungan antara α dan β adalah sebagai berikut: α.β = k 21 .k 13 α + β = k 12 + k 21 + k 13 3. Waktu paruh eliminasi t 12el β 0,693 t 12el = Eliminasi 4. Tetapan laju eliminasi dari kompartemen sentral k 13 21 13 k α.β k = dikutip dari Jusko and Gibaldi 1972, Ritschel 1992, dan Wagner 1975 dengan sedikit perubahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 Keterangan : a Cpt = kadar obat pada kompartemen sentral pada waktu t b D = dosis pemberian c t 12abs = waktu paruh absorpsi d AUC 0- ∞ = luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu 0 sampai tak hingga e AUC 0-tn = luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu 0 sampai waktu ke-n f AUC tn- ∞ = luas area di bawah kurva kadar obat di dalam darah lawan waktu, dari waktu n sampai tak hingga g t n = waktu pengamatan dari konsentrasi obat C n h t n-1 = waktu pengamatan sebelumnya yang berhubungan dengan konsentrasi obat C n-1 i C n = kadar obat pada titik pengambilan sampel μgml j AUC x = AUC pemberian nonsistemik k AUC iv = AUC pemberian intravena l b = k 12 + k 21 + k 13 m L = intersep slope distribusi α dengan ordinat Sebagai catatan, simbol L ini dapat pula ditulis sebagai simbol A 1 Wagner, 1975 dan simbol A Ritschel, 1992 n M = intersep slope eliminasi β monoeksponensial back-extrapolated dengan ordinat Sebagai catatan, simbol M ini dapat pula ditulis sebagai simbol A 2 Wagner, 1975 dan simbol B Ritschel, 1992 o N = konsentrasi obat hipotetik pada saat t = 0 diperoleh dari L+M Sebagai catatan, simbol N ini dapat pula ditulis sebagai simbol A 3 Wagner, 1975 dan simbol C0 = A+B Ritschel, 1992 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35

4. Strategi penelitian farmakokinetika

Suatu penelitian farmakokinetika melibatkan subyek makhluk hidup yang seringkali sulit untuk dikendalikan. Selain itu juga melibatkan berbagai teknik maupun tata cara yang terkait dengan pemilihan subyek uji dan penangannya, perlakuan pada subyek uji, analisis kimia, sampai dengan analisis dan evaluasi hasil penelitian. Oleh karena itu agar hasil penelitian nanti dapat diandalkan, maka diperlukan penyusunan suatu strategi penelitian Donatus, 1989. Strategi penelitian farmakokinetika didefinisikan sebagai suatu rencana yang disusun sebelum dilakukan penelitian tahap farmakokinetika suatu obat, guna memperoleh informasi ketersediaan biologis atau ketersediaan biologi dari zat itu. Strategi penelitian farmakokinetika tersebut terdiri atas tahap-tahap sebagai berikut. a Pemilihan rancangan uji coba. Dalam memilih rancangan uji coba, perlu dipertimbangkan pula adanya beberapa variabel yang melekat pada subyek uji maupun pada sistem penelitiannya itu sendiri. Variabel- variabel tersebut adalah sebagai berikut. 1 variabilitas antar subyek 2 variabilitas karena perlakuan 3 variabilitas waktu 4 variabilitas dalam subyek 5 variabilitas residual Wagner, 1975. Adanya variabel- variabel tersebut dapat diperkecil pengaruhnya dengan penerapan suatu rancangan uji coba yang tepat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 Donatus, 1989. Pada penelitian ini, rancangan uji coba yang diterapkan adalah rancangan acak lengkap completely randomized design. b pemilihan subyek uji dan jumlahnya. Subyek uji yang digunakan dalam penelitian farmakokinetika meliputi hewan dan manusia. Pada tahap praklinis digunakan subyek uji hewan, sedangkan pada tahap klinis digunakan subyek uji manusia. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan meliputi bentuk sediaan dan cara pemberian, kemudahan penanganan hewan uji, kemiripan metabolisme terhadap suatu obat dengan yang ada pada manusia, kemudahan mendapat cuplikan biologis, serta volume maksimum yang dapat diterima hewan uji Donatus, 1989. c pemilihan cuplikan biologis. Cuplikan biologis yang sering digunakan dalam penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin. Darah menjadi pilihan pertama karena darahlah yang paling cepat dicapai oleh obat, serta darahlah yang menerima obat dari tempat pemberian, membawanya ke semua organ, termasuk tempat aksi obat dan elmininasinya Rowland and Tozer, 1995. Selain itu untuk kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah adalah senyawa yang memiliki aktivitas farmakologis. Sehingga, penetapan kadar obat pada cuplikan darah akan memberikan indikasi langsung pada kadar obat yang mencapai sirkulasi Rowland and Tozer, 1995. d pemilihan metode penetapan kadar. Parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Oleh sebab itu maka metode penetapan kadar yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 digunakan harus memenuhi berbagai prasyarat yaitu sebagai berikut. 1 Akurasi kecermatan, yaitu ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan nilai hasil analisis dengan nilai sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen perolehan kembali recovery Harmita, 2004. 2 Presisi keseksamaan, yaitu ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian hasil pengukuran berulang pada cuplikan biologis yang sama. Presisi dinyatakan dengan simpangan baku relatif koefisien variasi CV Harmita, 2004. 3 Selektivitas spesifisitas. Metode analisis harus memiliki selektivitas yang tinggi terhadap bentuk obat yang akan ditetapkan, sehingga dapat membedakan suatu obat dari metabolitnya, dari obat lain, dan dari kandungan endogen cuplikan biologis Harmita, 2004. 4 Sensitivitas. Sensitivitas metode berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Hal ini penting karena dalam perhitungan parameter farmakokinetika, diperlukan sederetan kadar obat dari waktu ke waktu, atau dari kadar tertinggi sampai kadar terendah Harmita, 2004. 5 cepat. Dalam suatu penelitian farmakokinetika dilakukan analisis dari cuplikan biologis dalam jumlah yang banyak, sehingga cepat juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan Donatus, 1989. e Pemilihan takaran dosis. Perbandingan harga LD 50 oral lawan LD 50 intravena dapat dilakukan untuk memperoleh wawasan terhadap masalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 absorbabilitas sebagai fungsi waktu sebagai fungsi cara pemberian oral. Jika informasi ini tidak tersedia maka dapat digunakan 5 – 10 dari harga LD 50 intravena sebagai dosis awal penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan Kaplan, 1973, cit. Donatus, 1989. Takaran dosis yang diberikan harus dapat menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolitnya pada rentang waktu tertentu, sehingga diperoleh data yang cukup memadai Donatus, 1989. f Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan biologis. Bila digunakan cuplikan darah, pengambilan sebaiknya 3-5 kali t½ eliminasi obat yang diuji. Frekuensi pengambilan cuplikan biologis berkaitan erat dengan asumsi model kompartemen tubuh. Bila kinetika obat mengikuti dua kompartemen terbuka, maka frekuensi pengambilan cuplikan setidaknya 3 kali tahap absorpsi, 3 kali daerah puncak, 3 kali tahap distribusi, dan 3 kali tahap eliminasi Ritschel, 1992. g Analisis dan evaluasi hasil. Analisis data hasil uji dan evaluasi hasil penelitian merupakan tahap terakhir penelitian farmakokinetika. Langkah- langkah analisis yang dilakukan meliputi analisis data uji coba, analisis statistika dan evaluasi Donatus, 1989.

D. Parasetamol

Obat yang akan diteliti perubahan profil farmakokinetikanya dalam penelitian ini adalah parasetamol. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39

1. Definisi

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0 dan tidak lebih dari 101,0 C 8 H 9 NO 2 dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa asam lemah serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N, mudah larut dalam etanol Anonim, 1995. Parasetamol memiliki nama lain asetaminofen, N-asetil-p-aminofenol atau 4-hidroksiasetanilid. Parasetamol adalah turunan para-aminofenol yang berkhasiat sebagai analgesik-antipiretik Block and Beale, 2004. Struktur parasetamol dapat dilihat pada gambar 3. OH H 3 COCHN Gambar 3. Struktur parasetamol N-asetil-paraaminofenol Parasetamol mempunyai titik lebur 169 o C – 172 o C. Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20 bagian air panas, 7 bagian etanol dan 50 bagian kloroform. Parasetamol tidak larut dalam benzen dan eter Clarke, 1969. pH parasetamol dalam larutan jenuh adalah 5,3 – 6,5. Pada larutan berair dengan pH 5 – 7, parasetamol sangat stabil. Parasetamol mempunyai nilai pKa 9,51 Connors, Amidon, and Stella, 1986; Hanson 2000. Dalam metanol, parasetamol memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 249 nm = 900 Clarke, 1969. atau serapan jenis adalah serapan dari larutan 1 zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm Anonim, 1995. 1 1cm A 1 1cm A PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40

2. Aksi farmakologis

Parasetamol merupakan metabolit aktif dari fenasetin dan asetanilid. Parasetamol memiliki efek analgesik-antipiretik dan telah digunakan sejak 1893 Wilmana, 1995. Tempat dan mekanisme aksi dari efek analgesik parasetamol masih belum jelas. Parasetamol menurunkan demam melalui aksi langsung pada pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus dengan cara meningkatkan pengeluaran panas tubuh melalui vasodilatasi dan keringat. Aksi pirogen endogen pada pusat pengatur suhu tubuh pun dihambat Anonim, 2004. Parasetamol merupakan penghambat enzim siklooksigenase di jaringan perifer yang lemah, sehingga daya anti inflamasinya kurang. Parasetamol lebih efektif dalam penghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat sehingga berguna sebagai agen analgesik antipiretik Katzung, 2002. Dibandingkan dengan aspirin, parasetamol memiliki daya antipiretik dan analgesik yang hampir sama. Daya anti inflamasi aspirin lebih baik. Parasetamol tidak menghambat agregasi platelet dan tidak menyebabkan ulcer pada saluran pencernaan Anonim, 2004. Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik antipiretik alternatif terhadap aspirin, yaitu pada pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, memiliki riwayat ulcer, memiliki gout, anak- anak dengan infeksi virus, serta pada pasein yang mengkonsumsi antikoagulan Anonim, 2001.

3. Farmakokinetika parasetamol

Absorpsi parasetamol berjalan cepat dan hampir sempurna dari saluran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 pencernaan melalui pemberian oral. Konsentrasi plasma puncak Cp maks sebesar 5 – 20 mcgml muncul dalam waktu 30 – 60 menit, tetapi tidak ada korelasi antara konsentrasi serum dan efek analgesik American Medical Association AMA, 1994. Waktu paruh t 12 plasma pada subyek sehat antara 1 – 2,5 jam. Pada overdosis, absorpsi berjalan lengkap setelah 4 jam Anonim, 2001. Setelah diabsorpsi, parasetamol akan terdistribusi ke sebagian besar jaringan dan cairan badan secara cepat dan luas Anonim, 2001. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien distribusinya pada manusia yaitu 0,94 lkg Melmon and Morelli, 1992 atau pada manusia 70 kg, volume distribusinya sekitar 67 L Katzung, 2002. Dalam plasma, sekitar 25 parasetamol terikat protein plasma Wilmana, 1995. Availabilitas oral parasetamol adalah sekitar 88 Katzung, 2002. Parasetamol mengalami metabolisme di hati, terutama dalam bentuk konjugat glukuronida dan sulfat, dan dieliminasi di urin AMA, 1994. Sebanyak 90 – 100 obat ditemukan kembali dalam urin pada 24 jam pertama, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukuronat ± 60 , dengan asam sulfat ± 35, atau dengan sistein ± 3 . Sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan asetilasi juga terdeteksi Anonim, 2004. Levy 1981 menyebutkan bahwa metabolit hasil hidroksilasi tersebut bertanggungjawab atas hepatotoksisitas akibat overdosis. Parasetamol dimetabolisme secara luas dan diekskresikan dalam urin terutama dalam bentuk konjugat inaktif glukuronat dan sulfat 94 . Sekitar 4 dioksidasi oleh sistem enzim sitokrom P 450 hati menjadi metabolit yang toksik, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 yaitu N-asetil-para-benzokuinonimina NABKI Block and Beale, 2004; Laurence, et al., 1997. Pada keadaan normal metabolit ini didetoksifikasi oleh konjugasi dengan glutation seluler dan diekskresikan dalam urin sebagai konjugat sistein dan asam merkapturat Anonim, 2004. Parasetamol mengalami metabolisme fase kedua yang menghasilkan inaktivasi farmakologis dari obat induk. Seperti yang terlihat dalam gambar 4, parasetamol mengalami konjugasi sulfat, konjugasi glutation dan konjugasi glukuronat dan menghasilkan metabolit yang tidak aktif Gibson and Skett, 1991. Penggunaan parasetamol dalam jangka waktu panjang atau secara akut dalam dosis yang besar menyebabkan persediaan glutation menipis dan nekrosis hepatik dapat terjadi. Sekitar 2 diekskresikan dalam bentuk tak berubah. Waktu paruh eliminasi sedikit diperpanjang pada neonatus dan sirosis Anonim, 2004. Efek analgesik antipiretik dari parasetamol akan timbul bila konsentrasinya dalam darah antara 10 – 20 mgL Melmon and Morelli, 1992. Jadi, nilai Kadar Efek Minimum KEM dari parasetamol adalah bila kadarnya dalam darah sebesar 10 μgml hingga 20 μgml, sedangkan nilai Kadar Toksik Minimum KTM dari parasetamol adalah bila kadarnya dalam darah lebih dari 300 μgml Katzung, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 HO NHCOCH 3 N H O C 3 O OH HO HO COOH O S O O HO NH COCH 3 Parasetamol aktif Konjugasi sulfat ekskresi urin tidak aktif Metabolisme dan konjugasi glutation Sistein dan konjugasi merkapturat tidak aktif e OCH kskresi urin Konjugasi glukuronat tidak aktif ekskresi urin Gambar 4. Metabolisme parasetamol Gibson and Skett, 1991

4. Metode penetapan kadar parasetamol dalam plasma

Parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan atau metabolitnya di dalam cairan biologis. Oleh karena itu agar nilai- nilai parameter kinetika obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai prasyarat metode analisis yang baik Donatus, 1989. Kadar parasetamol dalam darah dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu sebagai berikut. a. Gas Liquid Chromatography GLC Metode ini memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi untuk menetapkan kadar parasetamol dalam darah Prescott, 1971. Namun demikian pada metode ini diperlukan plasma sebanyak 2 ml ± 4 ml darah utuh pada setiap pengambilan cuplikan. Sehingga jika metode ini diterapkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 pada hewan kecil misalnya tikus akan sulit untuk dikerjakan. b. Metode spektrokolorimetri-diferensial Metode ini juga dikatakan sebagai metode yang sensitif dan selektif untuk menetapkan kadar parasetamol darah Knefil, 1974 cit. Donatus, 1994. Namun metode ini juga memerlukan darah dalam dalam jumlah yang banyak ± 5 ml darah utuh, sehingga sulit diterapkan pada hewan kecil Donatus, 1994. c. Metode Chafetz et. al. dengan modifikasi oleh Glynn dan Kendal, 1975 Metode ini adalah metode pengukuran parasetamol dalam plasma secara spektrofotometri yang didasarkan pada reaksi diazotasi. Produk hasil reaksi yang terbentuk dalam larutan basa akan menunjukkan kromofor yang kuat dan absorbansinya diukur pada panjang gelombang 430 nm Chamberlain, 1995. Namun metode ini tidak dapat mengukur dengan tepat konsentrasi parasetamol dalam plasma di bawah 50 μgml sehingga pada konsentrasi tersebut biasanya dipakai kromatografi Widdop, 1986. Selain itu, dalam pelaksanaannya metode ini juga memerlukan volume darah yang cukup banyak ± 2 ml darah utuh untuk setiap pengambilan cuplikan darah, sehingga sulit diterapkan pada hewan kecil untuk sejumlah waktu pencuplikan. d. High Performance Liquid Chromatography HPLC HPLC merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi dalam campuran yang kompleks Skoog, Holler, and Nieman, 1998. HPLC dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 memberikan hasil pemisahan yang sangat cepat seperti pada kromatografi gas, dengan keunggulan zat- zat yang tidak menguap atau tidak tahan panas dapat dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlunya dibuat turunan yang dapat menguap Anonim, 1995. Analisis dalam HPLC meliputi analisis kualitatif dan kuantitatif. Tiap senyawa memiliki waktu retensi yang spesifik pada kondisi tertentu seperti kolom, suhu, laju, dan sebagainya sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar uji kualitatif. Waktu retensi yang menunjukkan identitas suatu senyawa merupakan selang waktu yang diperlukan senyawa mulai pada saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor Gritter et al., 1985. Analisis kuantitatif dalam HPLC diperoleh dari nilai respon puncak, yaitu mencakup luas puncak dan tinggi puncak. Baik tinggi puncak maupun luasnya daat dihubungkan dengan konsentrasi analit. Tinggi puncak sangat dipengaruhi oleh perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap sebagai parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif Anonim, 1995. Ditinjau dari sistem peralatannya, maka HPLC termasuk kromatografi kolom karena dipakai fase diamnya yang diisikan atau ter”packing” di dalam kolom. Tetapi bila ditinjau dari proses pemisahannya maka HPLC digolongkan sebagai kromatografi adsorpsi atau partisi. Tergantung pada butiran- butiran adsorban yang ada dalam kolom., apakah sebagai fase padat yang murni atau disalut dengan cairan Mulja dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 Suharman, 1995. Berdasarkan jenis fase diam dan fase geraknya, maka HPLC kolomnya dibedakan menjadi dua. Bila fase diam lebih polar dari fase geraknya, maka disebut kromatografi fase normal. Sebaliknya, bila fase gerak lebih polar dari fase diamnya maka disebut kromatografi fase terbalik Mulja dan Suharman, 1995. Hal- hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan untuk analisis dengan HPLC meliputi pemilihan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur yang sesuai untuk komponen yang dipisahkan, pemilihan kolom yang dipakai berkaitan dengan pelarut pengembang, pemilihan detektor yang memadai, serta pengetahuan dasar HPLC yang baik serta pengalaman dan keterampilan yang baik Mulja dan Suharman, 1995 Metode HPLC memberikan keuntungan antara lain, dapat dilakukan pada suhu kamar, detektor dapat divariasi, pelarut pengembang dan kolom dapat digunakan berulangkali, serta ketepatan dan ketelitiannya yang relatif tinggi dijajarkan dengan teknik analisis fisiko-kimia Mulja dan Suharman, 1995. Dengan berbagai pertimbangan diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan penetapan kadar parasetamol utuh dalam plasma tikus dengan menggunakan metode HPLC, dengan mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Howie, et. al. 1997 yang telah dimodifikasi oleh Wijoyo 2001. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47

E. Darah

Darah merupakan cairan yang beredar melalui jantung, arteri, kapiler dan vena, yang berfungsi mengangkut zat makanan, dan oksigen ke sel- sel tubuh, dan mengeluarkan produk- produk buangan dan karbon dioksida. Darah terdiri dari bagian cairan dan elemen- elemen Anonim, 1998. Sekitar 40 – 45 dari darah unsur- unsur sel yang terdiri dari eritrosit, leukosit, dan trombosit Frisell, 1982. Plasma darah merupakan bagian cair dari darah. Plasma diperoleh dengan membuat darah tidak beku dan sel darah disentrifugasi. Apabila darah dibiarkan saja tanpa penambahan antikoagulan maka sel- sel darah akan mengendap dan terbentuk fase cair yang disebut sebagai serum. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada serum tidak terdapat faktor pembekuan fibrinogen Mutschler, 1991. Plasma manusia mengandung 90 – 92 air. Air tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pelarut bagi zat organik dan inorganik yang ditransportasikan oleh darah, melainkan juga berperan penting dalam regulasi panas dan pertukaran osmotik diantara kompartemen cair tubuh Frisell, 1982. Selain air, sekitar 7 dari plasma terdiri dari protein dan sisanya adalah garam- garam, karbohidrat, lipid dan asam amino. Sekitar 56 protein plasma merupakan albumin. Albumin mempunyai arti yang besar untuk ikatan protein obat yaitu dalam hal distribusi obat Mutschler, 1995. Langkah pertama dalam mempersiapkan plasma atau serum untuk dianalisis adalah memutus ikatan antara protein dengan obat. Bila dilakukan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 pengukuran secara langsung, maka yang terukur hanyalah obat bebas saja, bukan keseluruhan obat yang ada. Metode yang paling mudah dan paling tua adalah dengan mengendapkan protein dan memperoleh filtratnya. Protein didenaturasi dan ikatannya dengan obat dihancurkan sehingga seluruh obat terlepas ke dalam filtrat. Reagen asam yang banyak digunakan untuk mendenaturasi protein adalah asam trikloroasetat karena memiliki efisiensi yang baik Chamberlain, 1995.

F. Landasan Teori