Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia

(1)

INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA

DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA

DESI ARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

2

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Desi Aryani


(3)

ABSTRACT

DESI ARYANI. Market Integration of Rice and Sugar in Thailand, Philippines and Indonesia (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and RATNA WINANDI as Member of the Advisory Committee).

Opening up market within ASEAN members especially for agricultural products will lead to the price relation on those products. The law of one price will take place if no trade barriers are imposed. As a result, price transmission and also market integration are hampered due to this trade policy. The objective of this study is to analyze spatial market integration of rice and sugar commodity in Thailand, Philippines and Indonesia. The study used secondary data such as monthly price of rice and sugar, and also domestic exchange rate of each country to US Dollar. Vector autoregression model applied to investigate whether rice and sugar markets in these countries are co-integrated. The result showed that rice and sugar markets in Thailand, Philippines and Indonesia are co-integrated at a weak level. This condition is a consequence of import policy (tariff and non-tariff) applied by these countries.


(4)

RINGKASAN

DESI ARYANI. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan RATNA WINANDI.

ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2003 merupakan bentuk liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Liberalisasi perdagangan antara negara anggota ASEAN khususnya untuk produk pertanian akan menciptakan hubungan harga antarproduk di negara-negara tersebut. Hal ini terjadi jika tidak ada hambatan perdagangan yang diberlakukan, sehingga transmisi harga dan integrasi pasar akan terjadi akibat diterapkannya kebijakan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis integrasi spasial antarpasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, (2) menganalisis sumber perubahan harga beras dan gula di Indonesia yang berasal dari perubahan harga beras dan gula di Indonesia, Thailand dan Filipina, dan (3) mengidentifikasi kebijakan perdagangan beras dan gula di Indonesia dan implikasinya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data bulanan harga beras dan gula di tiga negara ASEAN (Thailand, Filipina dan Indonesia) serta nilai tukar mata uang domestik masing-masing negara tersebut terhadap dolar Amerika. Model penelitian ini merupakan suatu model yang menganalisis data deret waktu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Data deret waktu umumnya bersifat tidak stasioner sehingga alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan dengan model Vector Autoregression (VAR).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia telah terintegrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah. Artinya apabila terjadi perubahan di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini disebabkan oleh masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi beras dan gula.

Hasil analisis Variance Decomposition pada model beras menunjukkan bahwa variasi harga beras Indonesia masih bisa dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 74 persen, 17 persen oleh harga beras Thailand dan hanya 9 persen oleh harga beras Filipina. Dapat disimpulkan bahwa pasar beras Indonesia lebih dapat menjelaskan variasi yang ada dalam penentuan harga beras diantara ketiga negara tersebut. Pasar beras Indonesia sedikit terisolasi dari dua pasar beras negara lainnya, hal ini disebabkan adanya kebijakan pengendalian impor yang diterapkan pemerintah. Selain itu walaupun berperan sebagai importir tetapi Indonesia juga adalah produsen beras yang besar sehingga kebutuhan beras domestik tidak hanya bergantung pada impor saja, tetapi juga bisa disediakan oleh produksi beras domestik. Pada model gula hasil analisis Variance Decomposition menunjukkan bahwa variasi harga gula Indonesia dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 47 persen sisanya dapat dijelaskan oleh variabel harga gula Thailand sebesar 27 persen dan variabel harga gula Filipina sebesar 26 persen. Jika dibandingkan hasil


(5)

analisis Variance Decomposition pada model beras dengan hasil analisis pada model gula, dapat dilihat bahwa pasar beras Indonesia lebih dapat menjelaskan variasi harga yang terjadi dibandingkan dengan pasar gulanya. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat impor beras Indonesia lebih kecil dari impor gula, kondisi ini sebagai akibat kecilnya produksi gula Indonesia sehingga kebutuhan konsumsi gula lebih banyak dipenuhi dari impor.

Kebijakan perdagangan yang memproteksi pasar domestik (baik melalui tarif maupun nontarif) akan menghambat terjadinya integrasi pasar. Padahal apabila integrasi pasar terjadi dengan baik (sempurna), berarti perdagangan bebas telah dijalankan. Sebagaimana diketahui bersama, salah satu keuntungan tambahan dari perdagangan bebas yang sangat penting adalah terpupuknya skala ekonomi. Perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya kerugian efisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah menerapkan kebijakan yang bertujuan memperbaiki pasar beras dan pasar gula domestik melalui peningkatan efisiensi ekonomi beras dan gula nasional, baik aspek budidaya, pascapanen, pengolahan maupun pemasaran hasil. Hal ini juga dilakukan supaya tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar beras dan gula dunia yang tipis tidak terlalu besar sehingga ketahanan pangan Indonesia tidak rentan terhadap gejolak harga dunia.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA

DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA

DESI ARYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia .

Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian, baik berupa petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung hingga tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.S. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S. selaku penguji luar komisi pembimbing yang

telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini.

3. Adik-adikku terkasih (Deby, Rian, Amaliah, Amilah dan Fendi, Farhan, Amirah) untuk doa dan dukungannya kepada penulis.

4. Teman-teman EPN angkatan 2007 (Mbak Wiwiek, Dian, Mas Roni, Wanti, Mbak Asri, Pak Zul, Mas Ferry, Mas Ambar, Pak Adi, Pak Narta dan Pak Suryadi) untuk kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan proses penulisan tesis ini.


(9)

5. Seluruh staf Mayor EPN (Mbak Ruby, Mbak Yani, Mbak Aam, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

6. Keluarga di PCH (Kak Sahara, Tuti dan Sherly) untuk dukungan dan kebersamaannya di rumah kita.

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ibunda Siti Aisyah dan Ayahanda Zawawi Usman serta Ibu mertua Hj. Asma dan Bapak H. Ali Umar yang selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis. Terima kasih tak terhingga kepada suami tercinta Ahmad Mutawalli dan putri terkasih Farah Fathinah, inilah persembahan kecil Ummi sebagai pengganti waktu dan kebersamaan yang terpaksa sedikit berkurang selama proses penyelesaian studi ini.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT menerima apa yang telah penulis lakukan sebagai wujud syukur kepada-Nya dan Allah mengampuni semua kesalahan kita. Amin.

Bogor, Agustus 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 22 Desember 1981 dari Ayah Zawawi Usman dan Ibu Siti Aisyah, S.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Palembang dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2003. Penulis melanjutkan Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Sriwijaya sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi adalah Agribisnis, Sosial Ekonomi Pertanian.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

1.5. Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Kebijakan Kerjasama Perdagangan di ASEAN ... 12

2.2. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Perdagangan ... 19

2.3. Integrasi Ekonomi ... 22

2.4. Integrasi Pasar ... 23

2.5. Metode Analisis Integrasi Pasar ... 27

2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31

III. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3. Metode Analisis Data ... 41

3.3.1. Uji Stasioneritas Data ... 42

3.3.2. Penetapan Tingkat Lag Optimal ... 44

3.3.3. Analisis Kointegrasi ... 45

3.3.4. Analisis Impulse Response dan Variance Decomposition 47 IV. PERDAGANGAN BERAS DAN GULA DI ASEAN ... 49

4.1. Ekspor dan Impor Thailand, Filipina dan Indonesia di Dunia .... 49


(12)

4.1.2. Ekspor dan Impor Gula ... 50

4.2. Ekspor dan Impor Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52

4.2.1. Ekspor-Impor Beras Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52

4.2.2. Ekspor-Impor Gula Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52

4.3. Dinamika Harga Beras dan Gula ... 53

4.3.1. Harga Beras ... 53

4.3.2. Harga Gula ... 55

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

5.1. Integrasi Pasar Beras dan Gula ... 57

5.2. Proses Pembentukan VAR ... 58

5.2.1. Uji Stasioneritas Data ... 59

5.2.2. Penetapan Tingkat Lag Optimal ... 62

5.2.3. Pengujian Stabilitas VAR ... 64

5.2.4. Analisis Kointegrasi ... 65

5.3. Pembentukan Sistem VECM ... 68

5.3.1. Pembentukan Sistem VECM Beras ... 70

5.3.2. Pembentukan Sistem VECM Gula ... 73

5.4. Analisis Dalam VECM ... 76

5.4.1. Analisis Impulse Response ... 76

5.4.2. Analisis Variance Decomposition ... 82

5.5. Kebijakan dan Implikasi ... 90

5.5.1. Kebijakan Perdagangan Beras di Indonesia dan Implikasinya ... 91

5.5.2. Kebijakan Perdagangan Gula di Indonesia dan Implikasinya ... 96

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produksi Komoditi Padi dan Gula di ASEAN, Tahun 2000-2006 .... 3

2. Ekspor dan Impor Komoditi Beras dan Gula di ASEAN, Tahun 2005-2006 ... 4

3. Peta Aliran Perdagangan Beras dan Gula Antaranggota ASEAN, Tahun 2005 ... 6

4. Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential Tariff 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia ... 14

5. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007 ... 16

6. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007 ... 17

7. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007 ... 18

8. Nilai Ekspor dan Impor Beras di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 50

9. Nilai Ekspor dan Impor Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 51

10. Peta Aliran Perdagangan Beras Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 52

11. Peta Aliran Perdagangan Gula Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 53

12. Hasil Unit Root Test pada Level ... 60

13. Hasil Unit Root Test pada Tingkat First Difference ... 61

14. Penetapan Lag Optimal Model Beras Berdasarkan Hasil Perhitungan LR, FPE, AIC, SC dan HQ ... 63

15. Penetapan Lag Optimal Model Gula Berdasarkan Hasil Perhitungan LR, FPE, AIC, SC dan HQ ... 64

16. Hasil Uji Stabilitas VAR Model Beras dan Model Gula ... 65


(14)

18. Hasil Analisis Kointegrasi Model Gula ... 67 19. Persamaan Kointegrasi Jangka PanjangHarga Beras ... 70 20. Nilai Koefisien VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial

Komoditi Beras ... 71 21. Persamaan Kointegrasi Jangka PanjangHarga Gula... 73 22. Nilai Koefisien VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial

Komoditi Gula ... 74 23. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras

Thailand Selama 20 Periode Mendatang ... 83 24. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras

Filipina Selama 20 Periode Mendatang ... 84 25. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras

Indonesia Selama 20 Periode Mendatang... 86 26. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula

Thailand Selama 20 Periode Mendatang ... 87 27. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula

Filipina Selama 20 Periode Mendatang ... 88 28. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Harga Produsen Beras di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun

1991-2006 ... 7 2. Harga Produsen Gula di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun

1991-2006 ... 8 3. Dampak Pengenaan Tarif pada Perdagangan Domestik dan Asing .. 20 4. Kurva Supply dan Demand pada Pasar Potensial Surplus dan

Pasar Potensial Defisit ... 25 5. Kurva Excess Supply dan Excess Demand dalam Model

Perdagangan ... 26 6. Alur Kerangka Operasional Penelitian ... 39 7. Harga Retail Beras di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun

2003-2008 ... 54 8. Harga Retail Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun

2003-2008 ... 56 9. Grafik Impulse Response Model Beras ... 78 10. Grafik Impulse Response Model Gula ... 81


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Aktual Integrasi Pasar Beras di Tiga Negara ASEAN,

Tahun 2003-2008 ... 108 2. Data Aktual Integrasi Pasar Gula di Tiga Negara ASEAN,

Tahun 2003-2008 ... 110 3. Ringkasan Pemilihan Asumsi Tren Deterministik yang Digunakan

pada Model Beras ... 112 4. Ringkasan Pemilihan Asumsi Tren Deterministik yang Digunakan

pada Model Gula ... 113 5. Hasil Estimasi VECM pada Model Beras ... 114 6. Hasil Estimasi VECM pada Model Gula ... 116


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand. Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan

(preferential trade), usaha patungan (joint ventures) dan skema saling melengkapi

(complementation scheme) antarpemerintah negara-negara anggota maupun pihak

swasta di kawasan ASEAN. Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan (Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2007).

Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya

Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) tahun

1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978. Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 disepakati pembentukan ASEAN Free

Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective


(18)

memberikan implikasi dalam bentuk pengurangan atau eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan nontarif dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Perkembangan AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).

Kerjasama antarnegara anggota ASEAN semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama di bidang perekonomian. Hal ini terlihat dari perkembangan ekspor impor negara-negara anggota ASEAN yang menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2005 total ASEAN trade sebesar US$ 1 224 889.4 juta meningkat menjadi US$ 1 404 805.7 juta pada tahun 2006. Sektor pertanian dan kehutanan merupakan salah satu subsektor utama dalam perekonomian ASEAN mengingat hampir semua negara anggota ASEAN merupakan negara agraris yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Berdasarkan data pada ASEAN

Statistical Yearbook 2007, diketahui bahwa padi, jagung, kedelai, gula dan ubi

kayu merupakan lima komoditi pangan utama di ASEAN dengan total produksi pada tahun 2006 masing-masing sebesar 178 817 000 ton, 27 589 000 ton, 1 572 000 ton, 105 820 000 ton dan 56 599 000 ton. Dari data tersebut jelas terlihat bahwa di ASEAN, padi (beras) dan gula adalah komoditi yang paling banyak diproduksi.

Padi dan gula diproduksi dan dikonsumsi oleh negara-negara ASEAN dengan tingkat produksi dan konsumsi yang berbeda-beda. Sebagai komoditi pangan utama, produksi padi menunjukkan tingkat pertumbuhan yang meningkat dari tahun ke tahun (2000 sampai 2006). Produksi gula juga terus mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai tahun 2003, pada tahun 2004 dan tahun 2005


(19)

19

produksi mengalami penurunan dan kembali meningkat pada tahun 2006. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1 produksi padi dan gula untuk masing-masing negara anggota ASEAN dari tahun 2000 sampai tahun 2006.

Tabel 1. Produksi Komoditi Padi dan Gula di ASEAN, Tahun 2000-2006

Negara Produksi (000 ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Brunei Darussalam 1. Padi 2. Gula 0.46 0.05 0.54 0.01 0.57 0.02 0.55 0.02 0.95 0.15 1.31 0.05 1.38 0.09 Kamboja 1. Padi 2. Gula 4 026 164 4 099 129 3 823 209 4 711 173 4 170 130 5 986 118 6 264 142 Indonesia 1. Padi 2. Gula 51 899 1 690 50 461 1 725 51 489 1 755 52 138 1 632 53 666 2 052 53 985 2 242 54 664 2 267 Laos 1. Padi 2. Gula 2 202 297 2 335 209 2 417 222 2 375 308 2 529 223 2 568 196 2 664 218 Malaysia 1. Padi 2. Gula 2 141 492 2 096 485 2 199 864 2 259 614 2 183 845 2 312 779 2 202 852 Myanmar 1. Padi 2. Gula 21 324 5 894 21 915 7 116 21 805 6 429 23 136 6 913 24 725 7 310 27 684 7 187 30 923 8 168 Filipina 1. Padi 2. Gula 12 389 21 223 12 955 21 709 13 271 21 417 13 500 23 978 14 497 25 579 14 603 22 918 15 327 24 345 Singapura 1. Padi 2. Gula 251 n.a. 319 n.a. 333 n.a. 383 n.a. - n.a. - n.a. - n.a. Thailand 1. Padi 2. Gula 24 948 46.03 28 487 50 986 27 052 61 862 29 337 82 224 29 299 69 808 29 201 43 665 30 946 54 149 Vietnam 1. Padi 2 Gula 32 530 15.04 32 108 14 657 34 447 17 120 34 569 16 855 36 149 15 649 35 791 14 731 35 827 15 679

Total 151 710

90 833 154 776 97 016 156 837 109 878 162 409 132 697 167 219 121 597 172 131 91 837 178 817 105 820

Sumber: ASEAN Secretariat, 2008

Keterangan: - not available at the time of publication

n.a. not applicable

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai tahun 2006 Indonesia merupakan negara produsen padi terbesar di ASEAN, sedangkan gula banyak diproduksi oleh Thailand. Berdasarkan informasi pada Tabel 2, walaupun Indonesia sebagai penghasil padi terbesar di ASEAN tetapi tidak menjadi negara


(20)

pengekspor utama beras, hanya US$ 0.53 juta beras yang diekspor oleh Indonesia, bahkan pada tahun 2006 Indonesia merupakan negara ketiga yang paling banyak mengimpor beras di ASEAN setelah Filipina dan Malaysia. Indonesia menjadi negara net importir gula dengan nilai impor terbesar (US$ 629.49 juta) dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, sedangkan Malaysia merupakan negara pengimpor gula terbesar kedua di ASEAN dengan nilai impor sebesar US$ 439.19 juta. Thailand merupakan negara pengekspor utama beras dan gula di ASEAN. Pada tahun 2006 ekspor beras dan gula yang dilakukan Thailand masing-masing sebesar 75.10 persen dan 63.31 persen dari total beras dan gula yang diekspor oleh negara-negara anggota ASEAN.

Tabel 2. Ekspor dan Impor Komoditi Beras dan Gula di ASEAN, Tahun

2005-2006 (US$ juta)

Negara

Ekspor Impor

2005 2006 2005 2006

Beras Gula Beras Gula Beras Gula Beras Gula

Brunei Darussalam - - - 0.01 20 7 23.42 6.65

Kamboja 3 - 2.25 0.03 3 10 3.24 16.84

Indonesia 9 86 0.53 113.14 51 649 132.62 629.49

Laos 2 - 2.96 0.00 3 6 2.93 4.71

Malaysia 1 123 1.16 133.65 182 344 279.28 439.19

Myanmar 37 1 10.79 0.47 - 1 0.00 0.34

Filipina - 111 0.13 135.77 500 56 465.74 95.98

Singapura 29 58 22.50 84.89 114 170 127.76 214.06

Thailand 2 319 868 2 406.02 867.40 1 33 1.13 42.36

Vietnam 594 29 757.57 34.65 25 79 23.80 139.35

Total 2 994 1 276 3 203.93 1 370.02 899 1 355 1 059.91 1 588.98

Sumber: ASEAN Secretariat, 2008

Keterangan: - not available at the time of publication

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa tidak semua negara produsen beras dan gula menjadi negara pengekspor. Hal ini dikarenakan tingginya kebutuhan domestik sehingga hampir semua produksi dialokasikan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Situasi perdagangan seperti ini


(21)

21

mengindikasikan bahwa surplus produksi yang diperdagangkan di pasar dunia sangat terbatas. Liberalisasi perdagangan yang dilakukan oleh semua negara ataupun oleh suatu negara baik oleh eksportir maupun importir secara langsung akan mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi pangan yang pada akhirnya mempengaruhi harga dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi di pasar dunia inilah yang akan memberikan dampak pada perdagangan di tingkat domestik.

AFTA merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagangan yang diberlakukan di kawasan Asia Tenggara. AFTA adalah wujud dari integrasi ekonomi yang terjadi antarnegara di ASEAN. Pemberlakuan AFTA akan menyebabkan terjadinya integrasi pasar antarnegara yang artinya pasar satu negara akan saling mempengaruhi dengan pasar negara lain. Menurut Muwanga dan Snyder (1997) dalam Adiyoga et al. (2006), pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dikaji bagaimana perubahan yang terjadi di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar antarnegara di tiga negara ASEAN. Negara-negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Thailand, Filipina dan Indonesia. Tiga negara ini dipilih karena dianggap mewakili negara eksportir dan importir beras dan gula di ASEAN.


(22)

1.2. Rumusan Masalah

Menurut Sawit (2006), Thailand adalah salah satu negara eksportir utama beras di dunia atau sekitar 7 juta ton per tahun. Indonesia telah menjadi negara net

importir beras sejak lama. Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi padi yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras tertinggi yaitu mencapai 3.8 juta ton per tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir 11 persen. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005, karena Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk penggunaan tertentu. Pada periode ini, impor hanya 206 ribu ton per tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99.5 persen.

Tabel 3. Peta Aliran Perdagangan Beras dan Gula Antaranggota ASEAN, Tahun

2005 (000 US$)

Ekspor

Impor

Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) Indonesia n.a. n.a. 3.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Malaysia 0.00 0.00 n.a. n.a. 12.94 0.00 111.65 0.00 3.32 0.00 Filipina 0.00 12 467.51 68.78 0.00 n.a. n.a. 0.00 0.00 20 061.98 0.08 Singapura 0.00 0.00 0.35 0.00 0.00 0.00 n.a. n.a. 159.20 0.00 Thailand 32 489.04 0.00 93 533.88 12 019.86 0.07 0.00 73 159.16 111.92 n.a. n.a.

Sumber: World Bank, 2005 (diolah) Keterangan: (1) Beras; (2) Gula

Thailand menjadi eksportir utama bagi negara anggota ASEAN yang lain dalam perdagangan beras dan gula. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 tentang peta aliran perdagangan beras dan gula antaranggota ASEAN 5. Ekspor beras dilakukan oleh Thailand ke Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura; Indonesia ke Malaysia; Malaysia ke Filipina, Singapura dan Thailand; Filipina ke Malaysia dan Thailand; Singapura ke Malaysia dan Thailand. Sedangkan ekspor gula dilakukan oleh Thailand ke Malaysia dan Singapura; Filipina ke Indonesia


(23)

23

dan Thailand. Dari penjelasan ini diduga terdapat hubungan ekspor-impor beras dan gula antarnegara anggota ASEAN tersebut, artinya ada aliran barang (beras dan gula) dari satu negara ke negara lain di ASEAN. Adanya aliran barang mengindikasikan hubungan yang saling mempengaruhi antara satu negara dengan negara lain.

Berdasarkan data harga beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, dapat dikatakan bahwa hubungan harga di ketiga pasar ada indikasi bergerak bersama. Namun, Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika harga ketiga negara tersebut diplotkan dari tahun 1991 sampai tahun 2006 terlihat bahwa

trend harga yang terjadi tidak selalu sama atau searah.

0 50 100 150 200 250 300 350

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 20012002 20032004 2005 2006

TAHUN

N

IL

A

I

(U

S

$

/T

O

N

)

Thailand Indonesia Filipina

Sumber: FAO Statistics Division,2008

Gambar 1. Harga Produsen Beras di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun 1991-2006

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa antara pasar beras Thailand dan Indonesia terdapat trend harga yang hampir sama atau searah dari tahun 1991 sampai tahun 2006. Hal ini terjadi karena ketika harga bergerak naik atau turun


(24)

24

maka harga di kedua negara tersebut juga bergerak dengan arah yang sama. Kecuali pada tahun 1998, ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dapat dilihat bahwa harga beras Indonesia dalam satuan US$ per ton bergerak turun sangat drastis, hal ini dikarenakan nilai tukar mata uang domestik (Rupiah) melemah terhadap US$. Dari gambar tersebut dapat diduga bahwa pasar beras Indonesia dan Thailand terintegrasi. Berbeda dengan pasar beras di Filipina dimana trend harga yang muncul agak berbeda dengan pasar beras Indonesia dan Thailand. Dapat dilihat bahwa baru tahun 2000 trend harga beras yang terjadi di Filipina bergerak hampir sama atau searah dengan harga beras Indonesia dan Thailand.

0 10 20 30 40 50 60

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

TAHUN

N

IL

A

I

(U

S

$

/T

O

N

)

Thailand Indonesia Filipina

Sumber: FAO Statistics Division,2008

Gambar 2. Harga Produsen Gula di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun 1991-2006

Pasar gula di Thailand sangat berbeda dengan pasar gula di Filipina dan Indonesia yang memiliki trend harga yang hampir sama dari tahun 1991 sampai tahun 1994. Dapat dilihat pada Gambar 2, mulai tahun 1995 terjadi perbedaan


(25)

yang besar pada harga gula di Filipina dan Indonesia. Mulai tahun 2004 trend

harga mulai menunjukkan arah yang hampir sama, hal ini mungkin disebabkan oleh mulai diberlakukannya AFTA yang mengakibatkan adanya keterpaduan pasar gula antar ketiga negara tersebut. AFTA artinya terjadi liberalisasi perdagangan barang antarnegara anggota ASEAN sebagai akibat adanya pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan nontarif dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan.

Liberalisasi perdagangan komoditi pangan memunculkan pertanyaan yaitu apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik. Secara teoritis liberalisasi perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi. Apabila dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik, berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan terhadap gejolak harga di pasar dunia (Purwoto et al. 2002). Integrasi pasar artinya terdapat keterpaduan pasar satu dengan pasar lainnya. Menurut Sitorus (2004), keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar yang lain, sehingga perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat dengan segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama.

Seharusnya dengan diberlakukannya AFTA maka akan terjadi integrasi pasar antarnegara di ASEAN. Berdasarkan hal tersebut maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(26)

1. Bagaimana integrasi pasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Apakah perubahan yang terjadi di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lain.

2. Berapa besar perubahan harga beras dan gula di Indonesia berasal dari dirinya sendiri dan berapa besar berasal dari pengaruh harga beras dan gula di Thailand dan Filipina.

3. Bagaimana implikasi kebijakannya terhadap perdagangan beras dan gula di Indonesia.

Indonesia di ASEAN adalah negara net importir, maka kajian ini sangat penting dilakukan untuk melihat seberapa besar keterkaitan Indonesia terhadap negara eksportir. Hal ini nantinya akan berhubungan dengan ketersediaan pangan khususnya beras dan gula dalam pasar domestik apabila nantinya terjadi gangguan pada pasar dunia khususnya pasar ASEAN.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar beras dan gula di tiga negara ASEAN yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis integrasi spasial antarpasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia.

2. Menganalisis sumber perubahan harga beras dan gula di Indonesia yang berasal dari perubahan harga beras dan gula di Indonesia, Thailand dan Filipina.


(27)

3. Mengidentifikasi kebijakan perdagangan beras dan gula di Indonesia dan implikasinya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi: (1) integrasi pasar beras dan gula di tiga negara ASEAN dianalisis melalui hubungan harga, (2) tiga negara ASEAN dalam penelitian ini adalah Thailand, Filipina dan Indonesia, (3) total ASEAN trade

untuk beras dan gula yang meliputi nilai ekspor dan impor beras dengan kode produk 100640 yaitu broken rice (beras pecah), sedangkan untuk gula adalah gula dengan kode produk 170111 yaitu raw sugar not containing added flavouring or

colouring matter:--cane sugar (gula kasar tidak mengandung tambahan bahan

perasa/pewarna:--gula tebu), (4) data harga beras dan gula yang digunakan adalah harga eceran beras dan gula di masing-masing negara tersebut, dan (5) data merupakan data time series bulanan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Secara empiris uji yang dilakukan hanya pada harga saja, sehingga pengujian disini dengan asumsi bahwa biaya-biaya transaksi perdagangan antarpasar adalah konstan antarwaktu. Penelitian ini tidak mengkaji pengaruh faktor-faktor nonharga (kecuali exchange rate) terhadap integrasi antarpasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Selain itu, karena penelitian ini hanya difokuskan pada tiga negara saja, maka pengaruh harga di luar ketiga negara tersebut diabaikan.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Kerjasama Perdagangan di ASEAN

Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya ASEAN PTA tahun 1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978. Pelaksanaan kerjasama di sektor perdagangan dinilai masih memerlukan berbagai upaya peningkatan, terutama untuk mata dagangan yang secara nyata diperdagangkan tetapi belum dapat diberikan tingkat preferensi yang memadai. Selain itu, masih diperlukan pula pendekatan yang lebih efisien, baik dalam prosedur administrasi maupun berbagai upaya untuk mengurangi berbagai hambatan nontarif (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).

Tingkat tarif efektif bersama diberlakukan antara 5-10 persen atas dasar produk per produk, baik produk ekspor maupun impor guna menghilangkan kendala-kendala perdagangan antarnegara ASEAN. Konsep CEPT ini juga diterapkan pada pengaturan kerjasama ASEAN di bidang industri. Disamping itu, disepakati juga untuk mengurangi tarif menjadi 0-5 persen bagi 90 persen produk pada tahun 2000 serta untuk mempercepat pemberlakuan tarif 0 persen dan memindahkan produk-produk yang tidak termasuk dalam pengurangan tarif ke dalam Inclusion List (IL).Negara-negara anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam/CLMV) akan memaksimalkan jumlah produk dengan tarif 0-5 persen pada tahun 2003 bagi Vietnam, 2005 bagi Laos dan Myanmar, serta 2007 bagi Kamboja. Mereka juga akan memperluas jumlah cakupan produk dengan tarif 0-5 persen pada 2006 bagi Vietnam, 2008 bagi Laos dan Myanmar, serta 2010 bagi Kamboja (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).


(29)

Pelaksanaan AFTA telah mengalami beberapa kali percepatan. Pada tahun 1995 disepakati Agenda of Greater Economic Integration yang antara lain berisi komitmen untuk mempercepat pemberlakuan AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun, atau yang semula tahun 2008 menjadi 2003. Pada tahun 1999, para Pemimpin ASEAN memutuskan untuk melakukan percepatan dalam pencapaian tarif nol persen dalam kerangka AFTA bagi ASEAN-6 yang dijadwalkan pada tahun 2010. Sementara keempat negara anggota baru (CLMV) dijadwalkan pada tahun 2015 dengan fleksibilitas.

AFTA saat ini telah terbentuk dengan sendirinya, dimana negara-negara anggota ASEAN telah membuat langkah-langkah maju dalam menurunkan tarif intraregional melalui mekanisme CEPT for AFTA. Sampai saat ini tercatat lebih dari 99 persen produk yang masuk dalam daftar IL untuk negara-negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) telah diturunkan menjadi sekitar 0-5 persen. Negara-negara CLMV juga tidak ketinggalan jauh dalam pelaksanaan komitmen CEPT dimana hampir 80 persen produk mereka telah masuk dalam IL dan 66 persen dari produk-produk tersebut telah memiliki tarif antara 0-5 persen. Hingga tahun 2006, rata-rata CEPT ASEAN-6 adalah 1.74 persen, CLMV 4.65 persen dan ASEAN secara keseluruhan 2.82 persen (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007). Tabel 4 memperlihatkan tarif beras dan gula dalam mekanisme CEPT di Thailand, Filipina dan Indonesia.

Tarif adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Ada dua jenis tarif yaitu tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor dan tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan


(30)

persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Pada kasus ini tarif menimbulkan dampak berupa kenaikan harga atau biaya pengiriman barang produk impor ke suatu negara (Krugman dan Obstfeld, 2004).

Tabel 4. Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential

Tariff Rates 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia

Kode AHTN

(2007) Deskripsi Thailand Filipina Indonesia

1006.00.00 - Beras 5 SL HSL

1701.11.00 - - Gula Tebu 5 38 HSL

1701.11.00.10 ---ICUMSA minimal 1200 5 38 HSL

1701.11.00.90 ---Lainnya 5 38 HSL

Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

Masing-masing negara anggota ASEAN khususnya Thailand, Filipina dan Indonesia menetapkan kebijakan tarif yang berbeda-beda dalam perdagangan beras dan gula. Thailand sudah memasukkan komoditi beras dan gula ke dalam CEPT Rates 2007 dengan besaran tarif 5 persen. Berbeda dengan Filipina yang menetapkan beras sebagai produk dengan status Sensitive List (SL) sedangkan gula sudah ditetapkan tarifnya sebesar 38 persen. Indonesia bahkan memasukkan beras dan gula ke dalam status High Sensitive List (HSL).

Kebijakan nontarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan yang sangat sering diterapkan selain kebijakan tarif. Salah satu kebijakan nontarif adalah kuota, yaitu pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota bisa berupa pembatasan kuantitas pasokan atau bisa juga pembatasan nilai. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor, biasanya pembatasan diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan


(31)

domestik untuk mengimpor suatu produk tertentu. Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor pertanian atau sektor industri domestik tertentu (Salvatore, 1997).

Komoditi pangan khususnya beras dan gula merupakan komoditas yang masih memiliki nilai strategis dan politis. Karenanya kebijakan yang diterapkan selalu bersifat protektif. Masing-masing negara anggota ASEAN menetapkan kebijakan perdagangan yang berbeda-beda untuk setiap komoditi yang diperdagangkan. Berdasarkan informasi dari ASEAN Secretariat (2007), di bawah ini dituliskan beberapa kebijakan nontarif (Nontariff Measures/NTMs) untuk perdagangan beras dan gula di negara Thailand, Filipina dan Indonesia berdasarkan Harmonized System (HS).

1. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Thailand

Pemerintah Thailand membuat peraturan yang ketat untuk impor beras. Dapat dilihat bahwa pemerintah Thailand sangat melindungi petani berasnya dengan membuat kebijakan perdagangan beras per jenis produk berdasarkan HS, mulai dari beras berkulit sampai dengan beras pecah. Kebijakan tarif dan kuota diberlakukan untuk impor beras. Hal ini dilakukan untuk melindungi pendapatan petani lokal. Selain itu juga diberlakukan lisensi impor. Impor beras yang dilakukan di Thailand harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya

Phytosanitary Certificate dan melalui karantina tumbuhan. Beras yang diimpor

harus memiliki kualitas dan standar tertentu. Tidak berbeda dengan impor beras, untuk impor gula pemerintah juga menerapkan kebijakan tarif dan kuota. Tabel 5 memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Thailand untuk komoditi beras dan gula.


(32)

32

Tabel 5. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007

No. Kode HS (digit) Deskripsi

HS

Tipe

NTMs Deskripsi NTMs Sumber

2 4 6

1 10 1006 1006.10 Beras berkulit TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT.

Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan.

2 10 1006 1006.10 Beras berkulit Aturan Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitary dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan (Larangan bahan mentah).

Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat.

3 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT.

Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan.

4 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti Aturan Teknis.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu.

Menteri Kesehatan Masyarakat. 5 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti Aturan

Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan (Larangan bahan mentah).

Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat.

6 10 1006 1006.30 Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disogoh, maupun tidak

TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT.

Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan.

7 10 1006 1006.30 Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disogoh, maupun tidak Aturan Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu. Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 8 10 1006 1006.40 Beras pecah TRQ Impor beras tunduk pada

TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT.

Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan.

9 10 1006 1006.40 Beras pecah Aturan Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu. Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 10 17 1701 Gula Lisensi tidak

otomatis, TRQ.

Impor gula tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, untuk melindungi petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT untuk alokasi quota. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan.


(33)

2. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Filipina

Pemerintah melakukan aturan kontrol kuantitas atau jumlah kuota untuk impor gula. Kuota impor gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada importir yang terdaftar dimana yang pertama datang yang pertama dilayani. Impor gula mengacu kepada

Minimum Access Volume (MAV) dan Tariff Rate Quotas (TRQs). Di bawah

skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6 tentang kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Filipina untuk komoditi gula.

Tabel 6. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007

No.

Kode HS

(digit) Deskripsi

HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs Keterangan

2 4 6

1 17 1701 - Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat Aturan Kontrol Kuantitas/jumlah- Quota.

Quota impor gula tebu atau gula bit ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada yang pertama datang yang pertama dilayani langsung untuk importir yang terdaftar.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

2 17 1701 - Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat Aturan Kontrol Kuantitas/jumlah- Quota.

Quota impor sukrosa murni kimiawi ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada yang pertama datang yang pertama dilayani langsung untuk importir yang terdaftar.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

3 17 - Gula Aturan Kontrol Kuantitas/jumlah- Quota.

Impor gula mengacu kepada

minimum access volume

(MAV) tariff-rate quotas

(TRQs). Aministrative Order

(A.O.) 9 tahun 1996, diubah oleh A.O. 8 tahun 1997 dan A.O. 1 tahun 1998, ditetapkannya peraturan ini untuk penerapan TRQ dan pengalokasian lisensi impor.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

3. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Indonesia

Impor beras di Indonesia dilaksanakan melalui dua cara, yaitu impor berdasarkan satu saluran yang dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog)


(34)

sebagai lembaga yang mengurus kebutuhan logistik nasional, dan impor yang dilakukan berdasarkan lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus/NPIK). Untuk komoditi gula, intervensi pemerintah dilakukan dengan cara kontrol impor melalui registrasi produk oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM). Sejalan dengan impor beras, impor gula juga dilakukan berdasarkan lisensi impor. Tabel 7 memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Indonesia untuk komoditi beras dan gula.

Tabel 7. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007

No. Kode HS (digit) Deskripsi HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs

2 4 6

1 10 1006 Beras Aturan Monopoli -satu saluran impor- administrasi perdagangan Negara.

Impor beras dan bahan mentah lainnya hanya bisa dilakukan oleh Bulog, lembaga logistik nasional.

2 10 1006 Beras Lisensi impor otomatis. Aturan

MIT:141/MPP/Kep/3/2002: Lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK)). 3 17 1701 1701.11 Gula Kontrol impor. Impor gula membutuhkan

registrasi produk yang dikeluarkan oleh BPOM dengan proses lebih dari 3 bulan. 4 17 1701 Gula tebu dan

gula bit

Lisensi impor otomatis. Aturan

MIT:141/MPP/Kep/3/2002: Lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK)).

Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), praktik pembatasan impor selalu meningkatkan harga barang yang diimpor di pasar dalam negeri. Akibat langsung jika impor dibatasi adalah bahwa pada tingkat harga semula (sebelum ada pembatasan) permintaan untuk barang yang bersangkutan lebih besar daripada penawaran domestik ditambah impor. Keadaan ini menyebabkan harga lebih tinggi sampai terciptanya keseimbangan baru. Perbedaan dampak yang ditimbulkan oleh kuota dari yang ditimbulkan oleh tarif adalah bahwa dengan menerapkan kuota pemerintah tidak memperoleh pendapatan secara langsung.


(35)

Jika pemerintah memberlakukan kuota untuk membatasi impor, maka besarnya pendapatan yang akan diperoleh dilakukan dengan cara memungutnya dari siapa saja yang menerima lisensi impor. Pemegang lisensi dapat mengimpor suatu produk yang dikenai kuota dan menjualnya di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi. Keuntungan yang diperoleh pemegang lisensi itu dikenal sebagai rente kuota.

2.2. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Perdagangan

Salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perdagangan adalah pengenaan pajak yang berupa tarif impor. Intervensi pemerintah seperti ini merupakan hambatan dalam perdagangan. Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), dari sisi tinjauan pengirim barang, tarif persis seperti biaya pengangkutan. Jika Domestik mengenakan pajak sebesar US$ 1 untuk setiap unit barang yang diimpornya, maka pengirim tidak akan bersedia mengangkut atau mengirimkan barang tersebut, kecuali kalau perbedaan atau selisih harga di kedua pasar yang jumlahnya paling sedikit US$ 1.

Sebagai ilustrasi, Gambar 3 memperlihatkan dampak-dampak pengenaan tarif spesifik sebesar US$ t per unit beras, dengan asumsi tidak ada biaya transportasi atau biaya-biaya perdagangan lainnya selain pajak atau tarif dan Domestik merupakan negara besar jadi bisa mempengaruhi perdagangan dunia. Tanpa tarif, harga beras di kedua negara akan sama yaitu Pw. Setelah ada tarif, pengirim tidak akan bersedia mengangkut beras dari Asing ke Domestik kecuali jika selisih harga di Domestik serta Asing paling tidak sebesar US$ t. Akibatnya


(36)

36

harga beras Domestik akan naik, sedangkan harga beras Asing segera turun sampai perbedaan harga ini mencapai sebesar US$ t.

Sumber: Krugman dan Obstfeld, 2004

Gambar 3. Dampak Pengenaan Tarif pada Perdagangan Domestik dan Asing

Pengenaan tarif mengakibatkan harga di kedua pasar mengalami perubahan. Tarif meningkatkan harga di Domestik ke PT dan menurunkan harga di Asing ke P1T=PT t. Adanya harga yang lebih tinggi maka konsumen Domestik menurunkan permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi berkurang. Di Asing, harga yang lebih rendah menyebabkan penawaran turun, dengan demikian perdagangan beras merosot dari sebanyak Qw (dalam keadaan perdagangan bebas), menjadi hanya QT (volume perdagangan dengan tarif).

Jika suatu negara kecil mengenakan tarif, peranan ekonominya yang tidak begitu berarti di pasar dunia untuk semua jenis barang biasanya hanya menciptakan dampak yang kecil sekali dalam perdagangan dunia, sehingga

P

QW

SX

DM

P

P1T

PW

Q D* S*

c. Pasar Asing b. Pasar Dunia

P

PT

Q D

S

a. Pasar Domestik

Q1T

Q

1 2

3 4 P*T

P2T

Q2T


(37)

pengurangan impor akibat tarif dari negara kecil itu hanya berpengaruh kecil pada harga dunia sehingga bisa diabaikan. Artinya pengenaan tarif olehnya tidak akan menurunkan harga barang-barang luar negeri yang diimpornya. Disini tarif hanya akan meningkatkan harga barang yang diimpor sebesar tingkat tarif yang berlaku.

Liberalisasi perdagangan yang menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun nontarif akan menambah volume barang yang diimpor. Artinya aliran barang dari satu negara ke negara lain yang melakukan perdagangan semakin banyak, maka pasar satu negara akan semakin terintegrasi dengan pasar negara yang lainnya. Pengurangan tarif mengakibatkan harga di Domestik turun dari PT menjadi P*T dan meningkatkan harga di Asing ke P2T. Harga yang lebih rendah menyebabkan para konsumen Domestik meningkatkan permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi bertambah. Di Asing, harga yang lebih tinggi menyebabkan penawaran meningkat, dengan demikian perdagangan beras bertambah dari sebanyak Q1T (dalam keadaan perdagangan dengan adanya tarif), menjadi Q2T (volume perdagangan dengan tarif yang dikurangi). Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil tarif yang dikenakan maka semakin banyak volume barang yang diperdagangkan.

Menghilangkan kebijakan-kebijakan proteksi artinya mengizinkan terjadinya liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas. Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), salah satu keuntungan tambahan dari perdagangan bebas yang sangat penting adalah terpupuknya skala ekonomi (economies of scale). Perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya kerugian efisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi. Perdagangan bebas mampu menciptakan


(38)

keuntungan tambahan yang tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan konsumsi.

Bagi negara-negara kecil yang tidak dapat mempengaruhi harga ekspor dunia, tarif menyebabkan kerugian netto bagi perekonomian. Hal ini terjadi karena adanya distorsi terhadap rangsangan ekonomi bagi produsen maupun konsumen. Pergerakan menuju ke arah perdagangan bebas bisa menghilangkan distorsi-distorsi ini dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian yang bersangkutan. Pasar yang diproteksi akan mengurangi daya saing dan potensi meningkatkan laba, serta juga cenderung merangsang berbagai perusahaan untuk memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak ke dalam pola produksi yang tidak efisien (Krugman dan Obstfeld, 2004).

2.3. Integrasi Ekonomi

Integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan, tarif maupun nontarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara anggota masih berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau nontarif) atau tidak (Salvatore, 1997).


(39)

Selanjutnya Salvatore (1997), mengemukakan bahwa tingkatan integrasi ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan atau area perdagangan bebas, kemudian menjadi persekutuan pabean, pasaran bersama dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh. Kawasan atau area perdagangan bebas adalah suatu kawasan dimana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.

Proses integrasi ekonomi dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Kebijakan liberalisasi maupun kesepakatan integrasi digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan dalam rangka meningkatkan kemakmuran. Proses integrasi ekonomi selalu ditandai oleh adanya proses integrasi pasar di antara negara yang berpartisipasi dalam integrasi. Salah satu upaya penting untuk mencapai integrasi pasar adalah melakukan integrasi kebijakan di antara negara-negara tersebut (Winantyo et al. 2008).

2.4. Integrasi Pasar

Integrasi pasar merupakan suatu konsep dimana pelaku pasar dalam kawasan yang berbeda atau negara-negara anggota dalam union digerakkan oleh kondisi penawaran dan permintaan. Kondisi ini ditunjukkan dengan pergerakan lintas batas barang, jasa dan faktor produksi yang meningkat pesat dalam suatu


(40)

40

union. Pasar barang dan jasa yang homogen secara sempurna menyebabkan

intensitas integrasi pasar dalam suatu kawasan diukur melalui tingkat konvergensi harga dalam suatu union (Pelkman, 2001 dalamWinantyo et al. 2008).

Secara konseptual integrasi pasar dapat dibedakan atas dua jenis yaitu integrasi pasar spasial dan integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya, sedangkan integrasi vertikal adalah keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Simbolon, 2005). Penelitian ini akan membahas tentang analisis integrasi spasial karena pasar beras dan gula antar tiga negara anggota ASEAN terpisah secara geografis.

Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga antarpasar yang terpisah secara geografis, konsep ini diterangkan dengan menggunakan model keseimbangan spasial. Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand) pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga melalui model keseimbangan spasial ini (Tomek dan Robinson, 1990).

Analisis dilakukan dengan cara, pasar dibagi dalam dua kategori antara lain pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit. Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antardaerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi penawaran

(supply)dan permintaan (demand) dari masing-masing pasar dengan asumsi tidak


(41)

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 4. Kurva Supply dan Demand pada Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit

Berdasarkan Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pasar A merupakan pasar yang berpotensi surplus dan pasar B yang berpotensi defisit. Jika tidak ada perdagangan maka harga yang terbentuk adalah P1 di pasar A dan P2 di pasar B dimana P1<P2. Kelebihan cadangan konsumsi di pasar A akan mendorong pelaku pasar di pasar tersebut untuk menjual kelebihan cadangannya ke pasar lain, sedangkan pelaku pasar di pasar B akan mendatangkan komoditi dari pasar lain untuk memenuhi permintaan di pasar B.

Model keseimbangan spasial dapat ditunjukkan dari Gambar 4 dengan mengembangkan kurva excess supply dan excess demand untuk menjelaskan hubungan harga akibat perdagangan yang terjadi antara dua pasar. Kelebihan penawaran adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang akan meningkat

P1 P1

D S

a. Pasar A b. Pasar B

D1 ED

P2 ES

S

Q Q

P P


(42)

42

dengan semakin tingginya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar A (P1). Kelebihan permintaan adalah selisih antara jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, akan meningkat dengan semakin rendahnya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar B (P2).

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 5. Kurva Excess Supply dan Excess Demand dalam Model Perdagangan

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan penawaran dan permintaan pada masing-masing pasar. Berdasarkan Gambar 5, jika tidak ada biaya transfer antarpasar (A dan B) maka total unit komoditi yang akan ditransfer dari pasar A ke pasar B sebesar 0QE1 dengan tingkat harga yang sama antara keduanya yaitu sebesar 0PE. Volume perdagangan antar kedua pasar akan semakin menurun dengan adanya biaya transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1-PA1 maka tidak akan ada perdagangan antar keduanya. Pada kasus ini, demand dan supply akan sama antar

PE

PA1

E

Excess Supply

di pasar A (ESA)

Excess Demand

di pasar B (EDB)

TC

0

x y

PB1-PA1

Komoditi (Q) Harga (P)

Transfer Cost(TC)

PEA2

PEB2

PB1


(43)

kedua daerah sedangkan perbedaan harga akan semakin kecil dibandingkan biaya transfer.

Efek perubahan biaya transfer yang terjadi antara dua pasar (A dan B) dapat diilustrasikan dengan membangun garis volume perdagangan (xy). Pada garis ini dapat dilihat tidak akan ada perdagangan apabila biaya transfer yang terjadi sebesar PB1-PA1, namun perdagangan akan maksimum (0QE1) jika biaya transfer sebesar nol. Apabila biaya transfer yang terjadi antardaerah sebesar 0TC maka jumlah komoditi yang diperdagangkan sebesar 0QE2. Harga komoditi yang terjadi di pasar A akan naik menjadi 0PEB2 dan di pasar B akan turun menjadi 0PEA2. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar, akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Hal ini menunjukkan adanya integrasi pasar antar kedua daerah yang melakukan perdagangan.

Hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun nontarif akan meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan melakukan perdagangan antarpasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun kelebihan penawaran tidak terjadi dan harga akan bergerak secara individu pada masing-masing pasar.

2.5. Metode Analisis Integrasi Pasar

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar yaitu pendekatan dengan metode korelasi antara harga yang bergerak secara


(44)

44

bersamaan pada pasar yang diuji, metode regresi sederhana, metode kointegrasi dan metode Vector Autoregression (VAR). Keempat metode tersebut digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam bentuk time series sebagai input yang dinalisis.

Natawijaya (2001) dalamSimbolon (2005), menjelaskan bahwa penggunaan metode korelasi dapat digunakan apabila arus perdagangan komoditi antarpasar tidak terlalu jelas arah atau arah transmisi harga bukan fokus utama penelitian. Kelemahan metode ini diatasi dengan menggunakan data harga riil berdasarkan indeks harga konsumen pada setiap pasar sehingga pengaruh perubahan harga akibat inflasi dapat dikoreksi. Metode ini hanya dapat menjelaskan keterkaitan harga antarpasar namun tidak dapat menentukan besarnya pengaruh dan saling mempengaruhi antar pasar-pasar yang diuji. Kelemahan yang lain dari model ini adalah memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga dapat terjadi sebagai akibat pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Sehingga harga di kedua pasar menunjukkan korelasi yang tinggi walaupun tidak terintegrasi.

Metode regresi sederhana bisa menjelaskan bahwa harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga pada pasar lainnya. Kelebihan metode ini adalah dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antara pasar yang terintegrasi. Tetapi terdapat kelemahan pada metode ini yaitu tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel dependen maupun variabel independen karena model regresi sederhana memiliki sifat inverse.

Analisis integrasi pasar dapat juga menggunakan uji kointegrasi yang bisa membuktikan adanya keterkaitan harga pada jangka pendek dan jangka panjang


(45)

antarpasar dalam suatu kawasan. Kelemahan metode ini yaitu tidak adanya prosedur yang sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda secara terpisah, selain itu tahapan estimasi dalam metode ini melalui dua tahap dimana apabila terjadi pendugaan yang salah pada tahap pertama akan berlanjut ke tahap kedua.

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode VAR. Menurut Thomas (1997), kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai periode, hasil yang diperoleh tidak spurious (palsu), dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag

(lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR yaitu semua peubah tak bebas harus bersifat stasioner (mean, variance dan covariance bersifat konstan) dan semua sisaan bersifat white noise yakni memiliki rataan nol, ragam konstan dan saling bebas. VAR dengan ordo p dan n buah peubah tak bebas pada periode waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut:

Yt = ao + a1 Yt-1 + a2 Yt-2 + + ap Yt-p + t ... (2.1) dimana:

Yt = vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t,..., Yn.t) yang berukuran n x 1

ao = vektor intersep berukuran n x 1

ai = matrik parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2,..., p t = vektor sisaan ( 1.t, 2.t,..., n.t) berukuran n x 1

n = jumlah baris pada matrik n x m m = jumlah kolom pada matrik n x m


(46)

Hadi (2003), menjelaskan bahwa pada dasarnya analisis VAR meliputi: 1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stasioner atau tidak. Tes ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, mengingat tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai hubungan timbal balik diantara variabel-variabel yang diamati, dan bukan tes untuk data. Akan tetapi apabila data yang diamati adalah stasioner hal ini akan meningkatkan akurasi dari analisis VAR.

2. Uji Hipotesis (Hypothesis Testing), yang terdiri dari:

a. Likelihood Ratio Test

Likelihood Ratio Test digunakan untuk menguji hipotesis mengenai

berapakah jumlah lag yang sesuai untuk model yang diamati.

b. Granger Causality Test

Tes ini menguji apakah suatu variabel bebas meningkatkan kinerja

forecasting dari variabel tidak bebas.

3. Innovation Accounting

Pada dasarnya tes ini digunakan untuk menguji struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi

(innovation variable). Artinya tes ini merupakan tes terhadap variabel inovasi.

Tes ini terdiri dari:

a. The Impulse Responses

Untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar deviasi dari variabel inovasi terhadap nilai sekarang (current time values) dan nilai yang akan


(47)

datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam model yang diamati.

b. The Cholesky Decomposition

The Cholesky Decomposition atau biasa disebut juga dengan The Variance

Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang

relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya tes ini merupakan metode lain untuk menggambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Tes ini digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah

shock, baik yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain.

2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Bagian ini akan membahas hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai integrasi pasar, baik komoditi pangan maupun komoditi lainnya. Pembahasan juga menyangkut tentang penelitian-penelitian yang menggunakan metode VAR dan

Index of Market Connection (IMC). Sampai saat ini penelitian-penelitian tentang

integrasi pasar telah banyak dilakukan, tetapi yang membahas khusus tentang komoditi pangan (beras dan gula) di kawasan ASEAN masih terbatas.

Menurut Irawan dan Rosmayanti (2007), salah satu cara untuk memahami struktur, tingkah laku dan efektivitas pasar adalah dengan memahami kekuatan relatif suatu pasar serta mekanisme perambatan harga dari satu pasar ke pasar lainnya melalui kajian integrasi pasar, hal ini akan membantu pemerintah untuk menentukan kebijakan harga yang tepat. Sejalan dengan hal tersebut, Adiyoga et al. (2006), yang meneliti tentang integrasi pasar kentang di beberapa kota besar


(48)

pusat konsumsi mengemukakan bahwa pengukuran integrasi pasar kentang dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga, melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran kentang.

Menurut Adiyoga et al. (2006), beberapa alternatif pengujian tersedia untuk mengkaji kointegrasi, namun telah terbukti bahwa pendekatan VAR yang dikembangkan oleh Johansen (1988) menunjukkan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan persamaan tunggal serta metode multivariat lainnya. Pendekatan VAR semakin sering digunakan dalam studi deliniasi pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadi (2003), yang menjelaskan bahwa VAR merupakan alat analisis atau metode statistik yang bisa digunakan baik untuk memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu maupun untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel tersebut. Selain itu, VAR juga merupakan alat analisis yang sangat berguna, baik dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara variabel-variabel ekonomi, maupun di dalam pembentukan model ekonomi berstruktur.

Selanjutnya Hadi (2003), mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena dalam analisis VAR kita mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersama-sama dalam suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan simultan biasa adalah bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh nilai masa lalu


(49)

dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Di samping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen dalam model tersebut.

Adiyoga et al. (2006), mengatakan bahwa semakin banyak studi integrasi pasar yang menggunakan pendekatan dua tahap Engle-Granger (EG). Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Irawan dan Rosmayanti (2007), Anwar (2005), dan Hadi (2003). Tahap pertama ditempuh dengan melakukan pengujian apakah data harga yang dikaji bersifat nonstationary I(1) berdasarkan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), atau berdasarkan uji unit root lainnya. Tahap kedua dilakukan dengan mengestimasi suatu model statis sederhana dari serial harga I(1) terhadap serial harga I(1) lainnya, serta menguji apakah residualnya bersifat stationary I(0). Selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa harga-harga menyebar menuju suatu ekuilibrium jangka panjang dan bahwa pasar terintegrasi jika hipotesis nol dari simpangan nonstasioner ditolak.

Hadi (2003), yang menggunakan analisis VAR untuk mencari ada tidaknya korelasi timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pemerintah di Indonesia menyatakan bahwa keunggulan dari analisis VAR antara lain adalah: (1) metode ini sederhana, kita tidak perlu khawatir untuk membedakan mana variabel endogen, mana variabel eksogen, (2) estimasinya sederhana, dimana metode OLS biasa dapat diaplikasikan pada tiap-tiap persamaan secara terpisah, dan (3) hasil perkiraan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun.


(50)

Hasil penelitian Adiyoga et al. (2006), menemukan bahwa penggunaan analisis kointegrasi terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Irawan dan Rosmayanti (2007), mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dari hasil uji kointegrasi dapat disimpulkan pasar beras di wilayah Provinsi Bengkulu belum terintegrasi secara penuh. Jadi pasar beras di Provinsi Bengkulu ada yang independen dan ada yang saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Kondisi ini menunjukkan masih terdapat pengaruh-pengaruh eksogenus yang dapat mempengaruhi harga beras. Jika pasar beras tidak terintegrasi secara penuh berarti pasar dalam struktur bersaing tidak sempurna. Hasil penelitian Bustaman (2003), menyatakan secara umum dapat dikatakan bahwa pasar beras tingkat provinsi di Indonesia saling terintegrasi dengan provinsi-provinsi lainnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa semua provinsi di Indonesia terhubung ke dalam satu sistem perdagangan yang


(1)

5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air serta rehabilitasi jaringan irigasi utama.

6. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP): Rp 2 200 per kilogram untuk harga gabah kering panen di petani, Rp 2 840 per kilogram untuk harga gabah kering giling di gudang Bulog, dan Rp 4 300 per kilogram untuk harga beras di gudang Bulog.

7. Pelaksanaan pembelian gabah/beras oleh pemerintah secara nasional dilakukan oleh Perum Bulog, di daerah juga dapat dilakukan oleh badan pemerintah atau badan usaha di bidang pertanian.

8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan, untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana, yang dilaksanakan oleh Perum Bulog.

9. Menetapkan kebijakan ekspor dan impor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dapat dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi, untuk kepentingan memenuhi cadangan beras pemerintah, dan atau untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor hanya dapat dilakukan (hanya) jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi, dilaksanakan secara terkendali dan tidak mengganggu stabilitas harga dalam negeri.

Kebijakan pendukung yang diperlukan bagi efektifnya pelaksanaan kebijakan perberasan tersebut harus ditetapkan. Hal ini dilakukan supaya tujuan penetapan kebijakan perberasan yang salah satunya adalah meningkatkan


(2)

pendapatan petani bisa terwujud dengan baik. Kebijakan tersebut tidak hanya sebatas ditetapkan saja, tetapi harus benar-benar diterapkan dan tugas pemerintah adalah mengontrol aplikasinya di lapangan.

5.5.2. Kebijakan Perdagangan Gula di Indonesia dan Implikasinya

Pada tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia. Tahun 2004 Indonesia merupakan salah satu importir terbesar (no.4) di dunia dengan pangsa impor sekitar 3.5 persen gula dunia. Pada tahun 1994, impor gula Indonesia baru mencapai 4 400 ton dan meningkat menjadi sekitar 1.34 juta ton pada tahun 2004 atau meningkat lebih dari 300 persen. Peningkatan impor bersumber dari faktor utama yaitu penurunan produksi dan peningkatan konsumsi yang keduanya juga berkaitan dengan kebijakan pergulaan domestik dan kebijakan pergulaan di pasar internasional. Pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk memacu perkembangan industri gula Indonesia. Penerapan kebijakan ini telah dimulai pada tahun 1971 sampai dengan sekarang, dimana kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi dan harga (Mardianto et al. 2005).

Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup di pedesaan (Arifin, 2008). Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan


(3)

industri makanan dan minuman, diperkirakan akan menyebabkan konsumsi gula di Indonesia akan terus meningkat.

Ada tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan. Pertama, produktivitas gula yang cenderung terus turun yang disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Kedua, impor gula yang semakin meningkat, hal ini disebabkan antara lain karena harga gula di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, karena dijual di bawah ongkos produksinya. Ketiga, harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien. Tingginya impor gula menimbulkan kekhawatiran besar pada pemerintah, hal ini dipandang sebagai ancaman terhadap kemandirian pangan. Kemandirian pangan merupakan hal penting bagi negara berkembang yang berpenduduk besar dengan daya beli yang rendah seperti Indonesia (Mardianto et al. 2005).

Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk mengatur aktivitas impor gula dibuat melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK No.643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tataniaga Impor Gula (TIG). Kebijakan tersebut memberikan hak istimewa kepada Importir Produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada Importir Terdaftar (IT) untuk mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. IT adalah empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memenuhi kualifikasi adalah: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Kebijakan ini juga memberikan peluang bagi pengembangan


(4)

industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula mentah impor yang umumnya tidak layak dikonsumsi secara langsung. Gula mentah dan gula rafinasi yang diimpor oleh IP hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi pengolahan gula, dan dilarang diperjualbelikan serta dipindahtangankan (Arifin, 2008).

Arifin (2008), menyatakan bahwa terjadi perbaikan kebijakan pengaturan impor gula dengan penerbitan Kepmen baru yaitu No.527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). Isi Kepmen tersebut diantaranya adalah kembali melibatkan BUMN Perum (Perusahaan Umum) Bulog dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula Indonesia. Selain itu juga ditetapkan tingkat tarif impor gula sebesar Rp 550 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 790 per kilogram untuk gula putih. Selain itu juga dalam Kepmen tersebut mengatur tentang IT yang mengimpor gula harus menyangga gula di tingkat petani sebesar Rp 3 400 per kilogram. Secara implisit IT mempunyai kewajiban yang lebih jelas untuk menjamin bahwa harga gula di tingkat petani adalah minimal Rp 3 400 per kilogram.

Pemerintah juga mengendalikan impor gula melalui kontrol impor dengan registrasi produk oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), selain itu impor gula juga dilakukan berdasarkan lisensi impor. Keputusan Presiden RI nomor 57 tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan menyebutkan bahwa gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga perdagangan gula di dalam negeri menjadi kegiatan yang penting dan oleh karenanya perlu diawasi.


(5)

Hasil penelitian dari Hadi dan Nuryanti (2005); Susila dan Sinaga (2005), menyimpulkan bahwa kebijakan proteksi yang merupakan kombinasi tarif dan nontarif berhasil meningkatkan harga produsen, jumlah produksi, serta menurunkan jumlah permintaan dan impor gula secara signifikan. Artinya kebijakan ini terbukti cukup efektif dalam mendorong perkembangan industri gula nasional. Namun Wahyudi dan Erwidodo (2000), menyatakan bahwa pengenaan tarif impor gula harus bersifat sementara karena dalam jangka panjang hanya akan menciptakan ekonomi rente yang menjadi beban masyarakat. Penjadwalan ini harus disertai komitmen produsen untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan target yang telah disepakati.

Sejalan dengan hal tersebut, Hadi dan Nuryanti (2005), juga berpendapat bahwa kebijakan proteksi tidak mungkin dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang karena tuntutan globalisasi. Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula perlu terus dijalankan untuk mempersiapkan agribisnis gula nasional agar menjadi lebih kuat dan mandiri dalam menghadapi serbuan gula impor.

Perdagangan bebas akan menguntungkan semua pihak jika pemerintah bisa membantu petani agar dapat bersaing, artinya pemerintah harus meningkatkan efisiensi produksi gula nasional melalui kebijakan-kebijakan domestik mulai dari tahap budidaya sampai dengan pengolahan dan pemasaran hasil. Penggunaan bibit unggul dan pengolahan hasil yang baik akan meningkatkan produksi gula. Selain itu untuk menolong petani tebu bisa dilakukan dengan memperbaiki akses petani terhadap informasi pasar yaitu informasinya dengan pabrik gula. Kebijakan tata


(6)

niaga yang efektif akan bermanfaat jika petani memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pabrik gula.

Kebijakan pergulaan nasional yang sekarang diterapkan pemerintah lebih kepada penerapan kebijakan pengendalian impor gula. Volume impor terus meningkat karena adanya peningkatan konsumsi sementara produksi gula dalam negeri terus menurun. Hal ini terjadi karena semakin tidak efisiennya industri gula nasional. Terjadi penurunan produksi yang bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10 persen pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92 persen pada tahun 1990-an. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu rancangan kebijakan yang menyeluruh untuk pembangunan industri gula yang efisien.

Menurut Mardianto et al. (2005), pengembangan industri gula pada masa yang akan datang, perlu disusun dalam program jangka pendek (3 tahun), jangka menengah (10 tahun), dan jangka panjang (20 tahun). Program jangka pendek ditujukan untuk melakukan rehabilitasi pabrik gula di Jawa sehingga mampu menghasilkan gula dengan harga pokok yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Program jangka menengah ditujukan untuk pengembangan pabrik gula di luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Investor dalam program ini dapat memilih jenis produk gula yang akan dihasilkan sesuai dengan keunggulan setiap daerah. Program jangka panjang ditujukan untuk pengalihan pemilikan pabrik gula BUMN kepada petani tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu. Pelaksanaan pengalihan pemilikan ini memerlukan pinjaman lunak dengan jaminan pemerintah, yang akan dibayar oleh asosiasi petani tebu.