45
Sejarah dan Prodi Sastra Sejarah Universitas Sanata Dharma ikut berpartisipasi atas diselenggarakannya acara tersebut.
11. “Faktanya, sampai saat ini narapidana korupsi yang bersedia
menjadi justice collaborator bisa dihitung dengan jari.” K8.1, 210415
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hidayat
selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang mengkritisi rencana pemberian remisi terhadap
terpindana kasus korupsi. Penulis memberikan pernyataan bahwa terpidana yang bersedia membantu menuntaskan kasus korupsi
jumlahnya begitu terbatas.
12. “Berdasarkan Peraturan Presiden Perpres No 39 tahun 2015
tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara untuk pembelian kendaraan perorangan, Presiden Jokowi
menaikkan uang muka pembelian kendaraan menjadi Rp 210. 890 juta
.” M1.2, 070415
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Paulus Mujiran selaku
Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang yang mengkritisi tunjangan pembelian mobil pribadi bagi anggota DPR.
Penulis memberikan pernyataan berupa fakta mnegenai kebijakan baru mengenai tunjangan pembelian mobil pribadi bagi pejabat.
13. “Masih jamak, peringatan Hari Kartini ditandai dengan lenggak-
lenggok peragaan budaya daerah. Entah di sekolah, lembaga pemerintah, maupun kelompok masyarakat, sebatas memaknai
Kartini dalam simbol-simbol yang mewakili citra ketradisionalan.
46
Kartini diidentikkan dengan masa lalu yang kuno. ” N1.1, N1.2
dan N1.3, 210415 Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh A. A. Kunto A. selaku
Coach Writer di STIEBANK yang mengkritisi rutinitas peringatan hari Kartini yang identik dengan sanggul dan kebaya. Penulis
memberikan pernyataan mengenai fakta bahwa saat ini, begitu banyak di berbagai lembaga yang memperingati hari Kartini
dengan mengenakan busana adat. Berdasarkan sample dari analisis data yang dipaparkan di atas, pada bagian
pernyataan, penulis menyajikan fakta, pernyataan tentang nilai, dan suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Fakta pada pernyataan di atas berupa
nama seseorang, tempat, tanggal, dan peristiwa. Misalnya saja, sample dengan kode A13.1, “surat Presiden Jokowi tertanggal 9 Januari 2015, perihal
pemberhentian dan pengangkatan Kapolri, sudah diterima oleh DPR, dan untuk selanjutnya akan dibahas serta disetujui, melalui uji kepatutan dan kelayakan,
” dengan jelas memaparkan sebuah fakta. Hal ini sejalan dengan pemikiran Abdul
Rani 2014:41 bahwa pada bagian pernyataan, selain merangkum tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, pernyataan terdapat tiga macam yaitu pernyataan
mengenai fakta, nilai dan kebijakan.
4.2.1.2 Elemen Alasan
Alasan adalah bukti-bukti yang bersifat khusus yang diperlukan untuk mendukung pernyataan. Alasan atau bukti pendukung dapat berupa data statistik,
47
contoh, ilustrasi, penalaran, observasi eksperimental, dan materi ilmu pengetahuan umum, maupun pengujian. Kesemua alasan tersebut mendukung pernyataan.
Dalam wacana argumentasi, elemen alasan merupakan elemen yang menduduki posisi kedua terbanyak setelah elemen pernyataan. Berdasarkan
analisis data, ditemukan sebanyak 199 kalimat dalam 14 wacana yang termasuk ke dalam elemen alasan. Data tersebut disajikan di antaranya adalah sebagai
berikut. 1.
“Pertama, kalau melihat ke belakang khususnya saat melakukan penjaringan nama-nama calon menteri yang akan duduk di
Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, pola penjaringan Presiden Jokowi terbilang cukup baik karena melibatkan KPK dan PPATK
guna mengetahui rekam jejak mereka.” A5.1, 130115 Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Baharuddin selaku
Aktivis Jogja Police Wacth yang menanggapi kasus calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Jokowi. Penulis memberikan penalaran
dengan kembali melihat konsep penjaringan yang dilakukan Jokowi dengan melibatkan KPK dan PPATK. Pemaparan alasan
ditandai dengan awalan kata “pertama” lalu penulis menjabarkan penalarannya.
2. “Mungkin para pembaca masih ingat di era Orde Baru berkuasa
tidak ada yang berani menyebut Presiden Soeharto hanya dengan sebutan “Soeharto” tanpa embel-embel “Presiden” atau “Bapak
Presiden”.” B3.1, 200215 Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Yulius Dwi Cahyono,
M.Pd. selaku Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang menanggapi kesantunan berbahasa kaum intelektual
48
di media massa. Penulis memberikan alasan berupa contoh betapa kesantunan berbahasa begitu diterapkan ketika pembicaraan
menyinggung orang-orang yang berkuasa. Contoh itu berupa penyebutan “Bapak Presiden”.
3. “Di media televisi mereka berbicara dengan mudah dan ringannya
ketika menyebut nama sesorang entah yang memiliki kedudukan atau tidak semisal Presiden Jokowi hanya disebut Jokowi.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok hanya disebut Ahok.” B6.1 dan B6.2, 200215
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Yulius Dwi Cahyono,
M.Pd. selaku Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang menanggapi kesantunan berbahasa kaum intelektual
di media massa. Penulis memberikan alasan berupa contoh betapa mudahnya media menyebut presiden dengan memanggil namanya
saja. Contoh lain berupa penyebutan “Ahok”.
4. “Misalnya, DPR RI sejak awal sudah lebih dahulu memberikan
tekanan, dengan pengajuan revisi Undang-Undang KPK, dengan mencoba menghapus fungsi penuntutan Komisi. DPR juga
bersikeras mengharuskan KPK melakukan penyadapan hanya atas izin pengadilan.
” C6.2 dan C6.3, 270115
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku
Managing Coordinator Mishbah Cultural Studies Center yang menanggapi kasus KPK dan Telikungan Habitus Korupsi. Penulis
memberikan penalaran bahwa DPR sejak awal telah memberikan tekanan terhadap KPK dengan membatasi keleluasaan KPK dalam
49
menyelidiki kasus korupsi. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata “misalnya”.
5. “Maka, “ihwal kegentingan yang memaksa” terkait kondisi KPK,
bila mengacu pada Pasal 21 ayat 5 UU KPK tersebut, dapat dimaknai sebagai kondisi di mana pimpinan KPK tidak dapat lagi
menetapkan kebijakan-kebijakan penting KPK yang menyangkut fungsi dan kewenangannya dalam upaya memberantas tindak
pidana korupsi. Sehingga bila dikaitkan dengan kondisi KPK kekinian, meskipun jajaran pimpinan KPK aktif yang tersisa hanya
tinggal tiga orang, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja,
dan Zulkarnaen, akan tetapi ketentuan konstitutif “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat 5 UU KPK belum dapat terpenuhi. ” D6.1 dan D6.2,
030215 Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Sumarsih selaku Peneliti
Alwi Research Consulting Alumnus Fisipol UGM yang menanggapi wacana Perppu Imunitas KPK. Penulis memberikan
penalaran mengenai pasal-pasal yang mengatur keabsahan putusan KPK, dengan jumlah pimpinan KPK aktif sebanyak tiga orang
maka putusan dinilai sah, sehingga pembuatan Perppu tidak begitu mendesak. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya
kata “maka”, “bila”, “sehingga”, dan “meskipun”.
6. “Ini berarti memberikan celah terhadap ketentuan jumlah
pimpinan KPK aktif yang berada di dalam institusi KPK untuk dapat menetapkan kebijakan tertentu. Sebab, keputusan yang
ditetapkan oleh tiga atau empat pimpinan aktif keduanya telah memenuhi ketentuan konstitutif yang termaktub dalam frasa
“Pimpinan KPK” dan “Kolektif kolegial”.” D7.3 dan D7.4, 030215
50
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Sumarsih selaku Peneliti
Alwi Research Consulting Alumnus Fisipol UGM yang menanggapi wacana Perppu Imunitas KPK. Penulis memberikan
alasan berupa penalaran mengenai frasa yang dimaksud dalam sebuah Undang-undang yang mengatur kebasahan keputusan yang
dikeluarkan oleh KPK. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya frase dan kata “ini berarti” dan “sebab”.
7. “Pertama, para tersangka kasus dugaan korupsi, termasuk di
Yogyakarta, bisa jadi akan berduyun-duyun melakukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka yang ditetapkan oleh
kejaksaan maupun kepolisian.” F13.1, 170215 Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Baharuddin selaku
Aktivis Jogja Police Watch yang menanggapi adanya implikasi pasca vonis BG. Penulis memberikan alasan berupa penalaran
mengenai dampak yang timbul akibat gugatan praperadilan atas penetapan tersangka korupsi terhadap BG yang kemudian
dimenangkan oleh pihak BG. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata dan frasa “pertama” dan “bisa jadi”, lalu
penulis menjabarkan penalarannya.
8. “Jika tujuan hukuman adalah memberi efek jera, sudah barang
tentu hukuman mati adalah sebuah bentuk perlindungan negara terhadap pelaku kejahatan. Tidak bisa dianggap lagi sebagai
bentuk pelanggaran. ” G11.1 dan G11.2, 240215
51
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku
Managing Coordinator Mishbhah Cultural Studies Center yang menanggapi tentang daulat hukuman mati di Indonesia. Penulis
memberikan penalaran mengenai bagaimana Indonesia melihat dan memahami sebuah kasus, lantas menindak lanjuti hukuman dari
kasus yang dilihat. Alasan ini untuk memperkuat pernyataan bahwa Australia berusaha menggoyahkan keteguhan Indonesia dalam
mengeksekusi dua warga Negaranya. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata dan frasa “jika” dan “sudah barang
tentu ”, lalu penulis menjabarkan penalarannya.
9. “Publik tentu patut mewaspadai manuver DPR terkait rencana
amandemen UU KPK tersebut. Sebab, menurut salah satu pimpinan KPK, Zulkarnaen, UU KPK masih relevan dan memadai
untuk diterapkan pada saat ini. Dengan kata lain, dari sisi esensi dan urgensi, amandemen terhadap UU KPK belum menemukan
relevansinya yang memaksa untuk harus segera diamandemen.
” H3.1, H3.2, dan H3.3, 030315
Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hadiningrat
selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang menanggapi adanya potensi pelemahan UU KPK.
Penulis memberikan alasan berupa penalaran bahwa UU KPK masih layak dan belum mendesak untuk dilakukan amandemen.
Alasan ini digunakan untuk memperkuat pernyataan bahwa manuver DPR perlu untuk diwaspadai. Alasan berupa penalaran ini