Definisi Etiologi DBD Demam Berdarah Dengue

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

2.1.1. Definisi

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever DHF adalah penyakit virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meningal dalam waktu yang sangat pendek. Gejala klinis DBD berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan manisfestasi perdarahan yang biasanya didahului dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-bintik merah patechia pada badan penderita. penderita dapat mengalami syok dan meninggal. Sampai sekarang penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Vektor utama DBD adalah nyamuk yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus. Virus-virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, terutama aedes aegypti dan karenanya di anggap sebagai arbovirus virus yang ditularkan melalui artropoda. Bila terinfeksi nyamuk tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya, menularkan virus ke individu rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk dengan penularan trasvorian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak mempeberat penularan yang signifikan pada manusia WH0, 2012. Universitas Sumatera Utara Demam Dengue DF adalah penyakit febris-virus akut, sering kali disertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leucopenia sebagai gejalanya, demam berdarah dengue DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis utama : demam tinggi, fenomena hemarogik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok hipovelemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut sindrom syok dengue DSS dan dapat menjadi fatal. WHO,2005.

2.1.2. Etiologi DBD

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Dengue. Virus ini adalah anggota dari Grup B arbovirus dengan diameter 30nm yang termasuk dalam genus Flavivirus, family flaviviridae, istilah “arbovirus” digunakan untuk menyatakan suatu kelompok besar virus yang memiliki siklus biologik yang melibatkan arthpod dan vertebrate. djunaedi, 2006 Virus Dengue masuk ke dalam tubuh lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kupfer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsung tulang, serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makropag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel – orgnel sel, genom maupun komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun Universitas Sumatera Utara komponen struktual virus. Setelah komponen struktual dirakit, virus dilepaskan dalam sel, proses perkembangan virus DEN terjadi di sitoplasma sel Soegeng, 2006. Virus Dengue membentuk kompleks khas di dalam genus flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik dan biologisnya. Ada empat serotype virus yang kemudian dinyatakan sebagai DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, infeksi yang terjadi dengan serotype tersebut. Walaupun secara antigenik serupa, keempat serotype tersebut cukup berada di dalam menghasilkan perlindungan silang selama beberapa bulan setelah terinfeksi salah satunya, Virus dengue dari keempat serotype tersebut juga dihubungkan dengan kejadian epidemik demam dengue saat bukti yang ditentukan tentang DBD sangat sedikit. Keempat virus serotype tersebut juga menyebabkan epidemik DBD yang berkaitan dengan penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan WHO,2005. Infeksi salah satu serotype akan menimbulkan antibody terhadap serotype yang bersangkutan sedangkan antibody yang berbentuk terhadap serotype lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotype yang lain tersebut. Dengan kata lain, infeksi oleh satu serotype virus dengue menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype virus tersebut, tetapi tidak ada “cross protective” terhadap serotype virus yang lain Soegijanto, 2006.

2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi