BAB III PROFIL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
A. Sejarah Singkat Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian
Komunikasi dan Informatika
Pusdiklat Kementerian KOMINFO bisa dibilang cukup tua karena mengingat sejarah berdiri Kementerian ini pada tahun 1945 setelah
kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak saat itu sampai saat ini sempat beberapa kali ganti nama, awal nama Kementerian ini adalah Pusdiklat
Penerangan sampai tahun 1975. Kemudian berganti lagi menjadi Balai Diklat Departemen Penerangan DEPPEN pada tahun 2001, lalu berganti nama lagi
pada tahun 2005 menjadi Pusdiklat Departemen KOMINFO dan sampai sekarang menjadi Pusdiklat Kementerian KOMINFO.
Peranan Deppen semestinya terbatas pada fungsi membangun dan menggerakkan sistem akses informasi timbal-balik antara pemerintah dan
publik. Dengan kata lain, Deppen tak akan beranjak jauh dari fungsi- fungsi public service pada ranah informasi dan komunikasi.
Namun sejarah mencatat, di bawah kendali Menteri Mashuri dan Ali Murtopo, Deppen secara sistematis mengalami reinkarnasi menjadi
perangkat ideologis-represif negara Orde Baru. Lingkup-kerjanya bukan 39
sekedar membangun komunikasi politik pemerintah dengan publik, namun juga mensukseskan program-program pemerintah, menjaga legitimasi
kekuasaan dan ketertiban umum. Pada tataran praksis, wewenang Deppen mencakup tindakan-tindakan represif yang dianggap perlu terhadap institusi
a tau individu pers yang “anti-pemerintah” serta unsur-unsur sipil yang berani
menentang konsensus-konsensus nasional yang telah ditetapkan negara. Deppen dilahirkan untuk menjadi pusat indoktrinasi negara Orde Baru
tentang “pembangunan nasional”, “cita-cita Orde Baru”, “semangat nasional Pancasila”, serta “kepribadian nasional”. Dengan sikap tinggi-hati, Deppen
memposisikan dirinya sebagai “juru penerang” yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang “optimis, bersikap mental positif, serta
mempunyai kesadar an bernegara”. Dhakidae 1991.
Dalam kerangka indoktrinasi itu, Negara Orde Baru kemudian mengintrodusir terminologi “jurnalisme pembangunan”, “jurnalisme
Pancasila” serta “pers yang bebas dan bertanggung jawab”. Pers ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem penerangan nasional dan harus bertekuk
lutut di bawah kontrol Menteri Penerangan dan Menkopolkam. Pers tak pernah leluasa menjalankan fungsi kritik karena selalu dibenturkan pada
tanggung jawab menjaga ketertiban umum, menjaga wibawa pemerintah dan turut “meletakkan dasar-dasar bagi stabilitas dan keamanan nasional”.
Sebagai pemegang otoritas penuh untuk mengeluarkan dan mencabut izin terbit SIUPP dan akreditasi wartawan, Penasehat Dewan Pers, serta
penentu kebijakan distribusi kertas, Menteri Penerangan secara efektif dapat menjalankan fungsi “polisional” terhadap pers. Pembungkaman terhadap
institusiindividu pers yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dapat dilakukan kapan saja, tanpa melalui proses peradilan dan tanpa
mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar. Alih-alih membangun proses komunikasi timbal-balik antara negara dan
masyarakat, sepanjang Orde-Baru Deppen terus-menerus memperagakan aksi-
aksi sepihak negara dalam “menertibkan” ruang-publik. Tak pelak Orde Baru m
enjadi periode panjang dimana tindakan “penerangan” secara radikal mengalami transformasi makna dari sekedar tindakan “memberitahukan”
menjadi tindakan “memaksakan tafsir kebenaran”, dari sekedar tindakan “mengkomunikasikan” menjadi upaya untuk “menyeragamkan pikiran”.
Pusat Diklat Pegawai Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai salah satu unit kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika, tugas
pusdiklat adalah mendidik pegawai Kementerian Kominfo sesuai dengan kompetensi yang di butuhkan melalui berbagai jenis diklat dan program.
B. Visi dan Misi