Sondang Marisi Widyawati Sagala : Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan, 2010.
Osborne 2002, dalam O’Reilly, 2007 mengatakan bahwa wanita yang mengalami kekerasan selama kehamilan akan terlambat dalam memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan adanya pembatasan dari suami terhadap isteri untuk kontak dengan dunia luar karena takut tindak
kekerasan yang dilakukannya diketahui oleh orang lain. Jahanfar 2007 dalam penelitiannya mengatakan bahwa wanita hamil
yang diteliti mengalami tindak kekerasan berupa tidak diberi izin untuk bekerja 55,4, tidak diberi izin untuk menghadiri upacara atau tempat-tempat menarik
31,3, tidak diberi izin untuk meninggalkan rumah 29,1, tidak diberi izin untuk mengikuti pendidikan 25,7.
5. Penelantaran
Penelantaran adalah jenis kekerasan yang bersifat multi dimensi fisik, seksual, emosional, sosial, ekonomi. Menelantarkan isteri dengan cara tidak
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pengobatan. Tidak pernah menyentuh atau berhubungan seksual terutama di saat yang memungkinkan untuk
kedua belah pihak, membiarkan anak dan isteri terlantar tanpa uang dan mempertahankan sikap tidak acuh untuk tidak berusaha mencari nafkah
kekerasan pasif adalah beberapa contoh penelantaran lainnya Dharmono, 2008.
2.3.6 Dukungan Sosial Kepada Wanita Hamil yang Mengalami
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sondang Marisi Widyawati Sagala : Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan, 2010.
Wanita hamil yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga membutuhkan dukungan dari orang lain social support. Dukungan sosial dapat
mengurangi rasa putus asa dan kecemasan, memberi atau memfasilitasi solusi yang positif untuk memecahkan masalah, menyediakan saran dan bantuan untuk
kesehatan Charles, 2007. Bantuan sosial dapat berasal dari orangtua, saudara-saudara, tetangga,
tokoh setempat, tenaga kesehatan, lembaga yang bergerak di bidang sosial. Saat ini telah banyak berkembang lembaga-lembaga yang menyediakan berbagai
bentuk pertolongan bagi korban KDRT. Mulai dari pertolongan medis, bantuan psikososial, menyediakan rumah singgahrumah aman, hingga pendampingan
upaya hukum. Beberapa lembaga yang memberikan bantuan kepada korban KDRT antara lain Mitra Perempuan Women’s Crisis Center, LBH APIK,
Yayasan Kalyanamitra, Yayasan SIKAP, Yayasan Pulih, Komnas Perempuan, P2TP2A Dharmono, 2008.
Kehamilan memberi kesempatan yang unik kepada pelayan kesehatan untuk mengenali kekerasan dan memberi intervensi yang sesuai Mattson
Smith, 2004. Kekerasan dapat dikenali melalui pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh ibu hamil, berupa luka memar seperti pada perut atau melakukan
pengkajian tindakan kekerasan kepada setiap ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya seperti yang dilaksanakan di Queensland Australia Webster,
2001. Namun, masih banyak wanita yang tidak memperoleh dukungan dari
masyarakat. Sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT cenderung abai.
Sondang Marisi Widyawati Sagala : Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan, 2010.
KDRT dianggap urusan internal dan hanya menyangkut pihak suami dan istri belaka. Paling jauh, keluarga terdekat dari pihak suami maupun istri yang dapat
turut campur. Itupun masih sangat jarang. Keluarga pihak suami, atau pihak istri, bahkan perempuan korban itu sendiri, akan merasa malu jika aib keluarga
terdengar sampai keluar rumah. Karena itu, kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan akan tetap dibiarkan dan ia hanya diminta bersabar, tabah dan berdoa.
Keadaan ini semakin menyulitkan perempuan untuk bisa lepas dari siklus kekerasan yang menimpa dirinya.
Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi jika yang menyerang adalah suaminya sendiri,
justru mereka mendiamkannya. Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja. Ada
catatan pendamping korban, yang menulis ungkapan seorang Satpam: “Waktu Satpam itu melerai suami yang memukuli istri di tempat parkir, ia mengatakan:
“Istighfar pa. Sekarang bulan puasa. Kalau mau pukul istri di rumah saja, jangan di tempat umum seperti ini.....” Komnas Perempuan, 2002 dalam Komnas
Perempuan, 2008. Keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang
mungkin bersumber dari tafsir agama mengatakan bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia
keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, juga kekhawatiran-kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari
perceraian. Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat
Sondang Marisi Widyawati Sagala : Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan, 2010.
ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan untuk melanggengkan
KDRT. Setidaknya, membuat istri berpikir seribu kali ketika harus memutuskan untuk mengakhiri KDRT yang menimpa dirinya karena seringkali berakibat pada
perceraian, atau minimal pengabaian dari suami dan pihak keluarga suami Komnas Perempuan, 2008.
Salah satu contoh kekerasan dalam rumah tangga yang sulit diintervensi karena alasan adat adalah penyiksaan terhadap perempuan suku Asmat oleh
suaminya karena menolak “pupis” bertukar isteri yang oleh adat seolah memperoleh pembenaran. Hal ini serupa dengan pendapat bahwa perselingkuhan
atau hubungan di luar nikah akan lebih ditoleransi pada laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki dianggap secara alami lebih aktif atau bersemangat
Geertz, 1983 dalam Luhulima, 2000. Masyarakat cenderung memposisikan istri sebagai milik penuh suami,
yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang dilakukan istri, harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya, suami tidak perlu
minta izin kepada istri sebelum melakukan suatu tindakan. Kekerasan seringkali dipandang sebagai hukuman fisik untuk kebaikan dan hak suami untuk
mengkoreksi istri yang salah Luhulima, 2000. Banyak masyarakat berpendapat bahwa seorang isteri dianiaya karena
kesalahannya sendiri, keras kepala, cerewet, membantah. Namun kenyataannya, isteri seringkali dipukul karena alasan-alasan diluar kendali mereka dan menurut
standar suami. Mereka dipukul karena tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual
Sondang Marisi Widyawati Sagala : Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan, 2010.
suami, atau karena tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak berselingkuh. Banyak isteri yang dipukul adalah mereka yang penurut dan mengalah Komnas
Perempuan, 2008.
2.3.7 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan